BUDAYA POP DI TENGAH KITA
Jika mengikuti definisi kebudayaan sebagaimana dijelaskan oleh Clifford Geertz, maka kebudayaan sesungguhnya memiliki dimensi sistem pengetahuan atau sistem kognisi, sistem evaluasi atau sistem nilai dan sistem tindakan yang direpresentasikam di dalam kehidupan sehari-hari. Dari sistem tersebut, kemudian diketahui adanya pemahaman tentang budaya sebagai pattern for behaviour dan sebagai pattern of behavior.
Kali ini saya ingin membahas tentang budaya pop bukan sebagai sistem atau pattern for behavior akan tetapi sebagai pattern of behavior. Budaya pop bisa dikaji sebagai sistem atau pattern for behavior sebab memang tetap ada nilai filosofisnya. Budaya pop dibangun di atas nilai positivistik dan bersumber dari pemikiran utilitarianistik. Yang penting ada gunanya, tidak dipedulikan kegunaannya tersebut mengandung manfaat secara kemanusian universal atau tidak.
Pandangan ini bisa saja berbeda dengan yang lain, terutana para pelaku dan penikmat budaya pop. Bagi mereka nilai itu adalah nilai material. Jadi yang penting adalah manfaat secara ekonomik. Bukan manfaat yang berupa standar nilai baik atau buruk bagi kemanusiaan. Budaya yang penting happy atau yang penting laku di pasaran. Makanya di dalam budaya pop tidak pernah dibicarakan tentang kegunaan dari sisi moralitas atau kemanusiaan yang lebih mendasar.
Pengikut budaya pop kebanyakan adalah kawula muda. Generasi muda sekarang tentu berbeda dengan generasi muda tahun 1928, tahun 1945, tahun 1965 atau generasi tahun 1980-an. Generasi muda ini ditempa dengan berbagai problem bangsa yang sangat signifikan. Lahirnya generasi Wahidin Soedirohoesodo, Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, A. Wahid Hasyim yang ditempa dengan perjuangan fisik, maka melahirkan generasi muda yang luar biasa semangat dan pengabdiannya pada nusa dan bangsa. Sedangkan generasi berikutnya juga melahirkan generasi yang kuat di dalam prinsip membela kaum terpinggirkan. Sedangkan di era sekarang justru melahirkan generasi yang utilitarian dan konsumeristik.
Tentu saja zamanlah yang melahirkan kondisi generasi muda seperti ini. Tidak ada ranah kosong atau lingkungan kosong yang melahirkan sebuah generasi sehingga menjadi seperti itu. Di era ketercukupan ekonomi, ketersediaan fasilitas dan kehidupan yang instan, maka juga melahirkan budaya generasi muda yang instan dan konsumerisme pula.
Lihatlah para kawula muda yang setiap hari datang dan pergi ke Mall, cangkruk di kafe, karaoke dan kehidupan permisif lainnya, tentu menggambarkan bagaimana filsafat kehidupannya. Inilah yang kemudian saya konsepsikan sebagai budaya yang penting happy. Di dalam konteks seperti ini, maka sesungguhnya ada degradasi nilai budaya di kalangan generasi muda.
Kejangkitan luar biasa terhadap budaya pop Korea atau Korean Wave adalah contoh mikro tentang bagaimana para generasi muda hidup di dalam bayang-bayang kehidupan yang penting happy yang merupakan anak cucu pemikiran utilitarianisme yang konsumeristik. Mereka menjadi konsumen buta yang tidak perduli dari mana saja datangnya budaya pop tersebut dan kemudian diadaptasinya di dalam kehidupan riil sehari-hari.
Sayangnya bahwa masyarakat Indonesia tidak perduli terhadap perubahan mendasar dari sikap dan perilaku budaya generasi muda ini. Kita mengabaikan terhadap apa yang sesungguhnya merugikan bagi masyarakat Indonesia. Kita tidak melakukan antisipasi terhadap apa yang akan terjadi di masa depan.
Coba kita bayangkan bahwa generasi muda yang sekarang adalah para pemimpin Indonesia di masa datang. Mereka seharusnya memperoleh didikan yang memadai tentang budaya bangsanya. Sehingga di masa depan mereka sudah memiliki bekal yang cukup tentang Indonesia dan keindonesiaan.
Jika kemudian kita terus membiarkannya tanpa ada arahan yang memadai maka saya khawatir bahwa nasib bangsa ini akan menjadi terancam. Seharusnya dunia pendidikan bisa menjadi ujung tombak untuk melakukan gerakan kembali kepada budaya nasional Indonesia, yang tidak lain adalah puncak-puncak budaya daerah yang menjadi ikon budaya nasional.
Wallahu a’lam bi al shawab.