• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BERTERIMA KASIH KEPADA NON MUSLIM, BAGAIMANAKAH?

BERTERIMA KASIH KEPADA NON MUSLIM, BAGAIMANAKAH?

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di dalam pengajian ini (Selasa, 22/04/2025), saya juga sempat menyampaikan bahwa berterima kasih itu tentu tidak hanya dikaitkan sengan sesama agama, yang tentu saja jawabannya sudah jelas. Harus dilakukan. Berterima kasih kepada sesama manusia, umat Islam, tentu perbuatan yang sangat terpuji di hadapan Allah SWT. Jika kita berterima kasih kepada manusia, khususnya kepada sesama umat Islam, tentu Allah sangat menyukainya.

Akan tetapi bagaimana dengan terima kasih kepada umat non muslim. Apakah juga harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Maka menurut saya, bahwa konteks Hadits Nabi Muhammad SAW tersebut sangat umum. Konteksnya bersyukur kepada manusia, bukan hanya bersyukur kepada umat Islam saja. “Fa man lam yaskurin nas lam yaskurillah”. Khitab hadits ini adalah kepada manusia dan tidak hanya kepada umat Islam. Jadi bersyukur kepada umat non muslim diperbolehkan. Jika ada umat non muslim yang berbuat baik kepada kita maka kita harus mengucapkan terima kasih.

Di dalam pengajian yang diselenggarakan oleh Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya, terdapat sebuah pertanyaan menarik dari jamaah, Pak Suryanto, terkait dengan  apakah mendoakan kepada non-muslim itu boleh atau tidak, sebab saya pernah mendengarkan pengajian bahwa mendoakan orang non muslim itu tidak diperbolehkan. Sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk menjawabnya.

Saya akan mencoba memberikan jawaban sesuai dengan nalar keagamaan yang saya miliki. Jangan dibayangkan saya akan menggunakan dalil-dalil agama yang tentu tidak mudah didapatkan. Setelah saya merenung sampailah saya pada jawaban, bahwa berdoa untuk orang non muslim itu boleh. Dengan catatan, yaitu mendoakan keselamatan untuk kehidupan yang bersifat duniawi tentu tidak ada halangan. Misalnya, selamat ulang tahun, selamat jalan, salam Bahagia, selamat menunaikan pernikahan, selamat memiliki putra atau putri, bahkan selamat beribadah. Yang bisa debatable adalah mengucapkan doa keselamatan untuk akherat, karena di sini ada masalah teologis yang jelas. Jadi misalnya mendoakan agar mereka mendapatkan keselamatan di akherat. Ini bisa jadi sebuah paradoks, sebab muslim dan non  muslim memiliki dimensi teologis yang membatasi dengan tegas, ini agamaku dan itu agamamu. Ini keyakinanku dan itu keyakinanmu. Lakum dinukum waliyadin.

Di dalam relasi antar umat beragama tentu yang dijadikan patokan adalah saling menghargai. Saya menghargai umat yang beragama lain dan umat beragama lain juga menghargai saya. Ini prinsipnya. Melalui cara penghormatan satu dengan lainnya, maka akan terbentuk sikap untuk tidak saling menyalahkan dan membenarkan diri sendiri. Beragama itu urusan keyakinan dan prinsip ini yang harus dipahami. Ada ruang secara internal membenarkan agamanya sendiri atau truth claimed, dan ada ruang eksternal yang kita harus bernegosiasi tentang kebenaran masing-masing. Di dalam ruang internum kita dapat  meyakini dan bahkan harus meyakini keyakinan kita secara bulat, akan tetapi di ruang eksternum maka kita dapat menghargai keyakinan orang lain.

Dengan cara seperti ini, maka kita dapat berkawan dengan siapa saja dan bisa bersahabat dengan siapa saja. Kita akan dapat membangun kehidupan dalam lintas agama, tanpa prasangka dan sikap yang berlebihan. Saya terbiasa untuk saling mengucapkan selamat hari raya, dan saya menjalaninya dengan enjoy saja. Tidak ada perasaan saya berkurang keimanan saya, dan saya juga merasa hal ini sebagai kewajiban kemasyarakatan kewajiban ijtima’iyah.

Mungkin ada di antara kita yang tidak setuju dengan pandangan ini. Bagi sekelompok orang tertentu yang beranggapan keabsolutan relasi social, maka hal seperti ini pasti merupakan kekeliruan berpikir. Tetapi bagi saya yang absolut itu dimensi teologis dan ritual, tetapi di dalam relasi social kemanusiaan tidak mutlak berlaku absoluditas keyakinan tersebut. Bagi saya bahwa umat Islam boleh berhubungan dengan sesama muslim dan tentu juga boleh berhubungan social dengan umat non muslim. Ada ukhuwah insaniyah atau persaudaraan sesama manusia yang  menjadi kewajiban kita.

Dimensi internum memang mutlak atau absolut, tidak boleh bergeser sedikitpun, akan tetapi di dalam relasi eksternum bisa plus dan minus. Ada ruang hablum minallah yang pasti tidak bisa digeser, dan ada ruang hablum minan nas yang bisa dilakukan negosiasi antar manusia. Orang bisa saling menghormati, orang bisa saling berterima kasih dan orang bisa saling berbagi kebaikan untuk kepentingan duniawi.

Inilah prinsip yang sebaiknya digunakan di dalam membangun persaudaraan sesama umat manusia. Islam  sudah mengajarkannya dengan sangat baik. Saya yakin bahwa dengan cara seperti ini, maka kehidupan di dunia akan penuh dengan kebaikan, kebahagiaan dan keselamatan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

ENERGI, KUANTITI DAN VIBRASI

ENERGI, KUANTITI DAN VIBRASI

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Selasa, 15/04/2025 merupakan hari yang membahagiakan. Tentu saja karena ada acara ngaji pada Komunitas Ngaji Bahagia (KNB), yang setiap Selasa menyelenggarakan acara mengaji di Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Kegembiraan tersebut terlihat karena di dalam acara ngaji ini selalu diwarnai dengan tertawa lepas karena joke-joke yang tersaji di dalam acara ceramah selasanan dimaksud. Kali ini yang memberikan taushiyah adalah Ustadz Sahid Sumito, seorang trainer SDM yang andal dan banyak memberikan pelatihan baik di birokrasi, Perusahaan dan juga Lembaga non pemerintah.

Temanya memang agak berat sebab mengupas tentang energi yang tentu tidak mudah dipahami oleh orang yang tidak terbiasa mendengarkan konsep-konsep di dalam ilmu fisika. Tetapi energi yang dimaksud di dalam taushiyah ini mencakup energi atau kekuatan yang dimiliki oleh manusia yang di dalam dirinya terdapat roh atau tiupan roh dari Tuhan. Energi atau daya kekuatan manusia untuk menyerap dan mengeluarkan kekuatan yang berasal dari kekuatan roh dari Tuhan. Setiap manusia sesungguhnya memiliki kekuatan ini, hanya saja ada yang berselaras dengan kekuatan kebaikan dan ada yang terkait dengan kekuatan kejelekan.

Ada kekuatan di atas garis demarkasi dan ada kekuatan di bawah garis demarkasi. Garis demarkasi itu yang sering saya sebut sebagai jiwa atau nafsu. Ada jiwa yang berselaras ke atas dan ada yang berselaras ke bawah. Berdasarkan cerita Pak Sahid, bahwa setiap hari sebaiknya manusia selalu menarik garis itu ke atas dengan kuantiti sebesar 300 daya  ke atas. Jangan sampai kuantitinya itu di bawah 300 daya. Jika di bawah 300 daya kuantitinya, maka doa-doa yang kita lantunkan kepada Allah akan kembali turun ke bawah sehingga doa tidak sampai ke hadirat Allah SWT.

Setiap kita berdoa, maka doa tersebut akan naik ke langit. Tetapi doa tersebut berhenti untuk didorong lebih ke atas lagi. Untuk mendorong tersebut maka kuantiti nilainya atau dayanya harus di atas 300 nilai. Nilai akan semakin besar jika kita dapat mengedepankan rasa Syukur, tawakkal, dan sabar dan semua yang berresonansi kebaikan. Semakin besar perasaan tersebut, maka akan semakin kuat dorongan untuk naik ke atas.

Namun jika dorongannya lemah bahkan nyaris tidak ada, maka doa akan tertarik kembali ke bawah. Selesai berdoa lalu sedih, putus asa, tidak ada harapan, tidak mengembangkan sikap positif kepada Allah,  maka doa tersebut akan tertarik ke bawah dan akibatnya doa tersebut akan tertolak. Oleh karena itu kita harus berusaha untuk merasa senang, happy, bersyukur, sabar,  tawakkal dan menerima takdir Tuhan apa adanya, sehingga doa akan dapat naik ke langit tertinggi, ke Sidratul Muntaha, ke Mustawa dan sampai ke haribaan Allah SWT.

Energi terbesar di dalam kehidupan dunia adalah energi ka’bah. Itulah sebabnya manusia diminta untuk bertemu dengan ka’bah. Shalat diarahkan ke ka’bah sebab kita ingin menyerap energi yang besar tersebut. Di sinilah kemudian akan muncul vibrasi atau getaran jiwa yang terhubung dengan energi ka’bah. Dipastikan bahwa ada pengalaman religious di kala kita melakukan shalat atau berdzikir kepada Allah. Masing-masing individu memiliki pengalaman tersebut. Di dalam tulisan saya terdahulu (nursyam.uinsaby.ac.id 28/03/2025), saya nyatakan bahwa ada orang yang merasakan ada keajaiban di dalam kehidupan. Dan keajaiban itulah yang dimaksud dengan vibrasi, yang memamg bercorak individual, tidak bisa diulang dan sangat special.

Vibrasi akan datang di kala kita memang bisa melakukan relasi yang optimal dengan energi besar di dunia. Energi ka’bah. Itulah sebabnya banyak orang yang berkeinginan berulang-ulang untuk mendatangi ka’bah karena peluang untuk merasakan vibrasi ka’bah yang sedemikian besar. Tetapi jangan khawatir sebab Allah menyediakan vibrasi tersebut bagi siapa saja dan di mana saja. Bisa di daratan, di lautan dan bahkan di udara.

Ada beberapa pengalaman para astronaut yang mengamati gerakan atau pusaran ka’bah dan menemukan ada energi yang muncul dari situ. Putaran orang di dalam mengelilingi  ka’bah atau thawaf ternyata juga memiliki energi yang sangat luar biasa. Bahkan nuansa malam Lailatul Qadar juga dapat diamati dari luar ungkasa. Nuansa keheningan dan kebeningan malam itu sungguh menakjubkan dan dapat diamati secara langsung. Demikianlah Allah menunjukkan kepada hambanya tentang energi alam yang mengagumkan.

The experience of the holy bukan isapan jempol belaka, akan tetapi adalah sebuah keajaiban. Allah dapat memberikan keajaiban tersebut kepada orang yang memang dikehendakinya. Tentu tidak semua orang dapat menerimanya. Namun demikian juga ada potensi bagi seseorang untuk mendapatkannya. Di dalam cerita-cerita tasawuf banyak dijumpai pengalaman spiritual yang khas tersebut. Di dalam dunia tasawuf dikenal konsep kasyaf yaitu suatu momentum di mana Allah dapat bertemu secara energi yang menghasilkan vibrasi yang tidak bisa dibuka oleh orang awam. Hanya orang khas yang bisa merasakannya.

Adakah peluang kita untuk mendapatkannya? Tentu sangat terkait dengan riyadhah yang kita lakukan. Semakin besar riyadahnya maka semakin besar peluang mendapatkannya. Semoga sekali di dalam kehidupan ini, kita dapat merasakannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

MEMBANGUN RUMAH INDAH DI SURGA, MUNGKINKAH?

MEMBANGUN RUMAH INDAH DI SURGA, MUNGKINKAH?

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Keberadaan surga sebagai tempat untuk membalas atas orang yang berprilaku baik atau beramal yang shaleh saja masih diragukan orang. Begitulah kira-kira “keraguan” tentang kemungkinan orang beriman dan beramal shaleh dapat membangun rumah indah di surga. Bagi orang atheis atau agnostic, jawabannya pasti tidak dapat. Tetapi bagi umat Islam, maka jawabannya yakin bahwa umat Islam yang menjalankan ajaran Islam dipastikan bisa.

Surga memang bagian dari kegaiban di antara kegaiban-kegaiban lainnya di dalam ajaran Islam. Selain itu juga terdapat neraka, alam kubur, dan alam akherat. Semuanya ini termasuk misteri di dalam agama yang manusia harus meyakini dengan tidak mempertanyakannya. Ini merupakan wilayah doktrin agama yang mutlak. Wilayah iman, yaitu wilayah yang manusia hanya bisa percaya dan tidak menolaknya. Yang diharapkan adalah iman sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar As Shddiq, sosok pelaku iman yang tidak diragukan.

Sebagaimana diceritakan oleh Prof. Nasaruddin Umar, Menag, bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki sahabat-sahabat yang hebat. Ada sahabat Abu Bakar yang beriman dengan segenap rasa keberagamaannya, ada sahabat Umar yang beragama secara rasional, ada sahabat Usman yang beragama dengan kedermawanaanya dan keikhlasannya dan ada sahabat Ali yang beriman dengan kecerdasannya. Oleh karena itu, mereka mengawali imannya yang sesuai dengan pendekatannya, tetapi pada ujung akhirnya semua meyakini secara total akan Ketuhanan Allah SWT dan Kenabian Muhammad SAW.

Ada tiga alasan mengapa manusia akan bisa mendapatkan rumah indah di surga, yaitu: pertama, alasan teologis. Semua teks suci dalam agama-agama  menyatakan bahwa nanti akan  terdapat kehidupan di akherat. Agama-agama Semitis, Yahudi, Nasrani dan Islam, semuanya mengabarkan hal tersebut. Artinya berdasar atas kajian intertext, maka semua agama membenarkan keberadaan surga. Agama Hindu dan Budha juga menggambarkan hal yang sama. Dengan demikian agama-agama yang dipeluk oleh umat manusia mengakui akan keberadaan surga dengan nama yang berbeda-beda sesuai dengan Bahasa kitab sucinya.

Islam memberikan gambaran bahwa surga atau Jannah di dalam Bahasa Arab merupakan tempat yang dijanjikan oleh Allah SWT kepada umat Islam yang patuh dan taat kepada ajaran agamanya. Mereka meyakini akan kebenaran rukun iman dan juga menjalankan rukun Islam serta berakhlak yang baik kepada sesama umat manusia. Di dalam Surat Al Kahfi ayat 110, dijelaskan sebagai berikut: “Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia  mengerjakan Kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatupun dalam beribadah kepada Tuhannya”.

Ayat ini memberikan kabar gembira kepada umat Islam, bahwa manusia kelak di alam akherat, bagi yang masuk surga, maka akan bertemu dengan Allah, Dzat Rabbul izzati, dengan catatan orang tersebut berbuat Kebajikan dan tidak menyekutukan Tuhannya. Mereka adalah ahli surga, sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah SWT. Makanya umat Islam yang melakukan amal kebaikan dijanjikan untuk masuk surga dari berbagai macam pintu yang disediakannya.

Salah satu kegembiraan bagi umat Islam adalah Allah SWT akan membangunkan rumah di surga. Nabi Muhammad SAW menyatakan “barang siapa yang membangun masjid maka Allah akan membangunkan rumah baginya di surga”. Jadi manusia akan memiliki rumah di surga, khususnya bagi yang bisa membangun masjid. Oleh karena itu jika ada banyak umat Islam yang memiliki harta yang lebih, maka yang diutamakan adalah membangun masjid. Orang Arab Saudi yang kaya banyak membangun masjid di Indonesia. Tentu diilhami oleh pernyataan Nabi Muhammad SAW tersebut.

Kedua, secara sosiologis, manusia mengakui bahwa ada orang yang baik dan ada orang yang jahat. Pengakuan tersebut tentu didasari oleh realitas yang dihadapinya. Ada sebuah peribahasa: “macan mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan nama”. Jadi orang baik itu ada secara sosiologis. Tentu saja kebaikan tersebut tergantung dari cara pandang masing-masing. Ada yang menggunakan ukuran agama dan ada yang menggunakan ukuran lainnya.

Manusia memang hidup dalam suatu komunitas dan suatu Masyarakat, sehingga kebaikan atau keburukan tersebut tentu saja dapat diketahui oleh orang lain. Dalam hal yang sangat realistis, misalnya ada orang yang dermawan dan ada orang yang pelit. Ada orang yang sabar dan ada orang yang pemarah. Ada orang yang keras  dan ada orang yang lemah lembut dan sebagainya. Semua dapat diukur oleh ukuran manusia.

Diyakini oleh Masyarakat beragama bahwa orang yang baik nanti akan mendapatkan balasan di surga dan orang yang jahat akan mendapatkan balasan di neraka. Masyarakat meyakini hal itu. Pengetahuan seperti itu bisa didapatkan dari berbagai penjelasan para ulama yang tersebar di berbagai platform. Baik platform digital maupun platform konvensional lainnya. Semua menggambarkan betapa orang baik itu akan memperoleh kebaikan dan orang yang jahat juga akan berakibat bagi dirinya. Di dalam filsafat Jawa dikenal konsep “ngunduh wohing pakarti” yang di dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan: “memanen atas usaha yang dilakukannya”.

Ketiga, Dari uraian secara teologis maupun sosiologis ini menggambarkan bahwa kebaikan akan berbuah kebaikan dan kejahatan akan berbuah kejahatan. Oleh karena itu manusia akan bisa memilih, apakah akan menjadi orang yang baik atau menjadi orang yang jahat. Orang yang baik, berdasarkan atas pandangan teologis maupun sosiologis akan mendapatkan balasan di surga, dan orang yang berbuat jahat akan menjadi penghuni neraka. Dari sinilah akan bisa dipahami makna manusia memiliki rumah di surga atau bahkan secara provokatif dapat  disebut bahwa manusia dapat mendirikan rumah di surga. Mendirikan tentu dalam makna simbolik, sebab Tuhan memang sudah menyediakan rumah-rumah indah di surga.

Wallahu a’lam bi al shawab.

HAKIKAT SYUKUR  PADA MANUSIA

HAKIKAT SYUKUR  PADA MANUSIA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Syukur dengan ungkapan alhamdulillah mungkin sudah menjadi kebiasaan kita. Nyaris setiap hari kita bersyukur kepada Allah, terutama dalam bentuk ungkapan atau bacaan alhamdulillah. Kita masuk rumah dari bepergian jauh atau dekat, maka kita mengucapkan syukur dengan ungkapan alhamdulillah. Selesai menyelesaikan tugas baik yang ringan maupun yang berat, maka mulut kita juga berucap alhamdulillah. Selesai makan atau minum juga mengucapkan alhamdulillah. Demikian pula selesai melakukan ritual, maka kita juga mengucapkan alhamdulillah. Pokoknya serba alhamdulillah.

Syukur memang kebanyakan diungkapkan dengan lesan. Dengan ucapan. Bahkan ada orang yang sedikit-sedikit alhamdulillah. Semua itu menggambarkan bahwa ucapan Syukur telah menjadi kelaziman di dalam kehidupan kita semua. Memang syukur kebanyakan diungkapkan di kala mendapatkan kesenangan atau mendapatkan kenikmatan, baik kenikmatan fisik atau kenikmatan jiwa. Kenikmatan fisik adalah kebaikan yang dirasakan secara fisikal sedangkan kenikmatan jiwa dirasakan dalam bentuk ketenangan, rasa damai, rasa senang dan sebagainya melalui instrument hati.

Kenikmatan atau ketenangan merupakan suatu system yang menyelimuti fisik dan jiwa. Senang adalah gabungan antara dunia fisikal dan dunia kejiwaan. Biasanya diawali dengan kenikmatan fisik dan kemudian menjalar ke dalam jiwa. Di dalam Islam terdapat sebuah ungkapan bahwa jiwa atau hati yang senang berada di dalam fisik yang senang, atau jiwa yang sehat berada di dalam tubuh yang sehat. Relasinya memang timbal balik. Di dalam jiwa yang senang terdapat fisik yang sehat dan di dalam fisik yang sehat juga terdapat mental yang sehat. Hati merupakan sumber mental  dan jiwa yang merupakan satu kesatuan.

Syukur sesungguhnya tidak hanya di dalam ucapan atau yang disebut sebagai syukur secara lesan. Tetapi juga harus terdapat juga syukur secara hati atau jiwa. Dan lebih dari itu syukur juga berupa kelakuan atau tindakan. Marilah kita bahas syukur tersebut, yaitu:

Pertama, Syukur secara lesan adalah wujud syukur yang bercorak individual. Atas nama capaian pribadi yang berhasil, maka kita menyatakan syukur secara lesan. Demikian pula syukur dengan jiwa, juga kebanyakan syukur yang dilakukan secara lesan karena prestasi individu atau capaian individu. Bisa juga kesenangan secara individual atau kenikmatan yang dirasakan secara individu. Ucapan-ucapan syukur berada di dalam kawasan dimaksud.

Kedua, Syukur yang dilakukan dengan amalan shalihan. Syukur dalam bentuk prilaku inilah yang merupakan syukur dalam kategori terbaik. Bersyukur tidak hanya dalam ungkapan dan batin atau hati atau jiwa akan tetapi dengan amalan nyata. Syukur dalam bentuk ini merupakan bentuk syukur yang ditujukan kepada orang lain, agar orang lain juga bisa bersyukur atas kenikmatan Allah. Memberi makan orang miskin, memberi makan kepada orang yang sedang berada di jalan Allah, memberikan minum kepada orang yang haus dan memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan merupakan bentuk syukur yang tertinggi.

Di Gapura Makam Kanjeng Eyang Syekh Ibrahim Asmaraqandi terdapat ungkapan di dalam Bahasa Jawa yang bunyinya: “wenehono  mangan marang wong kang keluwen, wenehono klambi wong kang kawudan, wenehono payung wong kang kepanasan”, yang artinya: “berikan makan kepada orang yang kelaparan, berikan baju atas orang yang telanjang dan berikan payung kepada orang yang kepanasan”. Betapa mendalamnya ajaran Kanjeng Eyang Syekh Ibrahim Asmaraqandi ini. Inilah sesungguhnya perwujudan rasa syukur dengan cara memberi  kepada orang lain.

Ketiga, Di dalam ajaran Islam terdapat sebuah konsep yang patut menjadi perhatian kita semua. Dinyatakan di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi, sebagai berikut: wa man lam yaskurin nas, lam yaskurillah, yang artinya: “barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka tidak bersyukur kepada Allah”. Mengapa kita harus bersyukur kepada manusia dan kenapa tidak cukup bersyukur kepada Allah? Inilah hakikat dari rasa syukur. Allah memang dipastikan akan memberi rezeki kepada semua hambanya. Apapun hambanya. Tetapi rezeki tersebut terkadang harus melalui perantara atau washilah orang lain. Ada orang yang mendirikan Perusahaan dan kita bekerja di dalamnya, kita mendapatkan gaji untuk menghidupi keluarga. Maka sudah sepantasnya kita bersyukur kepada orang tersebut. Maksudnya berterima kasih, dan dari rasa terima kasih tersebut hakikatnya adalah bersyukur kepada Allah.

Ucapan terima kasih memiliki power yang luar biasa dalam relasi social. Seseorang akan merasa terhormat karena pekerjaannya atau usahanya lalu dihargai orang meskipun hanya dengan ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih secara psikhologis masuk dalam kebutuhan akan pengakuan atau rekognisi. Dengan memberikan ucapan terima kasih atas upaya atau pekerjaan orang yang terkait dengan diri kita, maka di situ akan terdapat rasa bahagia.

Di sinilah rahasia kenapa Allah melalui Nabi Muhammad SAW memberikan tekanan pada pentingnya bersyukur atau berterima kasih kepada sesama manusia. Bahkan dinyatakan jika kita tidak bisa berterima kasih kepada sesama manusia, maka hakikatnya kita tidak berterima kasih kepada Allah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

JAGA AMAL SHALIH UNTUK JIWA

JAGA AMAL SHALIH UNTUK JIWA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Lebih dari satu bulan, Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) berhenti beraktivitas dalam bentuk pengajian rutin. Puasa tentu menjadi alasan untuk menghentikan sementara ngaji bahagia yang diikuti oleh para jamaah konsisten. Hal itu dilakukan sebab kalau malam sudah ada kuliah tujuh menit atau kultum menjelang shalat tarawih dan kalau pagi pada ngaji One Day One Juz. Alhamdulillah dua acara yaitu malam dan pagi hari tersebut dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Selasa, 08/04/2025 acara ngaji bahagia dimulai lagi. Dan sebagaimana biasa diikuti oleh jamaah yang berkomitmen untuk tersenyum dan tertawa, sambil memperkaya pengetahuan tentang ajaran Islam. Meskipun temanya bervariasi, akan tetapi tetap ada benang merahnya, bahwa yang dikedepankan oleh ngaji bahagia  lebih banyak aspek tabsyir atau kemudahan atau kebahagiaan di dalam beragama dan bukan semata-mata tandzir atau kesulitan dan kerumitan dalam beragama. Jadikan beragama secara aktivitas happy dan bukan beragama dengan nafsu kekakuan dan menyulitkan.

Untuk mengawali pengajian ini, maka saya yang menjadi pemantik diskusi. Agak berbeda dengan pengajian di masjid lain yang lebih bercorak monolog, maka pengajian di masjid ini lebih bercorak dialog. Jadi terkadang nara sumber berfungsi mengantarkan diskusi dan para jamaah bisa memberikan  penjelasan tambahan. Saya menyampaikan tiga hal, yaitu:

Pertama, kita adalah hamba Allah yang beruntung. Orang yang sudah bisa menyerasikan antara kesalehan ritual dan kesalehan social. Kesalehan ritual tersebut ditandai dengan selama satu bulan penuh kita menjalankan puasa dan melakukan amal kebaikan kepada sesama manusia. Pada bulan yang penuh dengan rahmat dan pengampunan tersebut, kita sudah melakukan hal-hal yang wajib dan juga hal-hal yang sunnah. Kehidupan kita benar-benar full ibadah. Memang harus tetap bekerja akan tetapi kita bersyukur bisa menyeimbangkan antara dunia kerja dengan dunia ibadah.

Selama bulan puasa seluruh keyakinan dan ritual telah kita lakukan. Semua sudah menjadi kelaziman. Tentu yang diharapkan adalah bagaimana sesudahnya. Apa kita masuk dalam kategori yang meningkat, yang biasa saja atau bahkan yang menurun. Ini yang harus menjadi atensi kita semua. Yang diharapkan tentu saja sekurang-kurang sama atau mungkin bahkan bertambah. Bulan Syawal itu maknanya meningkat atau peningkatan. Akan tetapi sekali lagi bahwa ibadah itu adalah kecenderungan jiwa, apakah akan bersearah dengan roh atau bersearah dengan jasad atau fisik.

Kedua, ada satu ayat Alqur’an di dalam Surat Al Fusshilat, ayat 46, yang teksnya berbunyi: “faman ‘amila  shalihan falinafsihi, wa man asaa fa’alaiha, fa ma Rabbuka bidhallami lil ‘abid”, yang artinya: “maka siapa yang beramal kebaikan maka untuk dirinya sendiri, dan yang melakukan kejelekan juga untuk dirinya sendiri, akan tetapi Tuhanmu tidak sekali-kali akan berbuat dhalim terhadap hambanya”. Terjemahan di dalam Alqur’an tarjamah nyaris semuanya sama menjelaskan bahwa fa linafsihi adalah untuk dirinya sendiri.

Akan tetapi saya mencoba untuk menjelaskan bahwa falinasihi itu titik tekannya pada dimensi kejiwaan. Diri sendiri yang terkait dengan dunia Jiwa. Jadi khitab atau obyek ayat ini adalah kepada jiwa. Nafsun secara bahasa  adalah jiwa. Di dalam diri seseorang terdapat tiga dimensi yang bercorak sistemik, yaitu raga atau fisik, jiwa atau nafs dan roh. Roh adalah milik Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Sedangkan raga dan fisik akan kembali ke surga atau neraka. Tetapi kita yakin bahwa peluang ke surga sangat besar karena kasih sayang Allah SWT kepada hambanya.

Saya berpandangan bahwa yang akan mendapatkan kenikmatan atau kesengsaraan di alam akherat adalah jiwa dan raga. Sedangkan roh akan kembali kepada Tuhan. Mustahil Allah akan menyiksa kepada Roh yang merupakan bagian Tuhan. Allah meniupkan roh kepada manusia, artinya Roh adalah milik Tuhan yang abadi. Secara logika pernyataan ini benar, hanya saja tentu ada pro-kontra atas penjelasan teks seperti ini. Tetapi bisa juga dipahami diri sendiri itu dengan matra jasad, jiwa dan roh.

Ketiga, Jiwa memang harus dimanej. Jiwa  atau nafs akan dapat dipengaruhi oleh jasad atau oleh roh. Jika yang berpengaruh itu jasad atau aspek hayawaniyah, maka jadilah yang dominan adalah sifat hayawan. Makan yang serba enak, minum yang serba nikmat dan juga memanjakan syahwat lainnya. Tetapi jika yang berpengaruh adalah roh, maka akan berkecenderungan menyukai kebaikan dan kebenaran. Pengaruh agama di dalam kehidupan hakikatnya kala jiwa dipenuhi dengan roh yang merupakan percikan Tuhan.

Untuk memanej jiwa agar selalu berselaras dengan roh, maka Allah menurunkan agama sebagai pedoman untuk melakukan tindakan. Agama sebagai pattern for behaviour. Ada petunjuk untuk melakukan kebaikan baik vertical maupun horizontal. Yang vertical misalnya membaca shalawat. Ibadah lain itu masih berada di antara diterima atau ditolak, tetapi shalawat Nabi pasti diterima. Apalagi jika melakukannya dengan Ikhlas dan penuh pengharapan. Ada raja’ atau harapan di dalam membaca shalawat agar kita mendapatkan syafaat dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Kalimat thayyibah sangat besar pengaruhnya untuk memanej jiwa atau memanej hati. Maka secara proposisional bisa dinyatakan bahwa semakin banyak bacaan kalimat tahyyibah yang dilantunkan oleh seseorang, maka makin besar peluangnya untuk dapat menjaga hati atau jiwanya.

Kita harus yakin, bahwa bacaan kalimat thayyibah tersebut akan dapat menjadi perantara agar kita selalu berada di dalam naungan rahmat dan hidayah Allah SWT.

Wallahu a’lam bi al shawab.