• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BASIS SOSIOLOGIS BACAAN KALIMAH THAYYIBAH

BASIS SOSIOLOGIS BACAAN KALIMAH THAYYIBAH

Prof.  Dr. Nur Syam, MSi

Saya harus menyiapkan diri untuk menjadi penceramah pada setiap hari Selasa ba’da shubuh. Pada saat seperti ini, maka jamaah Ngaji Bahagia di Masjid Al Ihsan sepertinya mengharap ada pencerahan rohani terkait dengan amalan ibadah dan yang lebih penting adalah bagaimana basis ilmu yang mendasarinya. Untunglah saya selalu memiliki sedikit pengetahuan untuk mengintegrasikan antara ilmu keislaman dengan ilmu sosial yang sedikit saya kuasai.

Makanya, pada shubuh, 13 Juni 2023, saya menyampaikan bahasan tentang bagaimana relasi antara bacaan kalimat thayyibah  dalam sudut pandang ilmu sosial, khususnya sosiologi agama. Secara khusus saya membahas salah satu kalimah thayyibah yang selalu kita baca terutama dalam waktu-waktu luang. Kalimah thayyibah tersebut adalah subhanallah wal hamdu lillah wa la ilaha illallah wallahu akbar. Yang artinya kurang lebih adalah “Maha suci Allah dan segala puji bagi Allah dan tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Besar”.

Di dalam kajian sosiologi agama dikenal konsep The Holy. Konsep ini dikembangkan oleh Rudolf Otto dan Joachim Wach yang menyatakan bahwa manusia memiliki potensi untuk berhubungan dengan yang dinyatakan sebagai Yang Suci dalam konsep tentang The Experience of The Holy atau pengalaman berhubungan dengan Yang Maha Suci. Manusia memang memiliki ruh yang memang merupakan bagian dari  Tuhan. Di dalam Islam bahwa manusia memiliki ruh yang itu merupakan produk tiupan Tuhan pada manusia yang memungkinkan manusia bisa hidup.

Maka di kala manusia membaca Subhanallah atau Maha Suci Allah, maka merupakan bagian dari relasi antara manusia dengan Tuhan yang sesungguhnya merupakan instrument untuk menghadirkan Tuhan di dalam kehidupannya. Namun demikian tidak semua manusia dapat merasakan “kehadiran” Tuhan karena kebanyakan manusia tidak memiliki ilmunya. Manusia yang memiliki ilmunya saja yang bisa menyingkap tabir sekat antara dirinya atau ruhnya dengan kehadiran Tuhan dimaksud.

Di antara orang yang dapat melakukannya adalah kalangan ahli tasawuf yang memang memiliki kemampuan riyadhoh lebih baik dengan kebanyakan orang awam. Selaku pelaku agama yang minimalis tentu terdapat banyak hijab yang menyelimuti relasi antara kita dengan Tuhan. Kita belum bisa menata nafsu kita ke dalam nafsu mutmainnah. Kita masih berjibaku dengan nafsu amarah dan lawwamah. Para ahli tasawuf yang sudah khatam dzikir dan wiridnya tentu bisa merasakan aura ketuhanan di dalam dirinya.

Lalu, wal hamdulillah yang artinya segala puji bagi Allah. Tidak ada makhluk yang memiliki daya dan kekuatan melebihi kekuatan dan kekuasaan Allah. Makanya pantas jika kita memujinya, mensucikannya, memohon ampunannya dan memohon pertolongan kepadanya.  Di dalam hidup ini ada banyak pujian yang keluar dari mulut kita. Bertemu dengan orang cantik, secara refleks kita mengucapkan “alangkah cantiknya”. Bertemu dengan orang pintar, secara refleks kita juga menyatakan “alangkah pintarnya”. Bertemu dengan orang kuat, lalu kita menyatakan: “eh kuatnya”. Dan seterusnya. Apa lagi dengan Allah, Dzat yang Maha Kuasa, yang Maha Tahu, Yang Maha Perkasa atau di dalam ilmu sosial disebut sebagai omnipotent and omniscience. Tuhan diyakini sebagai Yang Maha Perkasa dan Maha Tahu. Oleh karena itu memuji Tuhan juga sangat pantas dilakukan atas betapa sifat-sifat Allah yang serba Maha dimaksud.

Kemudian, la ilaha illallah atau mengakui dengan hati dan lesan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Sebuah pengakuan atas eksistensi Allah secara ruhaniyah dan bukan fisikaliyah. Allah tidak berwujud fisik dan Allah bercorak batin tetapi bisa dipastikan bahwa Allah itu berbeda dengan makhluk ciptaannya. Laisa kamislihi syaiun. Allah itu dipastikan berbeda dengan sesuatu, berbeda dengan ciptaannya. Sudah sangat pantas jika menyebut Tuhan dengan Maha Suci dan segala pujian untuk-Nya. Bukankah Tuhan itu Maha Kuasa dan tidak ada ilah lain selain Allah SWT.

Dan kemudian wallahu akbar. Allah itu maha besar. Allah yang Maha Agung. Tidak ada yang lebih agung melebihi keagungan Allah. Tidak ada yang Maha Besar melebihi kebesaran Allah. Selain Allah adalah ciptaannya. Sebagai ciptaan Allah, maka tidak akan melebihi kekuasaannya. Itulah sebabnya kala Fir’aun menyatakan bahwa dirinya adalah Tuhan, maka dengan gampang dikalahkan oleh Nabi Musa melalui izin Allah. Melalui mu’jizatnya, maka laut terbelah menjadi jalan dan menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya tetapi mencelakakan Fir’aun dan bala tentaranya. Sungguh Allah itu Maha Segalanya. Ya Jabbar, Ya Jalal, Ya Qahhar.

Kita hidup dengan segala kekurangan. Dengan kesalahan dan kekhilafan. Maka sudah sepatutnya kita membaca kalimat thayyibah yang dapat menggugurkan kesalahan dan kekhilafan. Dosa-dosa kita akan berjatuhan sebagaimana  daun kering. Kala perjalanan Nabi dengan para sahabatnya, Rasulullah mengajarkan agar kita membaca kalimat subhanallah wal hamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar. Sebuah kalimat sakti sebagaimana  sabda Nabi Muhammad SAW akan dapat menggugurkan dosa seperti daun kering yang berguguran. Ya Allah ampuni atas kekhilafan, kesalahan dan dosa kami.

Wallahu a’lam bi al shawab.

BERSUJUDLAH SEBAGAI TANDA BAKTI KEPADA ALLAH

BERSUJUDLAH SEBAGAI TANDA BAKTI KEPADA ALLAH

Prof. Dr. Nur Syam, Msi

Manusia tentu merupakan makhluk Tuhan yang paling baik tetapi juga memiliki tanggtungjawab yang berat. Manusia diciptakan oleh Allah sebagai sebaik-baik ciptaan. Artinya melebihi ciptaan Allah SWT lainnya. Manusia sebagai ciptaan Allah terbaik tersebut karena dilengkapi dengan inteligensi yang sempurna. Rational intelligent, social intelilligent, emotional intelligent dan yang terpenting adalah spiritual intelligent. Makhluk lainnya tidak memiliki empat intelligensi sekaligus.

Namun demikian, tugas dan tanggungjawab manusia juga berat. Di antara tanggung jawab tersebut adalah tanggung jwab sebagai khalifah Allah SWT atau dalam bahasa lain tugas dan tanggung jawab sebagai wakil Tuhan di bumi. Sebagai  khalifah Allah maka tentu merupakan tugas yang sangat berat. Hewan, tumbuh-tumbuhan dan bahkan malaikat tidak diberikan tugas sedemikian berat. Manusia diberi tugas untuk memakmurkan bumi, menghiasi bumi dengan kebaikan, melestarikan alam semesta dan juga beribadah kepada Allah SWT.

Dalam kerangka memakmurkan bumi, maka manusia tidak boleh semena-mena dalam memperlakukan alam. Tidak boleh merusak bumi, dan seluruh isinya. Tidak boleh merusak hutan, merusak habitat laut, tidak boleh merusak ekosistem alam dan tidak boleh berbuat untuk merusak habitat binatang. Manusia bertugas untuk   memakmurkan alam. Manusia diberikan kekuatan penalaran dengan sangat baik, sehingga bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Manusia harus menyadari bahwa dunia adalah sebuah ekosistem. Satu kesatuan sistem. Jika salah satu sistemnya rusak, maka akan merusakkan lainnya. Ketika hutan dirusak, maka akan berpengaruh terhadap ketersediaan udara bersih, karen hutan adalah paru-paru dunia. Jika paru-parunya rusak maka akan berpengaruh terhadap sistem lainya. Kala ekosisten habitat laut rusak, maka akan berpengaruh terhadap kehidupan di dalamnya. Kala manusia menciptakan senjata virus, maka akan merusak manusia dan kemanusiaan dan akan menghancurkan semuanya. Allah sendiri yang menyatakan hahwa kerusakan di bumi dan lautan  disebabkan oleh ulah manusia.

Allah SWT berbuat sangat adil. Manusia diwajibkan untuk mengabdi kepadanya, dan diberikannya petunjuk untuk melakukannya. Allah menurunkan Nabi dan Rasul untuk kepentingan tersebut. Setiap umat diberinya Nabi dan Rasul, sehingga tiada pun suatu makhluk manusia yang tidak mendapatkan petunjuknya. Itulah sebabnya Allah memang hanya menurunkan 25 rasul tetapi menurunkan Nabi sebanyak 124.000 orang. Makanya, setiap kaum dipastikan memiliki nabinya sendiri yang semuanya mengajak kepada jalan ketuhanan.

Di antara pesan ketuhanan yang sangat penting adalah melakukan amalan shalihan, baik terkait  relasi dengan Tuhan atau relasi vertikal dan dengan relasi antar manusia dan alam atau relasi horizontal. Di antara bentuk relasi dengan Tuhan adalah melakukan relasi yang baik dengan Tuhan yang disimbolkan dengan sujud. Kata dasarnya adalah sajada atau bersujud kepada Allah SWT. Sujud itu dilambangkan dengan merendahkan kepala dengan menempelkan wajah di sajadah atau tempat ibadah dengan menyatakan  maha suci Allah yang maha tinggi dan segala puji baginya. Yang di dalam Bahasa Arab dinyatakan  Subhana rabbiyal a’la wa bihamdihi.

Sujud secara maknawi bisa diartikan sebagai bentuk kepasrahan total kepada Allah dengan melakukan tindakan menyerahkan diri yang dilambangkan dengan tertunduknya kepala di atas sajadah atau tempat ibadah. Semua menggambarkan atas kepasrahan manusia di dalam kekuasaan Allah SWT. Kala akan bersujud dimulai dengan ungkapan Allahu akbar atau Allah yang maha agung. Artinya tiada kekuatan apapun yang melebihi kekuatan Allah dan tiada satu kebesaran apapun yang melebihi kebesaran Allah.

Di dalam kehidupan keseharian, bersujud juga dapat dilakukan atas orang yang dianggap terhormat, misalnya orang tua atau penguasa. Hanya bedanya sujud yang dilakukan oleh manusia biasanya karena faktor kesalahan atau kekhilafan. Kepada orang tua, seseorang bisa saja memohon maaf dengan bersujud di atas kaki, atau kepada penguasa, khususnya raja di masa lalu, maka seseorang bisa saja bersujud pada kaki penguasa.  Di dalam kerangka bersujud kepada Allah SWT, maka suujudnya adalah membenamkan dahi dan menundukkan kepala di atas sajadah baik sewaktu melakukan shalat atau ada waktu-waktu yang diperlukan.

Di dalam sujud itulah seseorang akan menyatakan kemahasucian Allah, kemahabesaran  Allah, menuangkan syukur, dan pengakuan akan keberadaan Allah dan tiada  kekuasaan lain yang melebihi kekuasaan Allah. Jika di dalam shalat kita membaca subhana rabbiyal a’la wa bihamdihi, maka di dalam sujud lain selain  sujud sahwi  atau sujud karena terlupa gerakan shalat, maka orang biasanya membaca subhanallah walhamdu lillah wa ala ilaha illallah wallahu akbar. Maha suci Allah dan segala puji bagiinya dan tiada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Besar.

Sebagaimana diyakini di dalam Islam, bahwa bacaan ini merupakan bacaan yang sangat hebat sebab melalui bacaan ini akan dapat menggugurkan dosa-dosa sebagaimana jatuhnya daun kering pada pohon. Lazimkan bersujud kepada Allah sembari membaca kalimat hebat seperti itu.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

BERSABAR ATAS TAKDIR ALLAH

BERSABAR ATAS TAKDIR ALLAH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Siapa yang bisa melawan takdir Allah. Tentu tidak ada. Semua ada di dalam kepastian yang sudah ditentukan oleh Allah SWT. Semua ada masanya, semua ada waktunya. Takdir Allah adalah ketentuan azali yang sudah didesain sedemikian rupa dan dipastikan akan terjadi kepada semua makhluk Allah. Takdir memang kejam, begitulah nyanyiannya Dessy Ratnasari dalam lagu Tenda Biru, yang akhirnya syairnya harus diubah.

Takdir di dalam ajaran Islam termasuk rukun iman, yang ke enam. Sebagai rukun iman tentu keberadaannya sangat sentral dan penting. Sebagai umat Islam tentu harus percaya tentang keberadaan takdir dimaksud. Jika sebagai umat islam maka harus percaya kepada adanya kepastian Tuhan yang tidak bisa ditawar. Lahir, mati, jodoh dan rezeki itu sudah ada kepastiannya. Ada yang lahir dan ada yang mati. Ada yang menikah dan langgeng dan ada yang bercerai. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Semua sudah ada ketentuannya, akan tetapi dalam beberapa hal manusia harus berupaya agar memperoleh yang terbaik.

Ada orang yang hidup dalam waktu panjang, bahkan bisa mencapai usia di atas 100 tahun, tetapi juga ada yang hanya beberapa hari atau beberapa bulan atau beberapa tahun. Semua diakhiri dengan ungkapan sudah takdirnya. Jika ada orang yang meninggal dalam usia berapapun maka pernyataan yang keluar adalah sudah waktunya, wis wayahe. Ada orang yang kaya tiba-tiba merugi dan hartanya nyaris habis, atau ada juga orang yang miskin kemudian mendapatkan rezeki yang besar, maka jadi kaya, ada yang muda lalu sakit dan tidak memperoleh pengobatan yang baik, maka kemudian meninggal, maka ungkapan yang muncul tentu sama sudah waktunya.

Takdir sungguh merupakan milik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Semua akan  terkena takdir akan kematian. Betapa kuatnya Jalut, si manusia raksasa, harus mati karena ketapel Nabi Dawud. Raja Fir’aun harus tenggelam dalam laut karena mu’jizat Nabi Musa, Qarun orang kaya harus mati terkubur di bumi karena bencana, Hitler juga harus mati. Demikian pula Lenin, Karl Marx, bahkan Ronald Reagan dan Michael Jackson, atau Mariah Cherry juga harus mati. Berbagai cara mereka meninggal, akan tetapi yang jelas bahwa takdir telah menentukan kapan kematiannya. Hewan dan tumbuhan pun mengalami hal yang sama. Kematian.

Di dalam pemahaman umat Islam bahwa Allah SWT terkadang melakukan ujian kepada hambanya. Baik manusia biasa atau para Nabi dan Rasul. Nabi Yusuf diuji dengan perempuan cantik jelita, Zulaikhah. Nabi Ibrahim diuji dengan pengorbanan putranya, Nabi Ismail. Nabi Yunus diuji dengan diceburkan di laut dan ditelan ikan. Nabi Dawud diuji dengan perang melawan Jalut. Nabi Nuh diuji dengan banjir besar. Nabi Muhammad diuji dengan yatim piatu dan sebagainya. Kita juga terkadang diuji oleh Allah dengan sakit, dengan ketiadaan finansial, dengan kenakalan keluarga dan kerugian materi, dengan kerugian nama besar dan lain-lain. Bahkan semua yang ada di dunia ini adalah ujian Allah. Misalnya kekayaan, kesehatan yang prima atau jabatan yang tinggi dan sebagainya. Semua adalah cobaan dan ujian. Bahkan kehidupan itu sendiri adalah ujian. Di dalam konteks ini, maka pesan yang disampaikan kepada kita adalah agar bersabar.

Di dalam Islam dan juga realitas empiris bahwa untuk mengatasi takdir yang “kurang bersahabat” atau takdir Allah yang “kurang baik” bagi  manusia adalah dengan ungkapan sabar. Sabar merupakan kata kunci untuk menjadi penghibur atas berbagai duka yang menjadi takdir manusia. Kata sabar merupakan kosa kata yang paling banyak diucapkan oleh manusia. Kosa kata yang mudah diucapkan tetapi sulit dilakukan. Orang boleh saja mengungkap kata sabar, sabar dan sabar, akan tetapi kala mendapatkan cubitan Allah dipastikan akan mengalami hal yang sama. Gundah gulana, sedih dan merintih atau mengeluh.

Manusia diberikan sifat berkeluh kesah. Terutama jika mendapatkan keadaan yang tidak sesuai dengan harapannya. Dan seperti biasa, manusia selalu menginginkan keberhasilan. Segala sesuatu yang dilakukan sudah sesuai dengan desain perencanaan yang matang, strategi yang jitu dan operasional yang tepat, akan tetapi terkadang tidak berhasil. Gagal total. Di dalam kenyataan empiris seperti ini, maka manusia akan mengeluh. Bahkan terkadang menyalahkan takdirnya. Menganggap takdir baik tidak berpihak kepadanya. Selalu dalam kesialan dan sebagainya.

Di sinilah agama mengajarkan agar kita melakukan kesabaran. Yaitu sikap kepasrahan kepada Allah atas takdir yang menimpanya. Makanya di dalam Islam diajarkan usaha atau ikhtiyar, berdoa dan tawakkal. Manusia harus melakukan ketiganya untuk kehidupannya. Desain sebuah usaha sudah dilakukan dengan berbagai perspektif agar berhasil, doa juga sudah dilantunkan akan tetapi masih ada satu lagi yaitu tawakkal atau pasrah atas ketentuan yang dibuat Tuhan atas dirinya.

Melalui kesabaran, maka manusia akan tahan banting. Manusia akan menerima takdir sebagai kekuatan di luar dirinya, bahkan bukan yang direncanakannya akan tetapi pasti berlaku untuk dirinya. Itulah sebabnya Allah menyatakan bahwa sabar adalah keindahan. Sabar adalah hiasan duniawi. Siapa yang bisa bersabar maka dialah yang menjadi pemenang.

Di dalam hidup ini kita berada di dalam to be the winner atau to be the losser. Tentu semua ingin menjadi to be the winner, tetapi jika kemudian jatuh kepada to be the losser, maka obatnya hanya satu bersabar.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

MEMOHON AMPUNAN KALA HISAB

MEMOHON AMPUNAN KALA HISAB

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di dalam ajaran Islam, Allah SWT atau Tuhan Yang Maha Kuasa itu sangat menyayangi hambanya. Hal tersebut sesuai dengan sifat Rahman dan Rahim Tuhan yang diperuntukkan bagi manusia dan alam seluruhnya. Oleh Allah SWT, manusia diciptakan sebagai sebaik-baik dan seutama-utama ciptaannya. Tidak ada makhluk lain yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai sebaik-baik ciptaan selain manusia.

Memang ada malaikat, sebagai makhluk Allah SWT yang sangat taat dan patuh pada Allah SWT. Tidak pernah membangkang kepada perintah Allah SWT, akan  tetapi malaikat tidak diberi kekuatan akal dengan seperangkat pilihannya. Ada empat inteligensi yang diberikan oleh Allah kepada manusia, yaitu ada rational intelligent,  emotional intelligent,  social intelligent dan spiritual intelligent. Malaikat diberi kekuatan akal spiritual, tetapi tidak diberikan emotional dan social intelligent bahkan tidak rational intelligent. Tetapi manusia diberi keempatnya sekaligus. Syetan hanya diberikan rational intelligent untuk menjerumuskan manusia ke jurang neraka, sedangkan jin diberikannya kemampuan rational, dan spiritual. Jin dan manusia diciptakan oleh Allah untuk mengabdi kepada-Nya.

Akan tetapi manusia memiliki beban yang berat, sebab harus melakukan pilihan di dalam kehidupannya. Melalui kelengkapan akal sebagaimana di atas maka manusia diberi peluang untuk memilih mana yang terbaik dan mana yang terburuk. Untuk melakukan pilihan tersebut, manusia diberikan pedoman kehidupan melalui rasul-rasulnya atau nabi-nabinya. Setiap bangsa diberikan nabi sebagai pemuka dan pendakwah dengan pedoman yang diberikan oleh Allah SWT berupa agama.

Allah SWT telah memberikan pedoman kepada Nabi Muhammad SAW berupa Kitab Suci Alqur’an yang akan terus terjaga autentisitasnya. Tidak akan mengalami perubahan di dalam teks-teks sucinya. Allah menurunkan teks yang kemudian dapat dikodifikasi pada zaman Khalifah Utsman bin Affan dan juga Allah menjaganya lewat para hafidz dan hafidzah yang bisa menghafal Alqur’an 30 juz. Tentu tidak mudah untuk menghafalnya tetapi karena kekuasaan Allah untuk menjaga kitab Sucinya, maka menghafal Alqur’an dapat dilakukan.

Manusia dengan berbagai kecerdasan yang dimilikinya memiliki konsekuensi dapat memilih jalan yang benar dan jalan yang salah. Bagi yang melakukan kebaikan akan diberikan pahala dan bagi yang tidak melakukannya maka mendapatkan siksa. Bagi yang berpahala akan bisa memasuki surganya Allah dan bagi yang melakukan perbuatan yang salah maka akan mendapatkan nerakanya Allah. Dengan demikian, surga dan neraka adalah ujung akhir dari kehidupan manusia, khususnya roh.

Sesungguhnya utusan Allah sudah diturunkan kepada manusia. Kitab yang dijadikan pedoman untuk melakukan kebaikan juga sudah diberikan Allah kepada manusia. Jadi ujung akhirnya adalah pilihan rasional manusia yang menentukan, apakah dia akan menjadi mukmin atau  kafir. Menjadi muslim atau musyrik. Semuanya tergantung kepada manusia yang telah melakukan pilihan.

Tidak ada satupun manusia yang berharap kehidupannya sengsara, semuanya berkeinginan bahagia. Kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akherat. Kebahagiaan sekarang dan kebahagiaan yang akan datang. Tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Hanya kebahagiaan di dunia saja atau kebahagiaan di akherat saja. Keduanya harus berbahagia.

Untuk mendapatkan kebahagiaan maka seseorang bisa melalui upaya yang sungguh-sungguh. Inilah makna jihad sebagaimana penafsiran oleh kaum Ahli sunnah wal jamaah,

Jika dihitung masa ibadah kita kepada Allah dengan masa hidup kita tentu tidak seimbang. Sebegitu sedikit waktu ibadah dan sebegitu banyak waktu lainnya. Waktu bekerja, waktu perjalanan, waktu meeting atau ngopi dan ngemall jauh lebih panjang. Jika menghitung ini, maka akan sulit manusia untuk  memperoleh kebahagiaan di akhirat. Atau jika masih memiliki peluang, maka termasuk golongan sepertiga manusia yang terakhir bisa memasuki surganya Allah.

Itulah sebabnya, kita diajari untuk berdoa terutama ba’da shalat. Doa yang pendek tetapi memiliki kedalaman makna. Doa itu mengajak kepada kita semua agar memohon kepada Allah agar kita memperoleh surganya dan memperoleh ampunan pada waktu  dihisab atau dihitung amal ibadah kita. Doa tersebut berbunyi: “allahumma inna nas alukal jannata wal ‘afwa ‘indal hisab. Yang artinya kurang lebih adalah: “Ya Allah sesungguhnya kami memohon surga dan ampunan pada waktu dihisab”.

Doa yang pendek tetapi sangat penting. Doa yang dapat dibaca sewaktu selesai melakukan dua salam pada akhir shalat. Jika kita melakukan shalat wajib lima kali sehari, maka kita akan dapat membacanya lima kali. Sebenarnya boleh juga dibaca pada waktu kapan saja. Tetapi bagi yang terbiasa membaca ba’da shalat, maka akan menjadi tradisi membaca doa tersebut setiap selesai shalat.

Sesungguhnya, jika kita membandingkan antara amal ibadah kepada Allah SWT dibandingkan dengan amal perbutan lainnya tentu tidaklah seimbang. Betapa sedikitnya waktu kita beribadah kepada Allah dan sebegitu banyak perbuatan lainnya. Oleh karena itu, ada satu lagi yang rasanya penting untuk direnungkan bahwa selain kita beribadah kepada Allah SWT, maka yang juga penting adalah berbuat baik kepada manusia.

Semoga saja dengan kita berbuat baik kepada manusia, akan dapat menjadi pemberat bagi amal kita yang masih sedikit di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, semoga dengan sudah melakukan  ibadah kepada Allah, dan ditopang dengan perbutan baik kepada manusia, maka ujung akhirnya kita akan mendapatkan rahmat Allah SWT.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MEMBELA KEMANUSIAAN HAKIKATNYA MEMBELA ISLAM

MEMBELA KEMANUSIAAN HAKIKATNYA MEMBELA ISLAM

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Istilah membela Islam menjadi bagian tidak terpisahkan dari slogan-slogan yang diunggah di media social, di dalam ceramah-ceramah agama dan perbincangan tentang Islam oleh sejumlah individu yang tergabung misalnya di dalam Front Pembela Islam (FPI) dan Jamaah Ansharud Daulah (JAD), dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Tentu saya tidak bermaksud menyamakan FPI dengan JAD dan JAT, tetapi dari sisi diksi  memang ada kesamaan meskipun di dalam praktik ada perbedaan.

JAD berjihad dengan bom bunuh diri atau suicide bombing, demikian pula JAT. Tetapi konteks FPI lebih ke amar ma’ruf nahy mungkar dengan misalnya melalui sweeping meskipun dengan  kekerasan. Tidak jarang kita dengan melakukan amar ma’ruf nahyi mungkar dengan menggunakan Allah akbar, tetapi merusak fasilitas di tempat yang disweeping. Akhirnya menimbulkan stigma  atau semacam bahasa olok-olokan bahwa kata Allahu Akbar dijadikan sebagai sarana untuk merusak fasilitas seseorang.   Allahu Akbar itu selama ini dijadikan sebagai teks di dalam shalat atau hal-hal lain yang berupa ketakjuban atas terjadinya peristiwa tertentu.

Semua yang dilakukan  dianggap sebagai tafsir ajaran agama, khususnya jihad. Jihad  dimaknai perang, baik di daerah perang maupun non perang, sehingga sah-sah saja melakukan tindakan bunuh diri sebagai konsekuensi “harakah ijtihadiyah”. Konsep harakah ijtihadiyah tidak mengenal wilayah  damai atau perang. Inilah penafsiran kaum jihadis yang berbeda dengan tafsiran Islam ahlu sunnah wal jamaah. Bagi kalangan ahli tafsir Islam ahlu sunnah wal jamaah, jihad  adalah berbuat sesuatu yang sungguh-sungguh.

Diksi membela Islam tentu bukan kesalahan. Membela Islam itu sama maknanya dengan membela agama Allah. Tetapi yang perlu menjadi catatan adalah Islam itu pedoman untuk kehidupan. Islam itu jalan untuk mencapai keselamatan. Islam itu jalan untuk memperoleh keridlaan Allah. Islam itu jalan untuk mengikuti sunnah Rasul, Muhammad SAW. Sebagai jalan untuk kehidupan, tentu sudah penuh dengan kebenaran. Dan hal ini tidak diragukan. Di dalam Surat Albaqarah, Alif lam mim, dzalikal kitabu La raibafihi hudan lil muttaqin. Yang artinya: “alif lam mim, inilah kitab (Alqur’an) yang tidak ada keraguan di dalamnya untuk petunjuk bagi orang yang bertaqwa”.

Kala kita menyebut  ungkapan “membela Islam” atau  “membela Allah”, maka hakikatnya bukanlah Allah yang dibela, atau membela Islam  sebagai pedoman kehidupan, akan tetapi membela Allah itu secara hakiki adalah membela manusia yang menjadi khitab ajaran Islam atau membela masyarakat secara umum. Secara sempit membela umat Islam dan secara luas adalah membela kemanusiaan. Allah sebagai ilah dan rabb tentu tidak perlu dibela, sebab dengan ungkapan membela Allah hakikatnya justru mengerdilkan kekuasaan Allah. Makanya kala diungkapkan membela Allah,  maka hakikatnya adalah membela atas kebenaran yang diproduksi oleh Allah. Bukankah Allah itu produsen hakiki tentang kebenaran. Jadi yang dibela adalah kebenaran yang hakiki. Membela  umat Islam secara khusus dan membela kemanusiaan secara umum merupakan inti   membela Islam, dan membela  Allah. Jadi kata kuncinya adalah membela kemanusiaan.

Ada sebuah pernyataan yang menarik untuk direnungkan sebagaimana diungkapkan oleh Gus Dur, bahwa jika kamu berbuat baik kepada sesama manusia, maka orang tidak akan bertanya apa agamamu. Betapa mendalamnya pernyataan ini. Artinya bahwa berbuat baik adalah kunci dari semua relasi social baik yang berbasis kesamaan agama, kesukubangsaan atau yang berbeda agama dan berbeda kesukubangsaannya. Janganlah misalnya kita akan menolong orang yang sedang kecelakaan di jalan raya, lalu kita tanya dulu apa agamanya. Di dalam kenyataan social semacam ini, maka yang menjadi ukurannya adalah kemanusiaan. Menolong orang yang sedang dalam mengalami penderitaan merupakan kewajiban bagi kemanusiaan.

Bukankah di dalam Islam terdapat suatu konsepsi: dar ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, yang artinya menghindari kemafsadatan itu diutamakan dibandingkan dengan melakukan kemaslahatan. Jika menghindari kemafsadatan saja lebih diutamakan, maka menolong orang yang berbeda etnis, suku bangsa dan bahkan agama tentu dapat didahulukan di kala memang terdapat masalah yang terjadi. Dengan kata lain, dalam keadaan kesulitan, maka mendahulukan siapa saja tentu bukan halangan. Basis dasarnya adalah perasaan kemanusiaan. Mendahulukan ukhuwah basyariyah dalam keadaan mengharuskan kita melakukannya merupakan “kewajiban insaniyah”.

Demikianlah keindahan berislam.  Kita  bersyukur dapat menjadi umat Islam yang memiliki prinsip mendasar tentang hablum minan nas dan tidak hanya hablum minal muslim. Melalui prinsip membangun relasi yang baik berbasis kemanusiaan, maka Islam mengedepankan kemanusiaan di atas semuanya.

Oleh karena itu, kala kita membela kemanusiaan hakikatnya adalah membela agama Allah atau  membela Islam.  Dan hal itu  berarti kita membela terhadap kebenaran yang dimisikan oleh agama Islam. Jadi jangan diartikan bahwa kita membela Allah atau  membela Islam tetapi yang dijadikan instrument adalah kekerasan. Itu pasti bukan membela Islam, sebab membela Islam itu maknanya adalah membela ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Wallahu a’lam bi al shawab.