Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MELACAK HISTORISITAS KEILMUAN DAKWAH

MELACAK HISTORISITAS KEILMUAN DAKWAH

PADA FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA[1]

 

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si[2]

 

 

Pengantar

Tentu banyak perubahan dalam tahun-tahun terakhir di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya. Di antara perubahan itu tentu terkait dengan transformasi dari IAIN ke UIN yang meniscayakan terjadinya banyak perubahan. Misalnya terkait dengan kelembagaan dan program studi. Jika di masa lalu hanya Fakultas Dakwah saja, maka sekarang dengan tambahan mandate baru, tentu sosok kelembagaan dan keilmuannya pastilah berubah.

Saya merasa tertinggal dengan perubahan ini, sebab cukup lama saya tidak berada di dalam lingkungan pendidikan di UIN Sunan Ampel, meskipun secara structural tentu masih ada kaitannya, akan tetapi tentu kaitan tidak langsung. Oleh karena itu tulisan ini hanya akan memetakan dunia “masa lalu” yang saya pahami dengan kelebihan dan kekurangannya.

Saya bersyukur bahwa dalam beberapa bulan terakhir saya terlibat kembali dengan dunia akademis, dan lebih khusus di Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang secara langsung tentu saja bisa bergaul tidak hanya dengan mahasiswa yang saya didik, akan tetapi juga para dosen dan pimpinan Fakultas. Saya berkeyakinan bahwa perubahan menuju yang lebih baik pasti akan terjadi. Hanya menunggu “waktu” kapan hal tersebut terjadi secara nyata.

 

Perkembangan Kelembagaan

Fakultas Dakwah saya kira berkembang relative memadai di tengah arus perubahan sosial dan tantangan yang dihadapinya. Perubahan yang signifikan tentu saja ialah pasca perubahan status IAIN Sunan Ampel menjadi UIN Sunan Ampel. Perubahan itu bisa dianggap sangat signifikan, sebab ada mandate baru pasca perubahan status tersebut, yaitu untuk mengusung visi dan missi pengembangan ilmu komunikasi secara lebih eksplisit, sebab selama menjadi Fakultas Dakwah saja, ilmu komunikasi itu seperti dicangkokkan di dalamnya.

Jika harus ada ilmu komunikasi dan seluruh derivasinya, hal itu tentu merupakan kewajaran sebab ada anggapan bahwa ilmu dakwah itu sangat dekat dengan ilmu komunikasi, sebagai sesama ilmu applied science yang berfungsi untuk menyebarkan gagasan, ide, pikiran dan transfer perilaku kepada orang lain atau komunitas dan masyarakat lain agar mereka dapat sepaham dan setindakan dengan para penyebar informasi dimaksud.

Dengan memasukkan nomenklatur ilmu komuniksi pada Fakultas Dakwah, maka sahlah keberadaan ilmu komunikasi sebagai bagian yang berdiri sendiri, independent dan fungsional untuk diajarkan kepada mahasiswa dan menjadi minat studi yang jelas. Inilah yang saya sebutkan bahwa keberadaan ilmu komunikasi menjadi semakin jelas dalam struktur kelembagaan di UIN Sunan Ampel Surabaya.

Dilihat dari perkembangannya, maka Fakultas Dakwah dan Komunikasi mengalami perubahan jurusan dan program studi. Fakultas dakwah berdiri pada tahun 1972 dengan prasasti yang ditandatangani oleh Rus’an mewakili Menteri Agama. Pada waktu itu hanya ada satu jurusan, yaitu jurusan ilmu dakwah. Saya ingat betul angkatan pertama pada Fakultas Dakwah ialah M. Fadly Hady dan Pak Syahudi Siraj. Keduanya menjadi dosen pada Fakultas Dakwah, di mana Pak Fadly menekuni Ilmu Komunikasi dan sempat menerbitkan diktat “ilmu komunikasi” sementara itu Pak Syahudi menekuni ilmu Bimbingan dan penyuluhan dan tentu juga menghasilkan diktat dan buku di bidang ini.

Dalam perkembangan berikutnya, maka terdapat dua jurusan yaitu jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) serta jurusan Bimbingan Penyuluhan Masyarakat (BPM). Kira-kira tahun 1980an program baru ini muncul dan kemudian berkembang lagi menjadi empat jurusan pada tahun 1990an. Yaitu menjadi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Masyarakat (BPM), Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) dan Jurusan Managemen Dakwah (MD). Empat jurusan ini yang tetap eksis hingga terjadinya transformasi IAIN ke UIN. Sebagai jurusan pada Fakultas Dakwah –sebelum terdapat tambahan prodi-prodi pada ilmu komunikasi—maka yag dikembangkan hingga sekarang yang berkembang secara khusus pada Fakultas Dakwah ialah empat jurusan dimaksud.

Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam mengusung konsep-konsep ilmu komunikasi, misalnya dalam corak ilmu retorika sebagai praksis dakwah, jurnalistik sebagai praksis komunikasi, dan seperangkat keilmuan lain yang mendukung dan menjadi cabang-cabangnya. Jurusan Bimbingan Penyuluhan Masyarakat mengembangkan konsep-konsep psikhologis sebagai babon keilmuan untuk mendukung program bimbingan dan penyuluhan selain tentu saja mata kuliah bimbingan dan penyuluhan itu sendiri. Dengan demikian, perangkat lunaknya ialah psikhologi dan perangkat kerasnya ialah ilmu bimbingan dan penyuluhan. Jurusan managemen dakwah mengusung konsep relasi antara ilmu dakwah dan managemen sehingga sebagai perangkat lunaknya ialah ilmu dakwah dan perangkat

kerasnya ialah managemen. Sedangkan Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam ialah menetapkan basis keilmuannya ialah ilmu dakwah dengan perangkat tehniknya ialah pengembangan masyarakat.

Jurusan atau program studi ini yang hingga terjadinya alih status IAIN ke UIN tetap dipertahankan.  Secara konseptual, sesungguhnya ada beberapa problema kelembagaan dengan masih dinomenklaturkannya Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, sebab dengan telah berubahnya Fakultas Dakwah dan Komunikasi maka status kelembagaan jurusan juga seharusnya berubah. Bagi saya, yang tepat adalah jurusan penyiaran Islam saja dengan tetap mengedepankan dakwah melalui perangkat keras retorika. Dengan demikian, program studi penyiaran Islam diharapkan akan menghasilkan lulusan yang secara khusus menjadi ahli retorika atau dakwah bil lisan. Prototipenya ialah Prof. Dr. Moh. Ali Azis, MAg., yang memiliki kemampuan untuk berdakwah secara lesan dengan ekselen dan mampu mengemas dakwah tersebut secara modern.

Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Masyarakat, saya kira masih penting di tengah semakin semaraknya masalah-masalah kehidupan umat. Jurusan ini yang seharusnya menghasilkan penyuluh agama yang jumlahnya tentu sangat banyak. Mereka dipersiapkan dengan baik, tidak hanya dari sisi metodologi penyuluhan tetapi juga konten penyuluhan yang memadai. Jadi penguasaan ilmu agamanya tentu harus baik. Di saat jumlah guru agama sudah mengalami kejenuhan, maka yang diperlukan adalah para penyuluh agama dengan pemahaman agama yang wasathiyah.

Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam juga masih layak untuk dipertahankan. Saya berpendapat bahwa jurusan ini akan menghasilkan ahli-ahli community development yang memadai, dengan kemampuan mendesain program-program pro-rakyat untuk penguatan atau pemberdayaan ekonomi, sosial dan budaya. Keilmuan yang diusung ialah ilmu dakwah sebagai corenya dan ilmu community development sebagai instrumennya. Lalu, Jurusan Managemen Dakwah kiranya masih diperlukan untuk mengisi peluang manajer pada lembaga-lembaga dakwah, lembaga ekonomi umat, organisasi sosial dan sebagainya. jurusan ini memanggul tugas penting untuk membangun program-program, misalnya kemasjidan, kelembagaan organisasi keagamaan dan sebagainya.

 

Perkembangan SDM dan ilmu dakwah

Sebagai fakultas yang sudah berdiri semenjak tahun 1972 hingga kini atau selama 46 tahun, tentu ada pertanyaan: “apakah yang dihasilkan oleh Fakultas ini dalam praksis dakwah dan teori dakwah? Dan pertanyaan lain, ada berapa orang yang sudah mengembangkan ilmu dakwah hingga menjadi ilmu yang mandiri dan diakui oleh komunitas ilmuwan?

Pertanyaan ini penting untuk diungkapkan sebab semestinya mereka yang menguasai panggung media adalah alumni dakwah jika hal tersebut menyangkut penyiaran Islam. Kenyataannya, mungkin sangat sedikit para lulusan Fakultas Dakwah –khususnya jurusan KPI—yang menguasai dunia media, baik dalam konteks dakwah bil lisan maupun bil qalam. Itu artinya, bahwa program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam belum menghasilkan SDM yang benar-benar siap untuk mengisi ruang media dengan segala variasinya.

Pengembangan ilmu dakwah dapat dilihat berdasarkan realitas sebagai berikut:

Pertama, ilmu dakwah itu sudah tersegmentasi ke dalam disiplin lain di bawahnya seperti menagemen dakwah, komunikasi dakwah, sosiologi dakwah, retorika, bimbingan penyuluhan masyarakat dan sebagainya. Akibatnya, pengembang ilmu dakwah nyaris tidak didapatkan lagi. Bayangkan berapa jumlah guru besar ilmu dakwah. Di UIN Sunan Ampel, satu-satunya guru besar itu ialah Prof. Dr. Moh. Ali Azis. Lalu Prof. Dr. Shonhaji Saleh yang mengembangkan pendekatan keilmuan antar bidang, yaitu sosiologi dakwah. Secara keseluruhan jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Generasi berikutnya tidak kita jumpai lagi. Banyak yang semula memiliki keahlian di dalam ilmu dakwah lalu justru pindah disebabkan oleh pendidikan doktornya yang tidak relevan dengan ilmu dakwah, sementara itu regulasi terkait dengan professor harus linear dengan keilmuan doktornya. Sebagai akibatnya, lalu tidak ada lagi yang mengembangkan ilmu dakwah sebagai keahlian dosen professional dalam gelar tertinggi di perguruan tinggi.

Kedua, program doctor ilmu dakwah juga nyaris tidak dijumpai di PTKN. Semua masih terhenti di program magister, sehingga belum ada wadah akademis yang menyiapkan calon doctor bidang ilmu dakwah tersebut. Kendalanya tentu adalah jumlah professor untuk program doctor ilmu dakwah belum mencukupi. Lalu kapan akan mencukupi, jika memang tidak disiapkan untuk kepentingan ini.

Ketiga, SDM dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi sudah semakin banyak yang telah menyelesaikan pendidikan doktornya, akan tetapi tentu mengambil program doctor yang relevan dengan mata kuliah yang diampunya. Hal ini tentu terkait dengan sertifikasi, keahlian, dan relevansi dengan ijazah doctor yang bersangkutan. Ke depan akan banyak professor akan tetapi tentu tidak mengembangkan ilmu dakwah dimaksud.

Keempat, perlu penegasan terhadap status ilmu dakwah, apakah menjadi ilmu yang inter-disiplin atau yang mandiri. Jika diarahkan untuk ilmu yang inter-disipliner, maka yang perlu diperkuat ialah bagaimana menghasilkan doctor yang memiliki kemampuan studi interdisipliner. Misalnya program doktornya ilmu komunikasi, akan tetapi gelar professornya diarahkan kepada ahli komunikasi dakwah. Atau doctor di bidang manajemen, akan tetapi profesornya diarahkan untuk menjadi guru besar manajemen dakwah. Ada yang doctor di bidang pemikiran Islam dan kemudian menjadi professor di bidang pemikiran dakwah. Dan sebagainya.

 

Perkembangan keilmuan dakwah

Saya ingin melihat bagaimana ilmu dakwah dikembangkan di fakultas ini dengan mengacu pada perkembangan metodologi kajian ilmu dakwah. Saya mencoba untuk memetakannya dengan membuat gambaran perkembangan periodisasi bagaimana metodologi ilmu dakwah itu dikembangkan.

Pertama, ialah pengembangan ilmu dakwah dengan pendekatan factor. Model ini mengikuti pola yang berkembang di dalam ilmu komunikasi yang secara definisi menggambarkan adanya factor-faktor komunikasi atau factor dakwah. “who says what, to whom, in what channel and with what effect”. Ini pula yang terlihat di dalam pengembangan ilmu dakwah tersebut. Komponen ilmu dakwah tersebut meliputi: subyek dakwah (da’i), obyek dakwah (mad’u), metode dakwah (kaifiyah dakwah), media dakwah (washilah dakwah) dan effek dakwah (atsar dakwah). Cara berpikir seperti ini yang kita lihat di hampir seluruh buku-buku ilmu dakwah yang diterbitkan oleh dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi pada UIN Sunan Ampel Surabaya.

Secara metodologis, maka penelitian yang digunakan ialah penelitian kuantitatif dengan berbagai variabel dan konsepnya. Makanya, di sini lalu digunakanlah teori-teori komunikasi atau teori lain yang digambarkan dalam hubungan antar konsep dan kemudian diuji secara empiris. Saya kira pendekatan dan metodologi ini dominan sebelum tahun 90-an meskipun sampai saat ini tetap dikembangkan.

Kedua, pengembangan ilmu dakwah dengan pendekatan sistem. Pengembangan ilmu dakwah ini bercorak problem solving. Melalui pendekatan sistem, maka dibayangkan bahwa ada in put, proses dan output dan outcome. Masukan tersebut terkait dengan subyek dakwah dan materi dakwah, sedangkan prosesnya ialah media dan metode dakwah dan out putnya ialah effek dakwah. Di dalam penerapan pengembangannya juga bisa menggunakan metode penelitian kuantitatif. Melalui metode kuantitatif, maka akan bisa diukur bagaimana masukan proses dan keluaran tersebut bisa diketahui secara jelas,

Ketiga, pengembangan ilmu dakwah berbasis pada pemahaman makna dakwah bagi individu, komunitas atau masyarakat. Pengembangan ilmu dakwah di sini lebih banyak mengacu pada proses dakwah. Jadi yang dikaji ialah bagaimana proses dakwah terjadi dan bagaimana para subyek yang diteliti memaknai terhadap proses, input dan output dakwah. Yang dicari bukanlah variabel yang diukur dengan rumus-rumus tertentu akan tetapi bagaimana para pelaku dakwah dan sasaran dakwah memaknai terhadap dakwah tersebut. Pola ini berkembang semenjak tahun 1990-an dan seterusnya sampai sekarang. Ada banyak penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan seperti ini.

Keempat, pendekatan developmentalisme. Semenjak Fakultas Dakwah menambah jurusan baru, Pengembangan Masyarakat Islam, dan Managemen Dakwah maka di saat itu pastilah akan berkembang pendekatan baru, yang saya sebut sebagai pendekatan ilmu dakwah berbasis pada riset pengembangan atau developmental. Inti dari pengembangan ilmu dakwah ini ialah dengan penelitian terhadap perubahan-perubahan yang dihasilkan dari upaya pemberdayaan masyarakat oleh berbagai organisasi sosial kemasyarakatan. Tentu termasuk di dalamnya ialah NGO. Perubahan yang disengaja diupayakan tersebut tentu akan menghasilkan sejumlah “pengaruh” terhadap sasaran dakwah. Seirama dengan hal ini ialah penelitian partisipatif yang selama ini dijadikan sebagai medium penting di kalangan NGO. Penelitian dakwah dapat menghasilkan konsep dan aplikasi pemberdayaan berbasis pada riset pengembangan dan riset partisipatif.

Kelima, ke depan, saya kira yang perlu dilakukan ialah dengan mengembangkan relasi ilmu melalui program interdisipliner, yaitu menjadikan fenomena dakwah sebagai sasaran kajian atau subject matter dan menempatkan ilmu sosial atau humaniora sebagai pendekatan. Jika ilmu dakwah ingin berkembang lebih cepat dan juga menghasilkan ilmuwan yang bervariasi, maka pilihan seharusnya pada model pendekatan ini dibandingkan dengan model sasaran kajian ilmu. Saya kira pengembangan sosiologi dakwah, antropologi dakwah, komunikasi dakwah, psikhologi dakwah, manajemen dakwah, politik dakwah, administrasi dakwah, hukum dakwah dan sebagainya tetap perlu untuk diteruskan di tengah keinginan untuk memperkuat posisi ilmu dakwah yang interdisipliner.

 

Penutup

Fakultas Dakwah dan Komunikasi sesungguhnya memiliki masa depan. Di antara masa depan itu ialah bisa menjadi pilihan di antara program-program studi yang memiliki relevansi dengan kebutuhan di masa yang akan datang. Di antaranya ialah menyiapkan pilihan untuk menjadi ahli di bidang hard skilled keilmuan dakwah dan komunikasi. Tentu saja dibutuhkan banyak talenta di dalamnya, dan itu akan bisa dijawab melalui pengembangan hard skilled yang cukup dan soft skilled yang utuh berbasis pada pengembangan talenta masing-masing.

Dengan demikian ada dua hal yang sekiranya diperlukan ialah: pertama, diperlukan kecerdasan untuk mengembangkan ilmu dakwah dalam coraknya yang multidisipliner dengan memperbanyak ahli di dalamnya. Kedua, diperlukan kesiapan untuk mengembangkan program studi yang relevan dengan kebutuhan umat berbasis pada ilmu dakwah yang aplikatif dan multidisipliner. Ketiga, diperlukan juga memikirkan bagaimana para dosen mengembangkan kemampuan mahasiswa Fakultas ini dengan kemampuan hard skilled yang hebat dan juga soft skilled yang memadai.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

[1] Bahan diskusi pada dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya di Green SA In Surabaya, pada tanggal 15 November 2018.

[2] Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya. Pernah mengampu mata kuliah Publisistik, lalu berganti mengasuh mata kuliah Sosiologi Agama dan terakhir menjadi Guru Besar Sosiologi. Sebagai bukti kecintaan pada ilmu dakwah pernah menerbitkan dua buku di bidang ilmu dakwah, yaitu “Metodologi Penelitian Dakwah” yang terbit pada tahun 1990 oleh penerbit Ramadani Solo, dan buku “Filsafat Dakwah” yang terbit pada tahun 2003 yang diterbitkan oleh Jenggala Pustaka Utama, Kediri.

Categories: Opini
Comment form currently closed..