• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

UKHUWAH ASHABIYAH: JANGAN LAKUKAN

UKHUWAH ASHABIYAH: JANGAN LAKUKAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di dalam ceramah saya di Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency, Selasa, 13/02/2024, ada satu hal yang belum saya jelaskan meskipun sempat saya singgung dalam membahas ukhuwah di dalam relasi social. Islam mengajarkan agar membina tri ukhuwah di dalam kehidupan, yaitu; Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Basyariyah atau Insaniyah. Tri ukhuwah ini sudah saya jelaskan secara mendalam meskipun belum tuntas dalam kaitannya sebagai warga negara dan warga bangsa. Akan tetapi ukhuwah Ashabiyah belum saya bahas. Tulisan ini akan membahas secara lebih mendalam terkait dengan ukhuwah Ashabiyah dimaksud.

Ukhuwah Ashabiyah adalah persaudaran yang didasari oleh aspek kesukubangsaan, etnisitas, agama dan penggolongan social yang di dalamnya hanya mengakui kebenaran pada penggolongannya dan menafikan kebenaran pada golongan lainnya. Kebenaran hanya terdapat dalam pemahaman golongannya dan menganggap bahwa tafsir golongan lain itu salah dan perlu untuk dinihilkan. Di dalam skala yang lebih luas, misalnya bangsa Aria di masa Hitler hanya menganggap kebenaran itu atas tafsir bangsanya saja. Bangsa-bangsa lain harus ditundukkan dan yang sudah tunduk harus dicuci otaknya agar kemudian hanya mengenal kebesaran Wangsa Aria.

Di dunia ini sebenarnya juga terdapat konflik social bahkan perang. Tidak hanya perang antar negara dan bangsa tetapi juga perang yang difasilitasi oleh agama. Di dunia ini terdapat perang yang sangat lama, Perang Salib, antara Umat Islam dan Kristen, yang difaslitasi oleh keyakinan akan agama. Perang antara orang Kristen dan Katolik di Eropa juga dimaknai sebagai perang untuk membenarkan akan keyakinannya masing-masng. Agama Katolik yang selama itu dominan lalu menjadi terganggu melalui kehadiran Agama Protestan, sehingga kehadirannya ditolak dan terjadilah peperangan. Meskipun keduanya berasal dari Agama Nasrani yang dibangsakan dengan Nabi Isa AS, akan tetapi akhirnya harus pisah kongsi karena paham keagamaan.

Di dalam cerita pewayangan, terjadi pertarungan antara wangsa Kurawa dan Wangsa Pandawa, yang sesungguhnya masih bersaudara. Meskipun bersaudara tetapi yang dikedepankan adalah kebenaran tafsirannya masing-masing. Misalnya dalam penguasaan politik kenegaraan. Pandawa berkilah bahwa yang seharusnya menjadi penerus kerajaan Astina adalah wangsa Pandawa, sebab Pandawa adalah keturunan Raja Pandu Dewanata. Dia yang menjadi raja sebab kakaknya Destarata cacat mata, sehingga tidak layak menjadi raja. Tetapi kaum Kurawa berpandangan bahwa Astina adalah kewenangannya, bahkan setelah lakon “permainan dadu”, maka kerajaan Amarta juga dimilikinya sebab Pandawa kalah dalam permainan dadu.

Cerita lain dalam lakon Ramayana, maka juga terjadi pertarungan antara Rahwana dari Kerajaan Alengka dan Ramawijaya dari kerajaan Ayodya. Peperangan ini dipicu oleh keinginan Rahwana untuk menikahi Dewi Sinta yang sudah menjadi istri Rama. Di dalam cerita pewayangan digambarkan bahwa Rama adalah tokoh protagonist dan Rahwana adalah tokoh antagonis. Rama dikaitkan dengan agama Wisnu dan Dasamuka atau Rahwana adalah pemeluk agama Syiwa. Rama adalah golongan bangsa Aria yang mendiami India Tengah dan Utara, berkulit putih sedangkan Dasamuka adalah golongan kulit berwarna yang mendiami India Selatan. Peperangan ini tidak hanya persoalan perempuan, istri, tetapi juga perang yang dipicu oleh tafsir agama di dalam agama Hindu. Bahkan dinyatakan bahwa Rahwana adalah seorang raja sekaligus resi yang menyembah Dewa Syiwa. Sedangkan Rama adalah Raja dan sekaligus resi yang menyembah Wisnu.

Tafsir agama di dalam agama yang sama terkadang dapat memicu konflik social. Di dalam agama selalu ada keyakinan yang ultimate, meskipun yang diyakini kebenarannya tersebut adalah paham keagamaan dari para ulamanya. Apalagi jika agamanya berbeda. Dipastikan bahwa bisa saja terjadi konflik social jika kemudian masing-masing menganggap ajaran agamanya yang paling benar dan yang lain salah dan tidak mungkin terjadi keinginan untuk saling hidup dalam kebersamaan.

Di dalam setiap agama sungguh terdapat keniscayaan untuk memberikan peluang orang yang berbeda paham agama, berbeda ras dan suku bangsa dan bahkan etnis untuk saling hidup dalam kebersamaan. Islam memberikan peluang untuk hal tersebut. Banyak teks yang memberikan pengakuan atau co existence dengan orang lain yang berbeda, bahkan juga memberikan peluang untuk pro-existence.

Oleh karena itu jangan menjadikan tasfir agama sebagai kebenaran mutlak. jika kita melakukannya maka kita telah jatuh ke dalam “menuhankan” tafsir. Hal ini tidak dikehendaki oleh pembawa agama, seperti Nabi Muhammad SAW. Coba bayangkan bahwa Nabi Muhammad SAW itu membenarkan terhadap bacaan sahabatnya di dalam berdoa di dalam shalat. Banyak peristiwa yang memberikan gambaran betapa demokratisnya Nabi Muhammad SAW dalam beragama. Jadi kalau di dalam shalat lalu ada bacaan yang berbeda maka hal tersebut merupakan keniscayaan. Jangan sampai beranggapan bahwa hanya bacaannya saja yang benar dan bacaan yang lain salah dan tidak diterima shalatnya.

Ukhuwah Ashabiyah itu membayangkan bahwa di dalam dunia ini hanya ada  satu agama, satu keyakinan dan satu tafsir agama. Jika kelompok yang seperti itu melakukan ceramah agama, maka yang menjadi dalilnya adalah “amar ma’ruf nahi mungkar”. Jadi tujuannya adalah untuk meluruskan paham agama sesuai dengan paham agamanya.

Mereka melarang yasinan, tahlilan, dzikiran ba’da shalat, melarang upacara kematian, melarang ziarah kubur, melarang ziarah wali-wali Allah, berbagai tradisi yang tidak sesuai dengan yang diyakininya, maka dianggapnya churafat, dan takhayul. Kelompok Salafi Wahabi ini datang dan kemudian menguasai masjid-masjid dan menyebarkan ajaran Salafi Wahabi dan melarang amalan apapun yang tidak sesuai dengan paham keagamaannya.

Pandangan eksklusif tentang agama seperti ini yang dapat melahirkan ukhuwah Ashabiyah. Sebagai negara dengan masyarakatnya yang plural dan multicultural tentu prinsip ukhuwah Ashabiyah  tidaklah tepat.  Islam melalui Alqur’an sudah menjelaskan bahwa tidak boleh orang memaksa di dalam beragama, dan bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jadi Islam itu begitu indahnya dalam mengajarkan ukhuwah insaniyah sebagaimana firman Allah bahwa manusia diciptakan dalam kemuliaan. Maka, kita harus memuliakan manusia dalam kodratnya masing-masing.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..