GUS DUR DAN NASIONALISME SELEMBAR BATIK
Tentang kesederhanaan Gus Dur, saya kira juga tidak ada yang membantah. Kesederhanaan tersebut terlihat di dalam banyak hal, salah satu yang paling menonjol adalah gaya berpakaiannya. Pakaian yang paling banyak digunakan di dalam acara-acara yang resmi bukan setelan jas, dasi dan celana yang bermerek luar negeri, tetapi batik lengan pendek dan kebanyakan berwarna coklat. Bahkan ketika beliau keluar dari istana negara karena impeachment yang dilakukan oleh MPR, maka beliau hanya memakai celana pendek. Peristiwa ini tentu saja dianggap sebagai sebuah ironi bagi orang yang memandang jabatan dan segalanya sebagai sesuatu yang sakral.
Adakah dasar filosofis dan moralitas yang ingin disampaikan oleh Gus Dur di dalam berbagai peristiwa yang terkait dengan dirinya. Tulisan ini ingin memberikan “dugaan” tentang filosofi dan dasar moralitas yang ingin dibangun Gus Dur dengan apa yang dilakukannya. Sekali lagi tulisan ini hanya “dugaan” sebab tidak ada tafsir tunggal atas sebuah realitas sosial yang menghampar di depan kita.
Dengan selalu menggunakan batik bahkan lengan pendek, sepertinya Gus Dur ingin menyampaikan suatu pesan bahwa batik adalah produk Indonesia yang adiluhung. Tidak ada negara di dunia ini yang memiliki tradisi batik. Tradisi batik sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Tradisi ini sudah beruratakar pada masyarakat Nusantara di zaman kerajaan-kerajaan dahulu. Batik adalah pakaian khas Indonesia. Hampir seluruh propinsi di Indonesia memiliki tradisi kain batik dengan corak dan motif yang bervariatif. Dengan selalu menggunakan batik, seakan Gus Dur ingin menyatakan bahwa ”inilah pakaian khas Indonesia”. Dengan batik, seakan ingin dinyatakannya bahwa ”dengan menggunakan batik, maka sama dengan mencintai produk sendiri dan itu berarti mencintai kebudayaan Indonesia”.
Batik mengandung rasa nasionalisme. Makanya, Gus Dur seperti ingin menyampaikan bahwa ”pakaian batik melambangkan nasionalisme Keindonesiaan”. Itulah sebabnya, ketika batik memperoleh hak paten dari badan dunia, maka serta merta batik menjadi trade mark Indonesia di dunia internasional. Serta merta banyak pejabat dan aparat yang memakai batik. Apalagi Presiden SBY juga dalam banyak acara resmi menggunakan batik lengan panjang atau pendek. Batik terangkat pamornya sebagai lambang keindonesiaan. Meskipun saya tidak berpretensi mengkultuskan Gus Dur, tetapi saya melihat bahwa Gus Dur memiliki visi kebangsaan dan nasionalisme melalui selembar batik.
Ketika saya mengikuti tahlilan di makam Gus Dur di Tebuireng, 6 Januari 2010, bersama dengan Gubernur Jawa Timur dan Wakil Gubernur Jawa Timur, beberapa Bupati dan Walikota dan pejabat teras Propinsi Jawa Timur, maka ada celetukan yang menurut saya menarik untuk dicermati. Bertepatan saya memang menggunakan batik bercorak dominan warna putih pada acara itu. Sementara yang lain banyak memakai pakaian serba putih. Seorang kawan saya, anggota DPRD Jawa Timur, Cak Fuad, menggoda saya, bahwa ”nanti yang memimpin acara tahlilan harus saya.” lalu saya nyatakan bahwa, ”wah nggak cocok kalau saya, sebaiknya yang berpakaian serba putih”. Cak Fuad justru menyatakan: ”lho yang cocok itu justru sampeyan, sebab Gus Dur justru kesukaannya memakai batik”. Jadi kesukaan Gus Dur memakai pakaian batik itu sudah menjadi pengetahuan umum.
Bahkan ketika beliau meninggalkan istana negara ketika beliau dilengserkan dari jabatan presiden, maka beliau hanya menggunakan batik lengan pendek dan celana pendek. Padahal yang mengiringkan beliau berpakaian sangat rapi. Pengiringnya menggunakan batik lengan panjang, bercelana dan juga ada yang memakai dasi. Mengapa Gus Dur seperti itu? Apakah tidak ada orang yang mengingatkan tentang cara berpakaian Gus Dur saat itu? Atau memang Gus Dur menghendaki berpakaian semacam itu? Inilah sederet pertanyaan yang kiranya bisa diungkapkan. Bahkan ketika pertama saya melihat beliau di TV –saat itu—maka juga terbersit pertanyaan, kenapa tidak ada yang mengingatkan. Akan tetapi itulah Gus Dur dengan outward appearence-nya.
Saya akhirnya memahami, bahwa Gus Dur sedang mengajari kita, bahwa begitulah kondisi orang yang sedang dipermalukan, sedang dilengserkan dan sedang dipinggirkan. Beliau seakan berkata dengan cara berpakaiannya, bahwa beliau sedang dianiaya. Orang yang sedang dianiaya tentu tidak pantas memakai jas dan dasi atau berpakaian yang serba lengkap. Memakai celana pendek khas rakyat adalah pakaian yang terbiasa digunakannya selama ini. Jadi beliau sedang mengajarkan kepada kita, bahwa beliau akan kembali ke rakyat. Celana khas pesantren yang digunakannya juga melambangkan bahwa Beliau akan kembali ke dunia pesantren.
Gus Dur memang seakan ditakdirkan untuk selalu mendesakralkan sesuatu yang selama ini dianggap sakral. Istana negara yang selama ini dianggap sebagai tempat yang angker dan sakral kemudian didesakralkan. Seluruh staf dan pimpinan Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel termasuk yang bisa menikmati jalan-jalan di istana negara di era Gus Dur. Istana yang dahulunya dianggap tempat yang tidak tersentuh, maka ketika Gus Dur menjadi presiden, maka bisa menjadi tempat rekreasi.
Dengan demikian, kita sesungguhnya bisa banyak belajar dari Gus Dur tentang bagaimana kita menghadapi kehidupan ini. Sikap dan tindakan kesederhanaan, sebagaimana Beliau tampilkan dalam cara berpakaian, ternyata memiliki makna nasionalisme yang kental.
Jadi, selembar kain batik bisa melambangkan rasa nasionalisme.
Wallahu a’lam bi al shawab.