Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENJAGA KEINDONESIAAN DI PTKIN (2)

MENJAGA KEINDONESIAAN DI PTKIN (2)

Ada yang menarik disampaikan oleh Prof. Dr. Muhibbin Syah, MEd., dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung dalam seminar Nasional yang diselenggarakan oleh IAIN Pontianak, 19/11/2018. Beliau menyatakan: “Khilafah itu artinya system pemerintahan. Jadi ada system pemerintahan kerajaan, system demokrasi dan Indonesia itu sistemnya ialah Khilafah NKRIyah. Jadi jangan berebut mau membikin khilafah Islamiyah dan seterusnya, karena bentuknya malah tidak jelas. Di Arab Saudi system khilafah Islamiyahnya itu berbentuk kerajaan, di Mesir itu sistemnya jumhuriyah, dan seterusnya. Jadi tidak usah berusaha untuk membuat sesuatu yang tidak jelas arahnya”. Begitu penjelasannya.

Penjelasan seperti ini menjadi menarik di tengah adanya upaya-upaya kalangan tertentu untuk mendirikan khilafah Islamiyah seperti yang digerakkan oleh HTI dan sebagian kecil masyarakat Indonesia lainnya. Saya sangat sependapat dengan pandangan Beliau sebab memang jangan sampai ada keinginan untuk menjadikan Indonesia yang besar ini sebagai eksperimen untuk mendirikan negara baru, yang justru bukan untuk membangun kesejahteraan tetapi justru untuk membuat konflik atau peperangan.

Di dalam seminar ini ada pertanyaan menarik dari dosen, Pak Syahrani, yang menanyakan: “sekarang ini terjadi ketiadaan tabayyun terhadap gerakan yang dilakukan oleh FPI. Selama ini yang diberitakan tentang FPI bukan yang baik tetapi yang jelek-jelek. Padahal FPI banyak melakukan kegiatan yang positif misalnya memberikan bantuan pada masyarakat, memberikan donasi untuk korban gempa dan sebagainya. Mengapa yang diberitakan yang jelek-jelek saja. Mestinya harus ada keseimbangan supaya masyarakat tahu juga kalau FPI bukan gerakan kejelekan. FPI itu untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Saya ini FPI tetapi NU kultural.” Tegasnya.

Pertanyaan ini sangat menarik. Secara kelakar saya sampaikan bahwa: “hari ini saya menemukan judul penelitian menarik, yaitu bagaimana proses orang NU menjadi FPI dan bagaimana pengaruh FPI terhadap orang NU”. Saya tegaskan bahwa menjadi anggota organisasi apapun, selain yang dilarang oleh pemerintah, itu boleh. Undang-Undang dan HAM membolehkannya. Hanya saja yang penting bahwa di dalam organisasi itu jangan ada keinginan untuk mengganti Pancasila dan NKRI. Jangan ada keinginan untuk mendirikan negara baru di atas NKRI. Kalau itu yang dilakukan namanya sudah makar. Bisa diamankan. Saya berharap agar FPI jangan sampai menjadi kuda tunggangan oleh organisasi lain yang berkeinginan berbeda dengan masyarakat dan pemerintah Indonesia. Ingin mendirikan khilafah Islamiyah atau sejenisnya. Ini yang harus diwaspadai.

Saya tetap beranggapan bahwa FPI itu Islam ala ahli sunnah wal jamaah. Tetapi kalau misalnya unjuk rasa lalu yang tampil bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid, yang itu adalah bendera ISIS atau bendera HTI dan orasinya menyebut akan mendirikan negara khilafah Islamiyah, lalu apa jadinya. Inilah yang harus menjadi perhatian semuanya. Jangan sampai kita itu melakukan sesuatu yang sesungguhnya bertentangan dengan kehendak masyarakat Indonesia. Ini yang harus diwaspadai dengan seksama oleh komponen dan eksponen organisasi FPI. Sederhana saja, hilangkan aura dan warna menentang NKRI dan Pancasila, maka semuanya selesai.

Yang juga menarik ialah pertanyaan mengenai apa peran PTKIN di tengah misalnya persoalan perbatasan, masalah hubungan antara suku dan agama di Kalimantan Barat, serta masalah pendidikan bagi anak-anak Indonesia di era sekarang ini?. Pertanyaan ini sangat bagus, dan saya ingin memberikan gambaran bahwa masalah perbatasan merupakan masalah yang kompleks dan haus menjadi perhatian kita semua. Beberapa tahun yang lalu saya menyampaikan konsep wilayah perbatasan sebagai halaman depan NKRI. Jadi halaman depan NKRI bukanlah Jakarta, yang selama ini menjadi rujukan untuk melihat kemajuan Indonesia. Tetapi sebenarnya halaman depan itu adalah wilayah perbatasan tersebut. Padahal di wilayah perbatasan masih terdapat sejumlah desa-desa tertinggal. Masih ada sebanyak 180-an desa-desa tertinggal. Makanya pemerintah harus mengedepankan pembangunan wilayah perbatasan. Inilah yang sekarang dikonsepsikan oleh Pak Jokowi dengan membangun mulai dari pinggiran.

Pertanyaan lain dari Bu Direktur PPs, yang menyatakan bahwa perlu juga IAIN Pontianak menjadi bagian dari upaya untuk membangun kekuatan bela negara, sebab di dalam forum di Jakarta, bahwa IAIN Pontianak akan dijadikan mitra oleh Kemenhankam untuk bekerja sama dalam mengembangkan bela negara. Selain itu juga diperlukan wadah untuk membangun kesepahaman antar warga Kalimantan Barat agar terus membina kerukunan bermasyarakat dan beragama.

Saya sampaikan bahwa kekuatan kita itu ialah pada kemampuan untuk bekerja sama antar etnis, agama dan suku. Kita ini terdiri dari 1340 suku bangsa dan 546 bahasa, dan juga agama yang bervariasi, akan tetapi kita bisa menjalin hidup yang damai tanpa kekerasan. Bayangkan di Afghanistan itu hanya ada sebanyak tujuh suku bangsa saja, tetapi perangnya tidak usai hingga hari ini.

Di dalam konteks ini, maka IAIN Pontianak bisa menjadi pusat-pusat kajian dan aksi, misalnya membangun Center of Religious Harmony, membangun Center of Development of Periphery Area, Center of defend the country, dan sebagainya. Kita pasti bisa melakukannya, sebab kita memiliki modalitas yang cukup. Modalitas budaya, modalitas politik, modalitas kearifan local, modalitas kerjasama dan sebagainya. Saya yakin kita bisa asalkan kita mau bergerak dan tidak diam seribu bahasa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..