Kali ini saya ingin membahas Gus Dur bukan dari perspektif ilmu sosial yang sedikit banyak saya kuasai, akan tetapi saya ingin menggambarkan tentang sosok Gus Dur dari sisi kebiasaan beliau untuk melakukan silaturrahmi terutama terhadap guru-gurunya, sahabat-sahabatnya atau tokoh-tokoh yang dikenalnya. Gus Dur memang telah lama terkena berbagai penyakit yang disebabkan karena faktor usia termasuk juga penyakit gagal ginjal dan bahkan stroke ringan yang pernah dideritanya. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak mengurangi kecenderungan beliau untuk melakukan silaturrrahmi. Bahkan menjelang wafatnya, beliau masih menyempatkan silaturrahmi kepada sahabat dekatnya, Kyai Musthofa Bisri atau Gus Mus di Rembang, Jawa Tengah. (more..)
Civil Society atau yang di dalam bahasa Indonesia disebut sebagai masyarakat kewargaan atau masyarakat madani merupakan suatu istilah untuk menyebut tentang suatu masyarakat yang memiliki keseimbangan dalam relasinya dengan negara. Makanya sering kali istilah state and civil society itu digandengkan dengan maksud keduanya memiliki keseimbangan. Dalam khasanah ilmu politik disebutkan bahwa relasi keduanya mesti berada dalam posisi seimbang melalui check and balance. Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengkaji hal-hal yang bersifat teroretik-konseptual, akan tetapi hanya akan mencoba untuk memaparkan sejauh mana keterlibatan seorang Gus Dur dalam proses penguatan civil society dalam berhadapan dengan negara. (more..)
Tentang kesederhanaan Gus Dur, saya kira juga tidak ada yang membantah. Kesederhanaan tersebut terlihat di dalam banyak hal, salah satu yang paling menonjol adalah gaya berpakaiannya. Pakaian yang paling banyak digunakan di dalam acara-acara yang resmi bukan setelan jas, dasi dan celana yang bermerek luar negeri, tetapi batik lengan pendek dan kebanyakan berwarna coklat. Bahkan ketika beliau keluar dari istana negara karena impeachment yang dilakukan oleh MPR, maka beliau hanya memakai celana pendek. Peristiwa ini tentu saja dianggap sebagai sebuah ironi bagi orang yang memandang jabatan dan segalanya sebagai sesuatu yang sakral. (more..)
Sebagai sebuah realitas, Gus Dur sebagai tokoh pluralisme tentu tidak ada yang menolak. Semua tokoh nasional maupun internasional sependapat dengan pernyataan ini. Ketokohan Gus Dur dalam perbincangan dunia pluralisme dan multikulturalisme tentu saja tidak terlepas dari peran Beliau di dalam dialog dan praksis relasi antar umat beragama, relasi antar suku, dan etnis di dalam kehidupan masyarakat secara umum. (more..)
Saya kira tidak ada orang yang meragukan wawasan kebangsaan Gus Dur. Beliau adalah orang yang sangat konsisten dalam membangun dan mengembangkan wawasan kebangsaan. Dalam perjalanan panjang kehidupannya, maka Gus Dur merupakan sosok yang selalu mengembangkan sikap inklusif, pluralistik, multikulturalistik dan demokratis. Beliau bisa bergaul dengan siapa saja dan dari latar belakang apa saja. Beliau adalah orang yang lintas agama, suku, etnis dan budaya. Seseorang tidak akan bisa menjadi Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP), jika tidak memenuhi persyaratan trans agama, suku, etnis dan budaya. (more..)