BASIS SOSIOLOGIS BACAAN KALIMAH THAYYIBAH
BASIS SOSIOLOGIS BACAAN KALIMAH THAYYIBAH
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Saya harus menyiapkan diri untuk menjadi penceramah pada setiap hari Selasa ba’da shubuh. Pada saat seperti ini, maka jamaah Ngaji Bahagia di Masjid Al Ihsan sepertinya mengharap ada pencerahan rohani terkait dengan amalan ibadah dan yang lebih penting adalah bagaimana basis ilmu yang mendasarinya. Untunglah saya selalu memiliki sedikit pengetahuan untuk mengintegrasikan antara ilmu keislaman dengan ilmu sosial yang sedikit saya kuasai.
Makanya, pada shubuh, 13 Juni 2023, saya menyampaikan bahasan tentang bagaimana relasi antara bacaan kalimat thayyibah dalam sudut pandang ilmu sosial, khususnya sosiologi agama. Secara khusus saya membahas salah satu kalimah thayyibah yang selalu kita baca terutama dalam waktu-waktu luang. Kalimah thayyibah tersebut adalah subhanallah wal hamdu lillah wa la ilaha illallah wallahu akbar. Yang artinya kurang lebih adalah “Maha suci Allah dan segala puji bagi Allah dan tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Besar”.
Di dalam kajian sosiologi agama dikenal konsep The Holy. Konsep ini dikembangkan oleh Rudolf Otto dan Joachim Wach yang menyatakan bahwa manusia memiliki potensi untuk berhubungan dengan yang dinyatakan sebagai Yang Suci dalam konsep tentang The Experience of The Holy atau pengalaman berhubungan dengan Yang Maha Suci. Manusia memang memiliki ruh yang memang merupakan bagian dari Tuhan. Di dalam Islam bahwa manusia memiliki ruh yang itu merupakan produk tiupan Tuhan pada manusia yang memungkinkan manusia bisa hidup.
Maka di kala manusia membaca Subhanallah atau Maha Suci Allah, maka merupakan bagian dari relasi antara manusia dengan Tuhan yang sesungguhnya merupakan instrument untuk menghadirkan Tuhan di dalam kehidupannya. Namun demikian tidak semua manusia dapat merasakan “kehadiran” Tuhan karena kebanyakan manusia tidak memiliki ilmunya. Manusia yang memiliki ilmunya saja yang bisa menyingkap tabir sekat antara dirinya atau ruhnya dengan kehadiran Tuhan dimaksud.
Di antara orang yang dapat melakukannya adalah kalangan ahli tasawuf yang memang memiliki kemampuan riyadhoh lebih baik dengan kebanyakan orang awam. Selaku pelaku agama yang minimalis tentu terdapat banyak hijab yang menyelimuti relasi antara kita dengan Tuhan. Kita belum bisa menata nafsu kita ke dalam nafsu mutmainnah. Kita masih berjibaku dengan nafsu amarah dan lawwamah. Para ahli tasawuf yang sudah khatam dzikir dan wiridnya tentu bisa merasakan aura ketuhanan di dalam dirinya.
Lalu, wal hamdulillah yang artinya segala puji bagi Allah. Tidak ada makhluk yang memiliki daya dan kekuatan melebihi kekuatan dan kekuasaan Allah. Makanya pantas jika kita memujinya, mensucikannya, memohon ampunannya dan memohon pertolongan kepadanya. Di dalam hidup ini ada banyak pujian yang keluar dari mulut kita. Bertemu dengan orang cantik, secara refleks kita mengucapkan “alangkah cantiknya”. Bertemu dengan orang pintar, secara refleks kita juga menyatakan “alangkah pintarnya”. Bertemu dengan orang kuat, lalu kita menyatakan: “eh kuatnya”. Dan seterusnya. Apa lagi dengan Allah, Dzat yang Maha Kuasa, yang Maha Tahu, Yang Maha Perkasa atau di dalam ilmu sosial disebut sebagai omnipotent and omniscience. Tuhan diyakini sebagai Yang Maha Perkasa dan Maha Tahu. Oleh karena itu memuji Tuhan juga sangat pantas dilakukan atas betapa sifat-sifat Allah yang serba Maha dimaksud.
Kemudian, la ilaha illallah atau mengakui dengan hati dan lesan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Sebuah pengakuan atas eksistensi Allah secara ruhaniyah dan bukan fisikaliyah. Allah tidak berwujud fisik dan Allah bercorak batin tetapi bisa dipastikan bahwa Allah itu berbeda dengan makhluk ciptaannya. Laisa kamislihi syaiun. Allah itu dipastikan berbeda dengan sesuatu, berbeda dengan ciptaannya. Sudah sangat pantas jika menyebut Tuhan dengan Maha Suci dan segala pujian untuk-Nya. Bukankah Tuhan itu Maha Kuasa dan tidak ada ilah lain selain Allah SWT.
Dan kemudian wallahu akbar. Allah itu maha besar. Allah yang Maha Agung. Tidak ada yang lebih agung melebihi keagungan Allah. Tidak ada yang Maha Besar melebihi kebesaran Allah. Selain Allah adalah ciptaannya. Sebagai ciptaan Allah, maka tidak akan melebihi kekuasaannya. Itulah sebabnya kala Fir’aun menyatakan bahwa dirinya adalah Tuhan, maka dengan gampang dikalahkan oleh Nabi Musa melalui izin Allah. Melalui mu’jizatnya, maka laut terbelah menjadi jalan dan menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya tetapi mencelakakan Fir’aun dan bala tentaranya. Sungguh Allah itu Maha Segalanya. Ya Jabbar, Ya Jalal, Ya Qahhar.
Kita hidup dengan segala kekurangan. Dengan kesalahan dan kekhilafan. Maka sudah sepatutnya kita membaca kalimat thayyibah yang dapat menggugurkan kesalahan dan kekhilafan. Dosa-dosa kita akan berjatuhan sebagaimana daun kering. Kala perjalanan Nabi dengan para sahabatnya, Rasulullah mengajarkan agar kita membaca kalimat subhanallah wal hamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar. Sebuah kalimat sakti sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW akan dapat menggugurkan dosa seperti daun kering yang berguguran. Ya Allah ampuni atas kekhilafan, kesalahan dan dosa kami.
Wallahu a’lam bi al shawab.