PENGUATAN PENDIDIKAN TINGGI ISLAM
Di dalam kesempatan saya memberi pengarahan pada acara “Temu Konsorsium Ilmu Keislaman” atau disingkat Konais yang diselenggarakan di Hotel Salak Bogor beberapa saat yang lalu, maka saya sempatkan untuk memberikan beberapa arahan terkait dengan pengembangan ilmu keislaman ke depan.
Acara yang diselenggarakan oleh Kasubdit Akademik pada Direktorat Pendidikan Tinggi Islam ini mengundang para guru besar dan doktor dalam bidang ilmu keislaman, yang selama ini menggeluti dan berkewajiban mengembangkan ilmu keislaman. Tanpa terasa saya berbicara hampir dua jam dan diteruskan dengan tanya jawab di seputar pengembangan konsorsium ilmu keislaman.
Saya sampaikan dua hal terkait dengan pengembangan ilmu keislaman ke depan dengan berbagai tantangannya. Tantangan tersebut harus bisa dijawab oleh perguruan tinggi yang memang tugas dan fungsinya adalah mengembangkan pendidikan tinggi dalam bidang pengajaran dan pendidikan ilmu keislaman.
Pertama, tantangan untuk menjawab tentang kelangkaan peminat ilmu keislaman murni. Harus diketahui bahwa salah satu tugas dan fungsi pendidikan tinggi Islam adalah untuk mengembangkan ilmu keislaman murni. Sebagaimana diketahui bahwa khasanah ilmu yang tidak bisa dihentikan dalam situasi apapun adalah mengembangkan ilmu keislaman murni. Secara umum ilmu keislaman murni meliputi ilmu syariah, ilmu adab, ilmu ushuluddin.
Meskipun kemudian terdapat varian profanisasi ilmu agama, seperti hukum keluarga, hukum pidana, hukum tata negara yang merupakan derivasi dari ilmu syariah karena pengaruh zaman. Maka ilmu keislaman murni seperti ilmu fiqh, ilmu ushul fiqih, dan sebagainya, lalu ilmu ushuluddin seperti ilmu al Qur’an, ilmu tafsir, ilmu hadits dan sebagainya, kemudian ilmu adab seperti ilmu bahasa Arab dengan segala variannya, merupakan ilmu yang langka peminat.
Akan tetapi sebagai institusi yang menjadi tumpuan negara untuk mengembangkan ilmu keislaman, maka PTAI tidak boleh menghentikan pengembangan ilmu keislaman murni. Warisan akademik ini harus terus dikembangkan dalam keadaan apapun. Bahkan andaikan tidak ada peminatnya, maka dengan segala upaya harus diusahakan agar terus terjadi pengembangannya.
Itulah sebabnya kita harus bergembira dengan dikeluarkannya PMA yang khusus tentang penyelenggaraan madrasah, di mana diatur tentang keharusan menyelenggarakan pendidikan khusus keagamaan di Madrasah Aliyah. Dengan demikian, maka PTAI akan memperoleh sumber mahasiswa dari alumni MA yang berfokus pada pengembangan ilmu keislaman.
Kedua, tantangan adanya jurang pemisah antara lulusan PTAI dengan dunia kerja. Harus diakui bahwa salah satu tantangan yang tidak mudah diselesaikan adalah bagaimana mendekatkan jarak antara lulusan PTAI dengan dunia kerja. Ada anggapan bahwa PTAI adalah salah satu institusi pendidikan yang menyumbang pengangguran intelektual. Makanya, PTAI harus memberikan solusi kongkrit tentang tantangan ini. Para pimpinan PTAI tidak boleh berpangku tangan untuk tidak memberikan respon positif tentang tantangan yang ada di depan mata tersebut.
Di antara solusi yang kiranya bisa dipertimbangkan adalah untuk melakukan rekonstruksi kurikulum PTAI. Mestinya kurikulum kita itu akan dapat menjawab tantangan zaman. Katakanlah kurikulum pendidikan Islam, maka mestinya juga harus didesain untuk penguasaan terhadap kompetensi guru apapun mata pelajarannya dalam empat aspek kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogis, professional, kepribadian dan social.
Kala suatu prodi mengembangkan pendidikan ilmu keislaman murni, maka juga tentunya harus dibekali dengan kemampuan maksimal hard skilled-nya. Akan tetapi juga diharapkan bisa menguasai bidang khusus terkait dengan responnya untuk mengembangkan karir. Tentu karirnya adalah di bidang pengembangan kehidupan keislaman dalam berbagai levelnya. Mereka harus dibekali dengan perangkat pengetahuan soft skilled lain yang akan menjamin bahwa yang bersangkutan akan dapat bernegosiasi untuk menjalani pekerjaan atau profesi yang relevan dengan keahliannya.
Kita harus punya keberanian untuk memangkas jumlah mata kuliah yang jumbo dengan yang lebih relevan untuk pengembangan karir atau profesi. Dengan demikian, mata kuliah tidak berisi dua sks saja. Mestinya harus menyesuaikan dengan keahlian apa yang akan dirilis. Bisa kita bayangkan bahwa mahasiswa hanya diperkenalkan dengan mata kuliah pengantar. Makanya, kala keluar dari lembaga pendidkan, mereka hanya memperoleh ilmu pengantar dalam jumlah yang banyak.
Apakah kita akan mencetak sarjana pengantar. Misalnya pengantar ilmu tafsir, pengantar ilmu hadits, pengantar sejarah, pengantar sosiologi, pengantar ilmu politik, pengantar ilmu antropologi, pengantar psikhologi dan seterusnya.
Marilah kita akhiri semua itu dengan merekonstruksi kurikulum PTAI agar ke depan antara keahlian hard skilled dan soft skilled akan seimbang, sehingga alumni PTAI akan bisa berbicara lebih nyaring dan kuat di dalam kerangka membangun Indonesia yang lebih berdaya guna.
Wallahu a’lam bi al shawab.