BUDAYA NASIONAL DI ERA GLOBAL
Saya sampaikan bahwa budaya nasional sesungguhnya adalah puncak-puncak budaya daerah yang sangat menonjol yang dikonstruksi dan diakui sebagai budaya nasional. Makanya ada varian budaya nasional. Hal ini tentu saja disebabkan oleh multikulturalitas masyarakat Indonesia. Jika kita menggunakan konsepsi bahwa tidak ada masyarakat atau komunitas atau suku yang vakum budaya, maka dapat dipastikan bahwa tidak ada masyarakat yang juga vakum budaya.
Berdasarkan atas konsepsi ini, maka berarti bahwa setiap suku atau masyarakat dipastikan memiliki budaya yang menonjol. Katakanlah bahwa masyarakat Suku di daerah Papua, maka juga harus diakui memiliki budaya yang khas mereka dan bisa dianggap sebagai menonjol dan eksotik bagi masyarakat mereka sendiri. Jika menggunakan kerangka konseptual antropologi struktural maka sesungguhnya tidak ada budaya suatu suku atau bangsa yang rendah atau tinggi, sebab setiap budaya adalah hasil kreasi tertinggi dari bangsa itu.
Itulah sebabnya ketika orang barat menganggap bahwa hanya budayanya saja yang tinggi dan lainnya rendah, maka sebenarnya adalah pandangan yang naif dan narsistis. Padahal setiap suku atau masyarakat memiliki budayanya sendiri yang khas dan tinggi. Bagi suku Dani di Papua, maka pakaian semi telanjangnya bukanlah penanda kerendahan budayanya, akan tetapi adalah pattern of behavior dari pedoman budayanya yang memang seperti itu. Kesemitelanjangan bukanlah sebuah ukuran bagi suku bangsa dengan budayanya sendiri untuk menyatakan bahwa budaya suku bangsa tersebut ketinggalan atau rendah. Akan tetapi semata-mata harus dipandang bahwa itulah kebudayaannya yang khas mereka. Budaya selalu sesuatu yang share dan bercorak massif. Jadi ada tindakan yang dilakukan secara bersama karena pengetahuan budayanya yang sama.
Indonesia adalah negeri yang sangat banyak budayanya. Dengan jumlah suku yang mencapai 700 buah, maka bisa dibayangkan betapa kayanya budaya kita itu. Ada bahasa, kesenian, religi, dan perilaku hidup sehari-hari yang sangat banyak dan khas keindonesiaan yang bisa menjadi kekayaan Indonesia. Semuanya menggambarkan betapa Indonesia adalah negara besar yang seharusnya menjadi dignity factors untuk bisa dibanggakan oleh warga negaranya.
Sayangnya bahwa kebudayaan tersebut di dalam banyak hal disamakan dengan kesenian, sehingga ketika orang bicara tentang budaya Betawi, maka yang muncul adalah kesenian ondel-ondel atau musik lenong. Orang sering kali melihat kebudayaan dengan budaya fisik yang performance-nya bisa ditampilkan di dalam kesenian. Meminjam bahasanya Koentjaraningrat dianggap sebagai produk budaya. Ia adalah karya manusia tentang budayanya.
Keprihatinan Daoed Joesoef tentang pemisahan pendidikan dan kebudayaan dari kementerian pendidikan nasional adakah contoh betapa orang berpikir untuk mereduksi kebudayaan menjadi kesenian itu. Kebudayaan bukan hanya aspek fisik, produk budaya, akan tetapi adalah seluruh sistem kehidupan manusia yang berisi sistem pengetahuan, sistem nilai dan sistem tindakan yang memungkinkan manusia melakukan interaksi dengan sesamanya dan bahkan dengan Tuhan dan alam.
Makanya, kebudayaan memuat seluruh sisten kehidupan, yang dikonsepsikan sebagai seven cultural universals, yaitu sistem religi, sistem sosial, sistem teknologi, sistem bahasa, sistem ekonomi, sistem pengetahuan dan sistem kesenian. Setiap masyarakat memiliki sistem ini dan inilah yang disebut sebagai kebudayaan. Jika yang dilihat hanya kesenian saja, maka hal itu hanyalah satu aspek dari sistem kebudayaan.
Di Indonesia pemerintah melihat kesenian sebagai kebudayaan dengan dibuktikannya menjadikan kebudayaan sebagai bagian dari kementerian pariwisata. Tentu saja ada alasan mengapa dilakukan pemisahan antara pendidikan dan kebudayaan, akan tetapi penempatan kebudayaan bersandingan dengan pariwasata tentu kurang relevan. Menyandingkan kebudayaan dengan pendidikan, maka tentu jauh lebih fungsional, sebab pendidikan dan kebudayaan merupakan kesejajaran yang mutlak. Bukankah proses transformasi kebudayaan akan lebih tepat menggunakan pendidikan dan bukan melalui pariwisata.
Kesalahan inilah yang kemudian memicu terjadinya berbagai problem budaya bangsa yang lebih permisif, materialistik, konsumtif, kekerasan dan sebagainya. Di era transisi seperti ini, maka penguatan pendidikan berbasis kebudayaan bangsa tentu menjadi sangat penting. Jika kita tidak ingin terjerumus ke dalam kesalahan di dalam pewarisan budaya kepada generasi yang akan datang, maka tentu menjadi tugas kita sekarang untuk membenahinya.
Dengan demikian diharapkan adanya pemihakan pendidikan berbasis kebudayaan ini, sehingga ke depan akan bisa dilihat munculnya kepemimpinan bangsa yang memiliki national dignity di tengah arus globalisasi yang tidak akan pernah bisa ditahan oleh siapapun termasuk negara.
Wallahu a’lam bi al shawab.