PIKIR, DZIKIR DAN TAQWA
PIKIR, DZIKIR DAN TAQWA
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Judul ini saya rumuskan atas ceramah agama yang saya sampaikan pada Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Kelompok pengajian yang dilabel dengan nama Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) itu memang menyelenggarakan ngaji bareng setiap Selasa ba’da Shubuh, dengan prinsip Ngaji Bahagia atau ngaji dengan tertawa dan senyum bareng-bareng. Jadi setiap Selasa kita harus menyiapkan bahan humor agar tetap bisa mengaji dan bahagia. Bukankah tertawa merupakan salah satu indicator kebahagiaan. Ngaji ini dilakukan pada 23/07/2024.
Pertama, Islam mengharuskan umatnya untuk berpikir. Di dalam Alqur’an banyak terdapat ayat yang memberikan gambaran tentang berpikir dengan diksi afala tafakkarun atau afala ta’qilun. Biasanya di dalam teks tersebut dikaitkan dengan hal-hal yang bercorak empiris atau non empiris yang memerlukan pemikiran, sehingga di kala kita tidak memikirkannya atau pemikiran kita tidak sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Alqur’an atau tidak sesuai dengan petunjuk Tuhan melalui Nabi-Nabinya, maka lalu Allah memperingatkan, apakah kamu tidak berpikir.
Maka yang disentuh oleh tanda-tanda alam atau tanda-tanda ketuhanan adalah pemikiran. Yang menjadi sasarannya adalah otak manusia. Di dalam konteks ayat ini, maka digambarkan bahwa manusia sesungguhnya diberikan kekuatan pemikiran atau kemampuan logika yang dapat dijadikan sebagai instrument untuk menghadirkan keberadaan Allah. Alam yang teratur, manusia yang diciptakan dengan kelengkapan fisik dan jiwa, dengan kemampuan untuk menalar dan sebagainya haruslah menjadi instrument untuk meyakini bahwa Tuhan itu ada. Bisa jadi masing-masing membahasakan Tuhan sesuai dengan bahasanya, tetapi intinya bahwa manusia meyakini keberadaan Dzat Yang Maha Kuasa atau omnipotence dan Yang Maha Tahu atau omniscience. Tidak mungkin manusia dengan kelengkapan yang sempurna untuk hidup dan alam yang sempurna dalam penciptaannya itu terjadi dengan sendirinya. Itulah yang dinyatakan Tuhan agar manusia memikirkan ciptaan Allah dan tidak memikirkan dzatnya Allah SWT.
Jangan kita bertanya Dzat Tuhan terbuat atau terdiri dari partikel apa, akan tetapi berpikirlah tentang penciptaan alam dan seluruh isinya yang sempurna. Tidak boleh berpikir tangan Tuhan dan wajah Tuhan seperti apa, akan tetapi bagaimana Allah menjadi pencipta atas segala kehidupan di dunia. Manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tata surya, galaksi dan sebagainya. Bagaimana binatang yang buas memiliki rasa cinta kepada anak-anaknya, bagaimana tumbuhan bisa beranak pinak untuk menyebarkan keturunannya dan sebagainya.
Kedua, manusia harus berdzikir kepada Allah sebagai wujud atas hasil pemikirannya bahwa Tuhan itu maujud. Jika seseorang sudah berpikir tentang ciptaan Tuhan dan berkesimpulan bahwa ada Dzat Yang Maha Tahu atas apa yang diciptkannya, dan Dzat yang Maha Kuasa atas semua ciptaannya, maka pada gilirannya manusia diharuskan untuk berdzikir atau mengingat Allah atau mengambil pelajaran dan manfaat atas keyakinannya tersebut. Manusia sudah seharusnya untuk mengambil pelajaran atas bagaimana bumi dihamparkan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung ditegakkan dan seterusnya. Bagaimana bumi dengan tanamannya bisa menjadi sumber kehidupan bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Bagaimana langit menjadi pelindung atas cahaya panas dan bintang-bintang yang jatuh di bumi. Atmosfir dapat membakar atas benda-benda langit yang jatuh, misalnya meteor, sehingga tidak jatuh ke bumi.
Alangkah indahnya Allah menciptakan semua ini. Jika manusia meyakini hal ini, maka dia pasti akan bertasbih, bertahmid, atau dengan kata lain berdzikir kepada Allah karena kehebatan semua hal tersebut. Berdzikir dikaitkan dengan diksi afala tadzakkarun atau apakah tidak mengambil pelajaran. Jadi manusia diminta oleh Allah untuk selalu menjadikan seluruh alam sebagai pelajaran. Berdzikir dikaitkan dengan qalbun atau hati, yang di dalamnya terdapat emotional intelligent, social intelligent dan spiritual intelligent. Dengan kesadarannya maka manusia bisa memaknai kehadiran Tuhan di dalam kehidupan.
Ketiga, di dalam berpikir dan berdzikir tersebut, maka ada tiga corak manusia dalam memahami teks suci sebagai pedoman utama dalam kehidupan beragama. Ada yang disebut sebagai kaum tekstualis atau kaum fundamentalis. Mereka adalah orang yang memahami agama sebagaimana bunyi teksnya. Jika Allah digambarkan di dalam Alqur’an memiliki wajah maka di dalam pemahamannya bahwa Allah itu berwajah. Jika Allah itu bertangan maka Allah juga bertangan. Tetapi yang mendasar kaum tektualis tersebut lalu menjadi fundamentalis yang beranggapan bahwa orang yang berbeda dengan keyakinannya dianggap sudah bukan lagi sebagai orang Islam.
Lalu ada kaum kontekstualis atau kaum moderat, yaitu kelompok yang memahami atas Alqur’an dengan cara tidak hanya melihat teksnya tetapi juga konteksnya. Jika dinyatakan bahwa Tuhan itu berwajah maka yang dimaksud bahwa Tuhan itu ada di mana-mana sesuai dengan kekuasaannya. Tuhan itu tidak menempati tempat tertentu, misalnya arasy, sebab tentu tidak ada tempat yang dapat menampung dzat Tuhan Yang Maha Agung. Jika ada tempat yang menjadi tempat Tuhan berarti ada yang lebih besar dari Tuhan. Jika Tuhan digambarkan memiliki tangan, maka tangan itu berari kekuasaan. Bukan tangan dalam gambaran manusia. Dipastikan bahwa Allah itu Maha Kuasa dengan kekuasaannya.
Kemudian juga ada kaum liberalis atau kelompok yang bebas untuk bertuhan atau tidak bertuhan. Semau-maunya. Tentu kala bertuhan juga dengan alasannya dan jika tidak bertuhan juga dengan alasannya. Bisa menjadi theis atau atheis. Bisa juga menjadi agnostic. Orang yang ragu-ragu atas keberadaan Tuhan yang akhirnya justru berpeluang lebih besar untuk tidak meyakini keberadaan Tuhan. Dewasa ini orang yang semakin atheis semakin banyak. Di Eropa, misalnya Belanda, Swedia, Jerman, Perancis, Spanyol, Inggris dan lain-lain, maka orang yang mempercayai keberadaan Tuhan kurang dari 30 persen. Sementara itu di Italia tinggal 50 persen. Beruntung di Indonesia masih 97 persen yang percaya Tuhan.
Meskipun manusia itu atheis atau tidak meyakini keberadaan Tuhan, namun jika mereka terkena musibah atau penderitaan, dalam banyak hal lalu percaya atas keberadaan Tuhan. Mereka akan menyebut “Oh my God”, atau “Ya Tuhan”, dan lain-lain. Di dalam dunia psikhologis digambarkn bahwa di kala orang sedang dalam mara bahaya, maka yang pertama disebut bukan keluarganya tetapi Tuhan.
Wallahu a’lam bi al shawab.