Membaca tulisan Hermawan Kertajaya tentang “Komodo is the Real Wow” di Majalah Garuda (Oktober 2011) terasa sangat menarik. Hal ini disebabkan beberapa hari terakhir saya menulis tentang kebudayaan dan dunia transisinya di era sekarang. Beliau bercerita tentang bagaimana Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur sesungguhnya bisa menjadi aset yang luar biasa eksotik di Indonesia.
Nusa Tenggara tentu dikenal sebagai wilayah gersang dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Sebagai daerah gersang ternyata NTT menyimpan kekuatan wisata yang luar biasa, yaitu lewat Komodo. Diceritakannya bahwa di dalam kerjasama antara Indonesia dengan Kebun Binatang di Australia, Tarongga Zoo, dipamerkannya Taman Nasional Komodo di NTT tersebut. Dinyatakannya bahwa Taman Nasional Komodo sebenarnya bisa dijual ke orang Australia sebagai salah satu obyek beyond Bali. Di dalam acara ini juga dilakukan memamerkan Komodo kepada orang Australia.
Yang dilakukan oleh Hermawan Kertajaya adalah bentuk kepedulian orang Indonesia akan pentingnya promosi tempat pariwisata Indonesia kepada orang lain, khususnya mereka yang memiliki potensi untuk datang ke Indonesia sebagai wisatawan. Seharusnya orang Indonesia yang di luar negeri atau secara khusus berkunjung ke luar negeri dalam kapasitas sebagai duta budaya atau duta kesenian dan bahkan duta perdagangan, maka seharusnya yang bersangkutan dapat menjadi public relation untuk mengembangkan kunjungan wisata ke Indonesia. Jadi kita semua adalah duta kunjungan wisata bagi masyarakat internasional untuk mengenalkan wisata Indonesia di luar negeri.
Terus terang saya kagum kepada negeri tetangga kita, Thailand, di dalam upaya promosi wisatanya. Obyek alam Thailand tentu tidak sekaya Indonesia. Akan tetapi promosi tentang tempat wisatanya ternyata luar biasa. Ketika kita datang di Bangkok, maka travel agent sudah memainkan perannya. Di bandara Bangkok, maka hotel reservation sudah lengkap menyediakan paket-paket wisata selama di Bangkok. Mereka adalah public relation yang andal di dalam menawarkan paket-paket wisata kepada orang yang datang kepadanya. Tidak hanya menawarkan hotel akan tetapi juga sekaligus taksi dan paket tour selama di Thailand.
Biro perjalanan juga penetratif sekali untuk menawarkan paket-paket kunjungan wisata. Rupanya juga ada kerjasama dengan berbagai pusat kerajinan emas, berlian, kayu dan perak yang tersebar di Bangkok. Diajaknya kaum wisatawan untuk berkunjung dan juga membeli barang produk Thailand. Para sopir taksi juga bisa bicara sepatah dua patah kata di dalam bahasa Inggris, sehingga bisa sedikit berkomunikasi dengan para pelancong.
Di dalam pandangan saya bahwa ada mekanisme yang sangat koordinatif antar elemen, pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk mendukung terhadap gerakan tourisme ini. Kerjasama antar institusi inilah yang menjadi kekuatan bagi industri pariwisata di Thailand. Jadi tampaknya memang sudah ada kesadaran tentang bagaimana mengembangkan pariwisata tersebut.
Di antara problem yang sangat mendasar tentang pengembangan wisata di Indonesia adalah tentang kenyataan belum adanya kesadaran bersama tentang bagaimana mengembangkan dunia pariwisata. Cobalah kita lihat bagaimana pengembangan wisata di Indonesia. Jika ingin melihat tentang dinamika pariwisata di Surabaya, maka sekali waktu tengoklah tentang informasi pariwisata tersebut. Apakah hotel-hotel di Surabaya sudah bekerjasama dengan biro-biro perjalanan atau juga tempat-tempat wisata untuk mendukung Visit Indonesia Year. Kerjasama mungkin sudah ada, hanya yang kurang adalah semangat untuk menjemput bola agar kaum wisatawan datang ke kota ini.
Saya sepenuhnya yakin bahwa ada banyak tempat yang bisa dijual dari kota ini, hanya sayangnya roh pengembangan itu yang tidak sekuat di Thailand, misalnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Saya sampaikan bahwa budaya nasional sesungguhnya adalah puncak-puncak budaya daerah yang sangat menonjol yang dikonstruksi dan diakui sebagai budaya nasional. Makanya ada varian budaya nasional. Hal ini tentu saja disebabkan oleh multikulturalitas masyarakat Indonesia. Jika kita menggunakan konsepsi bahwa tidak ada masyarakat atau komunitas atau suku yang vakum budaya, maka dapat dipastikan bahwa tidak ada masyarakat yang juga vakum budaya.
Berdasarkan atas konsepsi ini, maka berarti bahwa setiap suku atau masyarakat dipastikan memiliki budaya yang menonjol. Katakanlah bahwa masyarakat Suku di daerah Papua, maka juga harus diakui memiliki budaya yang khas mereka dan bisa dianggap sebagai menonjol dan eksotik bagi masyarakat mereka sendiri. Jika menggunakan kerangka konseptual antropologi struktural maka sesungguhnya tidak ada budaya suatu suku atau bangsa yang rendah atau tinggi, sebab setiap budaya adalah hasil kreasi tertinggi dari bangsa itu.
Itulah sebabnya ketika orang barat menganggap bahwa hanya budayanya saja yang tinggi dan lainnya rendah, maka sebenarnya adalah pandangan yang naif dan narsistis. Padahal setiap suku atau masyarakat memiliki budayanya sendiri yang khas dan tinggi. Bagi suku Dani di Papua, maka pakaian semi telanjangnya bukanlah penanda kerendahan budayanya, akan tetapi adalah pattern of behavior dari pedoman budayanya yang memang seperti itu. Kesemitelanjangan bukanlah sebuah ukuran bagi suku bangsa dengan budayanya sendiri untuk menyatakan bahwa budaya suku bangsa tersebut ketinggalan atau rendah. Akan tetapi semata-mata harus dipandang bahwa itulah kebudayaannya yang khas mereka. Budaya selalu sesuatu yang share dan bercorak massif. Jadi ada tindakan yang dilakukan secara bersama karena pengetahuan budayanya yang sama.
Indonesia adalah negeri yang sangat banyak budayanya. Dengan jumlah suku yang mencapai 700 buah, maka bisa dibayangkan betapa kayanya budaya kita itu. Ada bahasa, kesenian, religi, dan perilaku hidup sehari-hari yang sangat banyak dan khas keindonesiaan yang bisa menjadi kekayaan Indonesia. Semuanya menggambarkan betapa Indonesia adalah negara besar yang seharusnya menjadi dignity factors untuk bisa dibanggakan oleh warga negaranya.
Sayangnya bahwa kebudayaan tersebut di dalam banyak hal disamakan dengan kesenian, sehingga ketika orang bicara tentang budaya Betawi, maka yang muncul adalah kesenian ondel-ondel atau musik lenong. Orang sering kali melihat kebudayaan dengan budaya fisik yang performance-nya bisa ditampilkan di dalam kesenian. Meminjam bahasanya Koentjaraningrat dianggap sebagai produk budaya. Ia adalah karya manusia tentang budayanya.
Keprihatinan Daoed Joesoef tentang pemisahan pendidikan dan kebudayaan dari kementerian pendidikan nasional adakah contoh betapa orang berpikir untuk mereduksi kebudayaan menjadi kesenian itu. Kebudayaan bukan hanya aspek fisik, produk budaya, akan tetapi adalah seluruh sistem kehidupan manusia yang berisi sistem pengetahuan, sistem nilai dan sistem tindakan yang memungkinkan manusia melakukan interaksi dengan sesamanya dan bahkan dengan Tuhan dan alam.
Makanya, kebudayaan memuat seluruh sisten kehidupan, yang dikonsepsikan sebagai seven cultural universals, yaitu sistem religi, sistem sosial, sistem teknologi, sistem bahasa, sistem ekonomi, sistem pengetahuan dan sistem kesenian. Setiap masyarakat memiliki sistem ini dan inilah yang disebut sebagai kebudayaan. Jika yang dilihat hanya kesenian saja, maka hal itu hanyalah satu aspek dari sistem kebudayaan.
Di Indonesia pemerintah melihat kesenian sebagai kebudayaan dengan dibuktikannya menjadikan kebudayaan sebagai bagian dari kementerian pariwisata. Tentu saja ada alasan mengapa dilakukan pemisahan antara pendidikan dan kebudayaan, akan tetapi penempatan kebudayaan bersandingan dengan pariwasata tentu kurang relevan. Menyandingkan kebudayaan dengan pendidikan, maka tentu jauh lebih fungsional, sebab pendidikan dan kebudayaan merupakan kesejajaran yang mutlak. Bukankah proses transformasi kebudayaan akan lebih tepat menggunakan pendidikan dan bukan melalui pariwisata.
Kesalahan inilah yang kemudian memicu terjadinya berbagai problem budaya bangsa yang lebih permisif, materialistik, konsumtif, kekerasan dan sebagainya. Di era transisi seperti ini, maka penguatan pendidikan berbasis kebudayaan bangsa tentu menjadi sangat penting. Jika kita tidak ingin terjerumus ke dalam kesalahan di dalam pewarisan budaya kepada generasi yang akan datang, maka tentu menjadi tugas kita sekarang untuk membenahinya.
Dengan demikian diharapkan adanya pemihakan pendidikan berbasis kebudayaan ini, sehingga ke depan akan bisa dilihat munculnya kepemimpinan bangsa yang memiliki national dignity di tengah arus globalisasi yang tidak akan pernah bisa ditahan oleh siapapun termasuk negara.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Jika mengikuti definisi kebudayaan sebagaimana dijelaskan oleh Clifford Geertz, maka kebudayaan sesungguhnya memiliki dimensi sistem pengetahuan atau sistem kognisi, sistem evaluasi atau sistem nilai dan sistem tindakan yang direpresentasikam di dalam kehidupan sehari-hari. Dari sistem tersebut, kemudian diketahui adanya pemahaman tentang budaya sebagai pattern for behaviour dan sebagai pattern of behavior.
Kali ini saya ingin membahas tentang budaya pop bukan sebagai sistem atau pattern for behavior akan tetapi sebagai pattern of behavior. Budaya pop bisa dikaji sebagai sistem atau pattern for behavior sebab memang tetap ada nilai filosofisnya. Budaya pop dibangun di atas nilai positivistik dan bersumber dari pemikiran utilitarianistik. Yang penting ada gunanya, tidak dipedulikan kegunaannya tersebut mengandung manfaat secara kemanusian universal atau tidak.
Pandangan ini bisa saja berbeda dengan yang lain, terutana para pelaku dan penikmat budaya pop. Bagi mereka nilai itu adalah nilai material. Jadi yang penting adalah manfaat secara ekonomik. Bukan manfaat yang berupa standar nilai baik atau buruk bagi kemanusiaan. Budaya yang penting happy atau yang penting laku di pasaran. Makanya di dalam budaya pop tidak pernah dibicarakan tentang kegunaan dari sisi moralitas atau kemanusiaan yang lebih mendasar.
Pengikut budaya pop kebanyakan adalah kawula muda. Generasi muda sekarang tentu berbeda dengan generasi muda tahun 1928, tahun 1945, tahun 1965 atau generasi tahun 1980-an. Generasi muda ini ditempa dengan berbagai problem bangsa yang sangat signifikan. Lahirnya generasi Wahidin Soedirohoesodo, Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, A. Wahid Hasyim yang ditempa dengan perjuangan fisik, maka melahirkan generasi muda yang luar biasa semangat dan pengabdiannya pada nusa dan bangsa. Sedangkan generasi berikutnya juga melahirkan generasi yang kuat di dalam prinsip membela kaum terpinggirkan. Sedangkan di era sekarang justru melahirkan generasi yang utilitarian dan konsumeristik.
Tentu saja zamanlah yang melahirkan kondisi generasi muda seperti ini. Tidak ada ranah kosong atau lingkungan kosong yang melahirkan sebuah generasi sehingga menjadi seperti itu. Di era ketercukupan ekonomi, ketersediaan fasilitas dan kehidupan yang instan, maka juga melahirkan budaya generasi muda yang instan dan konsumerisme pula.
Lihatlah para kawula muda yang setiap hari datang dan pergi ke Mall, cangkruk di kafe, karaoke dan kehidupan permisif lainnya, tentu menggambarkan bagaimana filsafat kehidupannya. Inilah yang kemudian saya konsepsikan sebagai budaya yang penting happy. Di dalam konteks seperti ini, maka sesungguhnya ada degradasi nilai budaya di kalangan generasi muda.
Kejangkitan luar biasa terhadap budaya pop Korea atau Korean Wave adalah contoh mikro tentang bagaimana para generasi muda hidup di dalam bayang-bayang kehidupan yang penting happy yang merupakan anak cucu pemikiran utilitarianisme yang konsumeristik. Mereka menjadi konsumen buta yang tidak perduli dari mana saja datangnya budaya pop tersebut dan kemudian diadaptasinya di dalam kehidupan riil sehari-hari.
Sayangnya bahwa masyarakat Indonesia tidak perduli terhadap perubahan mendasar dari sikap dan perilaku budaya generasi muda ini. Kita mengabaikan terhadap apa yang sesungguhnya merugikan bagi masyarakat Indonesia. Kita tidak melakukan antisipasi terhadap apa yang akan terjadi di masa depan.
Coba kita bayangkan bahwa generasi muda yang sekarang adalah para pemimpin Indonesia di masa datang. Mereka seharusnya memperoleh didikan yang memadai tentang budaya bangsanya. Sehingga di masa depan mereka sudah memiliki bekal yang cukup tentang Indonesia dan keindonesiaan.
Jika kemudian kita terus membiarkannya tanpa ada arahan yang memadai maka saya khawatir bahwa nasib bangsa ini akan menjadi terancam. Seharusnya dunia pendidikan bisa menjadi ujung tombak untuk melakukan gerakan kembali kepada budaya nasional Indonesia, yang tidak lain adalah puncak-puncak budaya daerah yang menjadi ikon budaya nasional.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Membaca harian Suara Pembaharuan Pagi, 2/10/2011, terasa sangat menarik. Meskipun tulisan ini agak lambat dihadirkan untuk merespon berita tersebut, akan tetapi tetap saja ada sesuatu yang bisa dihadirkan di tengah kenyataan merebaknya budaya pop tersebut membetot dunia.
Gelombang budaya pop memang mengikuti irama globalisasi, sehingga rasanya juga sulit untuk ditolak oleh makhluk manusia di dunia ini. Makanya, juga tidak ada formulasi untuk menggalang perlawanan terhadap globalisasi tersebut. Bahkan perlawanan juga percuma sebab pengaruh globalisasi tersebut memang sangat dahsyat.
Di harian tersebut digambarkan tentang bagaimana budaya pop tersebut menerpa dunia. Serbuan budaya pop tersebut kemudian menjadi bagian dari budaya di tempat lain. Gelombang dahsyat budaya pop tersebut, salah satunya datang dari Negeri Ginseng, yang disebut sebagai Korean Wave. Begitu hebatnya Korean Wave tersebut, maka sekarang negeri Ginseng tersebut menjadi satu di antara 10 negara pengekspor budaya pop di dunia internasional.
Tentu saja budaya pop bisa menjadi salah satu medium promosi negeri Ginseng di dalam perbincangan internasional. Jadi sesungguhnya juga terdapat keuntungan yang dihasilkan dari mencuatnya budaya pop Korea Selatan tersebut bagi negerinya. Bukan hanya artisnya yang dikenal, atau filmnya yang menjadi kesohor, akan tetapi juga income negeri tersebut menjadi bertambah.
Selalu ada sesuatu yang secara sistemik berkaitan antara satu dengan lainnya. Lahirnya budaya pop berpengaruh terhadap imaje negeri tersebut dalam kancah internasional dan kemudian secara berantai dapat meningkatkan kunjungan wisata, pendapatan nasional dan lainnya. Sesungguhnya melalui lahirnya budaya pop tersebut maka banyak yang diuntungkan.
Indonesia juga menjadi bagian dari keterpengaruhan budaya pop Korea Selatan ini. Beberapa tahun terakhir, banyak musik Korea Selatan yang digandrungi oleh para remaja Indonesia. Kemudian menyusul miniseri dan film Korea Selatan. Nama-nama bintang film Korea Selatan begitu digandrungi oleh anak muda Indonesia.
Melalui media televisi yang memang menjadi medium kuat munculnya budaya pop sangat terasa betapa besar pengaruhnya. Sebagaimana diketahui bahwa televisi memang menjadi ajang konsumsi entertainment yang paling besar. Sehingga apapun yang ditayangkan di televisi dalam waktu yang sangat pendek akan bisa menjadi wacana dan tindakan para pemirsanya.
Televisi memang tidak hanya datang dengan berita, pendidikan, iklan, hiburan dan sebagainya, akan tetapi juga bisa menjadi medium bagi massifikasi budaya ke segenap masyarakat. Melalui televisi, maka orang akan dapat mengetahui apa yang tejadi di tempat lain. Dan bahkan juga perkembangan mode, dunia fashion, teknologi, ilmu dan sebagainya yang ada di tempat lain.
Gelombang dahsyat televisi dapat mengantarkan orang bisa menjadi terkenal mendadak. Coba lihat bagaimana tayangan Empat Mata, Opera van Java, bahkan penyanyi dangdut Ayu Tingting. Melalui Empat Mata, maka nama Tukul menjadi terkenal. Melalui Opera van Java, maka nama Sule menjadi melambung. Dan masih banyak lainnya.
Budaya pop adalah bagian dari efek globalisasi yang kehadirannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan modernisasi dan konsumerisasi. Di tengah arus ini, maka akan terjadi pusaran dan tarikan kepada siapa saja yang mencoba untuk terlibat di dalamnya.
Hanya sayangnya bahwa masyarakat Indonesia belum bisa menjadi pemain dari budaya pop ini. Kebanyakan dari kita adalah konsumen yang dengan gegap gempita menyambutnya tanpa pernah berpikir kapan kita akan menjadi pemain.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Jika ingin melakukan evaluasi dan monitoring, maka sebaiknya dengan melihat kasus-kasus yang ada sehingga akan didapati hasil yang lebih berdaya guna. Maka outline dari evaluasi dan monitoring tersebut adalah latarbelakang masalah, mandat evaluasi kinerja pembangunan, monitoring dan evaluasi kinerja, hasil monev dan permasalahan dan tindak lanjut. Evaluasi dan monitoring sebenarnya merupakan bagian mendasar dari seluruh kegiatan pembangunan.
Anggaran pembangunan di era 1992-1998 itu hanya sebesar kurang dari 100 trilyun, sedangkan sekarang sudah mencapai angka 1400 trilyun. Itu artinya bahwa ada peningkatan anggaran yang luar biasa. Persoalannya adalah apakah dengan peningkatan anggaran tersebut sudah menghasilkan performance product atau output pembangunan yang memadai. Jawabannya masih tanda tanya.
Sesungguhnya untuk melakukan monev sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengkover tentang pelaksanaan evaluasi pembangunan nasional. Setiap lembaga atau kementetian memiliki peraturannya sendiri-sendiri. Misalnya, UKP4, BPK, BPKP, Bappenas, Kemendagri dan sebagainya yang sifat dan fungsinya merupakan kegiatan evaluasi dan monitoring ke dalam dan keluar. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Sesungguhnya diperlukan satu bentuk kerjasama yang bisa dibangun oleh masing-masing lembaga dan kementerian.
Yang unik bahwa ada lembaga atau satker yang harus membuat laporan saja sebanyak 70 laporan. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ada banyak instansi yang harus melaporkan kepada pimpinan di pusat. Apalagi format yang digunakan untuk membuat laporan tersebut juga sangat variatif.
Memang ada tumpang tindih monev di kelembagaan pemerintah kita. Overlap tersebut ada di level subyek dan fungsi. Dahulu, Bappenas hanya memiki fungsi perencanaan dan tidak memiliki fungsi monev. Akan tetapi sekarang sudah memiliki peran yang lebih luas yaitu berfungsi untuk monev pembangunan nasional.
Evalusi kinerja akan dilakukan pada awal atau ex ante, yaitu untuk menguji pencapaian indikator kinerja dan juga mengevalusi dari aspect cost efective benefit. Selain itu juga bisa menilai program yang berada di dalam on going atau yang disebut sebagai pengendalian. Dan yang juga penting adalah evaluasi dan monitoring pada tahap akhir atau pasca kegiatan, dengan mempertimbangkan out put dan outcomenya. untuk hal ini tidak hanya dilihat hasilnya akan tetapi juga hambatan dan masalahnya, sehingga akan dapat diketahui dan dipertimbangkan pada perencanaan tahun berikutnya.
Monev adalah bagian dari siklus perencanaan. Perlu ada program base-evaluation. Di dalam hal ini, maka perlu untuk diketahui tentang perubahan pada produk atau output belum tentu menghasilkan outcome. Makanya, performance produk implementasi perencanaan menjadi sangat penting. Sesuai dengan PP 39/2006 tentang Alur Pemantauan dan Pengendalian, maka sesungguhnya sudah ada sistem monev yang cukup jelas. Maka alurnya adalah input, kegiatan, output, Outcome dan dampak. Oleh karena itu, tiga tahapan monev tersebut menjadi sangat penting.
DIPA adalah mencerminkan input yang terstruktur relational, untuk menggambarkan tentang berapa besar anggaran yang diperoleh dan apa yang bisa dilakukan dengan anggaran tersebut. Kemudian untuk mencapai tujuan yang relevan dengan tujuan nasional. Kemudian juga perhitungkan aspek outputnya.
Untuk membuat indikator, maka dapat dilakukan dengan SMART yaitu: Simple Measurable, Attributable, Reliable dan Timely. Indikator itu harus sederhana, harus dapat diukur, harus bisa diatribusikan, harus bisa dipercaya dan harus ada waktu yang jelas.
Melalui monev yang terstruktur dengan benar dan sesuai dengan fungsi dan perannya yang tepat pada sasaran yang jelas, maka akan diperoleh perencanaan, implementasi dan produk kinerja yang sesuai dengan harapan.
Untuk kepentingan ini, maka sesungguhnya dibutuhkan kinerja aparat pemerintah yang kuat dan profesional. Sehingga keinginan untuk membangun berbasis keadilan akan dapat dicapai.
Wallahu a’lam bi al shawab.