• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

GUS DUR DAN TRADISI SILATURRAHMI

 Kali ini saya ingin membahas Gus Dur bukan dari perspektif ilmu sosial yang sedikit banyak saya kuasai, akan tetapi saya ingin menggambarkan tentang sosok Gus Dur dari sisi kebiasaan beliau untuk melakukan silaturrahmi terutama terhadap guru-gurunya, sahabat-sahabatnya atau tokoh-tokoh yang dikenalnya. Gus Dur memang telah lama terkena berbagai penyakit yang disebabkan karena faktor usia termasuk juga penyakit gagal ginjal dan bahkan stroke ringan yang pernah dideritanya. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak mengurangi kecenderungan beliau untuk melakukan silaturrrahmi. Bahkan menjelang wafatnya, beliau masih menyempatkan silaturrahmi kepada sahabat dekatnya, Kyai Musthofa Bisri  atau Gus Mus di Rembang, Jawa Tengah.

Tradisi silaturrahmi memang bagian dari kebiasaan di kalangan umat Islam. Tentu saja terdapat pattern for behaviour yang dijadikan sebagai patokan seorang muslim melakukan tradisi silaturrahmi ini. Ada hadits Nabi yang menyatakan: “man kana yu’minu billahi wa al yaum al akhiri, fal yashil rahimah” yang artinya kurang lebih: “barang siapa percaya kepada Allah dan Rasulnya, maka hendaklah menyambung tali silaturrahmi”. Dengan demikian, melaksanakan silaturrahmi adalah bagian dari sunnah Nabi Muhammad saw. Dan siapapun yang melakukannya, maka akan mendapatkan pahala dari Allah swt.

Di kalangan masyarakat Islam, maka silaturrahmi sudah menjadi tradisi yang menyejarah. Menyambung tali persahabatan melalui saling berkunjung kerumah masing-masing juga sudah mentradisi. Seorang santri berkunjung ke kyainya, bahkan seorang kyai berkunjung ke rumah santrinya. Seorang anak berkunjung ke rumah orang tuanya atau sebaliknya orang tua berkunjung ke anaknya. Seorang kawan saling berkunjung. Di dalam memformulasikan silaurrahmi tersebut, maka di dalam tradisi Indonesia, kemudian juga dikenal istilah “Riyoyo, Riyayan, Riyoyoan atau Lebaran” yang juga menjadi ajang bagi silaturrahmi di antara masyarakat Islam. Acara ini dilaksanakan sesudah hari raya Idul Fithri, sebagai bagian dari tradisi khas Indonesia. Bahkan juga tradisi saling berkunjung di antara mereka yang berbeda pemahaman keagamaan, bahkan beda agama atau etnis.

Ada sebuah cerita tentang silaturrahmi yang dilakukan oleh sesama kyai besar, Kyai Hasyim Asy’ari dengan Kyai Ahmad Dahlan. Keduanya, adalah tokoh besar Islam Indonesia. Kyai Hasyim Asy’ari adalah pendiri NU dan Kyai Ahmad Dahlan adalah pendiri Muhammadiyah. Keduanya memiliki perbedaan dalam organisasi keagamaan dan juga faham keagamaannya. Maka, jika Kyai Hasyim Asy’ari silaturrahmi ke Kyai Ahmad Dahlan, maka di masjid Muhammadiyah dipasang beduk sebagai penanda memasuki waktu shalat, dan ketika Kyai Ahmad Dahlan bertamu ke rumah Kyai Hasyim Asy’ari, maka beduk di masjidnya diturunkan atau tidak dipasang. Begitulah, kyai-kyai kita dahulu saling memahami perbedaan dalam merajut tali silaturrahmi. 

Menurut penuturan Ahmad Thohari (JP, 05/01/10) bahwa Gus Dur juga pernah silaturrahmi ke rumahnya. Dan kemudian Gus Dur menginap di rumahnya. Menariknya, Gus Dur tidak tidur di kasur yang tentu sudah disediakan untuknya, akan tetapi di hari pertama tidur di kursi kayu berbantal kayu dan di hari kedua tidur di karpet dengan berbantal kayu. Dan hal itu terjadi di tahun 1995. Artinya, Gus Dur saat itu sudah menjadi tokoh nasional. Saat itu Gus Dur telah menjadi bagian dari tokoh nasional yang sangat disegani pemikiran dan aksi sosialnya. Masih dalam penuturan Ahmad Thohari, sementara isterinya tidak bisa tidur karena Gus Dur tidur di karpet, akan tetapi Gus Dur justru menikmati tidurnya.

Gus Dur juga tidak hanya menyukai silaturrahmi, akan tetapi juga sangat menyukai ziarah kubur. Hampir setiap kunjungan beliau di daerah maka dipastikan beliau akan mampir ziarah kepada salah seorang yang dikeramatkan ketika hidupnya dan dimakamkan di daerah yang dikunjunginya. Kebiasan Gus Dur untuk ziarah makam ini yang menyebabkan adanya tuduhan miring kepadanya, bahwa Gus Dur “memuja” kuburan.

Tentang kebiasaannya untuk ziarah kubur tentu bukan hanya kabar burung. Ketika beliau dalam keadaan sakitpun masih menyempatkan untuk berziarah ke makam keluarganya. Ketika beliau dalam keadaan sakit dan pada waktu itu akan dibawa ke Surabaya, maka di dalam perjalanan di daerah Mojokerto, tiba-tiba beliau meminta kembali ke Jombang hanya karena akan ziarah ke makam ibunya. Maka, semua rombongan pun kembali ke Jombang dan akhirnya kembali berangkat ke Surabaya untuk tujuan ke Rumah Sakit Dr. Sutomo. Maka, seluruh dokter terbaik pun disiapkan untuk mengobati Gus Dur. Akan tetapi beliau tidak mau ke Rumah Sakit Dr. Sutomo dan justru meminta ke Hotel Shangrila. Baru pagi harinya, beliau diberangkatkan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, hingga beliau meninggal di situ.

Saya terkadang juga sulit memahami jalan pikiran Gus Dur, sama seperti orang lain. Dalam cerita tentang keinginan beliau berziarah ke makam Ibunya ketika beliau sedang dalam separoh perjalanan ke rumah sakit di Surabaya tentu tidak masuk akal. Tetapi itulah Gus Dur. Beliau memiliki cara pandang sendiri yang semuanya berangkat dari ajaran agama yang diyakininya. Beliau hampir tidak perduli dengan dirinya untuk keinginan yang menurutnya sangat baik. Bisa dibayangkan, bagaimana di dalam keadaan sakit beliau masih ingat akan ziarah kubur dan  silaturrahmi. Inilah sisi keunikan Gus Dur. Dan  barangkali tidak semua di antara kita bisa melakukannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini