• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TEOLOGI CINTA DI TENGAH RELASI SOSIAL

TEOLOGI CINTA DI TENGAH RELASI SOSIAL

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Salah satu di antara misi yang diemban oleh Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) adalah ngaji sambil tersenyum lepas yang diwujudkan dalam kegiatan ngaji bareng dalam tema-tema yang disesuaikan dengan realitas empiris dan dikaitkan dengan ajaran agama, khususnya ajaran Islam. Selasa, 20 Pebruari 2024, yang memberikan pengajian adalah Ustadz Sahid, seorang motivator yang andal dan memiliki pengalaman yang sangat banyak dalam menangani masalah-masalah personal, keluarga maupun organisasi. Tema kita adalah “Teologi Cinta Pasca Pilpres 2024”.

Ada tiga hal yang akan saya sampaikan berdasar atas ceramah Ustadz Sahid pada Ngaji Selasanan kemarin, yaitu: pertama, cinta itu terkait dengan perasaan dan hati yang abstrak dan kemudian terwujud di dalam prilaku, baik di dalam diri sendiri, keluarga, maupun komunitas dan masyarakat. Cinta itu telah mengilhami banyak hal, misalnya dalam penciptaan lagu, film, novel, bahkan sekarang mengilhami pelaku Tiktok. Cinta telah menghidupkan kehidupan manusia secara umum, dan masing-masing pribadi secara khusus.

Manusia diciptakan Allah melalui cinta antar jenis, lelaki dan perempuan, yang mengejawantah dalam kasih sayang dan cinta. Manusia bisa membedakan melalui akal pikiran, perasaan dan hati terkait dengan cinta. Manusia mengekspresikan cinta dalam berbagai variasi sesuai dengan obyek cinta. Cinta kepada suami atau istri berbeda dengan cinta kepada anak, cucu atau orang-orang khusus. Jika cinta seorang suami atau istri biasanya terkait dengan obyek hati dan fisik, maka cinta atas anak, cucu atau lainnya biasanya terkait dengan hati. Di dalam dunia rumah tangga tidak cukup hanya rahmah akan tetapi juga sakinah dan mawaddah. Mawaddah adalah cinta yang berbalut perasaan, hati dan fisik, sedangkan rahmah lebih banyak dimensi psikhologis atau mental, misalnya menyayangi berbasis hati dan perasaan. Semakin lama relasi suami istri adalah relasi rahmah dan bukan hanya mawaddah. Tetapi harus diyakini dan dilakukan bahwa baik rahmah maupun mawaddah itu berakhir pada sakinah atau ketentraman lahir dan batin.

Kedua, kita mencintai orang atau barang atau apa saja karena ada nilai yang terdapat di dalamnya. Misalnya kita mencintai Allah dan Rasulnya, maka ada nilai di dalamnya yaitu nilai spiritual yang tak terhingga, tak dapat  dihitung. Mencintai Allah itu mencintai hal yang bersifat gaib yang tidak dapat dilihat dengan mata kepala atau tidak observable. Allah itu merupakan bagian dari ajaran tentang “kegaiban” yang harus diyakini kebenarannya. Manusia yang beriman kepada Allah tidak boleh ragu. Kita harus yakin secara sungguh-sungguh. Kita beriman kepadanya dengan iman yang teguh. Kita harus percaya bahwa Allah itu Maha Kuasa dan Maha Esa. Dan kita harus yakin bahwa dengan kekuasaannya maka seluruh kosmos itu diciptakannya. Bahkan menurut Ibnu Sina, bahwa alam seluruhnya itu diciptakan oleh Allah karena Allah mencintainya. Seluruh jagat raya harus diyakini sebagai ciptaan Allah dan tidak ada makhluk lainnya yang bisa menciptakannya. Jagad raya tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi diciptakan oleh Dzat yang sangat berkuasa atas semua hal. Wujud dari cinta kepada Allah adalah dengan melakukan kebaikan-kebaikan.

Selain itu juga mencintai Rasulullah yang dimanifestaikan dengan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, sebanyak-banyaknya. Makin banyak makin baik. Nabi Muhammad SAW adalah washilah terbaik untuk amal kita kepada Allah SWT. Cinta itu digambarkan sebagai berjenjang dari level perilaku, yakni orang yang mencintai maka akan melakukan sesuatu sesuai dengan cintanya itu. Lalu ada level cinta karena kewajiban dan kemudian level cinta karena kebutuhan. Kita bukan wajib mencintai Allah tetapi butuh untuk mencintai Allah. Dalam level kebutuhan maka cinta itu sudah berkategori cinta spiritual sebagaimana yang dilakukan oleh ahli tasawuf Rabi’ah Al Adawiyah, dengan tasawuf hub atau tasawuf cinta.

Ketiga, kita mengharuskan diri kita untuk membutuhkan cinta terhadap orang lain atau sesama manusia. Kita baru saja melakukan pilihan presiden dan juga memilih wakil-wakil rakyat. Di masa sebelum pemilu atau masa kampanye kita dapat berbeda dalam pilihan,  akan tetapi kita harus tetap berada di dalam satu kesatuan sebagai umat Islam atau sebagai bangsa Indonesia.  Oleh karena itu, jangan sampai bercerai berai karena pilpres. Harus tetap kita kembangkan persatuan dan kesatuan bangsa. Caranya adalah dengan mengembangkan saling cinta sebagai warga negara dan sebagai bangsa Indonesia.

Ada empat S yang bisa dikembangkan yaitu: S pertama adalah kependekan dari Safety. Bahwa orang merasa selamat dalam pergaulan kita. Di dalam relasi social,  keselamatan merupakan aspek penting yang harus terus diperjuangkan. Jika kita ingin selamat, maka harus ada sikap saling mencintai dan menyayangi. S kedua adalah secure atau aman. Kita merasa aman dalam pergaulan dan keamanan dalam pergaulan itu dasarnya adalah saling mencintai. Jika di antara manusia yang berbeda-beda itu terdapat sikap saling mencintai, maka akan terdapat keamanan. S ketiga adalah seen atau tampak atau terlihat, apa yang baik itu baik dan apa yang jelek itu juga jelek. Kita harus bergaul dengan apa adanya tanpa tanpa basa-basi. Melalui sikap seperti ini akan menimbulkan trust yang juga akhirnya akan menimbulkan rasa cinta dalam pergaulan. S keempat adalah soul atau jiwa yang tenang. Cinta akan tumbuh dalam jiwa yang tenang, jiwa yang sabar dan jiwa yang halus. Jika seseorang dapat mengembangkan jiwa muthmainnahnya, maka di dalamnya pasti akan tumbuh subur rasa cinta kepada sesama manusia.

Oleh karena itu  apapun perbedaan di antara kita, jika kita dapat  mengembangkan rasa cinta yang medasar karena Allah, maka akan kita dapat kebaikan-kebaikan di dalam diri, keluarga, komunitas dan masyarakat. Dan kita pasti bisa melakukannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

BERDOA UNTUK KETETAPAN IMAN

BERDOA UNTUK KETETAPAN IMAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Iman itu sesuatu yang abstrak dan bahkan mengandung kegaiban. Manusia harus meyakini adanya kegaiban Tuhan, kegaiban Malaikat, meyakini adanya utusan Tuhan, harus mempercayai adanya takdir yang belum berlaku dan juga adanya hari akhir atau kiamat. Salah satu di antara indicator orang yang meyakini kebenaran Islam adalah dengan meyakini tentang hal-hal gaib yang harus diyakini kebenarannya.

Iman merupakan seperangkat keyakinan tentang eksistensi Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, meyakini akan kebenaran adanya Rasul Muhammad  SAW, Kitab Suci AlQUR’n, meyakini adanya Malaikat, meyakini adanya ketentuan Tuhan yang bercorak azali dan meyakini akan datangnya hari kiamat. Hal tersebut tersimpul di dalam hadits Nabi Muhammad SAW mengenai arkanul Iman.

Semua agama mengajarkan tentang eksistensi Tuhan sesuai dengan ajaran agamanya. Semenjak Nabi Adam AS yang diajarkannya adalah tentang keesaan Allah, dan kala Nabi Ibrahim AS, maka dikenal agama dalam corak ketuhanannya yang monoteis, artinya keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan di dalam agama sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS. Agama Hanif adalah agama yang mengajarkan tentang Ketuhanan yang monoteistik. Lalu dalam perjalanan sejarah, maka kemudian muncul agama yang diturunkan melalui Nabi Musa AS, lalu Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Ajaran yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW disebut sebagai agama Islam merupakan agama yang paling akhir dan penutup semua Nabi dan rasul. Muhammad SAW adalah khatamul anbiya’ wal mursalin.

Kita sungguh harus bersyukur kepada Allah SWT karena telah menjadi umat Islam yang mempercayai keberadaan-Nya, mempercayai Rasulnya, meyakini keberadaan Malaikat, meyakini kebenaran Alqur’an sebagai kitab Suci, dan meyakini akan hadirnya akhir dan takdir atau kepastian azali yang telah ditentukan Tuhan. Coba kalau dipikirkan, jarak kita dengan Nabi Muhammad SAW itu berbilang tahun. Kita hidup pada tahun 1445 H, sementara Nabi Muhammad hidup pada tahun 1 hijrah. Lamanya waktu tersebut tidak menghalangi akan keyakinan tentang kebenaran ajaran Islam.

Jika para sahabat hidup bersama Nabi Muhammad SAW, lalu para tabiin hidup bersama sahabat Nabi Muhammad SAW, lalu para tabiit-tabiin hidup bersama para tabiin, maka kita memiliki rentang waktu ribuan tahun. Dan kita meyakini akan kebenaran Islam. Oleh karena itu kita harus bersyukur kepada para pendahulu kita, umat Islam generasi awal di Nusantara yang telah mengenalkan Islam sebagai agama Allah yang terakhir.

Tanpa kehadiran para pendakwah generasi awal Islam di Nusantara, para waliyullah, maka rasanya kita  tidak seperti ini. Islam sebagai agama yang datang di kala Nusantara telah memiliki agama-agama besar, Hindu dan Buddha, lalu juga keyakinan-keyakinan local, Nusantara kemudian menjadi Islam. Oleh karena itu jasa para Waliyullah itu sangat luar biasa dalam proses Islamisasi di Nusantara. Mereka adalah  pejuang-pejuang Islam yang sangat pantas jika jasanya dikenang oleh para generasi berikutnya termasuk generasi kita sekarang.

Ada banyak orang yang bisa masuk Islam melalui perjuangan panjang, baik melalui kajian sains atau pengalaman dan pembelajaran yang panjang, namun kita dapat  menjadi muslim karena factor keluarga. Kita menjadi muslim karena lingkungan. Kita menjadi muslim karena factor keturunan. Itulah sebabnya kita mesti melantunkan rasa syukur bil lisan, bil qalbi dan bil fi’li. Semua dikerahkan untuk mensyukuri nikmat Allah SWT.

Makanya, sudah sangat pantas kalau kita terus melantunkan do’a kepada Allah SWT agar iman kita terjaga. Iman kita kepada Allah SWT, iman kita kepada kebenaran ajaran Islam, dan tidak hadir keraguan di dalam hati dan pikiran kita untuk mempertanyakan akan kebenaran Islam. Kita sungguh sudah dimanjakan untuk menjadi umat Islam. Islam menjadi agama yang dipeluk oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, 87,2 persen. Sungguh  suatu “keajaiban” bahwa umat Islam bisa seperti ini.

Dewasa ini ada banyak factor yang menyebabkan orang bisa murtad atau keluar dari agama Islam, selain juga banyak orang yang menjadi mualaf atau memasuki ajaran Islam. Di antara yang murtad itu adalah Lukman Sardi, yang mengikuti agama Istrinya. Dia murtad bahkan setelah melakukan umrah di tanah Suci. Lalu ada Sukmawati yang kemudian menjadi pemeluk Hindu setelah banyak dipersalahkan karena ucapan-ucapannya yang dianggap tidak sesuai dengan Islam. Tetapi juga ada para pengusaha besar yang menjadi muslim, misalnya Djohari Zein, Jusuf Hamka, Fitria Yusuf, Lee Kang Hyun, Herman Halim dan Hermanto Wijaya.

Ada orang yang memperoleh cahaya kebenaran Islam, dan ada orang yang memperoleh kebenaran agama lain. Kita tidak bisa mencela atas orang yang kemudian murtad. Kita harus menghargai pilihan hidup dan keyakinannya. Kita tetap memiliki prinsip sebagaimana diajarkan di dalam ajaran Islam yaitu membangun relasi social berbasis ukhuwah basyariyah.

Sungguh menjadi penting untuk selalu berdoa kepada Allah SWT agar iman kita tetap terjaga, jangan ada sesuatu yang menggoyahkannya, jangan ada yang membelokkannya dan jangan ada yang merusaknya. Iman kita harus tetap dalam Islam. Iman kita harus tetap di dalam keyakinan kepada Allah dan keyakinan akan kenabian Muhammad SAW. Kita tetap menjadi umat Islam yang mencintai Allah melalui shalat  dan mencintai Muhammad Rasulullah melalui shalawat yang kita lantunkan.

Doa utama yang penting adalah:  “Allahumma  tsabbit imanana,” yang artinya: “Ya Allah tetapkanlah iman kami”. Doa ini layak untuk dilantunkan agar kita tetap berada di dalam keimanan dan keislaman.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

PERLU QAULAN MAYSURAN DALAM RELASI SOSIAL

PERLU QAULAN MAYSURAN DALAM RELASI SOSIAL

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebagai makhluk social, homo sapien, maka manusia dipastikan akan hidup bersama orang lain, baik dalam kerabat maupun bukan kerabat atau masyarakat umum. Manusia akan selalu hidup di tengah-tengah kehidupan social yang tidak akan terelakkan. Manusia tidak bisa hidup dalam kesendirian. Manusia membutuhkan orang lain untuk membangun kehidupan yang bermakna.

Semenjak manusia menghuni kehidupan di maya pada atau alam dunia, maka manusia sudah berada di dalam lingkungan social, meskipun semula terbatas. Secara antropologis, mula-mula manusia hidup dalam kelompok kecil dan dalam kerangka mempertahankan kelompoknya maka mereka menikah secara indogami atau menikah antar keluarga. Perkawinan indogami tidak hanya dikenal di masa lalu kala penduduk masih terbatas jumlahnya, akan tetapi juga di masa modern. Perkawinan antar kerabat masih dijumpai hingga dewasa ini. Misalnya pernikahan dalam marga yang sama, sebagaimana terjadi di Sumatera Utara, contohnya sesama Batak dalam satu marga.

Sesuai dengan perkembangan zaman dan semakin kompleksnya pertalian kekerabatan, perkawanan dan komunitas, maka juga terjadi perubahan dalam system perkawinan dan system kekerabatan serta system perkawanan. Sekarang sudah menjadi kelaziman dalam perkawinan eksogami, yang melibatkan relasi antar manusia secara lebih luas. Lalu kemudian muncul keluarga inti atau nuclear family dan keluarga batih atau extended family. Kemudian juga muncul persabatan virtual yang diakibatkan oleh semakin menguatnya media social sebagai bagian dari model relasi social.

Meskipun terjadi berbagai perubahan social, akan tetapi hakikat kemanusiaan tersebut terletak pada bagaimana yang bersangkutan dapat melakukan relasi social yang berkeseimbangan. Baik relasi karena kekerabatan, relasi persahabatan, dan relasi di dalam komunitas dan masyarakat. Ada pepatah yang menyatakan “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, artinya bahwa setiap masyarakat itu memiliki tradisi dan tata cara yang berbeda yang merupakan ciri khas kemasyarakatannya. Ada pedoman di dalam kebudayaannya, baik pedoman tersebut berbasis pada consensus kemasyarakatan atau berbasis ajaran agama. Di dalam dunia antropologi maka ada pola umum berlaku mendasar dan pola khusus berlaku mendalam. Pola khusus dalam relasi social bisa sama karena ada pedoman umum yang berlaku secara universal, akan tetapi ada juga yang bersifat khusus dan berlaku pada komunitas atau masyarakat itu sendiri.

Bagi yang menggunakan agama sebagai pedomannya, maka ada satu konsep yang sangat penting di dalam membangun relasi social, yaitu konsep qaulan maysuran. Secara istilah, qaulan maysuran adalah perkataan yang mudah, artinya perkataan yang mudah dipahami oleh lawan bicara atau mitra percakapan. Pernyataan yang memberikan kemudahan dan bukan kesulitan. Pernyataan yang membuat orang lain secara jelas menerima apa yang dinyatakan.

Qaulan maysuran dapat digunakan di dalam situasi dan tempat apapun. Bukankah doa kita: “Allahumma yassir wa la tu’assir”, yang artinya: “Ya Allah berikan kemudahan  dan jangan berikan kesulitan”.  Doa ini tentu saja menjadi sangat mendalam maknanya bahkan jika dikaitkan dengan relasi social di dalam kehidupan masyarakat. Di dalam cerita Alqur’an, bahwa Nabi Musa itu ucapannya sulit dipahami oleh lawan bicaranya. Maka Allah menurunkan Nabi Harun untuk menjelaskan maksudnya. Melalui penjelasan Nabi Harun maka mitra bicaranya menjadi paham apa yang diungkapkannya. Nabi Musa memahami dirinya sehingga memohon kepada Allah agar diberikan sahabat yang lebih fasih di dalam berbicara.

Di dalam dunia organisasi baik formal maupun informal, dunia birokrasi dan bisnis, maka qaulan maysuran itu betapa pentingnya. Pada setiap segmen kehidupan yang melibatkan banyak orang, banyak kepentingan, banyak pola dalam relasi social, maka qaulan maysuran tersebut menjadi sangat penting. Setiap perintah harus dapat dilakukan oleh para pelakunya. Bayangkan kalau pernyataan perintah sulit dipahami oleh mitra kerja, sehingga mitra kerja tidak bisa melakukannya, maka akan terjadi kegagalan. Dan kegagalan tersebut bukan dari mitra kerja tetapi berasal dari pemberi perintah.

Di dalam dunia birokrasi, terdapat prinsip dalam bekerja sama untuk mengerjakan pekerjaan dengan hasil optimal, yang saya sebut sebagai berikut: perintahnya jelas pekerjaannya jelas, perintahnya jelas pekerjaannya bisa dilakukan, perintahnya jelas pekerjaannya berpeluang diselesaikan, dan perintahnya jelas hasil akhirnya membawa kepada kesuksesan. Oleh karena itu ada korelasi yang jelas antara kejelasan perintah dan kemudahan dalam memahami perintah yang berkorelasi dengan kemudahan dalam menyelesaikan pekerjaan. Atau secara singkat dapat dinyatakan dengan tiga  J yaitu:  jelas perintahnya, jelas pekerjaannya dan jelas hasilnya.

Qaulan maysuran adalah prinsip di dalam komunikasi, baik verbal maupun non verbal. Di tengah social media exposure, maka prinsip kejelasan pernyataan sangat penting. Pernyatan tersebut tentu berisi upaya tidak menyakiti orang lain, tidak menghina orang lain, tidak membully orang lain, dan yang penting juga tidak berisi berita palsu.

Sebagaimana yang telah saya jelaskan sebelumnya di dalam artikel saya, bahwa prinsip di dalam komunikasi merupakan satu kesatuan atau prinsip yang sistemik dan bukan yang parsial. Di dalam prinsip qaulan maysuran terdapat qaulan layyinan, qaulan sadidan, qaulan balighan dan qaulan ma’rufan. Dengan menerapkan prinsip tersebut secara sistemik, maka akan didapatkan komunikasi yang saling membahagiakan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

UKHUWAH ASHABIYAH: JANGAN LAKUKAN

UKHUWAH ASHABIYAH: JANGAN LAKUKAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di dalam ceramah saya di Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency, Selasa, 13/02/2024, ada satu hal yang belum saya jelaskan meskipun sempat saya singgung dalam membahas ukhuwah di dalam relasi social. Islam mengajarkan agar membina tri ukhuwah di dalam kehidupan, yaitu; Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Basyariyah atau Insaniyah. Tri ukhuwah ini sudah saya jelaskan secara mendalam meskipun belum tuntas dalam kaitannya sebagai warga negara dan warga bangsa. Akan tetapi ukhuwah Ashabiyah belum saya bahas. Tulisan ini akan membahas secara lebih mendalam terkait dengan ukhuwah Ashabiyah dimaksud.

Ukhuwah Ashabiyah adalah persaudaran yang didasari oleh aspek kesukubangsaan, etnisitas, agama dan penggolongan social yang di dalamnya hanya mengakui kebenaran pada penggolongannya dan menafikan kebenaran pada golongan lainnya. Kebenaran hanya terdapat dalam pemahaman golongannya dan menganggap bahwa tafsir golongan lain itu salah dan perlu untuk dinihilkan. Di dalam skala yang lebih luas, misalnya bangsa Aria di masa Hitler hanya menganggap kebenaran itu atas tafsir bangsanya saja. Bangsa-bangsa lain harus ditundukkan dan yang sudah tunduk harus dicuci otaknya agar kemudian hanya mengenal kebesaran Wangsa Aria.

Di dunia ini sebenarnya juga terdapat konflik social bahkan perang. Tidak hanya perang antar negara dan bangsa tetapi juga perang yang difasilitasi oleh agama. Di dunia ini terdapat perang yang sangat lama, Perang Salib, antara Umat Islam dan Kristen, yang difaslitasi oleh keyakinan akan agama. Perang antara orang Kristen dan Katolik di Eropa juga dimaknai sebagai perang untuk membenarkan akan keyakinannya masing-masng. Agama Katolik yang selama itu dominan lalu menjadi terganggu melalui kehadiran Agama Protestan, sehingga kehadirannya ditolak dan terjadilah peperangan. Meskipun keduanya berasal dari Agama Nasrani yang dibangsakan dengan Nabi Isa AS, akan tetapi akhirnya harus pisah kongsi karena paham keagamaan.

Di dalam cerita pewayangan, terjadi pertarungan antara wangsa Kurawa dan Wangsa Pandawa, yang sesungguhnya masih bersaudara. Meskipun bersaudara tetapi yang dikedepankan adalah kebenaran tafsirannya masing-masing. Misalnya dalam penguasaan politik kenegaraan. Pandawa berkilah bahwa yang seharusnya menjadi penerus kerajaan Astina adalah wangsa Pandawa, sebab Pandawa adalah keturunan Raja Pandu Dewanata. Dia yang menjadi raja sebab kakaknya Destarata cacat mata, sehingga tidak layak menjadi raja. Tetapi kaum Kurawa berpandangan bahwa Astina adalah kewenangannya, bahkan setelah lakon “permainan dadu”, maka kerajaan Amarta juga dimilikinya sebab Pandawa kalah dalam permainan dadu.

Cerita lain dalam lakon Ramayana, maka juga terjadi pertarungan antara Rahwana dari Kerajaan Alengka dan Ramawijaya dari kerajaan Ayodya. Peperangan ini dipicu oleh keinginan Rahwana untuk menikahi Dewi Sinta yang sudah menjadi istri Rama. Di dalam cerita pewayangan digambarkan bahwa Rama adalah tokoh protagonist dan Rahwana adalah tokoh antagonis. Rama dikaitkan dengan agama Wisnu dan Dasamuka atau Rahwana adalah pemeluk agama Syiwa. Rama adalah golongan bangsa Aria yang mendiami India Tengah dan Utara, berkulit putih sedangkan Dasamuka adalah golongan kulit berwarna yang mendiami India Selatan. Peperangan ini tidak hanya persoalan perempuan, istri, tetapi juga perang yang dipicu oleh tafsir agama di dalam agama Hindu. Bahkan dinyatakan bahwa Rahwana adalah seorang raja sekaligus resi yang menyembah Dewa Syiwa. Sedangkan Rama adalah Raja dan sekaligus resi yang menyembah Wisnu.

Tafsir agama di dalam agama yang sama terkadang dapat memicu konflik social. Di dalam agama selalu ada keyakinan yang ultimate, meskipun yang diyakini kebenarannya tersebut adalah paham keagamaan dari para ulamanya. Apalagi jika agamanya berbeda. Dipastikan bahwa bisa saja terjadi konflik social jika kemudian masing-masing menganggap ajaran agamanya yang paling benar dan yang lain salah dan tidak mungkin terjadi keinginan untuk saling hidup dalam kebersamaan.

Di dalam setiap agama sungguh terdapat keniscayaan untuk memberikan peluang orang yang berbeda paham agama, berbeda ras dan suku bangsa dan bahkan etnis untuk saling hidup dalam kebersamaan. Islam memberikan peluang untuk hal tersebut. Banyak teks yang memberikan pengakuan atau co existence dengan orang lain yang berbeda, bahkan juga memberikan peluang untuk pro-existence.

Oleh karena itu jangan menjadikan tasfir agama sebagai kebenaran mutlak. jika kita melakukannya maka kita telah jatuh ke dalam “menuhankan” tafsir. Hal ini tidak dikehendaki oleh pembawa agama, seperti Nabi Muhammad SAW. Coba bayangkan bahwa Nabi Muhammad SAW itu membenarkan terhadap bacaan sahabatnya di dalam berdoa di dalam shalat. Banyak peristiwa yang memberikan gambaran betapa demokratisnya Nabi Muhammad SAW dalam beragama. Jadi kalau di dalam shalat lalu ada bacaan yang berbeda maka hal tersebut merupakan keniscayaan. Jangan sampai beranggapan bahwa hanya bacaannya saja yang benar dan bacaan yang lain salah dan tidak diterima shalatnya.

Ukhuwah Ashabiyah itu membayangkan bahwa di dalam dunia ini hanya ada  satu agama, satu keyakinan dan satu tafsir agama. Jika kelompok yang seperti itu melakukan ceramah agama, maka yang menjadi dalilnya adalah “amar ma’ruf nahi mungkar”. Jadi tujuannya adalah untuk meluruskan paham agama sesuai dengan paham agamanya.

Mereka melarang yasinan, tahlilan, dzikiran ba’da shalat, melarang upacara kematian, melarang ziarah kubur, melarang ziarah wali-wali Allah, berbagai tradisi yang tidak sesuai dengan yang diyakininya, maka dianggapnya churafat, dan takhayul. Kelompok Salafi Wahabi ini datang dan kemudian menguasai masjid-masjid dan menyebarkan ajaran Salafi Wahabi dan melarang amalan apapun yang tidak sesuai dengan paham keagamaannya.

Pandangan eksklusif tentang agama seperti ini yang dapat melahirkan ukhuwah Ashabiyah. Sebagai negara dengan masyarakatnya yang plural dan multicultural tentu prinsip ukhuwah Ashabiyah  tidaklah tepat.  Islam melalui Alqur’an sudah menjelaskan bahwa tidak boleh orang memaksa di dalam beragama, dan bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jadi Islam itu begitu indahnya dalam mengajarkan ukhuwah insaniyah sebagaimana firman Allah bahwa manusia diciptakan dalam kemuliaan. Maka, kita harus memuliakan manusia dalam kodratnya masing-masing.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

AJARAN UKHUWAH ITU SISTEMIK

AJARAN UKHUWAH ITU SISTEMIK

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Agama apapun tentu mengajarkan prinsip persaudaraan. Tentu saja Islam juga mengajarkan tentang persaudaraan atau ukhuwah. Secara konseptual bahwa ukhuwah di dalam ajaran Islam itu dikenal dengan istilah ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah atau insaniyah. Inilah yang kemudian disebut sebagai trilogy ukhuwah. Islam sebagai agama yang mengajarkan kerahmatan bagi umat manusia dan alam, maka sangat mengedepankan persoalan persaudaraan tersebut.

Inilah kata kunci di dalam ceramah saya pada jamaah Masjid al Ihsan, Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) ini merupakan ngaji ang dilaksanakan setiap hari Selasa. Maka juga lazim disebut ngaji selasanan. Jamaahnya tidak banyak. Ada sebanyak 23 orang yang secara rutin hadir di dalam pengajian ini. Mereka adalah tokoh agama dalam levelnya masing-masing, sehingga ngaji ini lebih merupakan kegiatan diskusi atau two way traffic preaching dibanding dengan ceramah yang one way traffic preaching atau ceramah searah, dari penceramah kepada para jamaah.

Kita sedang menghadapi adanya peluang disharmoni social yang dipicu oleh pilpres 2024. Jika kita amati perbincangan di media social, maka menunjukkan adanya peluang untuk terjadinya disharmoni social karena dukungan kepada capres dan cawapres yang menjadi pilihannya. Pertarungan tersebut memang bukan bersifat fisik tetapi pertarungan kata-kata, ungkapan-ungkapan dan ucapan dari pendukung 0I, 02 dan 03. Masing-masing beragumentasi sesuai dengan pikirannya dan kesadarannya. Ada yang menyatakan yang penting Anis. Ada yang menyatakan yang penting Prabowo dan ada juga yang menyatakan yang penting Ganjar.

Para pemilih minded tersebut tidak memperdulikan siapa dia. Yang penting akan menjadi pilihannya dan sekurang-kurangnya juga bisa mempengaruhi orang lain untuk memilihnya. Ternyata ada juga pemilih konsisten dan komitmen yang tidak akan terpengaruh apapun. Mereka ini sudah menentukan pilihan yang sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran. Saya jelaskan tiga hal, yaitu:

Pertama, konsep persaudaraan bukan berada di ruang kosong. Dengan latar belakang seperti ini, maka saya memberikan ceramah tentang ukhuwah atau persaudaraan di dalam Islam. Ada sekurang-kurangnya tiga jenis ukhuwah, yaitu ukhuwah insaniyah atau ukhuwah basyariyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah Islamiyah. Perkembangan  akhir-akhir ini di masyarakat Indonesia juga terdapat ukhuwah ashabiyah.

Ukhuwah insaniyah atau ukhuwah basyariyah bagi saya merupakan ukhuwah tertinggi dalam relasi kemanusiaan. Persaudaraan kemanusiaan didasari oleh realitas sebagai sesama manusia. Allah sungguh memuliakan manusia. Di dalam Alqur’an dinyatakan: “laqad karramna Bani Adama”, yang artinya: “sesungguhnya Kami (Allah) memuliakan anak cucu Adam”. Ayat ini menegaskan bagaimana Allah itu memuliakan manusia. Allah sungguh memuliakan ciptaannya yang memang dijadikans sebagai khalifahnya atau wakilnya di muka bumi. Rasulullah juga memberikan contoh tentang upaya membangun ukhuwah insaniyah. Ukhuwah yang tidak disekat-sekat dengan etnis, suku bangsa, golongan social dan bahkan agama. Ketika Nabi Muhammad menyebarkan Islam, maka Nabi Muhammad juga melindungi terhadap umat lain yang berbeda agama.

Lalu ada ukhuwah wathaniyah atau persaudaraan sebagai sesama bangsa dan negara. Persaudaraan ini juga lintas suku bangsa, etnis, golongan social dan agama. Selama seseorang menjadi warga negara dan bangsa maka selama itu pula yang bersangkutan harus menjadi sesama saudara sebangsa. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam berhubungan dengan negara. Tidak ada warga negara klas satu atau dua. Semua sama. Kemudian juga terdapat ukhuwah Islamiyah. Yaitu persaudaraan yang didasari oleh sesama umat Islam. Islam menegaskan bahwa sebagai sesama umat Islam,  maka  relasi antar umat Islam itu layaknya sebuah bangunan yang satu bagian akan menguatkan yang lain. Nabi Muhammad SAW menyatakan: Al mu’minu lil mu’mini kal bunyan yasyuddhu ba’dhuhu ba’dhan”.    Artinya “orang mukmin dengan orang mu’min lainnya itu seperti bangunan, yang satu menguatkan yang lain”.

Kedua, bagi kita ukhuwah itu bukan sebagai konsep yang parsial akan tetapi konsep sistemik di dalam relasi social. Konsep persaudaraan antar manusia tidak bisa dipisahkan dengan konsep persaudaran sesama bangsa dan konsep persaudaraan sebagai muslim juga tidak dapat dilepaskan dengan lainnya. Di dalam kehidupan masyarakat yang plural dan multicultural, maka ketiganya harus dilakukan secara konstan. Kala kita hidup di masyarakat, maka ketiganya harus dilakukan secara berkeseimbangan. Tidak boleh hanya menggunakan konsep ukhuwah Islamiyah tetapi juga harus mempertimbang dua konsep lainnya.

Sebagai negara yang tidak menggunakan dasar agama akan tetapi berdasar atas Pancasila, maka relasi social itu harus berbasis pada tiga hal tersebut. Ada ukhuwah yang bercorak umum untuk semua manusia, dan ada persaudaraan yang khusus sebagai wargawarga negara dan juga ada persaudaraan yang lebih khusus yang didasarkan atas keyakinan di dalam agama masing-masing. Melalui kesepahaman sistemik ini, maka kedamaian dan kerukunan untuk membangun keselamatan dipastikan akan eksis di dalam kehidupan kita semua.

Ketiga, jika kita dapat mengamalkan prinsip ajaran Islam dan relasi social yang luas, sesama manusia, atau yang khusus atau relasi kebangsaan atau kenegaraan dan keagamaan, maka kita akan bisa menjadi manusia yang bisa memahami orang lain. Kita semua diajari dengan ajaran agama yang menjunjung tinggi kehidupan bersama, maka sudah selayaknya jika kehidupan manusia akan menjadi lebih baik.

Trilogy ukhuwah ini sudah selayaknya tidak hanya dipahami tetapi juga diamalkan. Jika manusia Indonesia bisa mengamalkannya di dalam kehidupan tentu akan dipastikan terjadinya kerukunan, keharmonisan dan keselamatan bangsa. Sebagai negara bangsa, Indonesia akan menjadi lebih baik jika umat manusia di Indonesia berpegang teguh pada trilogy kerukunan.

Wallahu a’lam bi al shawab.