TANTANGAN ARTIFICIAL INTELLIGENT SO WHAT NEXT?
TANTANGAN ARTIFICIAL INTELLIGENT SO WHAT NEXT?
Pagi kemarin dalam perjalanan ke Semarang, 10/11/2018, saya membaca Harian Kompas dan di dalamnya terdapat resume buku yang sangat menarik tentang What the Future, tulisan Tim O’Reilly, yang menggambarkan tentang bagaimana masa depan manusia di tengah semakin menguatnya tantangan big data dan artificial intelligent. Tantangan ini tidak main-main, sebab tantangan artificial intelligent itu ternyata luar biasa dahsyat bagi manusia dan pekerjaannya di masa depan. Tesla misalnya sudah merancang mobil tanpa driver untuk kepentingan transportasi Uber.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Oxford University, menunjukkan bahwa 47 persen pekerjaan, termasuk pekerjaan kerah putih akan digantikan oleh mesin robot dengan teknologi artificial intelligent dalam 20 tahun ke depan. Studi ini diperkuat oleh Survey Mc-Kinsey Global Institute, bahwa sekitar 550 sampai 580 juta orang atau antara 60 sampai 70 persen rumah tangga di negara maju telah mengalami penurunan pendapatan dalam kurun waktu 2005-2014, sementara untuk kurun sebelumnya, 1995-2005, penurunan pendapatan sebesar 10 juta orang atau sebesar 2 persen saja.
Habiskah manusia dengan keadaan ini, ternyata tidak. Manusia dengan kemampuan akalnya ternyata mampu melakukan penyesuaian dan kemudian mengisinya dengan hal-hal baru. Sungguh manusia memang diciptakan Tuhan untuk mampu memberikan jawaban atas setiap tantangan yang dihadapinya. Dengan kemampuan multi intelligent, maka manusia bisa memaksimalkan intelleigensinya di dalam melakukan tindakan rational yang cocok atau sesuai dengan tantangan yang dihadapinya.
Contoh yang sangat kasat mata ialah di kala muncul perusahaan transportasi tanpa mobil disebabkan penggunaan aplikasi, maka rasanya akan matilah perusahaan taksi yang selama ini menggunakan konsep konvensional dalam perusahaan taksi. Ternyata juga tidak, sebab perusahaan taksi konvensional lalu menyesuaikan dan kemudian membuat inovasi baru. Di kala system pembelian on line semarak dengan aplikasinya, maka yang terjadi ialah dugaan gulung tikarnya mall atau pusat perbelanjaan, akan tetapi mall juga melakukan inovasi untuk mengembangkan jenis usahanya.
Seorang fotografer, Brandon Stanton, yang pekerjaannya terdisrupsi oleh teknologi telepon pintar, akhirnya juga menemukan tempat di mana dia harus mengembangkan usahanya, yaitu dengan memberikan ungkapan atau note terkait dengan foto-fotonya yang diproduknya. Dan itu yang akhirnya mengantarkan dia tetap eksis dalam usaha bisnisnya.
Jadi, sesungguhnya manusia akan mampu menjawab era revolusi industry 4.0, yang ditengarai dengan semakin menguatnya big data dan artifisial intelelligent. Jika robot hanya mampu mengerjakan pekerjaan sebagaimana yang diprogramkan, maka manusia memiliki kecerdasan sebagaimana program yang diberikan Tuhan kepadanya.
Manusia memiliki kecerdasan rasional yang dengannya manusia bisa melakukan inovasi dan pembaharuan. Berbagai inovasi yang terjadi di dalam dunia bisnis, misalnya dengan aplikasi teknologi, tentu disebabkan oleh kemampuan ini. Perusahaan start up yang berkembang cepat dewasa ini tentu disebabkan oleh kemampuan rasional yang hebat tersebut.
Manusia juga memiliki kemampuan kerja sama yang difasilitasi oleh kecerdasan sosial dan emosional. Siapa yang menduga bahwa Jack Ma, yang guru Bahasa Inggris, kemudian dengan kemampuan kerjasamanya itu mampu mendirikan perusahaan raksasa di Tiongkok dan dunia, Alibaba.com. Dengan kemampuan kerja samanya itu, maka Alibaba.com dapat menyamai Amazon.com yang sudah terlebih dahulu eksis di perusahaan digital.
Kemampuan kerja sama inilah yang rasanya akan sangat sulit untuk dilakukan oleh robot yang dikreasikan untuk bekerja mandiri dan independent. Kerja sama bukan hanya difasilitasi oleh kecerdasan rational, akan tetapi oleh perasaan dan hati. Makanya, manusia dapat melakukan yang terbaik di dalam kehidupannya berbasis pada kerja sama yang dilakukan.
Dan kerja sama yang indah tentu juga difasilitasi oleh kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan yang dipandu oleh semangat keberagamaan yang datangnya dari Tuhan. Dengan berpedoman pada nilai-nilai yang diunduh dari agama, maka manusia akan dapat memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Manusia yang baik, saya yakin akan menggunakan ajaran agamanya untuk memandu tindakannya.
Jadi, tidak perlu ada kecemasan berlebihan menghadapi disrupsi di era artifisial intelligent, sebab kita berkeyakinan bahwa kita akan bisa menghadapinya dengan berbagai kemampuan yang melekat di dalam diri kita.
Wallahu a’lam bi al shawab.