Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMETAKAN ISU PENDIDIKAN DI ERA MILENIAL

MEMETAKAN ISU PENDIDIKAN DI ERA MILENIAL:

Problema dan Solusi Bagi PTKIN[1]

 

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si[2]

 

 

Pendahuluan

Rasanya, globalisasi itu baru saja datang di tengah kehidupan kita, yang ditandai dengan ditemukannya computer, email, ATM, mesin cerdas generasi pertama dan sebagainya. Tetapi dengan cepat kemudian terjadi lompatan yang luar biasa, yaitu ditemukannya artifisial intelligent dengan segala kosekuensinya. Era high information technology seakan menghapus sedemikian mudah terhadap temuan-temuan masa lalu di awal-awal globalisasi dengan menemukan teknologi tinggi yang luar biasa pengaruhnya.

Sesungguhnya kita hidup di era dunia maya yang meniscayakan kita untuk dapat berkomunikasi dengan segenap lapisan masyarakat di seluruh dunia. Bagi mereka yang bergerak di bidang usaha high information technology, maka nyaris seluruh kehidupannya berurusan dengan informasi yang lalu lalang di dunia maya. Kita tidak kenal secara pribadi tetapi seseorang bisa menjadi kolega kita yang setia. Misalnya orang yang bekerja di e-commerce, maka nyaris seluruh waktunya digunakan untuk hidup di dunia maya, dan basis kerjanya ialah membangun trust atau kepercayaan. Jika kepercayaan sudah ada, maka kesepakatan berbisnis bisa dilakukan dan itu artinya adalah pekerjaan.

Di tengah semaraknya gambaran tentang artifisial intelligent atau AI di tengah era Revolusi Industri 4.0., maka sebagian masyarakat di dunia ada yang merasa khawatir, ada juga yang merasa perlu direspon dengan cerdas, dan ada juga yang merasa seperti tidak sedang terjadi apa-apa. Life must go on like before. Posisi ini yang saya kira perlu untuk kita petakan, kira-kira bagaimana response kita terhadap perkembangan terbaru ini, dan terutama ialah bagaimana Pendidikan Tinggi dengan core bisnis ilmu agama ini. Tantangan inilah yang sepertinya harus direspon dengan cerdas agar kita tidak termasuk orang yang merugi di masa depan.

 

 

Dimana kita sekarang berada?

Selama ini kita memahami artifisial intelligent itu hanya robot, padahal artifisial intelligent itu sesungguhnya sangat variatif. AI itu didefinisikan sebagai “kecerdasan yang ditambahkan kepada suatu sistem yang bisa diatur dalam konteks ilmiah”. Kecerdasan diciptakan dan dimasukkan dalam suatu mesin (computer) agar dapat melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan oleh manusia. AI tersebut meliputi sistem pakar, permainan computer (games), logika fuzzy, jaringan saraf tiruan dan robot. (id.m.wikipedia.org).

AI dalam konteks sistem pakar ialah sejumlah data yang tersimpan di dalam sistem computer dan dengan data tersebut kemudian memberikan kemudahan untuk merumuskan kesimpulan. Infomasi-informasi yang didapatkan dan saling dihubungkan dan dibandingkan akan dapat memberikan petimbangan di dalam penarikan kesimpulan. Lalu, permainan games dengan computer saya kira sudah sangat lazim di dalam dunia kita, misalnya game sepakbola, game catur –bahkan pada tahun 1998, Garry Kasparov, berhasil dikalahkan oleh mesin catur dalam permainan enam babak. Logika fuzzy pada dasarnya dapat digunakan untuk memberikan pertimbangan di dalam merumuskan kesimpulan berbasis data di tengah ketidakpastian masalah. System fuzzy banyak digunakan oleh perusahaan untuk menjadi bahan pertimbangan di dalam suasana yang tidak pasti, tidak jelas dan sulit. Sedangkan jaringan saraf ialah kemampuan yang ditambahkan pada mesin dengan tujuan untuk melakukan pengenalan kepada obyek yang harus dikenali. Sekarang sudah mulai dirancang rumah cerdas yang semua sistemnya dikendalikan dengan mesin, mulai membuka pagar sampai masuk ke dalam toilet dan tempat tidur bahkan juga penyediaan meja makan dan seterusnya.

Dewasa ini kita sedang berada di suatu era yang penggunaan teknologi informasi luar biasa dahsyat. Saking dahsyatnya, maka kita seperti sedang berada di dunia maya yang menyajikan ragam informasi yang sangat variatif baik dari sisi content maupun kuantitasnya. Teknologi informasi sebagai dunia maya itu seperti pasar raya informasi. Apapun bisa diakses dan apapun bisa diunduh atau diunggah. Nyatalah bahwa kita seperti hidup di alam maya yang penuh dengan gegap gempita informasi.

Tentu, saja teknologi informasi selalu memiliki dua matra, yaitu positif dan negative. Ada sangat banyak yang positif dan ada juga yang sangat banyak yang negative. Di antara yang positif ialah digunakannya teknologi tersebut untuk kepentingan perdagangan atau e-commerce, ada yang untuk berdakwah atau e-preaching, ada untuk pesantren atau e-pesantren atau pesantren online, ada juga untuk pendidikan atau e-education, dan ada juga untuk pemerintah atau e-government dan seterusnya.

Coba kita lihat perkembangan e-commerce yang sekarang sedang menuai hasil optimal dari penggunaan aplikasi teknologi informasi. Amazon.com, Alibaba.com, Go-Jek, Grab, Bukalapak, Sophie, Shahnaz Shop, dan hampir seluruh produsen dan pengusaha menggunakan aplikasi untuk kepentingan perdagangan. Lalu, misalnya juga birokrasi juga sudah menggunakan e-government seperti Pusat Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), elektronik-KTP, e-perizinan, dan sebagainya. bahkan dunia pesantren dan organisasi sosial keagamaan juga sudah menerapkan hal ini, seperti NU online, pesantren online, e-zakat, e-wakaf, dan sebagainya.

Kemudian tentu ada yang negative ialah dengan kehadiran hoax di era cyber war. Era ini ditengarai dengan digunakannya media sosial sebagai sarana untuk melakukan perang non-militer. Cyber war itu bukan perang fisik tetapi perang untuk mengalahkan lawan dengan kekuatan media, misalnya hate speech, disinformasi, berita bohong, pembunuhan karakter dan sebagainya. Bisa juga kekerasan dan terorisme juga menggunakan media informasi untuk merekrut anggota baru jihadis untuk berjuang bersamanya.

Di dalam cyber war, maka every body can be a journalist. Semua bisa menjadi jurnalis, sehingga mereka juga merasa bahwa segala sesuatu yang dipikirkan, diterima dan diperoleh akan dapat untuk dishare ke semua lapisan masyarakat yang memiliki jejaring dengannya. Coba kita lihat tentang semakin memanasnya pertarungan politik untuk memperebutkan posisi presiden dan wakil presiden sekarang. Kita sedang melihat theatre atau pertunjukan “perang media sosial” untuk saling menjatuhkan dan mengungguli. Kala Pak Jokowi menyebutkan adanya politikus sontoloyo dan politik genderuwo, maka sontak seluruh lawan politiknya mencibir, mencaci, menghancurkan dengan kekuatan media sosial. Di televisi, media dan media sosial kita bisa melihat bagaimana realitas pertarungan itu sedemikian keras. Kala juga Pak Prabowo yang keseleo Pancasila, sebab salah dalam mengungkapkan sila ke empat, maka sontak juga mendapatkan serangan yang hebat, dan juga ketika Sandi melangkahi kubur Kyai terkenal, maka juga sontak terjadi pembulian yang keras.

Sedemikian kuat pengaruh teknologi informasi tersebut tentu terkait dengan begitu kuatnya kepemilikan media sosial tersebut di Indonesia. Indonesia menempati peringkat ke enam pengguna hand phone terbanyak dengan jumlah sebesar 236 juta. (idntime.com diunduh 16/11/2018). Data terakhir 2017, pengguna HP sebanyak 371,4 juta atau sebsar 142 persen dan kaum urban sebsar 55 persen. Dari total populasi. Sedangkan pengguna internet ialah 132,7 juta, pengguna media sosial aktif 106 juta, pengguna media sosial mobile aktif 92 juta. (katadata.co.id diunduh 16/11/2018). Maka wajarlah bila medsos itu begitu merajai di dalam percaturan informasi di Indonesia. Ada informasi yang sedemikian viral di tengah masyarakat terutama issu politik, agama dan sosial. Di sini terjadi banjir hoax di mana-mana. Bencana pun bisa dijadikan sebagai bahan hoax. Bahkan hoax sudah menjadi industri, sebab ada yang membutuhkan dan ada yang memproduksinya.

Di tengah suasana seperti ini, para mahasiswa kita itu belajar. Para generasi milenial yang sekarang sedang beranjak dewasa berada di era proxy war atau cyber war yang tidak akan berakhir sampai tujuan untuk memenangkan pertarungan terwujud. Generasi Y yang seharusnya memperoleh penanaman nilai-nilai kebaikan, kemanusiaan dan kebangsaan lalu harus berhadapan dengan hoax di dalam media sosial yang terkadang pengaruhnya lebih besar dibandingkan dengan program pendidikan yang diajarkan oleh lembaga pendidikan. Jadi, pertarungan generasi sekarang untuk mencari jati diri sungguh-sungguh berat. Dan yang diharapkan ialah agar mereka bisa menjadi pemenang atau to be the winner di tengah pertarungan proxy war dan mereka tetap berada di jalur yang benar, yaitu menjadi warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tantangan Pendidikan Tinggi

Sesungguhnya ada banyak tantangan pendidikan Islam, seperti tantangan internal (institusional, kelembagaan) dan tantangan eksternal, seperti tantangan sosial, politik dan budaya. Tantangan sosial, politik dan budaya tentu juga sangat banyak. Misalnya tangan politik identitas, tantangan radikalisme dan ekstrimisme, tantangan dunia pekerjaan di masa depan, tantangan budaya permissiveness, tantangan narkoba dan pornografi, tantangan media sosial di era cyber war dan sebagainya.

Saya akan memfokuskan diri pada tantangan eksternal ini, tentu dengan dasar pemikiran bahwa ke depan memang kita harus berhadapan dengan realitas sosial yang kompleks dengan plus minus keilmuan yang kita miliki.

Pertama, tantangan radikalisme dan ekstrimisme. Tantangan ini terus eksis di tengah semangat keterbukaan dan demokratisasi. Ia akan terus hidup meskipun pemerintah telah menghentikan atau membubarkan HTI, akan tetapi semangat untuk melakukan fundamental terhadap negara dan sistem negara itu akan terus ada. Mereka bekerja seperti sel yang akan terus hidup selama sel-sel tersebut masih memiliki lahan untuk hidup. Gerakan khilafah itu tidak akan berhenti di tengah pemrakarsanya telah dimatikan. Institusi dan struktur boleh mati tetapi kultur dan mindset tidak bisa dimatikan.

Kedua, tantangan cyber war atau media sosial juga akan semakin menguat di era yang akan datang. Dengan semakin kuatnya pengembangan teknologi informasi akan semakin besar tantangan yang kita hadapi. Sekarang saja perkembangan media sosial itu nyaris tidak terkontrol. Berbagai macam situs dengan aneka ragam pesan dan content sudah sampai pada situasi mengkhawatirkan. Di tengah tahun politik perkembangan media sosial sungguh perlu untuk dicermati sedemikian mendasar. Agar semua institusi, secara khusus institusi pendidikan melakukan pencermatan terhadap perkembanan isu-isu di dalam media sosial agar kita tidak ketinggalan dalam berperan serta untuk menanggulanginya.

Ketiga, tantangan hard skilled dan soft skilled. Kita sedang berada di era revolusi industry 4.0., di mana kecerdasan artifisial menjadi sangat kuat. Diperkirakan bahwa ke depan mesin-mesin atau robot-robot akan menggantikan posisi pekerjaan manusia. Berdasarkan ramalan bahwa tahun 2030 akan terdapat 800 juta jenis pekerjaan di dunia yang akan diambil alih oleh robot atau mesin pintar. Ini adalah tantangan riil kita di masa yang akan datang. Makanya, institusi pendidikan tentu harus terlibat di dalam menyiapkan generasi hebat agar di masa depan tidak terpinggirkan karena kehadiran mesin pintar itu.

Perguruan tinggi diharapkan untuk menyiapkan manusia Indonesia yang cerdas, kompetitif dan berakhlakul karimah. Artinya, bahwa yang harus disiapkan tidak hanya ana-anak yang cerdas dalam konteks kecerdasan rational, akan tetapi juga cerdas sosial, cerdas emosional dan bahkan cerdas spiritual. Manusia yang bisa kompetitif di masa depan ialah yang memiliki sekurang-urangnya tiga kecerdasan dan yang paling hebat jika memiliki empat kecerdasan tersebut. Manusia seperti ini yang kiranya akan dapat mengalahkan kecerdasan buatan, yang hanya efektif dan efisien tetapi tidak memiliki kemampuan yang lebih dari itu.

Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna akan selalu mampu untuk melakukan adaptasi dan kolaborasi. Makanya yang diperlukan ke depan ialah kemampuan 4 (four) C plus 1 (one) S, yaitu competent, collaborative, communication and creativity plus spirituality. Hanya dengan empat kemampuan ini, kita akan mampu melawan persaingan di tengah dunia global. Siapa yang memiliki empat kemampuan itu maka dialah yang akan mampu bertahan dan berkembang.

Keempat, ialah penguatan kelembagaan dan kemampuan akademis berbasis pada hard skilled dan soft skilled yang hebat. Kita harus memperkuat terhadap lembaga pendidikan ini, dengan akreditasi yang baik, dosen yang berkualitas, sarana dan prasarana pendidikan yang bagus dan juga kemampuan akademik yang memadai. Tugas lembaga pendidikan ialah menyiapkan generasi mendatang untuk hidup pada zamannya.

 

Solusi Yang Diperlukan

Makanya, harus disiapkan berbagai solusi untuk mempersiapkan generasi hebat untuk Indonesia ke depan. Yaitu:

Pertama, generasi yang melek teknologi informasi untuk kepentingan kebangsaan, ke-Indonesia-an dan ke-Islam-an. Di dalam konteks ini para mahasiswa harus memiliki kemampuan literasi media, baik untuk kepentingan pengetahuan ataupun untuk kepentingan kerja dalam bidang teknologi informasi. Saya berharap agar literasi media dijadikan sebagai salah satu komponen di dalam program pembelajaran baik secara integrated maupun parsial. Tujuan pembelajaran ini agar para mahasiswa tidak terjebak dengan pegaruh negative media sosial di dalam era cyber war.

Kedua, mahasiswa harus didorong untuk membangun pemahaman agama yang wasathiyah atau beragama yang moderat. Yaitu beragama sesuai dengan penafsiran agama yang dilakukan oleh para ulama kita di masa lalu maupun sekarang dengan mengacu pada tafsir agama yang jauh dari konsepsi ekstrimisme dan juga liberalisme. Kita semua harus membendung gerakan Islam tekstual yang mengancam terhadap keberlangsungan NKRI dan kebangsaan kita. sesungguhnya kita menginginkan Indonesia yang modern, Islamis tetapi tetap berada di dalam kerangka menegakkan Pilar consensus kebangsaan.

Ketiga, PTKIN harus tetap mengajarkan value, berpikir independen, kemampuan kerja sama dan peduli pada orang lain. Nilai akan dapat dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan tindakan, dengan berpikir independen bukan pemikiran bebas, maka akan dihasilkan kreativitas dan inovasi, dengan bekerja sama akan dihasilkan sikap dan tindakan saling menolong dan dengan peduli pada orang lain akan menghasilkan tindakan kasih sayang di antara sesama.

Kita telah memiliki modalitas semuanya. Spiritualitas yang baik berbasis pada nilai keagamaan, kita juga dikenal sebagai bangsa yang suka menolong, dikenal sebagai bangsa yang suka bersedekah. Berikut adalah data yang menggambarkan hal ini, yaitu:

Di antara 20 negara yang menjadi top twenty dalam hal Giving Index ialah dengan urutan: Indonesia, Australia, New Zealand, USA, Singapore, Kenya, Myanmar, Bahrain, Netherland, UAE, Norway, Haiti, Canada, Nigeria, Iceland, Malta, Liberia dan Sierra Leon.

Indonesia menempati posisi pertama dalam The CAF Giving Index dengan score 59, Helping a Stranger dengan score 46, Donating money dengan score 78 dan Volunteering time dengan score 53. Berdasarkan laporan Charities Aid Foundation (CAF) 2017 tersebut Indonesia menempati ranking pertama dibanding Australia, maka donating money kita sebesar 78 sementera Australia hanya 71, dan Volunteering time kita berscore 53 sementara Aurtralia sebesar 40. Kita hanya kalah dibandingkan dengan Australia dalam hal helping a stranger, yaitu Indonesia sebesar 46, sementara Australia sebesar 65. Oleh karena itu yang ke depan perlu untuk diperkuat ialah bagaimana agar kita lebih care terhadap orang asing yang ada di Indonesia. Di posisi ini kita kalah dengan Australia, yang ternyata tingkat caritasnya terhadap orang asing jauh lebih tinggi.

Lalu simak apa yang akan dilakukan Universitas Airlangga (Jawa Pos, 14/11/2018) dalam menghadapi era Revolusi Industri 4.0, yaitu:

  1. mengubah kurikulum sesuai dengan kebutuhan industry 4.0
  2. sejak awal mahasiswa didorong untuk membuat inovasi
  3. tugas akhir berbasis inovasi atau temuan-temuan baru untu solusi permasalahan bangsa
  4. pemanfaatan teknologi dalam perkuliahan, sebanyak 20 persen e-learning dan sisanya tatap muka.
  5. Menyiapkan mahasiswa untuk masuk ke dalam industr kreatif.

Bagaimana dengan STAIN, IAIN atau UIN yang basis keilmuannya adalah ilmu agama atau ilmu sosial atau sains dan teknologi, maka yang sesungguhnya dibutuhkan ialah menyiapkan mahasiswa untuk menghadapinya dengan sejumlah keahlian yang mendampingi hard skilled. Dan saya kira kita bisa melakukannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

 

[1] Makalah disampaikan di dalam acara Diskusi pada Program Pasca sarjana IAIN Pontianak, pada tanggal 19 Nopember 2018.

[2] Guru Besar Sosiologi pada UIN Sunan Ampel Surabaya. Menyelesaikan program sarjana di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, Program PPs Universitas Airlangga dan program Doktor pada PPs Universitas Airlangga. Pernah menjadi Rektor IAIN Sunan Ampel tahun 2009-2012, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag 2012-2014 dan Sekjen Kemenag 2014-2018. Aktif pada organisasi sosial keagamaan seperti Badan Wakaf Indonesia, Masyarakat Ekonomi Syariah dan juga Dewan Pengawas Syariah Bank Jatim Syariah.

Categories: Opini
Comment form currently closed..