• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KSM DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN SAINS

Kompetisi Sains Madrasah yang disingkat KSM dibuka oleh Wakil Menteri Agama Republik Indonesia di Hotel Clarion Makassar, Senin 25 Agustus 2014. KSM ini diselenggarakan untuk ketiga kalinya setelah yang kedua di Malang dan yang pertama di Bandung.

Kita semua bangga dengan pembukaan acara KSM ini, sebab dihadiri oleh kurang lebih 3000 orang, yang terdiri dari peserta KSM sebanyak 330 siswa, para ofisial, kepala madrasah, kakankemenang, kakanwil, Walikota Makasar, Wakil Gubernur, para pejabat Eeseon I dan II dan para penggembira.

KSM kali ini juga menambah satu acara kompetisi “penulisan karya ilmiah di bidang sanis dan ilmu social” selain itu juga bidang kompetisi lainnya, yaitu matematika, fisika, biologi, ekonomi dan geografi. Mereka yang diikutkan dalam kompetisi sains di tingkat nasional adalah mereka yang telah memenangkan KSM di tingkat propinsi dan mereka yang lolos ke propinsi adalah yang menjadi pemenang di tingkat kabupaten/kota.

Acara KSM ini dimulai dengan tarian “selamat datang” yang diperagakan oleh siswa-siswi madrasah di Sulawesi Selatan. Dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan Mars serta Hymne Madrasah oleh siswa-siswi Madrasah Model Makassar. Selain itu juga ada sambutan-sambutan dan  diselingi oleh Tarian Jaipong yang dibawakan secara khusus oleh siswi Madrasah dari Bandung dan juga nyanyian “Anging Mamiri” yang dibawakan oleh MAN Model Makasar.

Secara keseluruhan acara ini dapat dinyatakan sukses, selain karena acaranya yang menarik juga berhasil untuk mengangkat moral siswa dan siswi madrasah untuk terus melakukan pengembamgan pendidikannya, melalui motto: “Madrasah Lebih Baik, Lebih Baik Madrasah”. Selain itu juga ditayangkan pernyataan Dirjen Pendidikan Islam, Direktur Madrasah, Sesdirjen dan juga Kasubdit Madrasah. Semua berada dalam koridor “mempromosikan” madrasah sebagai lembaga pendidikan yang makin maju dan berkembang.

Sungguh bisa dirasakan bagaimana madrasah telah menjadi lembaga pendidikan yang disegani oleh para kompetitornya. Di dalam hal ini harus diakui bahwa memang madrasah telah menjadi lembaga pendidikan yang tidak hanya mengajarkan agama sebagai basis moralnya, akan tetapi juga mengembangkan riset bidang sains. Jadi madrasah telah menjadi incaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya sebagai bekal pendidikan yang komplit.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Akhmaloka, Rector ITB, bahwa jangan merasa minder menjadi siswa madrasah, sebab beliau juga orang madrasah. Kala kecil beliau sekolah di MI dan kala SMA beliau belajar di SMA Muhammadiyah Cirebon. Ternyata bahwa siswa madrasah bisa juga menjadi yang terbaik. Bahkan ketika mengambil program doctor di Inggris, ternyata orang Barat tidak selamanya yang terpandai. Biasa saja. Bahkan kalau kita bersungguh-sungguh, maka kita yang akan menjadi yang terbaik.

Dahulu, kata Beliau, bahwa sekolah di madrasah hanya akan menjadi “lebei” atau pegawai pencatat nikah, tukang adzan, tukang baca tahlil, tukang kondangan dan sebagainya. Ternyata alumni madrasah bisa juga menjadi doctor dan professor bahkan juga rector yang bisa menguasai bidang sains dan sekaligus pintar berdoa. Jadi jangan pernah merasa malu dan rendah diri.

Saya sampaikan bahwa yang menjadi tema KSM adalah “membangun peradaban bangsa melalui kekuatan iman, ilmu dan amal secara seimbang serta kemampuan kompetitif, hidup kreatif, berjiwa inovatif dan berkelanjutan”. Secara umum bahwa tujuan KSM adalah untuk peningkatan mutu pendidikan sains di madrasah secara komprehensif melalui penumbuhan budaya belajar, kreativitas, dan meraih prestasi terbaik dalam kerangka ridlo Allah swt.

Sedangkan secara khusus adalah: pertama, untuk menyediakan wahana bagi siswa madrasah untuk mengembangkan bakat dan minat di bidang sains sehingga dapat menumbuhkan dan mencintai sains. Kedua, memotivasi siswa madrasah agar selalu meningkatkan kemampuan intelektual, emosional dan spiritual berdasarkan nilai-nilai agama. Ketiga, menumbuhkembangkan budaya kompetitif yang sehat di kalangan siswa serta memberikan kesempatan yang sama bagi siswa madrasah di dalam belajar, berkreativitas dan berprestasi.

Menurut Wamenag, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, bahwa KSM akan melahirkan semangat untuk terus melakukan riset di bidang ilmu pengetahuan. Makanya, para siswa madrasah harus terus menjadi yang terbaik. Slogan “Madrasah Lebih Baik, Lebih Baik Madrasah” tentunya bukan isapan jempol belaka. Sejarah telah membuktikan bahwa para penemu ilmu pengetahuan sebenarnya adalah murid madrasah. Penemu kimia adalah al Jabir Ibn Hayyan, yang di barat sendiri dianggap sebagai Bapak Kimia, demikian juga penemu ilmu kedokteran adalah Ibn Sina, yang di Barat dikenal sebagai Avecinna. Mereka adalah ahli ilmu pengetahuan yang memiliki pengetahuan agama yang sangat hebat. Bahkan juga ahli tasawuf.

Dengan demikian, melalui KSM sesungguhnya akan dapat diketahui seberapa kemajuan dan perkembangan pendidikan sains di madrasah. Setelah mencanangkan Program Madrasah Riset Nasional (Promadrina), maka akan diketahui seberapa kuat madrasah telah menjadikan riset sebagai tradisinya.

Kita semua berharap agar madrasah memang menjadi yang terbaik di negeri ini. Saya yakin semua ini akan menjadi kenyataan di masa depan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PENGUATAN PENDIDIKAN TINGGI ISLAM

Di dalam kesempatan saya memberi pengarahan pada acara “Temu Konsorsium Ilmu Keislaman” atau disingkat Konais yang diselenggarakan di Hotel Salak Bogor beberapa saat yang lalu, maka saya sempatkan untuk memberikan beberapa arahan terkait dengan pengembangan ilmu keislaman ke depan.

Acara yang diselenggarakan oleh Kasubdit Akademik pada Direktorat Pendidikan Tinggi Islam ini mengundang para guru besar dan doktor dalam bidang ilmu keislaman, yang selama ini menggeluti dan berkewajiban mengembangkan ilmu keislaman. Tanpa terasa saya berbicara hampir dua jam dan diteruskan dengan tanya jawab di seputar pengembangan konsorsium ilmu keislaman.

Saya sampaikan dua  hal terkait dengan pengembangan ilmu keislaman ke depan dengan berbagai tantangannya. Tantangan tersebut harus bisa dijawab oleh perguruan tinggi yang memang tugas dan fungsinya adalah mengembangkan pendidikan tinggi dalam bidang pengajaran dan pendidikan ilmu keislaman.

Pertama, tantangan untuk menjawab tentang kelangkaan peminat ilmu keislaman murni. Harus diketahui bahwa salah satu tugas dan fungsi pendidikan tinggi Islam adalah untuk mengembangkan ilmu keislaman murni. Sebagaimana diketahui bahwa khasanah ilmu yang tidak bisa dihentikan dalam situasi apapun adalah mengembangkan ilmu keislaman murni. Secara umum  ilmu keislaman murni meliputi ilmu syariah, ilmu adab, ilmu ushuluddin.

Meskipun kemudian terdapat varian profanisasi ilmu agama, seperti hukum keluarga, hukum pidana, hukum tata negara yang merupakan derivasi dari ilmu syariah karena pengaruh zaman.  Maka  ilmu keislaman murni seperti ilmu fiqh, ilmu ushul fiqih, dan sebagainya, lalu ilmu ushuluddin seperti ilmu al Qur’an, ilmu tafsir, ilmu hadits dan sebagainya, kemudian ilmu adab seperti ilmu bahasa Arab dengan segala variannya, merupakan ilmu yang langka peminat.

Akan tetapi sebagai institusi yang menjadi tumpuan negara untuk mengembangkan ilmu keislaman, maka PTAI tidak boleh menghentikan pengembangan ilmu keislaman murni. Warisan akademik ini harus terus dikembangkan dalam keadaan apapun. Bahkan andaikan tidak ada peminatnya, maka dengan segala upaya harus diusahakan agar terus terjadi pengembangannya.

Itulah sebabnya kita harus bergembira dengan dikeluarkannya PMA yang khusus tentang penyelenggaraan madrasah, di mana diatur tentang keharusan menyelenggarakan pendidikan khusus keagamaan di Madrasah Aliyah. Dengan demikian, maka PTAI akan memperoleh sumber mahasiswa dari alumni MA yang berfokus pada pengembangan ilmu keislaman.

Kedua, tantangan adanya jurang pemisah antara lulusan PTAI dengan dunia kerja. Harus diakui bahwa salah satu tantangan yang tidak mudah diselesaikan adalah bagaimana mendekatkan jarak antara lulusan PTAI dengan dunia kerja. Ada anggapan bahwa PTAI adalah salah satu institusi pendidikan yang menyumbang pengangguran intelektual. Makanya, PTAI harus memberikan solusi kongkrit tentang tantangan ini. Para pimpinan PTAI tidak boleh berpangku tangan untuk tidak memberikan respon positif tentang tantangan yang ada di depan mata tersebut.

Di antara solusi yang kiranya bisa dipertimbangkan adalah untuk melakukan rekonstruksi kurikulum PTAI. Mestinya kurikulum kita itu akan dapat menjawab tantangan zaman. Katakanlah kurikulum pendidikan Islam, maka mestinya juga harus didesain untuk penguasaan terhadap kompetensi guru apapun mata pelajarannya dalam empat aspek kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogis, professional, kepribadian dan social.

Kala suatu prodi mengembangkan pendidikan ilmu keislaman murni, maka juga tentunya harus dibekali dengan kemampuan maksimal hard skilled-nya. Akan tetapi juga diharapkan bisa menguasai bidang khusus terkait dengan responnya untuk mengembangkan karir. Tentu karirnya adalah di bidang pengembangan kehidupan  keislaman dalam berbagai levelnya. Mereka harus dibekali dengan perangkat pengetahuan soft skilled lain yang akan menjamin bahwa yang bersangkutan akan dapat bernegosiasi untuk menjalani pekerjaan atau profesi yang relevan dengan keahliannya.

Kita harus punya keberanian untuk memangkas jumlah mata kuliah yang jumbo dengan yang lebih relevan untuk pengembangan  karir atau profesi. Dengan demikian, mata kuliah tidak berisi  dua sks saja. Mestinya harus menyesuaikan dengan keahlian apa yang akan dirilis. Bisa kita bayangkan bahwa mahasiswa hanya diperkenalkan dengan mata kuliah pengantar. Makanya, kala keluar dari lembaga pendidkan, mereka hanya memperoleh ilmu pengantar dalam jumlah yang banyak.

Apakah kita akan mencetak sarjana pengantar. Misalnya pengantar ilmu tafsir, pengantar ilmu hadits, pengantar sejarah, pengantar sosiologi, pengantar ilmu politik, pengantar ilmu antropologi, pengantar psikhologi dan seterusnya.

Marilah kita akhiri semua itu dengan merekonstruksi kurikulum PTAI agar ke depan antara keahlian hard skilled dan soft skilled akan seimbang, sehingga alumni PTAI akan bisa berbicara lebih nyaring dan kuat di dalam kerangka membangun Indonesia yang lebih berdaya guna.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

KOMPETISI SAINS MADRASAH

Di dalam berbagai wawancara dengan media nasional, baik televisi maupun media cetak saya sampaikan bahwa salah satu program untuk mengukur kemampuan sains di madrasah adalah melalui Kompetisi Sains Madrasah (KSM). Bagaimanapun juga kita mestilah memiliki wadah untuk mengetahui sejauh mana perkembangan dan kemajuan pendidikan sains di madrasah. Dan salah satu ukurannya adalah kompetisi ini.

Pada tahun 2013 yang lalu kita telah melaunching program baru terkait dengan pendidikan di madrasah. Program yang diluncurkan di Mataram Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah Program Madrasah Riset Nasional yang disingkat Promadrina. Peluncuran program yang sangat orisinal ini dihadiri oleh Menteri Agama, Gubernur NTB dan pejabat Kementerian Agama Jakarta dan daerah.

Kita sungguh bergembira bahwa program riset madrasah sudah menjadi tradisi yang kuat di kalangan madrasah. Jadi riset bukan lagi menjadi otoritas perguruan tinggi, namun telah menjadi bagian dari program pendidikan di madrasah. Makanya, terdapat perkembangan yang antusias di kalangan guru dan siswa madrasah untuk melaksanakan riset ini.

Riset yang diselenggarakan oleh madrasah adalah riset-riset terapan yang hadir di sekitarnya. Tentu bukanlah riset dengan tingkat kecanggihan sebagaimana yang dibayangkan oleh para peneliti pada umumnya. Para siswa melakukan serangkaian uji coba yang dipandu oleh gurunya untuk menghasilkan produk riset yang sederhana tetapi memiliki keunggulan terapan.

Keunggulan tersebut disebabkan oleh bahan-bahan riset yang berasal dari lingkungan mereka sendiri dan yang dihasilkan adalah kebutuhan bagi masyarakat di sekelilingnya. Justru inilah sesungguhnya keunggulan dari riset yang dilakukan oleh para siswa madrasah.

KSM sebenarnya setara dengan Olimpiade Sains Nasional (OSN) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Secara kualitas sebenarnya ada kesamaan antara KSM dan OSN. Hanya saja materi kompetisi yang membedakannya. OSN lebih luas cakupannya dibanding KSM, demikian pula dari kepesertaan tentu lebih banyak OSN.

KSM yang dilakukan tahunan ini sebenarnya adalah salah satu cara untuk mengukur kemampuan para siswa madrasah di dalam kerangka pendidikan sainsnya. Melalui KSM ini kita ingin menjawab keraguan sebagian masyarakat tentang pendidikan sains di madrasah. Bukankah masih ada sebagian dari masyarakat yang meragukan program pendidikan sains di madrasah.

Kalau kita mengamati pendidikan sains di madrasah sebenarnya kita sudah bisa menyatakan bahwa pendidikan sains di madrasah sudahlah maju. Hanya saja sosialisasi program riset madrasah ini belumlah menarik media untuk mempublisnya. Pendidikan sains belumlah diangkat ke permukaan oleh media sedemikian kuat, sehingga belumlah memberikan imaje positif tentang keberadaan program ini.

Saya tentu bergembira dengan respon para pimpinan madrasah mengenai program riset madrasah ini. Bahkan saya juga tidak menduga bahwa riset sudah menjadi tradisi madrasah. Selama ini kita dijejali informasi bahwa riset adalah kewenangan pendidikan tinggi saja. Pandangan begini ternyata dirontokkan dengan realitas empiris bahwa madrasah sudah sedemikian maju di dalam program riset.

Jika Lakatos, pemikir pendidikan yang terkenal, sekian tahun lalu menginisiasi program riset yang menjadi inspirasi bagi dunia pendidikan tinggi, maka sebenarnya program riset madrasah juga seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi pengembangan riset yang lebih massif. Tentu saja ada perbedaan antara Program Riset Lakatos dengan program Riset Madrasah. Perbedaan tersebut terletak pada dimensi kedalaman dan substansi riset serta kecanggihannya.

Namun demikian tentunya, kita mestilah mengapresiasi sedemikian kuat tentang program ini, sebab justru melalui madrasahlah akan bisa disemaikan sejumlah peneliti unggul di masa depan. Jika bisa dikelola dengan baik mereka yang telah mentradisikan riset ini, maka ke depan akan dihasilkan periset yang hebat dan berguna bagi masyarakat Indonesia.

KSM merupakan puncak dari aktualisasi pendidikan sains di madrasah. Jadi dengan KSM kita akan menemukan anak-anak madrasah yang hebat dan bertalenta tinggi di bidang sains. Bukankah Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Tufail, Al Khawarizmi, Al Jabir,  Ibn Khaldun, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Ghazali dan sekian banyak lainnya adalah orang-orang yang sesungguhnya berasal dari pendidikan madrasah dalam pengertian generik.

Pendidikan agama ternyata merupakan pendidikan yang unggul untuk mencetak para ahli di dalam bidangnya. Jadi menurut saya tidaklah salah jika kita memiliki slogan “madrasah lebih baik, lebih baik madrasah”.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PENINGKATAN AKADEMIK PENDIDIKAN TINGGI

Saya merasa sangat enjoy kala berbicara di depan para pimpinan IAIN Raden Fatah Palembang, yang terdiri dari Rektor, Wakil Rektor, para Dekan, wakil Dekan, Pejabat Kepala Lembaga, serta Kakanwil Kementerian Agama dan Kepala Diklat Kementerian Agama Provinsi Sumatera Selatan di Kampus IAIN Raden Fatah Palembang, 23/08/2014.  Sebentar lagi IAIN ini akan berubah menjadi UIN Raden Fatah Palembang,

Kehadiran saya terutama adalah untuk memberikan pengarahan pada acara Temu Wakil Rektor I dari seluruh PTAIN se Indonesia yang memang memiliki acara rutin untuk membahas current issues yang dihadapi oleh masing-masing PTAIN tetapi memiliki kesamaan secara mendasar. Kemudian saya diminta juga oleh Pak Rektor, Prof. Dr. Aflatun Mukhtar, MA, untuk sekaligus memberi pengarahan kepada pejabat di lingkungan IAIN Raden Fatah dan Kakanwil Kementerian Agama Propinsi Sumatera Selatan.

Saya tentu sangat senang sebab dengan begitu maka saya juga bisa memberikan pengarahan kepada para pejabat dimaksud terutama terkait dengan kebijakan-kebijakan penting yang sedang dan sudah dirumuskan dan diimplemantasikan di Kementerian Agama.

Yang sangat menarik tentu adalah beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh para Guru besar atau professor di lembaga pendidikan tinggi ini dan juga pertanyaan dari Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatera Selatan. Ada pertanyaan yang terkait dengan aspek akademik dan ada juga pertanyaan yang terkait dengan kebijakan kementerian.

Di antara pertanyaan tersebut adalah yang diajukan oleh Pak Adil  tentang integrasi ilmu. Di Malaysia, maka hanya ada satu saja simbolnya, yaitu Islamisasi Ilmu. Sedangkan di PTAIN ada banyak simbolisasi dari integrasi ilmu dimaksud. Ada yang dinyatakan dengan pohon ilmu seperti di UIN Malang, ada jaring laba-laba sebagaimana di UIN Yogyakarta, ada Twin Towers seperti di UIN Surabaya, ada roda berputar sebagaimana di UIN Bandung dan di Palembang akan dinamakan sebagai rumah kaca lalu  Program integrasi ilmu di UIN Jakarta dan sebagainya.

Pertanyaan ini sungguh menarik sebab ternyata bahwa program pengembangan ilmu di PTAIN, khususnya di IAIN dan UIN memang diproyeksikan sebagai program integrasi ilmu. Tingkat aksesibilitas tentang program ini yang saya kira menjadi menarik sebab sudah menjadi wacana yang terus dikembangkan di PTAIN. Dengan telah tersebarnya virus pengembangan integrasi ilmu ini di semua PTAIN, maka hal ini merupakan keberhasilan untuk menyuntikkan virus ini ke dalam seluruh jaringan PTAIN. Hal ini tentu sangat menggembirakan.

Integrasi ilmu merupakan core pengembangan ilmu di PTAIN. Sebagaimana sering saya nyatakan bahwa kala menjadi UIN, maka akan terdapat tiga kewenangan untuk mengembangkan rumpun ilmu, yaitu ilmu agama, ilmu sosial dan humaniora, serta sains dan teknologi. Kita tentu harus berbeda dengan PTU yang sudah lebih dulu mengembangkannya. Maka yang membedakan atau distingsinya adalah integrasi ilmu dimaksud.

Program saling menyapa antara ilmu agama dan non agama atau bahkan integrasi keduanya adalah bagian dari program pengembangan ilmu ke depan. Oleh karena itu, riset akademis di PTAIN tentunya harus diselaraskan untuk hal ini. Selain ada yang memang mengembangkan dalam kapasitas keilmuannya masing-masing, maka juga mesti ada yang kemudian berupaya melakukan riset akademis integrasi ilmu. Jadi, harus ada riset yang kemudian dipublish di jurnal, atau tesis dan disertasi yang secara khusus memang menyajikan hasil program integrasi ilmu ini.

Saya tentu gembira kala melihat hasil penelitian dengan tema-tema integrasi ilmu ini. Misalnya adalah kajian yang mempertontonkan adanya saling menyapa antara ilmu social dengan ilmu keislaman. Atau antara ilmu humaniora dengan ilmu keislaman. Tema penelitian misalnya, Konsep Islam tentang korupsi, Konsep islam tentang Manajemen resiko, lalu integrasi  di bidang sains dan teknologi atau lainnya. Gambaran tentang integrasi ilmu tersebut lalu kelihatan di sisi ini.

Itulah sebabnya, penelitian dengan tema-tema integrasi ilmu lalu perlu mendapatkan porsi yang memadai dari PTAIN. Di tengah semakin berkembangnya aggaran PTAIN, misalnya lewat BOPTAIN atau anggaran lain seperti PNBP, maka peluang untuk mengembangkan riset unggulan akan bisa dilakukan. Yang tidak kalah penting adalah mengarrange agar supaya jaringan kerja sama riset dapat dilakukan lebih banyak dan variatif.

Kedua, pertanyaan tentang kedisiplinan para dosen, yang diajukan oleh Prof. Ramli, Dekan Fakultas Syariah. Memang salah satu tantangan reformasi birokrasi adalah bagaimana membangun budaya kerja berbasis pada kedisiplinan semua unsur di dalam Kementerian Agama. Salah satu inti reformasi adalah bagaimana membangun perilaku aparat sipil negara baik para pejabat struktural maupun fungsional. Dosen sebagai pejabat fungsional tentu juga terkena kewajiban membangun budaya kerja yang high level.

Memang masih ada yang diperdebatkan terkait dengan kedisiplinan para dosen. Yaitu apakah mengikuti jam kerja ANS yang lima hari kerja atau sesuai dengan ekivalensi jam mengajarnya. Namun yang jelas di tengah reformasi birokrasi tentunya dosen sebagai ASN juga terkena kewajiban untuk meningkatkan kualitas kinerjanya dan budaya kerjanya. Oleh karena itu, maka yang sangat mendasar adalah bagaimana para dosen terus berupaya untuk menyajikan pendidikan yang terbaik bagi generasi masa depan.

Memang, sebagai ASN, para dosen berkewajiban untuk menyesuaikan diri dengan semanta birokrasi dan bahkan bisa menjadi contoh di dalam membangun kinerja. Andaikan para dosen sebagai ASN harus bekerja selama lima hari kerja, maka seharusnya para dosen tidak hanya mendapatkan tunjangan profesinya, akan tetapi juga akan mendapatkan renumerasi sebagaimana para pejabat lainnya.

Wallahu a’lam bi al shawab

UPAYA PENINGKATAN BUDAYA KERJA

Salah satu hal penting di dalam dunia birokrasi yang sangat mendasar untuk terus dikembangkan adalah peningkatan budaya kerja. Hal ini tentu relevan dengan semangat birokrasi yang memang sedang menjadi instrument untuk peningkatan kualitas kerja bagi Aparat Sipil Negara (ASN).

Peningkatan kualitas kinerja ASN tentu tidak cukup dengan pemberian gaji yang tinggi atau remunerasi, akan tetapi harus menyentuh mindset ASN agar kinerjanya menjadi semakin baik. Di dalam kerangka ini, maka tugas utama para pimpinan lembaga pemerintah adalah untuk menemukan bagaimana agar kualitas kinerja para ASN tersebut menjadi lebih baik.

Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas kinerja tersebut haruslah dilakukan, misalnya workshop budaya kerja, pelatihan budaya kerja, seminar tentang peningkatan kinerja dan bahkan pendekatan agama untuk peningkatan hal tersebut. Itulah sebabnya di banyak kesempatan selalu saya saya nyatakan agar para pegawai baik pejabat structural maupun pejabat fungsional agar terus menerus meningkatkan kualitas kinerjanya, misalnya kedisiplinan, penngkatan tanggungjawab, kinerja dan sebagainya.

Sesungguhnya memang menjadi tugas berat bagi ASN di era reformasi birokrasi ini. Hal itu tentu terkait dengan kinerja ASN di masa lalu yang bisa saja seenaknya dan tanpa tanggung jawab dan integritas yang tinggi. Maka begitu terjadi reformasi birokrasi, maka seharusnya terjadi perubahan mindset yang sangat mendasar. Kita tentu tidk ingin banhwa reformasi itu hanya diartikan sebagai perolehan tunjangan kinerja yang tinggi tanpa diikuti dengan peningkatan kinerjanya.

Di tengah kegalauan tentang bagaimana harus meningkatkan budaya kerja tersebut, maka menurut kita, bahwa instrument yang paling tepat adalah dengan melakukan pelatihan lewat ESQ, yang digawangi oleh Dr. Hc. Arie Ginanjar Agustian, yang menawarkan paket analisis kinerje, roadmap peningkatan budaya kerja dan pelatihan untuk peningkatan budaya kerja.

Melalui pelatihan ini, maka akan diketahui bagaimana posisi kualitas budaya kerja ASN, lalu dari situ akan dibrikan treatment untuk meningkatkan budaya kerjanya. Diharapkan bahwa melalui pelatihan ini maka akan didapatkan internalisasi budaya kerja yang akan mendasari penampilan kinerjanya secara maksimal.

Jum’at, 22 Agustus 2014 merupakan  hari yang bersejarah bagi Kementerian Agama RI. Hari ini Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin mengadakan kerjasama dengan Direktur Utama ESQ untuk mengembangkan budaya kerja di Kementerian Agama.

Acara penandatanganan MoU ini dihadiri oleh Dr. Arie Ginanjar Agustian, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, Sekjen Kementerian Agama, Nur Syam, dan Direktur Hubungan Masyarakat ESQ, Hasanuddin, serta seluruh peserta Pelatihan ESQ Eksekutif di gedung Menara 165 Jakarta Selatan.

Selain penandatangan MoU antara Menteri Agama dengan Direktur Utama ESQ, juga dilakukan penandatangan dengan Direktur Panin Bank Syariah untuk pengembangan ekonomi dan kewirausahaan.

Di dalam acara ini, Menteri Agama RI memberikan sambutan. Di dalam sambutannya, Menteri Agama menyatakan bahwa beliau sangat surprise dengan penandatanganan MoU ini. Ketika didapuk untuk menjadi Menteri Agama, maka ada sebuah kerisauan, bagaimana caranya untuk membangkitkan kembali mental pegawai Kementerian Agama yang sedang dirundung masalah. Tetapi kemudian Allah memberikan jawaban lewat Program ESQ. Beliau menyatakan: “kedatangan Pak Ari Ginanjar ke Kantor Kami seperti diutus Tuhan saja untuk menjawab kegelisahan kami tentang kondisi Kementerian Agama”.

Selanjutnya beliau menyatakan bahwa meskipun beliau menjabat dalam waktu yang singkat, akan tetapi beliau berkeinginan untuk memberikan semacam warisan tentang kondisi budaya kerja di Kementerian Agama. Oleh karena itu, beliau meminta agar dalam waktu sampai akhir September sudah didapatkan pemetaan dan analisis tentang kondisi budaya kerja tersebut sehingga akan dihasilkan roadmap tentang bagaimana mengembangkan budaya kerja. Jadi Menteri agama yang akan datang, siapapun orangnya, tinggal melanjutkan program pengembangan budaya kerja tersebut.

Juga beliau harapkan bahwa agar kita mengetahui diri kita ini sebenarnya siapa. “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”. Dengan kita mengetahui siapa diri kita, maka kita akan tahu siapa Tuhan kita. Melalui pelatihan ESQ ini kiranya, kita akan dikenalkan dengan diri kita sendiri, sehingga kemudian kita akan semakin menghayati dan meyakini akan kebaikan, kerahman-rahiman Tuhan dan kemudian akan berujung pada kemauan untuk bekerja keras. Demikian tukas Pak Menteri.

Kita semua tentu berharap bahwa melalui pelatihan ESQ tersebut, maka akan didapati perubahan mindset ASN, sehingga kualitas kerjanya akan menjadi semakin baik dari tahun ke tahun.

Wallahu a’lam bi al shawab.