GUS DUR DAN PLURALISME
Sebagai sebuah realitas, Gus Dur sebagai tokoh pluralisme tentu tidak ada yang menolak. Semua tokoh nasional maupun internasional sependapat dengan pernyataan ini. Ketokohan Gus Dur dalam perbincangan dunia pluralisme dan multikulturalisme tentu saja tidak terlepas dari peran Beliau di dalam dialog dan praksis relasi antar umat beragama, relasi antar suku, dan etnis di dalam kehidupan masyarakat secara umum.
Di dalam membangun kehidupan lintas agama, maka peran Gus Dur juga sangat menonjol. Tentu masih segar dalam ingatan tentang bagaimana usaha Gus Dur untuk menjadikan Kong Hu Cu sebagai agama resmi di Indonesia sehingga memiliki status dan kedudukan sama dengan agama lain yang diakui di negeri ini. Bahkan juga pembelaannya terhadap warga negara eks tapol, terutama PKI yang hingga sekarang masih dianggap warga negara kelas dua.
Di dalam relasi beragama, Gus Dur seringkali melepas “baju” agamanya atau “formalisme” agamanya, tetapi tetap berada di dalam dunia keberagamaannya yang substantif. Hal ini bukanlah sebuah penodaan keyakinan atau bahkan melepas keyakinan keberagamaan yang sangat dijunjung tinggi, tetapi sebuah kecintaannnya terhadap dunia kemanusiaan yang memang harus dijaga juga secara maksimal. Yang saya maksud dengan melepas formalisme atau “baju” agama tersebut adalah misalnya Gus Dur keluar masuk ke dalam gereja, Vihara atau bahkan Sinagog dalam kerangka untuk menyambung relasi berbasis kemanusiaan itu. Atau juga pembelaannya terhadap kelompok agama minoritas yang sering terjadi.
Beliau tanggalkan “formalisme” agama yang sering menjerat untuk hidup saling menyapa. Beliau tanggalkan “kesombongan” beragama demi martabat kemanusiaan. Beliau hindari beragama yang sempit hanya karena keyakinan yang membelenggu. Maka, hadirlah keyakinan itu di dalam hati dan termanifestasi di dalam kecintaannya kepada semua manusia tanpa membedakan latar belakang apapun.
Gus Dur mengajarkan kepada kita bahwa agama dan kemanusiaan adalah dua hal yang menyatu di dalam diri manusia. Tidak ada yang boleh untuk saling mengalahkan. Atas nama agama kemudian merendahkan kemanusiaan dan atas nama kemanusiaan lalu merendahkan agama. Keduanya adalah sesuatu yang sistemik dan holistik. Beragama yang benar adalah beragama yang menjunjung tinggi derajad kemanusiaan dan berkemanusiaan yang benar adalah yang didasari oleh keyakinan agama yang benar. Jadi, relasi antara agama dan kemanusiaan bukanlah saling menihilkan tetapi saling menguatkan dan mengisi.
Atas dasar pemikiran seperti ini, maka Gus Dur sering mengecam beragama yang bercorak formalistik yang seringkali “mengabaikan” dimensi kemanusiaan. Beliau tidak suka orang beragama kemudian merusak lainnya. Seperti berbagai demonstrasi yang menggunakan kalimat “Allahu Akbar” akan tetapi ujung-ujungnya menggebuki orang atau merusak bangunan. Yang demikian ini dalam pandangan Gus Dur adalah keberimanan yang menekankan pada dimensi formalisme agama.
Sebagai akibat dari semangat pluralisme yang memasuki kawasan seperti ini, maka Gus Dur sering kali dicap murtad bahkan Gus Dur telah dibaptis. Memang banyak orang yang mengukur sesuatu dari sesuatu yang formal. Misalnya karena bergaul rapat dengan pendeta atau Bhiksu lalu dinyatakan imannya rendah. Orang Islam yang masuk gereja atau vihara lalu dianggap keberagamaannya tipis. Makanya, orang seperti Gus Dur, Hasyim Muzadi, Said Aqil Siradj, Djohan Effendi, Musdah Mulia dan sebagainya sering memperoleh cacian karena tindakannya itu.
Di Jawa Timur, ada seorang Kyai, namanya Kyai Sholeh dari Pondok Pesantren Ngalah, Pasuruan ternyata memiliki semangat keberagamaan yang sangat inklusif. Bahkan perguruan tingginya –Universitas Yudharta—memiliki motto “Kampus Multikulturalisme”. Beliau sering keluar masuk gereja, vihara dan sebagainya. Jika ada kegiatan pengajian di kampusnya, maka yang datang dari berbagai macam penganut agama. Dalam hal seperti ini, apakah tepat jika kita menyatakan bahwa keimanan Kyai kita ini tipis atau redah. Beliau adalah mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang memiliku ribuan penganut. Meskipun Beliau memiliki rumah yang baik, akan tetapi lebih suka tidur di gubugnya yang antik. Di dalam hal ini, tentu saja tidak bisa diukur keimanan itu hanya dari hal-hal yang artifisial tersebut.
Oleh karena itu, tentu sangat banyak tantangan untuk mengembangkan pemahaman tentang pluralisme di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di tengah kehidupan beragama yang lebih cenderung ke arah fundamentalisme sekarang ini.
Makanya, kita harus meneladani Gus Dur dalam pandangan dan praksis keberagamaannya yang mengembangkan kehidupan beragama pada dataran relasi agama dan kemanusiaan yang saling meneguhkan dan bukan saling menihilkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.