• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBINA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Salah satu di antara yang sangat mendasar bagi Kementetian Agama dalam tugas pokok dan fungsinya adalah membangun kerukunan umat beragama. Hal ini dianggap penting sebab tanpa kerukunan umat beragama maka tidak bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan Indonesia yang kita cintai ini.
Membangun kerukunan umat beragama adalah bagian dari tugas kemanusiaan. Artinya bahwa membangun kerukunan umat beragama hakikatnya adalah membangun kemanusiaan itu sendiri. Sejarah dunia ini terlalu kelam dengan berbagai konflik bernuansa keagamaan. Memang bukan konflik agama akan tetapi agama selalu menjadi variabel penguat terjadinya kekerasan demi kekerasan yang diatasnamakan agama.
Itulah sebabnya kita semua harus mengapresiasi terhadap semua gerakan untuk mengembangkan kerukunan umat beragama.
Sejarah agama-agama juga tidak selalu menunjukkan wajahnya yang cemerlang, terutama pasca Kenabian. Semua agama memiliki sejarahnya yang bertaburan dengan konflik. Artinya bahwa sejarah agama juga selalu terkait dengan kekerasan, peperangan dan sebagainya. Semua ini tentu menggambarkan betapa pemeluk agama sering menafsirkan agama sesuai dengan levelnya masing-masing. Itulah sebabnya hingga hari ini juga masih dijumpai tindakan terorisme dan kekerasan lainnya yang mengatasnamakan agama.
Agama tentu memiliki wajah yang ambigu. Meskipun pesan dasarnya adalah keselamatan dan perdamaian, akan tetapi juga memberikan peluang untuk melakukan perang jika situasi memang mengharuskannya. Dalam banyak perang yang dilakukan disebabkan oleh pencederaan terhadap kesepakatan dan pengingkaran terhadap perjanjian. Ketika umat Islam berada di dalam situasi mengharuskan perang, maka alternatif itu tentu yang dipilih.
Wajah ambigu agama dalam relasi sosial inilah yang kemudian dimanfaatkan orang untuk menjadi justifikasi atas kekerasan yang dilakukannya. Namun demikian, bahwa pesan perdamaian tentu jauh lebih indah dan benar. Ketika Nabi Muhammad saw harus berperang untuk mempertahankan diri dan umat Islam, maka yang dipesankan adalah jangan lakukan kekejaman, jangan bunuh orang tua, perempuan, orang tidak berdaya, jangan bakar rumah ibadah, lembaga pendidikan dan jangan rusak kebun, tanaman dan sebagainya.
Artinya, bahwa moralitas agama itu dipertahankan sedemikian rupa. Itulah sebabnya Islam dinamakan sebagai agama yang menyelamatkan sebab memang ajaran keselamatan tersebut dijaga sangat kuat. Praktik kehidupan Nabi Muhammad saw menggambarkan tentang hal tersebut.
Jika pemeluk agama menghayati tentang betapa Islam menghargai perdamaian, maka saya yakin bahwa kekerasan atas nama agama tentu tidak akan ada di dunia ini. Hanya saja problemnya adalah masih ada sebagian kecil masyarakat yang menafsirkan ajaran agama dengan kekerasan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

ILMU AGAMA DALAM KAJIAN AKADEMIK

Kita tidak tahu mengapa banyak ahli yang menjadikan fenomena keagamaan sebagai sasaran kajiannya. Secara antropologis, kajian tentang agama sudah sangat lama dilakukan. Jika dirunut, maka terdapat nama Taylor yang mengkaji agama dalam konteks agama lokal, yang dinamakannya sebagai keyakinan animisme atau serba roh. Masyarakat di kala Taylor melakukan penelitiannya, maka dapat dinyatakan sebagai masyarakat yang animistis. Setiap benda memiliki roh gaib.
Kemudian hadirlah R. Marett yang mengembangkan konsep lain, yaitu yang dinamakannya sebagai keyakinan dinamisme, artinya bahwa setiap benda memiliki kekuatan gaib. Masyarakat beranggapan bahwa semua benda di dunia ini memiliki kekuatan yang dapat menggerakannya secara dinamis. Jadi, ada kekuatan gaib yang mendasari setiap benda di dunia ini.
Sampai tibalah kemudian ada nama Frazer, lalu Malinowsky dan sebagainya yang mengkaji tentang kekuatan gaib tersebut yang termanifestasikan di dalam magi. Bahwa ada dunia magi yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Ketika akal manusia tidak lagi bisa menyelesaikan masalah, maka digunakanlah magi sebagai penyelesaian. Dunia magis yang tidak observable dan tidak terukur akhirnya bisa juga dijadikan sebagaj subject matter bagi para ilmuwan kala itu.
Kaum fenomenolog juga mengembangkan subject matter baru dalam rangka memperluas kajian ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dunia keyakinan yang berupa agama lalu dijadikan sebagai bahan kajian keilmuan. Muncullah lintas disiplin seperti sosiologi agama, antropologi agama, psikhologi agama dan sebagainya. Yang dikaji di sini bukan agamanya akan tetapi pengaruh keyakinan terhadap kehidupan masyarakat baik secara sosiologis, antropologis, psikhologis dan sebagainya.
Muncullah nama-nama besar seperti Max Weber, E. Durkheim, dan generasi seangkatannya. Kemudian hadirlah C. Geertz, H. Geertz, R. Robertson, P. Berger, T. Luckman, dan sebagainya. Lalu ada juga nama seperti Bryan S. Turner, R. Bellah, Julia Howell dan sebagainya. Dan di Indonesia juga muncul nama-nama seperti Azyumardi Azra, Amin Abdullah dan sebagainya. Mereka ini adalah orang yang mengabdikan ilmunya pada pengembangan kajian agama terutama dalam perspektif historis atau rekaman kehidupan keagamaan, baik yang sinkronik maupun yang diakronik.
Apakah kajian keislaman lalu tidak berkembang? Ternyata kajian Islam berkembang dengan sangat pesat. Dengan dibukanya program doktor Ilmu keislaman, maka banyak kajian yang dihasilkannya. Jika disebut misalnya di bidang tafsir Al-Qur’an, maka akan dijumpai nama Nasaruddin Umar, yang sekarang menjadi guru besar Ilmu Tafsir yang mengkaji tafsir tentang gender. Kemudian juga Zaitunah, yang juga menjadi guru besar Ilmu tafsir, juga mengkaji tentang Tafsir Al-Qur’an dalam perspektif gender dan sebagainya. Sekarang sudah ada ratusan doktor Ilmu Keislaman yang tersebar di UIN, IAIN dan STAIN dan juga di lembaga pendidikan swasta.
Semua dari mereka ini aalah ilmuwan Islam yang mendarmabaktikan ilmunya pada pengembangan ilmu keislaman. Dan tentu juga ada ribuan karya akademis dari pelaku kajian ilmu keislaman ini. Oleh karena itu jika ada yang mempertanyakan apakah ada ilmu agama, saya rasa hal ini adalah pertanyaan yang ketinggalan zaman.
Kembali kepada catatan tentang pembidangan ilmu tersebut, maka sesungguhnya LIPI telah memberikan sumbangan pemikiran yang sangat mendasar tentang ilmu keislaman. Melalui pembidangan ilmu tersebut, maka nomenklatur keilmuan Islam menjadi semakin kuat sebab telah memperoleh pengakuan dari para ahli, terutama yang dikomandani oleh LIPI.
Kita sadar bahwa sesungguhnya ilmu adalah konsensus yang dihasilkan oleh para pakar keilmuan dalam bidangnya. Oleh karena itu jika ada orang yang menyatakan bahwa ilmu agama tidak ada sebab yang berangkutan memang tidak memahami tentang ilmu yang diperbincangkan itu.
Di dalam dunia ilmu pengetahuan, maka seseorang yang tidak memiliki otoritas di dalam ilmu yang diperbincangkan dan kemudian menghakimi bahwat teori atau konsep atau bahkan nomenklaturnya tidak ada, maka adalah kesalahan akademis yang luar biasa.
Makanya kita ingin untuk mendiskusikan sebuah ilmu dengan orang yang mau memahaminya. Jadi jika mereka tidak paham tentu kita berharap semoga ke depan akan memperoleh pencerahan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Achyar Fadilah at 09:39 on 26 September 2018
Lalu apa contoh kajian islam dalam akademik selain quran dan hadits?
Nur Syam at 04:48 on 14 December 2018
baca tulisan sayatentang agenda riset Islamic astudies multidisipliner dalam blog ini. thanks.

MEMBINA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Di dalam acara pertemuan antara Menteri Agama RI, Suryadharma Ali, dengan Badan Koordinasi Majelis Ta’lim (BKMT), yang dipimpin oleh Prof. Dr. Toety Alawiyah, beberapa saat yang lalu, maka ada sesuatu yang sangat mendasar adalah perbincangan tentang bagaimana tetap membangun kerukunan umat beragama sebagaimana yang telah berlangsung selama ini.
Pernyataan ini diungkapkan oleh Menteri Agama RI di dalam menjawab berbagai keinginan pengurus BKMT di masing-masing wilayah propinsi di Indonesia timur tersebut. Ada keinginan yang kuat dari Pak Menteri Agama untuk tetap mengembangkan kehidupan beragama yang rukun dan damai dalam koridor kehidupan bersama.
Di dalam kesempatan ini, diungkapkan bahwa kerukunan umat beragama adalah bagian penting dari pembangunan bangsa. Jika kerukunan beragamanya bermasalah, maka pembangunan masyarakat dan bangsa juga akan terganggu. Makanya kerukunan umat beragama merupakan pilar bagi pembangunan bangsa.
Kerukunan umat beragama bukan berarti harus mengorbankan prinsip mendasar ajaran agama, misalnya beranggapan bahwa semua agama sama. Kerukunan umat beragama adalah wilayah sosiologis yang tidak bisa dipersamakan dengan wilayah teologis. Jadi, ada wilayah yang tidak bisa ditoleransi dalam pengertian khusus ialah wilayah teologis, sedangkan wilayah sosiologis dan budaya maka harus ada saling pemahaman untuk membangun kerukunan.
Penegasan Menteri Agama ini terkait dengan adanya praktik kerukunan antar umat beragama yang jika dipandang secara sepintas seperti mentoleransi keyakinan agama yang disamakan. Misalnya jika ada upacara Natal maka yang menjadi panitianya umat Muslim dan sebaliknya.
Sesungguhnya konflik antar umat beragama itu terjadi karena faktor politik. Misalnya yang terjadi di Ambon maka hal itu dipicu oleh adanya issue bahwa negara akan menjadikan agama Islam sebagai basis pengelolannya. Ada issue bahwa Indonesia akan dijadikan sebagai negara Islam. Maka mereka kemudian menanggapi issue tersebut dengan cara yang bervariasi, hingga terjadi kekerasan. Dengan demikian, sesungguhnya kekerasan agama tersebut bukanlah disebabkan oleh agama itu sendiri, akan tetapi oleh faktor lain yang sangat sistemik.
Di dalam kenyataannya, memang tetap ada religious jealousy di mana saja. Terutama dari yang minoritas kepada yang mayoritas. Sentimen keagamaan yang berlebihan terkadang menjadi penyebab sulitnya mengendalikan perilaku penganutnya. Kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini adalah contoh bertemunya sentimen keagamaan dengan faktor di luar agama yang terus mengedepan.
Kasus Syiah di Sampang, Gereja Yasmin di Bogor dan sebagainya adalah contoh tentang bagaimana sentimen keagamaan tersebut terjadi dan terus ada. Dalam kasus gereja di Bogor, Yasmin, semula adalah persoalan administrasi pendirian tempat ibadah yang tidak terpenuhi, lalu berkembang menjadi persoalan antar umat beragama. Jadi masalah yang sesungguhnya kecil dan lokal kemudian menjadi santapan media internasional seakan bahwa persoalam gereja Yasmin tersebut adalah persoalan HAM dan sebagainya.
Jadi kenyataannya, bahwa harus tetap ada menejemen pengelolaan kerukunan umat beragama, sebab issue yang menggelinding liar akan bisa menjadi masalah besar jika tidak dimanej dengan baik. Masalah yang sesungguhnya lokal ternyata menjadi internasional, sebab pengelolaan di wilayah tersebut kurang memadai.
Jadi kiranya memang diperlukan upaya untuk terus memanej kerukunan umat beragama, agar masalah bangsa tersebut tidak akan menjadi berlarut-larut.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMPERTEGAS PERAN SANTRI

Saya diminta oleh Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren untuk membuka acara yang sangat penting di dalam jajaran dunia pesantren dan pendidikan, yaitu Temu Santri yang tergabubg di dalam Community of Santri Sholars of Ministery of Religous Affairs di Pondok Pesantren Amanatul Ummah di Trawas Mojokerto. Acara in diikuti oleh sebanyak kira-kira 700 santri. Mereka adalah para santri yang sedang mengikuti kuliah di IAIN Sunan Ampel, UIN Malang, ITS, Universitas Airlangga dan Universitas Mataram.
Tema di dalam acara ini adalah Mempertegas Peran Santri dalam Membangun Bangsa. Tema ini samgat pentng di tengah keinginan untuk mempertags jati diri kaum sanntrindi era pembangunan bangsa ini. Sebagaimana diketahui bahwa selama perjalanan bangsa ini, maka peran kyai di dalam pembangunan bangsa tidak dapat dielakkan. Kyai dengan santrinya menjadi pilar kemerdekaan bangsa yang tidak ada tandingannya.
Acara ini dihadiri oleh segenap pejabat kementerian agama di tingkat pusat, wilayah maupun daerah. Di tingkag pusat adalah saha, direktur Pesanten dan juga kasubditnya, sedangkan dari kantor wilayah maka yang hadir adalah Kakanwil Kemenag, Kabid Pesanatren dan kakan kemenag kabupaten Mojokerto, dan dari kabupaten adalah pejabat yanga mewakili bupati. Selain itu juga hadir para pengasuh santri dari perguruan tinggi, seperti direktur kemahasiswaan Universitas Airlangga, Dari IAIN SA adalah Prof. Faishol Haq dan sebagainya.
Sebagaimana tema yang diusung di dalam acara ini, maka saya mengungkapkan tiga hal penting yang perlu direnungkan oleh para santri, yaitu peran akademis, peran sebagau umat Islam dan peran sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Tiga hal inilah yang harus dimainkan oleh para santri di dalam menghadapi kehidupan yang semakin menantang dewasa ini.
Pertama, peran akademis, yaitu peran untuk mengembangkan program islamisasi ilmu. Peran ini tentu sangat penting mengingat bahwa para santri yang tergabung di CSSmora ini adalaj oranh pintar yabg memiliki peran penring di era yang akan datang. Semenjak dikembangkan oleh Prof. ismail Raqi al Faruqi dn Istrinya Lamya Raqi al Faruqi, maka pengembangan islamisasi ilmu telah menempati tenpat yang sangat penting.
Memang ada beberapa paradigna di dalam memandang relasi antara agama dan ilmu pengetahuan, misalnya ada yang berada di dalam paradima konflik bahwa ilmu agama dan umum masih dianggal sebagai dua entitas yang berbeda dan bertentangan. Keyakinan agama tidak akan pernah bertemu dengan kebenaran ilmu pengetahuan. Kebenaran agama berawal dar keyakinan dan kebenaran ilmu pengetahuan dari observasi faktual. Sehingga keduanya saling menyalahkan dan tidak akan pernah bisa bertemu.
Kedua, paradigna antagonistik bahwa ilmu pengetahuan dan agana memiliki otoritasnya sendiri-sendiri. Keduanya memiliki wilayah yang berbeda dan kepentingan yang berbeda. Keduanya memiliki metode dan sasaran yang bebeda, sehingga juga tidak mungkin unutk dipertenukan. Keduanya betada di dalam ruangnya sendiri-sendiri. Meskipun tidak saling menyapa akan tetapi tidak saling menyalahkan.
Ketiga, pandangan integratif, yaitu pandangn yang didasari oleh keinginan untuk me dialogkan antara agama dan ilmu pengetahuan. Usaha ke arah ini sudah dilakukan oleh bebetapa UIN dan juga IAIN. Misalnya di UIN Malang dengan konsep Pohon Ilmu, UIN Jogyakarta dengan Jaring laba-laba, IAIN Sunan Ampel dengan integrative twin towers dan sebagainya.
Usaha ini akan menjadi lebih cepat melalui adanya program pengiriman santri breprestasi ke beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia. Melalui program ini, maka santri yang memiliki pengetahuan agama yang cukup akan dapat mendialogkan dengan ilmu pengetahuan. Sehingga ke depan akan tumbuh ilmuwan Islam sebagaimana yang pernah ada selama ini, yaitu ahli ilmu pengetahuan yang berhasil secara gemilang mengembangkan islamisasi ilmu.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SEKALI LAGI REFORMULASI PENDIDIKAN

Saya masih akan menulis tentang reformulasi pendidikan sebagai kelanjutan tulisan saya kemarin. Secara sengaja tulisan ini saya ungkapkan mengingat bahwa tantangan pendidikan Islam ke depan sungguh sangat besar. Semua ahli pendidikan harus mengerahkan pikiran dan kerja kerasnya untuk mengembangkan pendidikan Islam yang rahmatan lil alamin ini, sebab jika tidak dilakukan, maka Islam Indonesia yang dikenal sebagai contoh terbaik tentang Islam di dunia akan menjadi pudar.
Kita sedang memasuki era pasar bebas dan juga globalisasi dalam arti yang sesungguhnya. Di dalam hal ini, maka tidak ada satu wilayah pun yang kemudian terbebas dari terpaan globalisasi yang semakin nyata. Melalui globalisai ini, semua akan terserap dalam konsep dunia tanpa batas atau borderless world. Sekarang audah dengan sangat nyata bagaimana orang terseret di dalam budaya global yang tak berbatas. Korean wave adalah contoh nyata tentang pengaruh globalisasi pada dunia gaya hidup dan entertainment.
Bahkan agama dan tradisi juga sangat dipengaruhi oleh globalisasi ini. Tidak hanya komodifikasi kultural akan tetapi juga komodifikasi agama. Di dalam kenyataannya, bahwa banyak orang yang melakukan komodifikasi agama ini, misalnya semakin meningkatnya orang yang pergi ke tanah suci, seperti umrah dan kunjungan wisata religius di tanah suci. Jika di masa lalu, kunjungan wisata religius itu di sejumlah wali di tanah Jawa, maka sekarang wisata religius itu ke makam-makan keramat para tokoh Islam di negeri-negeri Timur Tengah.
Kembali kepada pendidikan Islam, maka tantangan eksternal ini tidak dapat dianggap enteng, sebab hal ini menyangkut nasib bangsa Indonesia ke depan. Sekali salah kita menemukan resep dalam kerangka pengembangan pendidikan Islam ini, maka akan berdampak sistemik di masa yang akan datang. Suatu contoh, misalnya dengan semakin kuatnya pemikiran dan praksis sosial tentang Khilafah Islamiyah, maka hal itu berarti akan mendorong kehancuran NKRI sebagai pilihan politik bangsa ini.
Di dalam hal ini, saya sangat sependapat dengan pandangan Kyai Asep Saifuddin Chalim yang menyatakan bahwa sekali kita berpikir untuk menerapkan khilafah Islamiyah di Indonesia berarti kita merobohkan NKRI. Pernyataan ini merupakan jawaban atas kegalauan yang menghinggapi benak para anak muda bahwa NKRI adalah tawaran final bagi bangsa ini untuk merajut kesatuan dan persatuan bangsa.
Dengan demikian, kiranya diperlukan usaha yang sangat keras untuk mengembalikan pendidikan Islam dan bahkan juga pendidikan pada umumnya agar kembali kepada jati diri bangsa Indonesia. Pendidikan seperti ini hanya akan tercapai jika semua kebijakan mendukung terhadap implementasinya.
Saya hingga hari ini masih tetap berpandangan bahwa guru atau dosen atau tenaga pendidik adalah kata kunci keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, maka membangun atau mengembangkan guru atau dosen dalam konteks Islam rahmatan lil alamin tentu menjadi sangat penting.
Jika hal ini bisa dilakukan, maka ke depan tetap akan dapat dilihat perkembangan Islam di Indonesia yang tetap berada di dalam koridor Islam yang tetap memberi rahmat bagi semuanya, tidak hanya bagi umat Islam, akan tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia.
Saya kira sebagian besar bangsa Indonesia akan setuju dengan gagasan ini. Sebab saya yakin bahwa keberlangsungan NKRI sangat tergantung kepada bagaimana kita mendidik anak bangsa ini sekarang.
Wallahu a’lam bi al shawab.