MENGEMBANGKAN TATA KELOLA PTKN DI ERA PERUBAHAN
MENGEMBANGKAN TATA KELOLA PTKN DI ERA PERUBAHAN[1]
Prof. Dr. Nur Syam, M.Si[2]
Pengantar
Kita tidak bisa terus menerus mengelola lembaga pendidikan tinggi sebagaimana masa lalu. Kita sudah mengalami banyak perubahan, baik dari sisi manajerial, sistem pendidikan, dan tuntutan masa depan yang lebih realistis. Kita sudah memasuki era yang tidak kita sangka-sangka sebelumnya –karena kita berada di ruang yang kedap perubahan—sehingga nyaris kita tidak merasakan bahwa di depan ada tantangan yang luar biasa besar.
Kita sedang berada di era highly information technology. Dan rasanya kita bisa tertinggal di tengah yang lain-lain yang terus menerus mengejarnya. Di era ini, banyak hal yang kemudian dilabel dengan konsep disruptif: “era yang tidak menentu, yang tiba-tiba berubah, yang tidak mudah untuk diikuti”. Sungguh di era inilah kita harus mengembangkan perguruan tinggi yang tantangannya tentu sangat mendasar dan sangat variatif.
Perguruan tinggi memang memanggul tugas untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) terbaik di masa depan. Makanya, diperlukan kesiapan yang ekstra keras untuk menggapai tujuan pendidikan, yaitu menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas, kompetitif dan berbudi luhur.
Era Disruptif
Perubahan sosial sebenarnya berjalan sangat cepat. Jika di masa lalu, perubahan sosial itu bercorak evolusioner –perlahan-lahan tetapi pasti—akan tetapi sekarang justru sebaliknya, perubahan itu terjadi secara revolusioner –sangat cepat dan nyaris tidak terkendali—sehingga jika kita tidak siap maka bersiap-siaplah untuk ditinggalkan oleh perubahan tersebut.
Salah satu yang berkembang sangat cepat ialah teknologi informasi. Kita rasanya baru saja menikmati telepon konvensional –dari rumah ke rumah—lalu berubah menjadi telepon genggam atau hand phone, yang memberikan kemudian dalam berkomunikasi, dan pada masa awal hanya memiliki dua aplikasi saja yaitu untuk berbicara dan mengirim short massage, tanpa aplikasi lainnya.
Saya masih ingat pada tahun 2000an masih ada desa-desa yang tidak terjangkau dengan listrik dari Telkom, tetapi dua tahun kemudian sudah muncul telepon genggam, dan bisa digunakan untuk melakukan kontak personal dan mengirimkan berita melalui short messenger dan beberapa tahun kemudian muncul aplikasi-aplikasi baru misalnya untuk main game, untuk mengirim gambar dan sebagainya.
Dan beberapa tahun kemudian, dengan ditemukannya system android, maka muncullah berbagai hal yang revolusioner tentang kegunaan telepon genggam itu. Sekarang kita bisa mengenal ada sedemikian banyak aplikasi yang ditawarkan oleh smart phone, termasuk untuk digital money, elektronik perdagangan atau e-commerce, transfer uang dan bahkan untuk membangun persahabatan dan juga permusuhan.
Teknologi informasi juga berkembang dengan cepat, misalnya di tahun 90-an hanya terdapat telegram, fotocopi dan faximile, lalu berembang ke email yang bisa menjadi percepatan untuk mengirimkan surat atau berita atau lainnya terutama dalam menggantikan informasi atau surat yang dikirim secara konvensional. Jadi, terdapat perubahan yang sangat cepat pada tahun 2000-an dan sekarang berkembang lebih dahsyat lagi dengan adanya berbagai system aplikasi yang sangat cepat berkembang. Misalnya WA, Skype, Instagram, twitter dan sebagainya. Dengan perkembangan ini , maka sudah tidak ada lagi jarak antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, karena dunia sudah tersambungkan dengan sedemikian rupa. Sungguh kita berada di dalam dunia yang tanpa jarak. No distance disebabkan hadirnya dunia maya dewasa ini.
Jika dunia dengan perubahannya itu sedemikian cepat, lalu apa yang akan terjadi jika para pengelola pendidikan tinggi tidak melakukan banyak perubahan untuk mengejar dan atau bersama-sama dengan perubahan tersebut dalam mengelola institusi pendidikannya. Di sinilah sesungguhnya kita semua ditantang untuk terus berkarya dan berubah dalam rangka untuk memperoleh produk pendidikan yang berdaya guna di masa depan.
Tantangan Pendidikan Tinggi
Saya mencoba untuk memetakan problem mendasar, terutama lembaga Pendidikan Tinggi Kristen. Pendidikan Tinggi Kristen memang tergolong masih muda usianya dibandingkan dengan lembaga Pendidikan Tinggi Islam. Itulah sebabnya masih banyak tantangan dan kendala yang dihadapinya sebagai bagian dari problem umum di lembaga pendidikan tinggi.
Pertama, tantangan manajemen berbasis kepuasan pelanggan. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, rasanya kita masih mengelola apa adanya. Tata kelola yang kita kembangkan masih menggunakan cara lama, yaitu manajemen tahun 80-an, yaitu planning, organizing, actuating and controlling. Jadi pokok pangkal dari menejemen itu membuat perencanaan, mengorganisasikan bagian-bagian yang akan mengerjakannya, melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dan kemudian melakukan pengawasan.
Di dalam perencanaan juga tidak menggunakan basis kebutuhan, analisis situasi sosial dan pemilihan alternatif-alternatif dan memutuskan alternatif mana yang sangat urgen, akan tetapi “copy paste’ terhadap program dan kegiatan sebelumnya dan dijadikan sebagai pedoman menyusun anggaran. Jadi banyak pikiran-pikiran kreatif dan visioner yang tidak tertampung di dalam perencanaan.
Lalu, pengorganisasian sesungguhnya juga tidak diperlukan sebab secara organisatoris sudah didapatkan fungsi dan perannya masing-masing. Setiap lembaga pemerintah sudah memanggul tugas yang jelas sesuai dengan ketentuan regulasi yang mengaturnya. Jadi begitu ada perencanaan yang implementable semestinya semua bergerak untuk melaksanakannya.
Evaluasi sesungguhnya juga pekerjaan yang compatible pada unit masing-masing dengan bidang tugas atau tupoksinya. Tidak lagi diperlukan monitoring dan evaluasi secara khusus sebab pengawasan itu melekat pada tupoksinya. Hanya saja memang diperlukan evaluasi secara structural dari bawahan kepada atasannya, dalam kerangka melakukan pengecekan secara berkala tetapi sistematis.
Kedua, SDM yang dirasakan masih kurang dan jika terdapat SDM dirasakan belum memenuhi standart dan kualifikasi yang seharusnya dimilikinya. Harus diakui bahwa SDM kita sangat kurang. Jumlah pendidik dan tenaga kependidikan kita masih pincang. Belum didapatkan keterlengkapan SDM sesuai dengan standart dan kualifikasi yang memadai. Akibatnya, banyak dosen yang harus mengajar tidak sesuai dengan keahliannya dan hanya memenuhi ketercukupan beban kerja yang dibebankan kepadanya. Problem ini tentu bertali temali dengan masih rendahnya kualitas pendidikan yang diinginkan oleh semua pihak, yaitu pendidikan berkualitas sesuai dengan harapan nusa dan bangsa.
Ketiga, problem infrastuktur akademis. Harus dinyatakan bahwa anggaran pendidikan kita memang sangat terbatas. Rasanya belum cukup untuk membanun infrastuktur akademis. Misalnya laboratorium, pusat-pusat keunggulan, jurnal terindeks internasional, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dan sebagainya. Ada banyak riset tetapi tidak bisa tertampung di dalam jurnal nasional terakreditasi atau bahkan jurnal internasional. Bisa dihitung dengan jari, jurnal di PTKN yang terakreditasi di SINTA Kemenristekdikti. Meskipun standart IV atau V. Ada berapa banyak pusat keunggulan yang kita miliki sebagai jawaban atas tantangan masa depan bangsa dan negara ini. Belum lagi tantangan akreditasi yang ke depan mestilah menjadi tolok ukur kualitas pendidikan. Kita harus memenuhi Sembilan standart kualifikasi pendidikan tinggi, sesuai dengan regulasi baru dari BAN PT.
Keempat, tantangan era digital yang sudah di pelupuk mata kita, dan bahkan sudah berada di tengah-tengah kehidupan kita. Sekarang sudah bukan lagi saatnya untuk menyatakan: “kami di daerah, dan itu hanya terjadi di pusat saja” atau pernyataan: “itu urusan orang kota besar, kita kan di daerah saja”. Penggunaan media sosial sudah menjadi bagian tidak terpisahkan di dalam kehidupan kita. Sekarang berdasarkan data (2017), bahwa pengguna telepon genggam itu di perkotaan 55 persen dan pedesaan 45 persen. Artinya, sudah tidak ada lagi perbedaan perkotaan dan perdesaan dalam penggunaan media teknologi informasi.
Tantangan ini sedemikian serius. Sebab di era sekarang ini kita sedang berhadapan dengan artificial intelligent (AI) yang sungguh dahsyat pengaruhnya bagi dunia pendidikan terutama dalam penyiapan tenaga terdidik untuk dunia pekerjaan. Dan kita tidak bisa melawan terhadapnya, dan kita hanya bisa menyiapkan diri sambil mengembangkan pendidikan dengan basis pengetahuan, ilmu dan keterampilan yang baik. Terutama yang sangat merasa terpukul ialah tentang penyiapan tenaga kerja di masa yang akan datang.
Dunia pendidikan tinggi akan merasakan tekanan AI ini dengan harap-harap cemas. Sebab AI itu luar biasa dilihat dari kekuatan, kecepatan dan keakuratannya. Manusia dengan kemampuan apapun tidak akan mampu melawannya. Manusia tidak bisa bekerja 24 jam apalagi lebih, akan tetapi robot akan bisa bekerja sesuai dengan saat kapan dia akan berhenti bekerja. Makanya, kita harus menyiapkan mitra didik kita secara baik agar ke depan dapat melakukan kompetisi di tengah era disruptif dan AI ini.
Beberapa Catatan Alternative.
Dari tantangan di atas kiranya ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan, yaitu:
Pertama, mengembangkan manajemen kinerja yang berbasis pada kepuasan pelanggan. Para stakeholder kita harus memberikan apresiasi atas program dan pelayanan program pendidikan yang kita berikan. Dengan demikian, cara kita memanej harus diubah menjadi lebih baik. Kita tinggalkan POAC diganti dengan PDCA atau plan, do check, action. Begitu perencanaan berbasis kebutuhan bisa dihasilkan, maka segera laksanakan sesuai dengan tupoksi masing-masing, lakukan pengawasan internal atau pengawasan melekat dan setelah itu dibenahi mana yang belum berhasil atau tidak sesuai dengan tujuan. Total quality Management (TQM) menjadi ciri khas di dalam manajemen kinerja ini.
Managemen pemerintah di era sekarang sudah menerapkan manajemen kinerja, itu artinya kita harus menyelenggarakan tata kelola pendidikan tinggi dengan menerapkannya secara memadai.
Kedua, kita sadar keterbatasan pemerintah di dalam menyediakan SDM yang andal sebagai akibat keterbatasan anggaran. Tetapi juga menjadi perhatian juga bahwa di saat pemerintah membuat regulasi standarisasi kelulusan CPNS ternyata hanya terisi 4 persen dari seluruh kebutuhan. Itu artinya ada kesenjangan antara apa yang diminta dengan ketersediaan SDM yang kuat. Oleh karena itu dunia pendidikan tinggi juga harus menyiapkan SDM yang bagus dalam hal Test Inteligensi Umum (TIU), Test Wawasan Kebangsaan (TWK) dan juga Test Kemampuan Pribadi (TKP). Di dalam konteks ini, maka kita tentu bisa menyiapkan tenaga-tenaga yang baik ke depan agar siap untuk berkompetisi.
Ketiga, menyiapkan program pendidikan lanjut, menyiapkan jurnal berkualitas, menyiapkan program pembelajaran yang memadai, perbaikan kualitas akreditasi dan sebagainya menjadi tanggungjawab semua civitas akademika. Peran kepemimpinan menjadi penting, tetapi keterlibatan semuanya juga sangat dibutuhkan.
Keempat, harus ada keberanian untuk melakukan review curriculum di era sekarang ini di dalam menghadapi era teknologi informasi. Boleh saja, hard skillednya ahli di bidang agama, tetapi pengetahuan dan keterampilan di bidang teknologi informasi tidak boleh rendah. Siapkan semua elemen untuk mendukung hal ini karena tantangan ke depan luar biasa beratnya.
Kita tidak boleh pessimis sebab Tuhan menganugerahkan kemampuan manusia lebih dari sekedar benda atau lainnya. Manusia memiliki kecerdasan yang luar biasa dan tinggal bagaimana kita mengembangkannya untuk kepentingan yang lebih unggul di masa depan. Kiranya diperlukan “literasi media” atau “literasi digital” untuk menjawab tantangan yang hebat ini. Dan saya yakin kita semua bisa.
Wallahu a’lam bi al shawab.
[1] Makalah disampaikan di dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Kupang, tanggal 22 Nopember 2018.
[2] Guru Besar Sosiologi pada UIN Sunan Ampel Surabaya. Menyelesaikan S1 pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, menyelesaikan program master dan doctor di Universitas Airlangga Surabaya. Pernah menjadi Rektor IAIN Sunan Ampel, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag 2012-2014, Sekretaris Jenderal Kemenag 2014-2018.