Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBELA KEMANUSIAAN HAKIKATNYA MEMBELA ISLAM

MEMBELA KEMANUSIAAN HAKIKATNYA MEMBELA ISLAM

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Istilah membela Islam menjadi bagian tidak terpisahkan dari slogan-slogan yang diunggah di media social, di dalam ceramah-ceramah agama dan perbincangan tentang Islam oleh sejumlah individu yang tergabung misalnya di dalam Front Pembela Islam (FPI) dan Jamaah Ansharud Daulah (JAD), dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Tentu saya tidak bermaksud menyamakan FPI dengan JAD dan JAT, tetapi dari sisi diksi  memang ada kesamaan meskipun di dalam praktik ada perbedaan.

JAD berjihad dengan bom bunuh diri atau suicide bombing, demikian pula JAT. Tetapi konteks FPI lebih ke amar ma’ruf nahy mungkar dengan misalnya melalui sweeping meskipun dengan  kekerasan. Tidak jarang kita dengan melakukan amar ma’ruf nahyi mungkar dengan menggunakan Allah akbar, tetapi merusak fasilitas di tempat yang disweeping. Akhirnya menimbulkan stigma  atau semacam bahasa olok-olokan bahwa kata Allahu Akbar dijadikan sebagai sarana untuk merusak fasilitas seseorang.   Allahu Akbar itu selama ini dijadikan sebagai teks di dalam shalat atau hal-hal lain yang berupa ketakjuban atas terjadinya peristiwa tertentu.

Semua yang dilakukan  dianggap sebagai tafsir ajaran agama, khususnya jihad. Jihad  dimaknai perang, baik di daerah perang maupun non perang, sehingga sah-sah saja melakukan tindakan bunuh diri sebagai konsekuensi “harakah ijtihadiyah”. Konsep harakah ijtihadiyah tidak mengenal wilayah  damai atau perang. Inilah penafsiran kaum jihadis yang berbeda dengan tafsiran Islam ahlu sunnah wal jamaah. Bagi kalangan ahli tafsir Islam ahlu sunnah wal jamaah, jihad  adalah berbuat sesuatu yang sungguh-sungguh.

Diksi membela Islam tentu bukan kesalahan. Membela Islam itu sama maknanya dengan membela agama Allah. Tetapi yang perlu menjadi catatan adalah Islam itu pedoman untuk kehidupan. Islam itu jalan untuk mencapai keselamatan. Islam itu jalan untuk memperoleh keridlaan Allah. Islam itu jalan untuk mengikuti sunnah Rasul, Muhammad SAW. Sebagai jalan untuk kehidupan, tentu sudah penuh dengan kebenaran. Dan hal ini tidak diragukan. Di dalam Surat Albaqarah, Alif lam mim, dzalikal kitabu La raibafihi hudan lil muttaqin. Yang artinya: “alif lam mim, inilah kitab (Alqur’an) yang tidak ada keraguan di dalamnya untuk petunjuk bagi orang yang bertaqwa”.

Kala kita menyebut  ungkapan “membela Islam” atau  “membela Allah”, maka hakikatnya bukanlah Allah yang dibela, atau membela Islam  sebagai pedoman kehidupan, akan tetapi membela Allah itu secara hakiki adalah membela manusia yang menjadi khitab ajaran Islam atau membela masyarakat secara umum. Secara sempit membela umat Islam dan secara luas adalah membela kemanusiaan. Allah sebagai ilah dan rabb tentu tidak perlu dibela, sebab dengan ungkapan membela Allah hakikatnya justru mengerdilkan kekuasaan Allah. Makanya kala diungkapkan membela Allah,  maka hakikatnya adalah membela atas kebenaran yang diproduksi oleh Allah. Bukankah Allah itu produsen hakiki tentang kebenaran. Jadi yang dibela adalah kebenaran yang hakiki. Membela  umat Islam secara khusus dan membela kemanusiaan secara umum merupakan inti   membela Islam, dan membela  Allah. Jadi kata kuncinya adalah membela kemanusiaan.

Ada sebuah pernyataan yang menarik untuk direnungkan sebagaimana diungkapkan oleh Gus Dur, bahwa jika kamu berbuat baik kepada sesama manusia, maka orang tidak akan bertanya apa agamamu. Betapa mendalamnya pernyataan ini. Artinya bahwa berbuat baik adalah kunci dari semua relasi social baik yang berbasis kesamaan agama, kesukubangsaan atau yang berbeda agama dan berbeda kesukubangsaannya. Janganlah misalnya kita akan menolong orang yang sedang kecelakaan di jalan raya, lalu kita tanya dulu apa agamanya. Di dalam kenyataan social semacam ini, maka yang menjadi ukurannya adalah kemanusiaan. Menolong orang yang sedang dalam mengalami penderitaan merupakan kewajiban bagi kemanusiaan.

Bukankah di dalam Islam terdapat suatu konsepsi: dar ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, yang artinya menghindari kemafsadatan itu diutamakan dibandingkan dengan melakukan kemaslahatan. Jika menghindari kemafsadatan saja lebih diutamakan, maka menolong orang yang berbeda etnis, suku bangsa dan bahkan agama tentu dapat didahulukan di kala memang terdapat masalah yang terjadi. Dengan kata lain, dalam keadaan kesulitan, maka mendahulukan siapa saja tentu bukan halangan. Basis dasarnya adalah perasaan kemanusiaan. Mendahulukan ukhuwah basyariyah dalam keadaan mengharuskan kita melakukannya merupakan “kewajiban insaniyah”.

Demikianlah keindahan berislam.  Kita  bersyukur dapat menjadi umat Islam yang memiliki prinsip mendasar tentang hablum minan nas dan tidak hanya hablum minal muslim. Melalui prinsip membangun relasi yang baik berbasis kemanusiaan, maka Islam mengedepankan kemanusiaan di atas semuanya.

Oleh karena itu, kala kita membela kemanusiaan hakikatnya adalah membela agama Allah atau  membela Islam.  Dan hal itu  berarti kita membela terhadap kebenaran yang dimisikan oleh agama Islam. Jadi jangan diartikan bahwa kita membela Allah atau  membela Islam tetapi yang dijadikan instrument adalah kekerasan. Itu pasti bukan membela Islam, sebab membela Islam itu maknanya adalah membela ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..