Prof. Dr. Nur Syam, M.Si
MENGEMBANGKAN TATA KELOLA PTKN DI ERA PERUBAHAN
MENGEMBANGKAN TATA KELOLA PTKN DI ERA PERUBAHAN[1]
Prof. Dr. Nur Syam, M.Si[2]
Pengantar
Kita tidak bisa terus menerus mengelola lembaga pendidikan tinggi sebagaimana masa lalu. Kita sudah mengalami banyak perubahan, baik dari sisi manajerial, sistem pendidikan, dan tuntutan masa depan yang lebih realistis. Kita sudah memasuki era yang tidak kita sangka-sangka sebelumnya –karena kita berada di ruang yang kedap perubahan—sehingga nyaris kita tidak merasakan bahwa di depan ada tantangan yang luar biasa besar.
Kita sedang berada di era highly information technology. Dan rasanya kita bisa tertinggal di tengah yang lain-lain yang terus menerus mengejarnya. Di era ini, banyak hal yang kemudian dilabel dengan konsep disruptif: “era yang tidak menentu, yang tiba-tiba berubah, yang tidak mudah untuk diikuti”. Sungguh di era inilah kita harus mengembangkan perguruan tinggi yang tantangannya tentu sangat mendasar dan sangat variatif.
Perguruan tinggi memang memanggul tugas untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) terbaik di masa depan. Makanya, diperlukan kesiapan yang ekstra keras untuk menggapai tujuan pendidikan, yaitu menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas, kompetitif dan berbudi luhur.
Era Disruptif
Perubahan sosial sebenarnya berjalan sangat cepat. Jika di masa lalu, perubahan sosial itu bercorak evolusioner –perlahan-lahan tetapi pasti—akan tetapi sekarang justru sebaliknya, perubahan itu terjadi secara revolusioner –sangat cepat dan nyaris tidak terkendali—sehingga jika kita tidak siap maka bersiap-siaplah untuk ditinggalkan oleh perubahan tersebut.
Salah satu yang berkembang sangat cepat ialah teknologi informasi. Kita rasanya baru saja menikmati telepon konvensional –dari rumah ke rumah—lalu berubah menjadi telepon genggam atau hand phone, yang memberikan kemudian dalam berkomunikasi, dan pada masa awal hanya memiliki dua aplikasi saja yaitu untuk berbicara dan mengirim short massage, tanpa aplikasi lainnya.
Saya masih ingat pada tahun 2000an masih ada desa-desa yang tidak terjangkau dengan listrik dari Telkom, tetapi dua tahun kemudian sudah muncul telepon genggam, dan bisa digunakan untuk melakukan kontak personal dan mengirimkan berita melalui short messenger dan beberapa tahun kemudian muncul aplikasi-aplikasi baru misalnya untuk main game, untuk mengirim gambar dan sebagainya.
Dan beberapa tahun kemudian, dengan ditemukannya system android, maka muncullah berbagai hal yang revolusioner tentang kegunaan telepon genggam itu. Sekarang kita bisa mengenal ada sedemikian banyak aplikasi yang ditawarkan oleh smart phone, termasuk untuk digital money, elektronik perdagangan atau e-commerce, transfer uang dan bahkan untuk membangun persahabatan dan juga permusuhan.
Teknologi informasi juga berkembang dengan cepat, misalnya di tahun 90-an hanya terdapat telegram, fotocopi dan faximile, lalu berembang ke email yang bisa menjadi percepatan untuk mengirimkan surat atau berita atau lainnya terutama dalam menggantikan informasi atau surat yang dikirim secara konvensional. Jadi, terdapat perubahan yang sangat cepat pada tahun 2000-an dan sekarang berkembang lebih dahsyat lagi dengan adanya berbagai system aplikasi yang sangat cepat berkembang. Misalnya WA, Skype, Instagram, twitter dan sebagainya. Dengan perkembangan ini , maka sudah tidak ada lagi jarak antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, karena dunia sudah tersambungkan dengan sedemikian rupa. Sungguh kita berada di dalam dunia yang tanpa jarak. No distance disebabkan hadirnya dunia maya dewasa ini.
Jika dunia dengan perubahannya itu sedemikian cepat, lalu apa yang akan terjadi jika para pengelola pendidikan tinggi tidak melakukan banyak perubahan untuk mengejar dan atau bersama-sama dengan perubahan tersebut dalam mengelola institusi pendidikannya. Di sinilah sesungguhnya kita semua ditantang untuk terus berkarya dan berubah dalam rangka untuk memperoleh produk pendidikan yang berdaya guna di masa depan.
Tantangan Pendidikan Tinggi
Saya mencoba untuk memetakan problem mendasar, terutama lembaga Pendidikan Tinggi Kristen. Pendidikan Tinggi Kristen memang tergolong masih muda usianya dibandingkan dengan lembaga Pendidikan Tinggi Islam. Itulah sebabnya masih banyak tantangan dan kendala yang dihadapinya sebagai bagian dari problem umum di lembaga pendidikan tinggi.
Pertama, tantangan manajemen berbasis kepuasan pelanggan. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, rasanya kita masih mengelola apa adanya. Tata kelola yang kita kembangkan masih menggunakan cara lama, yaitu manajemen tahun 80-an, yaitu planning, organizing, actuating and controlling. Jadi pokok pangkal dari menejemen itu membuat perencanaan, mengorganisasikan bagian-bagian yang akan mengerjakannya, melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dan kemudian melakukan pengawasan.
Di dalam perencanaan juga tidak menggunakan basis kebutuhan, analisis situasi sosial dan pemilihan alternatif-alternatif dan memutuskan alternatif mana yang sangat urgen, akan tetapi “copy paste’ terhadap program dan kegiatan sebelumnya dan dijadikan sebagai pedoman menyusun anggaran. Jadi banyak pikiran-pikiran kreatif dan visioner yang tidak tertampung di dalam perencanaan.
Lalu, pengorganisasian sesungguhnya juga tidak diperlukan sebab secara organisatoris sudah didapatkan fungsi dan perannya masing-masing. Setiap lembaga pemerintah sudah memanggul tugas yang jelas sesuai dengan ketentuan regulasi yang mengaturnya. Jadi begitu ada perencanaan yang implementable semestinya semua bergerak untuk melaksanakannya.
Evaluasi sesungguhnya juga pekerjaan yang compatible pada unit masing-masing dengan bidang tugas atau tupoksinya. Tidak lagi diperlukan monitoring dan evaluasi secara khusus sebab pengawasan itu melekat pada tupoksinya. Hanya saja memang diperlukan evaluasi secara structural dari bawahan kepada atasannya, dalam kerangka melakukan pengecekan secara berkala tetapi sistematis.
Kedua, SDM yang dirasakan masih kurang dan jika terdapat SDM dirasakan belum memenuhi standart dan kualifikasi yang seharusnya dimilikinya. Harus diakui bahwa SDM kita sangat kurang. Jumlah pendidik dan tenaga kependidikan kita masih pincang. Belum didapatkan keterlengkapan SDM sesuai dengan standart dan kualifikasi yang memadai. Akibatnya, banyak dosen yang harus mengajar tidak sesuai dengan keahliannya dan hanya memenuhi ketercukupan beban kerja yang dibebankan kepadanya. Problem ini tentu bertali temali dengan masih rendahnya kualitas pendidikan yang diinginkan oleh semua pihak, yaitu pendidikan berkualitas sesuai dengan harapan nusa dan bangsa.
Ketiga, problem infrastuktur akademis. Harus dinyatakan bahwa anggaran pendidikan kita memang sangat terbatas. Rasanya belum cukup untuk membanun infrastuktur akademis. Misalnya laboratorium, pusat-pusat keunggulan, jurnal terindeks internasional, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dan sebagainya. Ada banyak riset tetapi tidak bisa tertampung di dalam jurnal nasional terakreditasi atau bahkan jurnal internasional. Bisa dihitung dengan jari, jurnal di PTKN yang terakreditasi di SINTA Kemenristekdikti. Meskipun standart IV atau V. Ada berapa banyak pusat keunggulan yang kita miliki sebagai jawaban atas tantangan masa depan bangsa dan negara ini. Belum lagi tantangan akreditasi yang ke depan mestilah menjadi tolok ukur kualitas pendidikan. Kita harus memenuhi Sembilan standart kualifikasi pendidikan tinggi, sesuai dengan regulasi baru dari BAN PT.
Keempat, tantangan era digital yang sudah di pelupuk mata kita, dan bahkan sudah berada di tengah-tengah kehidupan kita. Sekarang sudah bukan lagi saatnya untuk menyatakan: “kami di daerah, dan itu hanya terjadi di pusat saja” atau pernyataan: “itu urusan orang kota besar, kita kan di daerah saja”. Penggunaan media sosial sudah menjadi bagian tidak terpisahkan di dalam kehidupan kita. Sekarang berdasarkan data (2017), bahwa pengguna telepon genggam itu di perkotaan 55 persen dan pedesaan 45 persen. Artinya, sudah tidak ada lagi perbedaan perkotaan dan perdesaan dalam penggunaan media teknologi informasi.
Tantangan ini sedemikian serius. Sebab di era sekarang ini kita sedang berhadapan dengan artificial intelligent (AI) yang sungguh dahsyat pengaruhnya bagi dunia pendidikan terutama dalam penyiapan tenaga terdidik untuk dunia pekerjaan. Dan kita tidak bisa melawan terhadapnya, dan kita hanya bisa menyiapkan diri sambil mengembangkan pendidikan dengan basis pengetahuan, ilmu dan keterampilan yang baik. Terutama yang sangat merasa terpukul ialah tentang penyiapan tenaga kerja di masa yang akan datang.
Dunia pendidikan tinggi akan merasakan tekanan AI ini dengan harap-harap cemas. Sebab AI itu luar biasa dilihat dari kekuatan, kecepatan dan keakuratannya. Manusia dengan kemampuan apapun tidak akan mampu melawannya. Manusia tidak bisa bekerja 24 jam apalagi lebih, akan tetapi robot akan bisa bekerja sesuai dengan saat kapan dia akan berhenti bekerja. Makanya, kita harus menyiapkan mitra didik kita secara baik agar ke depan dapat melakukan kompetisi di tengah era disruptif dan AI ini.
Beberapa Catatan Alternative.
Dari tantangan di atas kiranya ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan, yaitu:
Pertama, mengembangkan manajemen kinerja yang berbasis pada kepuasan pelanggan. Para stakeholder kita harus memberikan apresiasi atas program dan pelayanan program pendidikan yang kita berikan. Dengan demikian, cara kita memanej harus diubah menjadi lebih baik. Kita tinggalkan POAC diganti dengan PDCA atau plan, do check, action. Begitu perencanaan berbasis kebutuhan bisa dihasilkan, maka segera laksanakan sesuai dengan tupoksi masing-masing, lakukan pengawasan internal atau pengawasan melekat dan setelah itu dibenahi mana yang belum berhasil atau tidak sesuai dengan tujuan. Total quality Management (TQM) menjadi ciri khas di dalam manajemen kinerja ini.
Managemen pemerintah di era sekarang sudah menerapkan manajemen kinerja, itu artinya kita harus menyelenggarakan tata kelola pendidikan tinggi dengan menerapkannya secara memadai.
Kedua, kita sadar keterbatasan pemerintah di dalam menyediakan SDM yang andal sebagai akibat keterbatasan anggaran. Tetapi juga menjadi perhatian juga bahwa di saat pemerintah membuat regulasi standarisasi kelulusan CPNS ternyata hanya terisi 4 persen dari seluruh kebutuhan. Itu artinya ada kesenjangan antara apa yang diminta dengan ketersediaan SDM yang kuat. Oleh karena itu dunia pendidikan tinggi juga harus menyiapkan SDM yang bagus dalam hal Test Inteligensi Umum (TIU), Test Wawasan Kebangsaan (TWK) dan juga Test Kemampuan Pribadi (TKP). Di dalam konteks ini, maka kita tentu bisa menyiapkan tenaga-tenaga yang baik ke depan agar siap untuk berkompetisi.
Ketiga, menyiapkan program pendidikan lanjut, menyiapkan jurnal berkualitas, menyiapkan program pembelajaran yang memadai, perbaikan kualitas akreditasi dan sebagainya menjadi tanggungjawab semua civitas akademika. Peran kepemimpinan menjadi penting, tetapi keterlibatan semuanya juga sangat dibutuhkan.
Keempat, harus ada keberanian untuk melakukan review curriculum di era sekarang ini di dalam menghadapi era teknologi informasi. Boleh saja, hard skillednya ahli di bidang agama, tetapi pengetahuan dan keterampilan di bidang teknologi informasi tidak boleh rendah. Siapkan semua elemen untuk mendukung hal ini karena tantangan ke depan luar biasa beratnya.
Kita tidak boleh pessimis sebab Tuhan menganugerahkan kemampuan manusia lebih dari sekedar benda atau lainnya. Manusia memiliki kecerdasan yang luar biasa dan tinggal bagaimana kita mengembangkannya untuk kepentingan yang lebih unggul di masa depan. Kiranya diperlukan “literasi media” atau “literasi digital” untuk menjawab tantangan yang hebat ini. Dan saya yakin kita semua bisa.
Wallahu a’lam bi al shawab.
[1] Makalah disampaikan di dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Kupang, tanggal 22 Nopember 2018.
[2] Guru Besar Sosiologi pada UIN Sunan Ampel Surabaya. Menyelesaikan S1 pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, menyelesaikan program master dan doctor di Universitas Airlangga Surabaya. Pernah menjadi Rektor IAIN Sunan Ampel, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag 2012-2014, Sekretaris Jenderal Kemenag 2014-2018.
MENJAGA KEINDONESIAAN DI PTKIN (2)
MENJAGA KEINDONESIAAN DI PTKIN (2)
Ada yang menarik disampaikan oleh Prof. Dr. Muhibbin Syah, MEd., dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung dalam seminar Nasional yang diselenggarakan oleh IAIN Pontianak, 19/11/2018. Beliau menyatakan: “Khilafah itu artinya system pemerintahan. Jadi ada system pemerintahan kerajaan, system demokrasi dan Indonesia itu sistemnya ialah Khilafah NKRIyah. Jadi jangan berebut mau membikin khilafah Islamiyah dan seterusnya, karena bentuknya malah tidak jelas. Di Arab Saudi system khilafah Islamiyahnya itu berbentuk kerajaan, di Mesir itu sistemnya jumhuriyah, dan seterusnya. Jadi tidak usah berusaha untuk membuat sesuatu yang tidak jelas arahnya”. Begitu penjelasannya.
Penjelasan seperti ini menjadi menarik di tengah adanya upaya-upaya kalangan tertentu untuk mendirikan khilafah Islamiyah seperti yang digerakkan oleh HTI dan sebagian kecil masyarakat Indonesia lainnya. Saya sangat sependapat dengan pandangan Beliau sebab memang jangan sampai ada keinginan untuk menjadikan Indonesia yang besar ini sebagai eksperimen untuk mendirikan negara baru, yang justru bukan untuk membangun kesejahteraan tetapi justru untuk membuat konflik atau peperangan.
Di dalam seminar ini ada pertanyaan menarik dari dosen, Pak Syahrani, yang menanyakan: “sekarang ini terjadi ketiadaan tabayyun terhadap gerakan yang dilakukan oleh FPI. Selama ini yang diberitakan tentang FPI bukan yang baik tetapi yang jelek-jelek. Padahal FPI banyak melakukan kegiatan yang positif misalnya memberikan bantuan pada masyarakat, memberikan donasi untuk korban gempa dan sebagainya. Mengapa yang diberitakan yang jelek-jelek saja. Mestinya harus ada keseimbangan supaya masyarakat tahu juga kalau FPI bukan gerakan kejelekan. FPI itu untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Saya ini FPI tetapi NU kultural.” Tegasnya.
Pertanyaan ini sangat menarik. Secara kelakar saya sampaikan bahwa: “hari ini saya menemukan judul penelitian menarik, yaitu bagaimana proses orang NU menjadi FPI dan bagaimana pengaruh FPI terhadap orang NU”. Saya tegaskan bahwa menjadi anggota organisasi apapun, selain yang dilarang oleh pemerintah, itu boleh. Undang-Undang dan HAM membolehkannya. Hanya saja yang penting bahwa di dalam organisasi itu jangan ada keinginan untuk mengganti Pancasila dan NKRI. Jangan ada keinginan untuk mendirikan negara baru di atas NKRI. Kalau itu yang dilakukan namanya sudah makar. Bisa diamankan. Saya berharap agar FPI jangan sampai menjadi kuda tunggangan oleh organisasi lain yang berkeinginan berbeda dengan masyarakat dan pemerintah Indonesia. Ingin mendirikan khilafah Islamiyah atau sejenisnya. Ini yang harus diwaspadai.
Saya tetap beranggapan bahwa FPI itu Islam ala ahli sunnah wal jamaah. Tetapi kalau misalnya unjuk rasa lalu yang tampil bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid, yang itu adalah bendera ISIS atau bendera HTI dan orasinya menyebut akan mendirikan negara khilafah Islamiyah, lalu apa jadinya. Inilah yang harus menjadi perhatian semuanya. Jangan sampai kita itu melakukan sesuatu yang sesungguhnya bertentangan dengan kehendak masyarakat Indonesia. Ini yang harus diwaspadai dengan seksama oleh komponen dan eksponen organisasi FPI. Sederhana saja, hilangkan aura dan warna menentang NKRI dan Pancasila, maka semuanya selesai.
Yang juga menarik ialah pertanyaan mengenai apa peran PTKIN di tengah misalnya persoalan perbatasan, masalah hubungan antara suku dan agama di Kalimantan Barat, serta masalah pendidikan bagi anak-anak Indonesia di era sekarang ini?. Pertanyaan ini sangat bagus, dan saya ingin memberikan gambaran bahwa masalah perbatasan merupakan masalah yang kompleks dan haus menjadi perhatian kita semua. Beberapa tahun yang lalu saya menyampaikan konsep wilayah perbatasan sebagai halaman depan NKRI. Jadi halaman depan NKRI bukanlah Jakarta, yang selama ini menjadi rujukan untuk melihat kemajuan Indonesia. Tetapi sebenarnya halaman depan itu adalah wilayah perbatasan tersebut. Padahal di wilayah perbatasan masih terdapat sejumlah desa-desa tertinggal. Masih ada sebanyak 180-an desa-desa tertinggal. Makanya pemerintah harus mengedepankan pembangunan wilayah perbatasan. Inilah yang sekarang dikonsepsikan oleh Pak Jokowi dengan membangun mulai dari pinggiran.
Pertanyaan lain dari Bu Direktur PPs, yang menyatakan bahwa perlu juga IAIN Pontianak menjadi bagian dari upaya untuk membangun kekuatan bela negara, sebab di dalam forum di Jakarta, bahwa IAIN Pontianak akan dijadikan mitra oleh Kemenhankam untuk bekerja sama dalam mengembangkan bela negara. Selain itu juga diperlukan wadah untuk membangun kesepahaman antar warga Kalimantan Barat agar terus membina kerukunan bermasyarakat dan beragama.
Saya sampaikan bahwa kekuatan kita itu ialah pada kemampuan untuk bekerja sama antar etnis, agama dan suku. Kita ini terdiri dari 1340 suku bangsa dan 546 bahasa, dan juga agama yang bervariasi, akan tetapi kita bisa menjalin hidup yang damai tanpa kekerasan. Bayangkan di Afghanistan itu hanya ada sebanyak tujuh suku bangsa saja, tetapi perangnya tidak usai hingga hari ini.
Di dalam konteks ini, maka IAIN Pontianak bisa menjadi pusat-pusat kajian dan aksi, misalnya membangun Center of Religious Harmony, membangun Center of Development of Periphery Area, Center of defend the country, dan sebagainya. Kita pasti bisa melakukannya, sebab kita memiliki modalitas yang cukup. Modalitas budaya, modalitas politik, modalitas kearifan local, modalitas kerjasama dan sebagainya. Saya yakin kita bisa asalkan kita mau bergerak dan tidak diam seribu bahasa.
Wallahu a’lam bi al shawab.
MENJAGA KEINDONESIAAN DI PTKN (1)
MENJAGA KEINDONESIAAN DI PTKN (1)
Di dalam acara Seminar Nasional yang digelar oleh IAIN Pontianak, saya diminta untuk menjadi narasumbernya. Selain saya, juga hadir Prof. Dr. Muhibbin Syah, MEd, dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Acara ini dibaeri tajuk “Isu-Isu Pendidikan pada Abad ke 21”. Sebuah acara yang menarik karena mengusung tema pendidikan, sebuah program pemerintah yang tidak lelah untuk dibicarakan, dibedah dan dicari solusinya.
Acara ini dibuka oleh Rektor IAIN Pontianak, DR. Syarif, dan diikuti oleh sejumlah mahasiswa Pascasarjana IAIN Pontianak, para pejabat dan segenap tenaga kependidikan. Hadir Dr. Misdah, MPd. (Direktur PPs), Dr. Syamsul Hidayat (Wadir PPs), Dr. Saifuddin Herlambang (Wakil Rektor II), Dr. Saifullah (Kaprodi EI PPs), Dr. Hariansyah, MPsi., (Kapro PAI PPs), Dr. Rahmad, MAg., (Sekpro EI PPs), Dr. Wahab (Sekpro PAI PPs), Dr. Ahmad Hasan, MAg. (Ka LPM) dan Kepala Perpustakaan.
Di dalam pengantarnya, Rektor menyatakan bahwa ada banyak mimpi yang diinginkannya, misalnya ialah IAIN Pontianak menjadi pusat kajian yang unggul dan kompetitif dalam bidang keilmuan Islam multidisipliner, pusat kajian pembangunan masyarakat berbasis kearifan lokal, keinginan untuk memperkuat digitalisasi pelayanan public dan lainnya. Tahun depan harus sudah ada system presensi berbasis finger print untuk mahasiswa. Sekarang sudah dilakukan untuk pegawai, maka ke depan harus diberlakukan untuk mahasiswa. Selain itu tugas kita ialah memperkuat basis keagamaan mahasiswa yang porsinya masih 80 peren berasal dari lembaga pendidikan umum, dan hanya 20 persen saja yang berasal dari Madrasah Aliyah. Di dalam acara ini saya sampaikan beberapa hal, yaitu:
Pertama, kita hidup di era yang disebut sebagai era millennial. Di era inilah teknologi informasi mencapai titik tertinggi dalam pengaruhnya terhadap manusia. Era yang disebut sebagai Revolusi Industri 4.0. Era ini ditandai dengan hadirnya Artificial intelligent (AI) yang sangat tinggi kualitasnya dan luar biasa pengaruhnya bagi manusia, khususnya dunia kerja.
Robot adalah salah satu di antara yang dikhawatirkan akan mengganti posisi manusia ke depan terkait dengan dunia kerja. AI tersebut sesungguhnya ada beberapa macam, yaitu: computer game, jaringan saraf, jaringan fuzzy, robot dan system pakar. AI ialah system kecerdasan yang ditambahkan ke dalam computer atau barang melalui system ilmiah. Jadi, robot bukan satu-satunya AI di era sekarang. Sistem pakar dan system fuzzy sudah digunakan oleh dunia perusahaan untuk memperkuat pengambilan keputusan, terutama yang berbasis data yang kompleks.
Sebagai bagian dari high information technology, maka juga tumbuh berkembang dengan pesat smart phone, yang dapat dijadikan sebagai sarana bermedia sosial. Dewasa ini kemampuan manusia untuk bermedia sosial tersebut luar biasa, dan hal ini dipicu oleh kepemilikan media sosial yang sangat tinggi. Di Indonesia jumlah kepemlikan HP sebesar 361,7 juta orang. Angka yang sangat tinggi dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berjumlah 236 juta atau sebesar 142 persen.
Oleh karena itu menjadi wajar jika medsos menjadi sangat ramai di tengah cyber war. Bisa dibayangkan bagaimana di tengah cyber war ini terjadi pertarungan antar calon persiden dan wakil presiden yang sangat mengedepan. Media sosial menjadi hiruk pikuk karena semakin mendekatnya tahun politik. Tanggal 17 April tentu semakin dekat.
Kedua, Lalu, apa yang menjadi tantangan pendidikan tinggi kita sekarang dan yang akana datang? Kita sekarang sedang berada di era yang tidak pernah kita bayangkan, yaitu era AI dan dipastikan akan sangat mempengaruhi terhadap masa depan generasi muda Indonesia. berdasarkan beberapa survey bahwa AI akan berpengaruh terhadap dunia pekerjaan dan diperkirakan akan terdapat sebanyak 800 juta pekerjaan yang akan digantikan dengan AI atau robot pintar. Kemudian yang tidak kalah penting juga mengenai tantangan pemahaman keagamaan yang cenderung keras. Sehingga melahirkan pemikiran untuk mengganti Pancasila dengan ideology lain, khususnya ideology khilafah Islamiyah. Makanya, yang harus dipikirkan ialah bagaimana kita harus melakukan berbagai tindakan agar kekuatan anti-Pancasila tidak semakin membesar dan semakin menguat. Jangan berikan peluang kepada mereka melakukan “makar” terhadap pemerintah yang absah.
Ketiga, Tantangan berikutnya terkait dengan cyber war yang sekarang juga menuai kebangkitan yang luar biasa. Sebagaimana diketahui bahwa menjelang pemilu dipastikan hoax dan ujaran kebencian akan merajalela. Dan kenyataan di lapangan sudah membuktikan bahwa hoax semakin meningkat jumlah dan kualitasnya. Demikian pula ujaran kebencian, disinformasi, character assassination dan sebagainya. Oleh karena itu, para mahasiswa dan civitas academika IAIN Pontianak harus cerdas untuk menyikapi terhadap era cyber war ini terutama menjelang pemilu yang sebentar lagi akan menghampiri kita semua.
Berangkat dari tantangan ini, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan sebagai harakah dan bukan hanya menjadi halaqah, yaitu: melakukan perubahan untuk menyongsong era digital atau era AI. Kita harus membangun kurikulum yang memadai untuk menyambut kehadirannya. Misalnya ialah dengan memberikan porsi yang cukup untuk memperuat basis pengetahuan dan keterampilan IT sehingga para mahasiswa akan melek teknologi informasi untuk kepentingan kebaikan. Agar diupayakan review kurikulum dengan mempertimbangkan lingkungan sosial dan perubahan dunia yang sedemikian dahsyat.
Kemudian, juga memberikan benteng moral dan pengetahuan yang cukup kepada mahasiswa agar tidak terjebak pada pikiran dangkal untuk mengikuti ajakan yang tidak cocok bagi masyarakat Indonesia yang plural dan multicultural dengan pemahaman agama yang wasathiyah. Masyarakat Indonesia yang multi etnis dan multiagama tentu sangat cocok dengan agama yang wasathiyah ini. Selalu menempuh jalan damai dan bukan jalan konflik apalagi peperangan. Jangan jadikan Indonesia sebagai Afghanistan, Iraq, Syria dan sebagainya.
Lalu, agar semuanya memperkuat terhadap kualitas pendidikan sebab tahun depan sudah akan dimulai rencana baru pembangunan nasional dan di antara yang mendasar ialah pendidikan berkualitas. Makanya, semua civitas akademica agar berpikir dan memantapkan tujuan agar pendidikan di Indonesia menjadi lebih bermutu, baik dosen, mahasiswa, program pembelajaran, penelitian, pengabdian masyarakat dan sebagainya. Hanya dengan cara seperti ini maka kita akan bisa bersaing di masa depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
MAULID NABI MAULID KITA
MAULID NABI MAULID KITA
Tidak terasa Maulid Nabi sudah berada di pelupuk mata. Hari ini (19/11/18) kita akan memperingati kelahiran Manusia Agung, Nabi Muhammad sallalahu alaihi wasallam (saw), yang jatuh pada hari Senin, 20 November 2018. Beliau dilahirkan pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah atau bertepatan tanggal 22 April tahun 571 M.
Setiap tahun kita memperingati hari Kelahiran Nabi Muhammad saw, artinya bahwa setiap tahun pula kita bersentuhan dengan hari bersejarah di dalam kehidupan ini. Lalu apa sesungguhnya makna memperingati Kelahiran Nabi Muhammad saw itu bagi kehidupan kita? Masih relevankah memperingati hari itu sebagai penanda kita sebagai umat Islam? Pertanyaan ini rasanya penting untuk dikemukakan dalam kaitannya dengan upaya perbaikan kualitas kehidupan kita, tidak hanya dari dimensi kepatuhan kepada ajarannya, akan tetapi juga kualitas kehidupan kita secara umum.
Jika kita lacak secara tekstual, maka kehadiran Nabi Muhammad saw adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, “innama buistu liutammima makarim al akhlaq” atau arti secara generalnya ialah “sesungguhnya aku diutus oleh Allah untuk memperbaiki keutamaan akhlaq manusia.” Betapa agungnya Allah menurunkan Nabi Muhammad saw itu dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas akhlak manusia yang diketahui jelek dan bahkan diprediksi juga akan jelek. Makanya, kehadirannya sebagai penanda hadirnya pedoman untuk membangun akhlak yang hebat, akhlak yang terpuji.
Sebagai pedoman bagi tindakan, agama memang dihadirkan untuk menjadi tolok ukur bagi perilaku manusia, sehingga ada yang disebutnya sebagai “ashab al yamin” da nada “ashab al syimal”. Manusia yang digolongkan sebagai “orang yang baik dilambangkan dengan kanan, dan orang yang jahat yang dilambangkan dengan kiri”. Manusia yang baik adalah mereka yang saleh secara teologis atau saleh ritual dan juga saleh sosial. Digambarkan bahwa manusia tidak cukup saleh ritual saja, hidupnya hanya untuk Tuhan saja, dan melupakan terhadap kehidupannya sendiri. Orang yang baik ialah yang bisa menyeimbangkan antara saleh ritual dan saleh sosial tersebut.
Makanya, agama mengajarkan agar dalam harta, misalnya, tidak menumpuk dalam diri satu atau dua orang atau satu kelompok orang, atau akumulasi modal yang bisa disebut sebagai bentuk kapitalisme. Harta harus diberikan kepada yang juga berhak menerimanya, sebab ada hak yang melekat pada orang lain. Inilah di dalam Islam disebut sebagai zakat yang memang harus ditunaikan sebagai pertanggungjawaban atas harta yang dimilikinya.
Jadi di dalam agama ini diajarkan tentang bagaimana kesalehan ritual dalam menjalankan agamanya itu berimbas pada kesediaan untuk berbagai dengan orang lain dan memberikan hak kepada orang lain yang memang memilikinya. Di sinilah makna penting bagaimana seseorang bisa menjaga relasi dengan Tuhan dan sekaligus juga membangun relasi dengan sesama manusia.
Agama ini mengajarkan agar selalu menebar keselamatan. Di dalam teks disebutkan “afsyus salam” atau arti generiknya ialah “tebarkanlah kedamaian atau keselamatan”. Dengan demikian, agama ini mengajarkan agar hamba Nabi Muhammad saw selalu menebarkan keselamatan kepada seluruh alam. Artinya tidak hanya keselamatan sesama manusia akan tetapi juga keselamatan bagi seluruh makhluk dan alam di sekeliling kita.
Manusia tidak akan bisa selamat dengan cara alam ini kita rusak. Kerusakan ekosistem akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Sebagai contoh ketika ular diburu untuk dimusnahkan, dan burung-burung pemakan tikus juga diburu untuk diperdagangkan, maka jumlah tikus akan merajalela, sehingga akan merusak pertanian kita dan itu artinya ekosistem tidak terjaga dengan baik dan akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Allah sudah membuat alam ini dengan keseimbangan yang sangat rapi dan semuanya diperuntukkan bagi kebaikan manusia.
Di kala hutan dirusak dengan illegal logging, maka juga dipastikan akan terdapat kerusakan ekosistem sebab hutan merupakan penyangga air tanah yang sangat baik. Jika hutan rusak, maka akan terjadi ketidakseimbangan ekosistem yang akan berakibat kerusakan sumber mata air dan juga akan terjadi banjir bandang yang bisa merusak kehidupan manusia. Jadi sebenarnya Tuhan sudah mengatur segala sesuatu dengan desain dan manajemen yang sangat rapi dan baik. Jika manusia tidak melakukannya sesuai dengan pedoman ajaran agamanya dipastikan alam akan menjadi rusak dan manusia jualah yang akan menanggung akibatnya.
Ini hanya sebagian kecil saja dari bagaimana kita dalam hal yang sangat elementer harus menjadikan ajaran Nabi Muhammad saw sebagai pedoman di dalam menjalankan kehidupan. Padahal seluruh kehidupan ini sudah ditata dengan desain dan manajemen kehidupan yang rapi dan sempurna. Jika kita tidak menjalankannya dengan sebaik-baiknya berarti kita tidak melakukan yang terbaik bagi kehidupan ini.
Memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw, sesungguhnya adalah sarana bagi kita untuk merefleksikan kehidupan ini apakah sudah sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw ataukah belum. Yang diharapkan dari peringatan itu bukan hanya dengan ritual yang kita kenal selama ini, tetapi dengan mencoba mereview kehidupan kita, sudahkah kita meneladani perilaku dan tindakan Nabi Muhammad saw. Dan itu adalah tugas kita semua.
Wallahu a’lam bi al shawab.
