• February 2025
    M T W T F S S
    « Jan    
     12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    2425262728  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

NABI NUH, MASALAH DAN DOA

NABI NUH, MASALAH DAN DOA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kita sedang berada di Bulan Muharram dalam kalender Islam atau di dalam kelender Jawa disebut sebagai Bulan Suro, ternyata banyak peristiwa yang menggambarkan tentang relasi antara doa dan masalah yang dihadapi oleh para Nabi. Mungkin kita sebelumnya beranggapan bahwa para Nabiyullah itu tidak ada masalah alias oke-oke saja. Tetapi ternyata problem yang dihadapi oleh para Nabi itu jauh lebih besar dibandingkan dengan problema masyarakat pada umumnya.

Itulah sebabnya para Nabipun juga ada yang diberikan gelar Ulul Azmi, Nabi dengan sejumlah tantangan yang sangat luar biasa. Tantangan tentu saja berasal dari umatnya dan bagaimana beratnya medan perjuangan yang dilakukannya. Di antara Nabi yang mendapatkan julukan Ulul Azmi adalah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW. Tantangan tersebut terutama datang dari umatnya yang begitu menolak ajakan untuk beriman kepada Allah SWT.

Di antara Nabi yang dikenal sebagai Ulil Azmi adalah Nabi Nuh yang berdasarkan catatan di dalam Alqur’an mengalami tantangan yang sangat luar biasa. Sudah 1.000 tahun melakukan dakwah akan tetapi umatnya selalu menolaknya. Kaum Nabi Nuh selalu beranggapan bahwa apa yang disampaikan oleh Nabi Nuh adalah kebohongan belaka. Mereka tetap menyembah berhala dan sama sekali tidak mematuhi ajakan Nabi Nuh. Bahkan mereka menantang Nabi Nuh agar menurunkan adzab yang besar.

Pada suatu ketika Nabi Nuh mengeluh kepada Allah tentang betapa bengal umatnya. Allah kemudian memberikan arahan agar Nabi Nuh membuat kapal  yang besar untuk menampung umatnya yang percaya dengan ajarannya. Di tanah Iraq akan diturunkan musibah banjir besar yang akan menenggelamkan seluruh orang kafir tanpa tersisa. Pada  saat Nabi Nuh membuat kapal besar itu, maka umatnya menertawakannya. Mereka tidak meyakini bahwa akan terjadi banjir besar yang akan meluluhlantakkan kehidupan masyarakat.

Setelah kapal selesai,  Nabi Nuh mengumumkan bahwa bagi yang mau dan percaya akan kekuasaan Allah, maka dipersilahkan masuk kapal sambil membawa binatang ternak yang kelak akan menjadi cikal bakal ternak di tempat yang baru. Nabi meminta anaknya yang bernama Kan’an akan tetapi menolaknya. Kan’an akan naik gunung yang tidak akan terjangkau oleh banjir besar dimaksud. Demikian pula istrinya. Mereka tidak meyakini akan kebenaran perkataan Nabi Nuh yang berasal dari firman Tuhan. Padalah adzab tersebut sungguh terjadi. Semuanya bertumbangan dan yang tersisa hanyalah orang-orang mu’min yang mengikuti petunjuk Nabi Nuh.

Nabi Nuh dan umatnya yang patuh diberhentikan di Bukit Judiy atau Bukit Ararat, tempat ini masih debatable, tetapi yang jelas bukit Judiy merupakan sebuah bukit yang diyakini oleh umat beragama sebagai tempat yang diperuntukkan Allah untuk Nabi Nuh AS. Kapal Nabi Nuh mengarungi banjir besar selama 40 hari. Gunung Ararat diyakini berada di Wilayah Turki Timur berdasarkan atas bukti-bukti mengenai bangkai kapal yang diperkirakan berumur 4.500 tahun atau 5.000 tahun sebelum Masehi. Cerita mengenai Kapal Nabi Nuh terdapat di semua agama Samawi, yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam. Dan sudah dilakukan berbagai penelitian tentang adanya banjir besar dan kapal Nabi Nuh meskipun hasilnya tentu masih merupakan hipotesis sampai nanti akan terbukti benar secara ilmiah. Bukankah banyak hal yang semula mu’jizat lalu menjadi kenyataan secara empiris.

Diyakini bahwa peristiwa selamatnya Nabi Nuh dari banjir besar dalam sejarah umat manusia tersebut terjadi pada 10 Muharram. Artinya bulan Muharram merupakan bulan diselamatkannya rasul Allah dari berbagai marabahaya yang menimpanya. Dari hijrah Nabi Nuh ini akhirnya terlahir secara turun temurun manusia hingga hari ini. Nabi Nuh memiliki tiga putra yang menjadi nenek moyang umat manusia, yaitu Ham, Syam dan Yafit. Ketiganya melahirkan etnis Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid.

Meskipun Nabi itu memiliki privilege dalam kehidupannya, akan tetapi para Nabi seperti Nabi Nuh tidak melupakan berdoa kepada Allah SWT. Di kala terjadi kegalauan dan kesedihan, maka Nabi itu mengadu kepada Allah. Sebagaimana Nabi Nuh yang mengadu kepada Allah tentang kelakuan umatnya. Bayangkan berdakwah tidak kurang dari 1.000 tahun dan hanya sedikit yang beriman kepada Allah.

Nabi Nuh berdoa kepada Allah: “Wa qur Rabbi anzilni munzalam mubarakaw wa anta khairul munzilin”, (QS. Almu’minun ayat 29) yang artinya: “Dan berdoalah: Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat”.  Doa ini dibaca di kala banjir mulai surut dan Nabi Nuh memohon  kepada Allah agar diberikan tempat yang layak dan diridhainya.

Di kala Nabi Nuh akan memulai perjalanannya dengan kapal dan umatnya, Nabi Nuh berdoa: “yursilis sama’a ‘alaikum madrara”, yang artinya: “niscaya Dia (Allah) akan mengirimkan  hujan kepadamu dengan lebat (QS. Nuh ayat 11).

Jika Nabi saja berdoa kepada Allah, maka sangat pantas jika manusia juga berdoa kepada Allah untuk meminta kesehatan, keselamatan dan keberkahan. Dan satu hal yang pasti bahwa Allah akan mengabulkan doa tersebut sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PERISTIWA MENARIK PADA BULAN SURO

PERISTIWA MENARIK PADA BULAN SURO

Saya berkesempatan untuk memberikan asupan rohani pada jamaah Shalat Shubuh di Mushalla Raudlatul Jannah di Dusun Semampir, Desa Sembungrejo, Merakurak Tuban, Selasa, 09/07/2024. Pengajian temporer ini sengaja saya lakukan untuk para jamaah yang rata-rata orang tua. Di dalam  shalat shubuh memang jamaahnya terbatas. Kebanyakan orang tua atau kawan-kawan saya di masa lalu. Berbeda dengan jamaah shalat Maghrib atau Isya’ yang jamaahnya relative lebih banyak dengan usia yang bervariasi.

Untuk mengawali ceramah ini saya nyatakan bahwa “kita semua ini beruntung sebab bisa melakukan shalat shubuh berjamaah. Tidak banyak orang yang bisa melakukan shalat berjamaah di waktu shubuh. Apalagi bisa shalat malam, lalu shalat qabilyah shubuh dan diakhiri dengan shalat subuh. Jika kita melakukannya, kita termasuk orang yang beruntung karena dijamin untuk mendapatkan surganya Allah.

Ada tiga hal yang saya sampaikan, yaitu: Pertama, bulan Suro itu bagi orang Jawa disebut sebagai bulan prihatin. Bulan yang di dalamnya terdapat keprihatinan sebab di dalam bulan Suro terdapat peristiwa-peristwa yang membuat kita harus prihatin. Maka salah satu caranya adalah dengan melakukan tirakatan.

Bulan Suro di dalam kalender Jawa dirumuskan oleh Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma, dari Mataram, yang menciptakan kalender Saka. Nama bulan Suro kiranya dapat dikaitkan dengan Asyuro di dalam tradisi di Islam di Timur Tengah. Asyuro dikaitkan dengan peristiwa Karbala, di mana cucu Rasulullah Sayyidina Hussein dan kerabat serta pengikutnya sebanyak 72 orang dibantai oleh pasukan Muawiyah dibawah pimpinan Umar bin Said bin Abi Waqash. Sebanyak 4000 pasukan yang disiapkan untuk menangkap atau membunuh terhadap Sayyidina Hussein Radiyallahu anhu. Panah yang mengenai tenggorokannya dan tahapan berikutnya ditebas kepalanya dan diserahkan kepada Umar bin Abi Waqash. Tongkatnya kemudian dijadikan alat untuk memainkan kepala Sayyidina Hussein yang suci.

Kiranya peristiwa ini yang menjadikan bulan Suro itu dijadikan sebagai bulan tirakatan. Bulan yang penuh dengan ritual yang utama di antaranya adalah puasa dalam tradisi Islam Jawa. Puasa mutih dalam tradisi Islam Jawa kebanyakan dilakukan pada bulan Suro. Orang yang melakukan puasa mutih selama 40 hari dengan membaca Kidung Rumekso ing Wengi kreasi Kanjeng Eyang Sunan Kalijaga akan dapat memperoleh kemampuan “ainun bashirah” dibandingkan orang tidak mampu melakukannya. Achmad Chodjim banyak bercerita tentang hal ini.

Kalender Jawa atau Kalender Saka memang mirip dengan kalender Islam. Nama-nama bulannya juga ada yang sama dan ada yang berbeda. Misalnya Bulan Suro, Sapar, mulud, Ba’da Mulud, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Selo dan  Besar. Bandingkan dengan nama bulan dalam Kalender Islam, yaitu Muharram, Safar, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadlan, Syawal, Dzulqa’dah dan Dzylhijjah”. Di dalam penyusunan  kalender Jawa, Kanjeng Sultan Agung diinspirasikan oleh kalender Islam.

Kedua, Bagi orang Jawa bulan Suro juga menjadi saat untuk memandikan pusaka atau wesi aji. Jamas wesi aji. Dulu, ayah saya selalu memandikan pusaka yang dimilikinya pada bulan Suro. Sayangnya pusaka-pusaka tersebut diberikan kepada kerabat dan sudah diketahui di mana rimbanya. Ada yang diminta orang. Ada sebanyak 10 pusaka yang disimpan di rumah. Sayangnya di saat saya kuliah di Surabaya dan berlanjut menjadi dosen di IAIN Sunan Ampel, maka pusaka-pusaka tersebut diberikan kepada kerabat saya, dan tidak ada satupun yang masih disimpannya. Bulan Suro juga dihindari untuk melakukan hajadan, misalnya mengkhitan anak atau melakukan perkawinan. Sirikan. Masyarakat Jawa sangat meyakini ketidakbolehan melakukan hajatan pada bulan Suro.

Di dalam tradisi Jawa, maka bulan baik untuk melakukan hajadan adalah Bulan Mulud, Safar, Ba’da Mulud, Rejeb, Ramadlan, Syawal, dan Besar. Bulan Suro,  ruwah dan Selo. Tiga bulan ini seharusnya dihindari di kala ingin melakukan hajadan, misalnya pindah rumah, masuk rumah baru, menikahkan anak, mengkhitankan anak, membeli barang berharga termasuk rumah, mencari pekerjaan dan sebagainya.

Ketiga, sebagai umat Islam Jawa, maka sebaiknya memang kita harus melakukan amalan-amalan yang baik pada bulan Muharram. Misalnya banyak melakukan dzikir, wirid atau infaq dan sedekah. Melakukan amalan baik tentu merupakan pertanda kebaikan yang dilakukan. Pada bulan ini, kita bisa banyak membaca doa sebagaimana yang dibaca oleh para Nabiyullah yang diselamatkan pada tanggal 10 Muharram. Misalnya doa Nabi Ibrahim yang berbunyi “Hasbunallah wa ni’mal wakil”, atau doa Nabi Yunus “La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadh dhalimin” atau doa Nabi Adam: “Rabbana dhalamna anfusana wain lam taghfirlana wa tarhamna la nakunanna  minal khasirin”. Semoga kita semua dapat melakukannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

TAHUN BARU HIJRIYAH 1446: AMALKAN AJARAN AGAMA

TAHUN BARU HIJRIYAH 1446: AMALKAN AJARAN AGAMA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Untuk pekan ini ketepatan saya berada di rumah Tuban. Tempat kelahiran saya. Dusun Semampir, Desa Sembungrejo, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban. Itulah sebabnya kala awal tahun Hijrah, maka saya sempatkan untuk memberikan sekadar pemahaman tentang tahun baru hijriyah, yang di dalam system kalender Islam disebut sebagai Bulan Muharram atau di dalam tradisi Jawa disebut sebagai Bulan  Suro. Hal ini saya sampaikan pada jamaah Shalat Magrib di Mushalla Raudhatul Jannah, 06/07/2024.

Perubahan tahun di dalam tradisi Islam memang tidak terdapat hura-hura. Tidak sebagaimana pergantian tahun di dalam Tahun Masehi, yang biasanya disambut dengan hingar bingar. Penuh dengan keramaian. Ada hiburan music, bahkan siaran televisi juga menyambutnya dengan berbagai acara yang menarik. Bahkan ada sekelompok orang yang rela begadang untuk menyambut tahun baru masehi.

Islam justru menyambutnya dengan berbagai acara ritual, seperti membaca Surat Yasin tiga kali, lalu berdoa untuk menyambut tahun baru dan mengakhiri tahun yang telah berlalu. Sungguh Islam memberikan pelajaran kepada umatnya untuk menyambut tahun baru dengan semakin banyak membaca kalimat thayibah dan berdoa untuk keselamatan diri dan keluarga agar pada tahun baru dan tahun berjalan terdapat kehidupan yang semakin baik dalam banyak aspek kehidupan.

Ada tiga hal yang dapat saya sampaikan di dalam acara menyambut tahun baru tersebut, yaitu: pertama, menjelaskan tentang makna tahun baru hijriyah. Tahun hijriyah mengacu pada perjalanan bulan selama 29 atau 30 hari. Berbeda dengan tahun baru masehi yang menggunakan peredaran matahari selama 29 atau 30 hari atau 31 hari. Dalam empat tahun sekali, maka bulan Pebruari yang biasanya berusia 29 hari lalu hanya berusia 28 hari atau disebut sebagai tahun kabisat.

Tahun baru hijriyah dimulai dengan hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah. Setelah melalui perdebatan panjang, karena ada usulan tahun kelahiran Nabi Muhammad  atau tahun hijrah, maka ditetapkan bahwa tahun baru hijrah dimulai semenjak hijrah Nabi Muhammad SAW dimaksud. Jika dihitung sekarang, maka hijrah Nabi Muhammad sudah berusia 1446 tahun.

Kedua, pada bulan Muharram banyak terjadi kejadian di dalam sejarah umat Islam. Ada beberapa peristiwa yang menjadi ingatan kolektif masyarakat Islam. Salah satu di antaranya adalah peristiwa Karbala. Suatu pembunuhan sadis yang dilakukan oleh pasukan Muawiyah bernama  Sinan bin Anas bin Amr Nakhai lalu dipenggal lehernya dan diserahkan kepalanya kepada Khawali bin Yazid (Ibnu Katsir). Umar bin Said Abi Waqash adalah Panglima perang Muawiyah yang sangat kejam dan menjadi catatan hitam dalam sejarah umat Islam. Sayyidina Husein dengan kerabat dan pengikutnya sebanyak 72 orang dibantai.  Padahal Sayyidina Hussein dan kerabatnya berhenti di wilayah Karbala karena  akan dilakukan perjanjian damai. Tetapi tiba-tiba Sayyidina Hussein diserang dan seluruh kerabatnya dibunuh. Termasuk Sayyidina Hussein yang dipenggal kepalanya dan dijadikan sebagai mainan. Masyaallah. Cucu Nabi Muhammad SAW yang mulia ini harus meninggal dengan cara yang seperti ini. Subhanallah. Untunglah kepala Sayyidina Hussein berhasil diselamatkan dan akhirnya dikuburkan di Kota Kairo, dan sampai hari ini, makam tersebut masih dimuliakan oleh umat Islam.

Di kalangan penganut Syiah, maka bulan Muharram terdapat peristiwa pilu dan kemudian diperingati dengan upacara Hari Asyura atau hari ratapan dengan melakukan upacara menyakiti diri sendiri, misalnya dengan memakai cambuk dan sebagainya sehingga tubuhnya berdarah. Upacara Asyura untuk mengenang peristiwa kesedihan luar biasa bagi umat Islam. Bagi kaum ahli sunnah wal jamaah, maka hari wafatnya Sayydina Hussein, 10 Muharram,  diperingati dengan berpuasa dan beramal jariyah atau sedekah terutama kepada anak-anak yatim dan orang miskin. Bahkan beberapa peristiwa di dalam sejarah kenabian,  Nabi Yunus selamat setelah ditelan ikan  pada tanggal 10  Muharram, Nabi Ibrahim selamat kala dibakar oleh Raja Namrudz juga pada tanggal 10  Muharram, termasuk diampuninya  Nabi Adam pasca diturunkan di  dunia juga terjadi pada tanggal 10  Muharram.

Ketiga, bagi orang Jawa, maka bulan Muharram disebut sebagai bulan Suro, berdasarkan kalender yang pernah dibuat oleh Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma, Mataram. Bulan Suro dianggap sebagai bulan penuh keprihatinan. Suatu bulan yang mengharuskan orang Jawa melakukan tapa brata atau bertapa. Banyak di antara orang Jawa yang melakukan puasa dalam tradisi Jawa, misalnya upacara puasa  mutih selama 40 hari, upacara puasa ngrowot, dan upacara puasa pendem. Upacara mutih dilakukan dengan hanya makan nasi putih dalam waktu 40 hari dan diakhiri harus terjaga semalam suntuk di luar rumah, puasa pendem yaitu puasa di dalam tanah dan puasa ngrowot yang hanya boleh memakan buah-buahan atau sayur-sayuran.

Tradisi seperti ini masih banyak dilakukan oleh Orang Islam Jawa. Tentu saja yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka meneladani atas yang dilakukan oleh para leluhur penyebar Islam, misalnya Kanjeng Eyang Sunan Kalijaga, yang berpuasa dalam waktu panjang untuk menggapai “kearifan” atau “ainun bashirah”  dengan Dzat yang Maha Kuasa, sehingga memperoleh “kelebihan” dibandingkan dengan manusia pada umumnya.  Para Waliyullah adalah ulama yang memiliki pengalaman religious lebih hebat dibandingkan dengan umat Islam lainnya.

Oleh karena itu, di kala kita berada di dalam bulan Muharam atau bulan Suro, maka sebaiknya kita memperbanyak amalan shalihan, memperbanyak wirid atau dzikir dengan kalimat thayyibah atau berdoa sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Yunus. Doa tersebut misalnya adalah: “la ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadh dhalimin”. “Tidak ada Tuhan selain Allah, Maha Suci Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang dhalim atas diriku sendiri”.

Sebagai umat Islam, yang terpenting di dalam memperingati tahun baru Hijriyah tentu bukan dengan hura-hura atau bersenang-senang akan tetapi dengan keprihatinan dalam rangka menghadapi tahun yang akan berjalan. Upayakan dengan dzikir, wirid atau doa kepada Allah SWT.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MENDOAKAN SELAMAT BAGI UMAT BERAGAMA LAIN

MENDOAKAN SELAMAT BAGI UMAT BERAGAMA LAIN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kita ini sering menggaruk yang tidak gatal. Begitulah ucapan Pak Lukman Hakim Saifuddin, mantan Menteri Agama RI, tentang viralnya larangan membaca salam kepada pemeluk agama lain, yang dipicu oleh penjelasan salah seorang anggota Fatwa MUI yang menyelenggarakan pertemuan Majelis Fatwa MUI di Bangka Belitung, awal bulan Juni 2024. Di  dalam fatwa ini dinyatakan bahwa membaca salam kepada pemeluk agama lain hukumnya haram. Wah berat juga.

Ihwal keharaman membaca salam kepada umat beragama lain sudah pernah diungkapkan oleh MUI Jawa Timur pada tahun 2017, yang menyatakan bahwa membaca salam kepada agama lain itu dilarang sebab terdapat unsur keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya karena salam itu mengandung doa kepada orang non muslim maka dilarang mengucapkannya. Jadi yang boleh didoakan hanya orang Islam saja. Kira-kira begitu.

Menghadapi kenyataan ini, maka dalam Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) pada ceramah rutin Selasanan, 25/06/2024, saya mengungkap hal tersebut untuk menjadi pemahaman, bagaimana sebaiknya relasi antar umat beragama dapat dijalin dan bagaimana harus melakukan hal-hal yang tampaknya ada dimensi keagamaannya. Salam memang tidak hanya persoalan toleransi antar umat beragama tetapi juga ada dimensi keyakinan tentang doktrin keselamatan yang berasal dari Tuhan atau Allah SWT.

Ada semacam ketakutan bahwa dengan mengucapkan salam yang ada dimensi ketuhanannya seperti Om Swasti Astu yang merupakan sebutan Tuhan di dalam agama Hindu atau Nammo Buddhaya yang juga ada dimensi ketuhanannya, maka akan dapat merusak terhadap keyakinan di dalam agama Islam sebab Tuhan mesti disebut Allah SWT. Jadi kala menyebut nama Tuhan di dalam agama lain, maka akan jatuh kepada kemusyrikan. Sebab di dalam Islam hanya ada satu Tuhan yang diyakini kebenarannya dan jika seperti itu maka dianggap musyrik. Ini merupakan problem teologis yang bisa saja orang berbeda tafsir atas pengucapan salam.

Selain itu di dalam ucapan salam juga terdapat dimensi doa. Sebuah ucapan agar pemeluk agama lain selamat. Jadi ada dimensi ritual di dalamnya. Bukan sekedar toleransi akan tetapi juga memohon kepada Tuhan agar orang yang berada di dalam relasi sosialnya tersebut selamat. Hal ini juga merupakan problem yang tidak mudah dan bukan sekedar toleransi. Karena persoalan ibadah, maka juga harus dijelaskan aspek hukumnya. Itulah sebabnya MUI lalu mengharamkan mengucapkan salam kepada umat beragama lain.

Pernyataan keharaman mengucapkan salam kepada umat beragama lain itulah yang menyebabkan adanya sikap pro-kontra atas fatwa MUI. Apalagi MUI juga menyatakan bahwa fatwa MUI tersebut mengikat bagi umat Islam. Artinya, umat Islam tidak diperbolehkan melakukannya. Jika fatwanya haram, maka bagi yang melakukannya tentu saja berdosa dan ujung akhirnya bisa masuk ke neraka. Makanya, lalu ada yang mendukung atas fatwa MUI tersebut. Hal ini tentu didasarkan atas peristiwa Nabi Muhammad SAW yang pernah berhadapan dengan ucapan salam yang dilakukan oleh orang Quraisy dan Nabi Muhammad menjawabnya dengan ucapan yang tegas. Kala orang Quraisy menyatakan: “assamu ‘alaikum”, maka Nabi menjawabnya dengan “wa’alaikum”.

Ada dua pandangan tentang ucapan salam kepada umat agama lain, ada yang membolehkan seperti Sufyan ibnu Uyainah, Abdullah Ibnu Mas’ud dan bahkan Ibnul Qayyim al Jauzi, sementara juga ada pandangan yang melarangnya. Keduanya dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW. Masalah membaca salam kepada penganut agama lain adalah masalah khilafiyah. Sehingga ada yang memperbolehkan dan ada yang melarangnya. Tetapi kebolehan tersebut terkait dengan penghormatan atas orang beragama lain. Ada yang menyatakan bahwa boleh menjawabnya dengan ucapan wa’alaikum, yang berarti  begitu juga bagimu.  Ada juga yang memberikan jawaban wa’alaikum salam yang artinya demikian pula keselamatan bagimu. Akan tetapi tidak diperbolehkan memberikan tambahan wa’alaikum salam warahmatullah, yang artinya demikian pula keselamatan bagimu dan kerahmatan Allah kepadamu.

Islam merupakan agama yang penuh kerahmatan bagi umat manusia dan tidak hanya kepada umat Islam saja. Tidak hanya kepada umat manusia tetapi juga seluruh alam. Makanya, saling berdoa untuk keselamatan tentu bukan hal yang keliru. Islam bisa menjadi agama yang dipeluk oleh umat manusia seluruh dunia tentu karena kebaikan ajaran Islam dalam relasi social tersebut.

Oleh karena itu, sebaiknya umat Islam tetap mengedepankan toleransi dan penghormatan kepada umat beragama lain dengan cara mengucapkan keselamatan kepadanya. Jika di dalam suatu forum yang berisi campuran antar umat beragama, maka bisa diucapkan salam dengan ucapan “Assalamu ‘alaikum warahmatullah wa barakatuh”, dan dilanjutkan dengan ucapan “Salam sejahtera untuk kita semua”. Bukankah hal ini bukan sesuatu yang berlebihan dalam kerangka membangun harmoni antar umat beragama. Sama halnya jika mereka mengucapkan salam kepada kita dengan salam agamanya, maka kita juga dapat menjawabnya dengan kata “salam” atau “salam sejahtera”. Jika kita ragu-ragu tentang ucapan “Om swasti Astu” atau  ucapan “Nammo Buddaya”, maka cukup kita mengucapkan balasan dengan “salam” atau “salam sejahtera”. Ini pedoman bagi yang beragama Islam, tetapi bagi yang agama lain tentu dapat melakukannya sesuai dengan keyakinannya.

Tulisan ini tentu tidak berbasis pada kajian fiqih yang rumit, akan tetapi lebih merupakan penjelasan sosiologis yang memang bisa menghadirkan kebaikan bagi semua dan dalam kebersamaan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

BERKORBAN UNTUK INDONESIA DAMAI: IDUL ADHA 2024

BERKORBAN UNTUK INDONESIA DAMAI: IDUL ADHA 2024

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebuah keberuntungan, karena saya diminta untuk menjadi khotib Shalat Idul Adha di Masjid Nurul Iman, Perumahan Margorejo Indah, Surabaya. Hari Senin, 17/06/2024 atau bertepatan tanggal 10 Dzulhijjah 1445 H. Cukup lama panitia, Pak Imam Buwaity memberitahu saya untuk menjadi Khotib pada Hari Raya Kurban. Kalau tidak salah jauh sebelum hari Raya Idul Fitri tahun 2024 yang lalu. Kebahagiaan tersebut terjadi sebab saya bisa bertemu dengan Pak Imam Utomo, Mantan Gubernur Jawa Timur, yang usianya sudah 83 tahun. Tetapi sungguh luar biasa. Masih sehat dan segar bugar. Sambil menjawab tentang usianya beliau menyatakan: “sekarang pekerjaannya di masjid saja”. Subhanallah.

Yang juga membuat saya senang karena imamnya adalah Prof. Dr. Muktafi Sahal, MAg., dosen UINSA, dan Imam masjid Al Akbar Surabaya. Ternyata Pak Prof. Muktafi sudah sangat lama mengabdikan dirinya di Masjid Nurul Iman, sudah 15 tahun lamanya. Sebenarnya, pada waktu saya tahu bahwa imamnya Prof. Muktafi, maka secara seloroh saya nyatakan, “kenapa tidak Prof Muktafi saja yang menjadi khotibnya”. Saya sampaikan hal ini waktu bertemu di UINSA, beberapa waktu yang lalu.

Hadir di shalat Idul Adha ini adalah: Pak Emil E. Dardak, Wakil Gubernur Jawa Timur, Pak Imam Utomo, Pak Imam Buwaity, dan segenap jajaran Takmir Masjid Nurul Iman. Shalat idul Adha diselenggarakan di Lapangan depan masjid Nurul Iman yang cukup luas dan bisa menampung sebanyak ratusan orang. Hadir jamaah dari berbagai wilayah di sekitar masjid Nurul Iman. Sebagai orang yang pernah dan masih terlibat di dalam Gerakan Moderasi Beragama, maka tema khutbah ini adalah: “Merajut Islam Rahmah untuk Indonesia Damai”.

Masyarakat Indonesia sudah memantapkan pilihan bahwa Islam yang hidup dan berkembang di Indonesia adalah Islam wasathiyah sehingga gerakan yang ditetapkan dalam kerangka berbangsa dan bernegara adalah Gerakan Moderasi Beragama.  Upaya untuk memoderasi beragama tersebut tentu tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja tetapi juga harus menjadi bagian dari program organisasi keagamaan dan seluruh komponen masyarakat. Pilihan untuk membangun moderasi beragama adalah melalui pintu pendidikan dan gerakan kultural. Jadi yang dimoderasikan bukan agamanya tetapi umat beragama. Orangnya. Islam sudah menjadi agama yang moderat, agama yang rahmatan lil alamin. Untuk membangun perdamaian, maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan, yaitu:

Pertama, mengembangkan pendidikan dan dakwah yang membawa kerahmatan. Pendidikan sebagai upaya untuk mentransformasikan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan dan kemoderenan tentu saja harus menjadi pilihan di dalam pengembangan program moderasi beragama. Tanpa pendidikan yang berbasis pada tiga dimensi ini, maka dipastikan bahwa masyarakat Indonesia akan tertinggal di tengah percaturan dunia global yang semakin kompleks. Dakwah juga harus mengembangkan Islam wasathiyah. Pendidikan keislaman atau bahkan pendidikan keagamaan dan dakwah Islam harus bermuatan moderasi beragama atau di dalam Islam disebut sebagai Islam wasathiyah atau Islam rahmatan lil ‘alamin. Yang dimoderasikan bukan agamanya, karena Islam sudah agama yang wasathiyah. Yang dimoderasikan adalah penganut agama agar memiliki pemahaman dan pengamalan beragama yang moderat atau yang wasathiyah.

Guru umum,  guru agama serta da’i harus mengajarkan dan mendakwahkan konten pendidikan dan dakwah yang membawa Islam damai bukan Islam perang. Di dalam pendidikan dan dakwah harus berbasis keindonesiaan, maka yang diajarkan adalah pendidikan dan dakwah multikultural yang menghargai kebinekaan sebagai rahmat Tuhan dan bukan sebaliknya. Di sisi lain juga harus mengarahkan pendidikan dan dakwah untuk menyongsong Indonesia yang lebih baik dengan mengikuti perkembangan Revolusi Industri 4.0 atau Revolusi Industri 5.0. Para peserta didik dan masyarakat harus diajarkan bahwa bangsa Indonesia harus modern, tidak boleh tertinggal.

Kedua, membangun kesadaran masyarakat tentang umat Islam damai. Gerakan kultural dilakukan melalui penyadaran terhadap masyarakat tentang keharusan untuk menjadikan Islam wasathiyah sebagai pilihan kultural bagi bangsa Indonesia. Gerakan kultural mengandaikan bahwa masyarakat memiliki kesadaran tentang arti dan makna perdamaian, kerukunan, keharmonisan dan keselamatan semua warga bangsa, bahkan juga masyarakat dunia. Konflik baik lokal maupun regional pasti tidak akan pernah menguntungkan.

Konflik selalu membuat porak poranda tidak hanya infrastruktur kehidupan tetapi juga sistem sosial dan keteraturan  sosial. Kehancuran ada di mana-mana dan akan membuat kesedihan dan kesengsaraan. Sudah terlalu banyak contoh konflik atau perang yang justru menghancurkan dan bukan menyelamatkan. Negeri-negeri di Timur Tengah adalah contoh realistis bagaimana peperangan sungguh menghasilkan penderitaan jangka panjang,  tidak hanya secara pisikal tetapi juga mental. Yang terlihat hanyalah kehancuran demi kehancuran.

Ketiga, kita dapat belajar dari apa yang tidak boleh dilakukan dalam berhaji, yaitu rafats, fusuq dan jidal atau dilarang melakukan relasi seksualitas pada saat kita harus melakukan ibadah kepada Allah, artinya kita harus menahan diri tidak melakukan kesalahan dalam konteks sedang beribadah. Kita dilarang untuk menggunjing,  membulli, mencaci maki dan membuat pernyataan jelek dalam relasi sosial, dan dilarang juga kita melakukan perdebatan yang tidak ada manfaatnya. Dilarang kita melakukan perdebatan yang dapat merusak harmoni sosial yang seharusnya dijunjung tinggi.

Kita juga harus belajar tentang bagaimana Nabi Ibrahim mencintai Allah jauh dari cinta atas keduniawian lainnya, termasuk anaknya. Kecintaan kita kepada Allah harus berada di atas segala-galanya.padahal perintah untuk mengorbankan putranya itu hanya lewat mimpi, akan tetapi Nabi Ibrahim AS melakukannya dengan ketaatan dan keikhlasan yang sangat luar biasa. Saya kira sulit menemukan kepatuhan dan cinta manusia kepada Allah SWT yang melebihi kepatuhan dan cinta Nabi Ibrahim AS kepada Allah SWT.

Kita juga harus belajar kepada Nabi Muhammad SAW tentang bagaimana Beliau memberikan kasih sayangnya kepada umatnya. Bahkan di kala Beliau berdakwah ke Thaif dan Beliau terluka karena dilempari batu dan kotoran, kala Malaikat Jibril akan menghancurkannya dengan jepitan dua gunung di Thaif, maka Nabi Muhammad SAW melarangnya. Beliau menyatakan bahwa dirinya diutus oleh Allah SWT untuk memberikan pencerahan dan bimbingan religious dan jika masyarakat Thaif  memperlakukan seperti itu karena mereka belum tahu kebenaran ajaran Islam.

Wallahu a’lam bi al shawab.