GUS DUR DAN GERAKAN CIVIL SOCIETY
Civil Society atau yang di dalam bahasa Indonesia disebut sebagai masyarakat kewargaan atau masyarakat madani merupakan suatu istilah untuk menyebut tentang suatu masyarakat yang memiliki keseimbangan dalam relasinya dengan negara. Makanya sering kali istilah state and civil society itu digandengkan dengan maksud keduanya memiliki keseimbangan. Dalam khasanah ilmu politik disebutkan bahwa relasi keduanya mesti berada dalam posisi seimbang melalui check and balance. Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengkaji hal-hal yang bersifat teroretik-konseptual, akan tetapi hanya akan mencoba untuk memaparkan sejauh mana keterlibatan seorang Gus Dur dalam proses penguatan civil society dalam berhadapan dengan negara.
Dalam ranah relasi antara negara dan masyarakat, selama kurun waktu Orde Baru, maka dijumpai pemetaan atau tipologi sebagai berikut: pertama, relasi yang sangat tidak seimbang, yang terjadi di antara kurun waktu 1970an -1980an. Dalam kurun waktu ini, negara begitu powerfull. Artinya, bahwa negaralah yang menentukan segala-galanya. Seluruh bangunan politik kenegaraan ditentukan oleh pemerintah. Jika kita menunjuk tiga hal saja, maka dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menentukan betapa besar kekuatan negara dalam berhadapan dengan masyarakat. Yaitu: 1) Fusi partai politik, di mana hanya ada tiga kekuatan partai politik: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tiga partai politik ini merupakan fusi dari 10 partai yang memiliki kedekatan jarak ideologi. Fusi partai ini merupakan usaha pemerintah untuk menjadikan Golkar sebagai single majority, sementara dua parpol lainnya hanya sebagai partner politik pemerintah bukan kontestan. Makanya di dalamnya tidak terdapat kontestasi demokrasi tetapi pesta demokrasi. 2) Proses negaranisasi secara sistematik, yaitu semua kekuatan masyarakat yang direpresentasikan di dalam institusi sosial kemasyarakatan dan keagamaan disedot ke dalam kekuatan negara melalui partai politik pemerintah. Seperti Korpri (wadah himpunan pegawai negeri), organisasi keagamaan, dan organisasi seni budaya yang semua menjadi elemen partai politik pemerintah. 3) Penguatan positioning pemerintah melalui asas tunggal bagi semua elemen organisasi sosial kemasyarakatan, politik dan keagamaan.
Kedua, era tidak seimbang, yaitu kurun waktu pertengahan 1980an-pertengahan 1990an. Pada kurun waktu ini, telah muncul berbagai kesadaran baru tentang perlu adanya upaya untuk menyeimbangkan antara kekuatan negara dengan kekuatan masyarakat. Pada masa ini, kemudian muncul berbagai gerakan untuk melakukan balancing power bagi kekuatan negara. Telah tumbuh kesadaran untuk merevitalisasi kesadaran baru berdemokrasi. Maka muncul Forum Demokrasi (Fordem), kemudian di kalangan anak-anak muda juga muncul Partai Rakyat Demkratik (PRD) yang merupakan kelanjutan dari gerakan-gerakan mahasiswa yang menentang otoriterisme negara dan sebagainya. Di dalam era ini, maka negara seringkali melakukan kekerasan politik. Banyaknya kekerasan politik di era ini menggambarkan bahwa otoriterisme memang sangat kuat.
Ketiga, era cukup seimbang, yaitu kurun waktu pertengahan 1990an-2000. Era ini ditandai dengan semakin kuatnya posisi civil society, yaitu dengan munculnya gerakan reformasi yang terjadi di tahun 1998. Melalui pemilu 1999, maka dimulailah era baru Indonesia, yang disebut sebagai era reformasi. Pada era ini, maka rakyat menjadi penguasa dan kemudian menjadikannya sebagai kekuatan baru yang dapat menyeimbangkan dirinya dengan kekuatan negara. Dari gerakan reformasi ini kemudian memunculkan berbagai hal yang menggambarkan betapa rakyat telah memiliki kesempatan untuk ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan pemerintah. Rakyat berani menyuarakan aspirasinya. Maka di mana-mana muncul demonstrasi sebagai kekuatan baru untuk memaksa pemerintah melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya.
Keempat, era keseimbangan, yaitu kurun waktu 2000an – hingga sekarang. Era ini ditandai dengan semakin menguatnya kekuatan rakyat dalam berhadapan dengan negara. Di era ini, maka konsepsi check and balance yang selama Orde Baru hanya pajangan belaka, maka di era ini telah menemukan jati dirinya. Masyarakat telah menjadi bagian dalam proses kehidupan bernegara.
Gus Dur, adalah bagian dari proses penguatan civil society. Tidak bisa dilupakan bagaimana peran Gus Dur dalam mendorong gerakan civil society ini. Keterlibatan beliau di dalam gerakan civil society tidak hanya memasuki ranah wacana, tetapi juga di dalam praksis civil society. Beliau terlibat di dalam gerakan Forum Demokrasi (Fordem) yang merupakan “tandingan” pemerintah. Gerakan ini merupakan counter hegemony terhadap kekuatan negara yang gigantic and powerfull. Makanya, Gus Dur lalu sering mendapatkan kekerasan politik.
Beliau juga menarik gerbong NU dalam pusaran kekuatan politik dengan mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dijadikan sebagai kendaraan politik untuk memasuki kawasan negara. Melalui gerbong ini, maka NU yang selama kurun waktu Orde Baru berada di luar kekuatan negara lalu menjadi kekuatan baru yang semakin ke tengah. Dan akhirnya, Gus Dur sempat menjadi presiden RI ke 4 dan melakukan gerakan-gerakan sipilisasi, misalnya mengangkat Mahfud MD, sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) yang selama itu menjadi jatah militer. Demiliterisasi pun dilakukan sangat efektif, sehingga militer tidak lagi menjadi kekuatan yang memberangus, tetapi menjadi partner masyarakat dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat.
Gus Dur secara konsisten telah melakukan gerakan civil society, sehingga realitas sosial yang tersaji sekarang tentu tidak lepas dari peran beliau dalam menggalang kekuatan masyarakat yang di era Orde Baru nyarus lumpuh.
Wallahu a’lam bi al shawab.