Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TEOLOGI CINTA DI TENGAH RELASI SOSIAL

TEOLOGI CINTA DI TENGAH RELASI SOSIAL

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Salah satu di antara misi yang diemban oleh Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) adalah ngaji sambil tersenyum lepas yang diwujudkan dalam kegiatan ngaji bareng dalam tema-tema yang disesuaikan dengan realitas empiris dan dikaitkan dengan ajaran agama, khususnya ajaran Islam. Selasa, 20 Pebruari 2024, yang memberikan pengajian adalah Ustadz Sahid, seorang motivator yang andal dan memiliki pengalaman yang sangat banyak dalam menangani masalah-masalah personal, keluarga maupun organisasi. Tema kita adalah “Teologi Cinta Pasca Pilpres 2024”.

Ada tiga hal yang akan saya sampaikan berdasar atas ceramah Ustadz Sahid pada Ngaji Selasanan kemarin, yaitu: pertama, cinta itu terkait dengan perasaan dan hati yang abstrak dan kemudian terwujud di dalam prilaku, baik di dalam diri sendiri, keluarga, maupun komunitas dan masyarakat. Cinta itu telah mengilhami banyak hal, misalnya dalam penciptaan lagu, film, novel, bahkan sekarang mengilhami pelaku Tiktok. Cinta telah menghidupkan kehidupan manusia secara umum, dan masing-masing pribadi secara khusus.

Manusia diciptakan Allah melalui cinta antar jenis, lelaki dan perempuan, yang mengejawantah dalam kasih sayang dan cinta. Manusia bisa membedakan melalui akal pikiran, perasaan dan hati terkait dengan cinta. Manusia mengekspresikan cinta dalam berbagai variasi sesuai dengan obyek cinta. Cinta kepada suami atau istri berbeda dengan cinta kepada anak, cucu atau orang-orang khusus. Jika cinta seorang suami atau istri biasanya terkait dengan obyek hati dan fisik, maka cinta atas anak, cucu atau lainnya biasanya terkait dengan hati. Di dalam dunia rumah tangga tidak cukup hanya rahmah akan tetapi juga sakinah dan mawaddah. Mawaddah adalah cinta yang berbalut perasaan, hati dan fisik, sedangkan rahmah lebih banyak dimensi psikhologis atau mental, misalnya menyayangi berbasis hati dan perasaan. Semakin lama relasi suami istri adalah relasi rahmah dan bukan hanya mawaddah. Tetapi harus diyakini dan dilakukan bahwa baik rahmah maupun mawaddah itu berakhir pada sakinah atau ketentraman lahir dan batin.

Kedua, kita mencintai orang atau barang atau apa saja karena ada nilai yang terdapat di dalamnya. Misalnya kita mencintai Allah dan Rasulnya, maka ada nilai di dalamnya yaitu nilai spiritual yang tak terhingga, tak dapat  dihitung. Mencintai Allah itu mencintai hal yang bersifat gaib yang tidak dapat dilihat dengan mata kepala atau tidak observable. Allah itu merupakan bagian dari ajaran tentang “kegaiban” yang harus diyakini kebenarannya. Manusia yang beriman kepada Allah tidak boleh ragu. Kita harus yakin secara sungguh-sungguh. Kita beriman kepadanya dengan iman yang teguh. Kita harus percaya bahwa Allah itu Maha Kuasa dan Maha Esa. Dan kita harus yakin bahwa dengan kekuasaannya maka seluruh kosmos itu diciptakannya. Bahkan menurut Ibnu Sina, bahwa alam seluruhnya itu diciptakan oleh Allah karena Allah mencintainya. Seluruh jagat raya harus diyakini sebagai ciptaan Allah dan tidak ada makhluk lainnya yang bisa menciptakannya. Jagad raya tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi diciptakan oleh Dzat yang sangat berkuasa atas semua hal. Wujud dari cinta kepada Allah adalah dengan melakukan kebaikan-kebaikan.

Selain itu juga mencintai Rasulullah yang dimanifestaikan dengan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, sebanyak-banyaknya. Makin banyak makin baik. Nabi Muhammad SAW adalah washilah terbaik untuk amal kita kepada Allah SWT. Cinta itu digambarkan sebagai berjenjang dari level perilaku, yakni orang yang mencintai maka akan melakukan sesuatu sesuai dengan cintanya itu. Lalu ada level cinta karena kewajiban dan kemudian level cinta karena kebutuhan. Kita bukan wajib mencintai Allah tetapi butuh untuk mencintai Allah. Dalam level kebutuhan maka cinta itu sudah berkategori cinta spiritual sebagaimana yang dilakukan oleh ahli tasawuf Rabi’ah Al Adawiyah, dengan tasawuf hub atau tasawuf cinta.

Ketiga, kita mengharuskan diri kita untuk membutuhkan cinta terhadap orang lain atau sesama manusia. Kita baru saja melakukan pilihan presiden dan juga memilih wakil-wakil rakyat. Di masa sebelum pemilu atau masa kampanye kita dapat berbeda dalam pilihan,  akan tetapi kita harus tetap berada di dalam satu kesatuan sebagai umat Islam atau sebagai bangsa Indonesia.  Oleh karena itu, jangan sampai bercerai berai karena pilpres. Harus tetap kita kembangkan persatuan dan kesatuan bangsa. Caranya adalah dengan mengembangkan saling cinta sebagai warga negara dan sebagai bangsa Indonesia.

Ada empat S yang bisa dikembangkan yaitu: S pertama adalah kependekan dari Safety. Bahwa orang merasa selamat dalam pergaulan kita. Di dalam relasi social,  keselamatan merupakan aspek penting yang harus terus diperjuangkan. Jika kita ingin selamat, maka harus ada sikap saling mencintai dan menyayangi. S kedua adalah secure atau aman. Kita merasa aman dalam pergaulan dan keamanan dalam pergaulan itu dasarnya adalah saling mencintai. Jika di antara manusia yang berbeda-beda itu terdapat sikap saling mencintai, maka akan terdapat keamanan. S ketiga adalah seen atau tampak atau terlihat, apa yang baik itu baik dan apa yang jelek itu juga jelek. Kita harus bergaul dengan apa adanya tanpa tanpa basa-basi. Melalui sikap seperti ini akan menimbulkan trust yang juga akhirnya akan menimbulkan rasa cinta dalam pergaulan. S keempat adalah soul atau jiwa yang tenang. Cinta akan tumbuh dalam jiwa yang tenang, jiwa yang sabar dan jiwa yang halus. Jika seseorang dapat mengembangkan jiwa muthmainnahnya, maka di dalamnya pasti akan tumbuh subur rasa cinta kepada sesama manusia.

Oleh karena itu  apapun perbedaan di antara kita, jika kita dapat  mengembangkan rasa cinta yang medasar karena Allah, maka akan kita dapat kebaikan-kebaikan di dalam diri, keluarga, komunitas dan masyarakat. Dan kita pasti bisa melakukannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..