PENINGKATAN AKADEMIK PENDIDIKAN TINGGI
Saya merasa sangat enjoy kala berbicara di depan para pimpinan IAIN Raden Fatah Palembang, yang terdiri dari Rektor, Wakil Rektor, para Dekan, wakil Dekan, Pejabat Kepala Lembaga, serta Kakanwil Kementerian Agama dan Kepala Diklat Kementerian Agama Provinsi Sumatera Selatan di Kampus IAIN Raden Fatah Palembang, 23/08/2014. Sebentar lagi IAIN ini akan berubah menjadi UIN Raden Fatah Palembang,
Kehadiran saya terutama adalah untuk memberikan pengarahan pada acara Temu Wakil Rektor I dari seluruh PTAIN se Indonesia yang memang memiliki acara rutin untuk membahas current issues yang dihadapi oleh masing-masing PTAIN tetapi memiliki kesamaan secara mendasar. Kemudian saya diminta juga oleh Pak Rektor, Prof. Dr. Aflatun Mukhtar, MA, untuk sekaligus memberi pengarahan kepada pejabat di lingkungan IAIN Raden Fatah dan Kakanwil Kementerian Agama Propinsi Sumatera Selatan.
Saya tentu sangat senang sebab dengan begitu maka saya juga bisa memberikan pengarahan kepada para pejabat dimaksud terutama terkait dengan kebijakan-kebijakan penting yang sedang dan sudah dirumuskan dan diimplemantasikan di Kementerian Agama.
Yang sangat menarik tentu adalah beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh para Guru besar atau professor di lembaga pendidikan tinggi ini dan juga pertanyaan dari Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatera Selatan. Ada pertanyaan yang terkait dengan aspek akademik dan ada juga pertanyaan yang terkait dengan kebijakan kementerian.
Di antara pertanyaan tersebut adalah yang diajukan oleh Pak Adil tentang integrasi ilmu. Di Malaysia, maka hanya ada satu saja simbolnya, yaitu Islamisasi Ilmu. Sedangkan di PTAIN ada banyak simbolisasi dari integrasi ilmu dimaksud. Ada yang dinyatakan dengan pohon ilmu seperti di UIN Malang, ada jaring laba-laba sebagaimana di UIN Yogyakarta, ada Twin Towers seperti di UIN Surabaya, ada roda berputar sebagaimana di UIN Bandung dan di Palembang akan dinamakan sebagai rumah kaca lalu Program integrasi ilmu di UIN Jakarta dan sebagainya.
Pertanyaan ini sungguh menarik sebab ternyata bahwa program pengembangan ilmu di PTAIN, khususnya di IAIN dan UIN memang diproyeksikan sebagai program integrasi ilmu. Tingkat aksesibilitas tentang program ini yang saya kira menjadi menarik sebab sudah menjadi wacana yang terus dikembangkan di PTAIN. Dengan telah tersebarnya virus pengembangan integrasi ilmu ini di semua PTAIN, maka hal ini merupakan keberhasilan untuk menyuntikkan virus ini ke dalam seluruh jaringan PTAIN. Hal ini tentu sangat menggembirakan.
Integrasi ilmu merupakan core pengembangan ilmu di PTAIN. Sebagaimana sering saya nyatakan bahwa kala menjadi UIN, maka akan terdapat tiga kewenangan untuk mengembangkan rumpun ilmu, yaitu ilmu agama, ilmu sosial dan humaniora, serta sains dan teknologi. Kita tentu harus berbeda dengan PTU yang sudah lebih dulu mengembangkannya. Maka yang membedakan atau distingsinya adalah integrasi ilmu dimaksud.
Program saling menyapa antara ilmu agama dan non agama atau bahkan integrasi keduanya adalah bagian dari program pengembangan ilmu ke depan. Oleh karena itu, riset akademis di PTAIN tentunya harus diselaraskan untuk hal ini. Selain ada yang memang mengembangkan dalam kapasitas keilmuannya masing-masing, maka juga mesti ada yang kemudian berupaya melakukan riset akademis integrasi ilmu. Jadi, harus ada riset yang kemudian dipublish di jurnal, atau tesis dan disertasi yang secara khusus memang menyajikan hasil program integrasi ilmu ini.
Saya tentu gembira kala melihat hasil penelitian dengan tema-tema integrasi ilmu ini. Misalnya adalah kajian yang mempertontonkan adanya saling menyapa antara ilmu social dengan ilmu keislaman. Atau antara ilmu humaniora dengan ilmu keislaman. Tema penelitian misalnya, Konsep Islam tentang korupsi, Konsep islam tentang Manajemen resiko, lalu integrasi di bidang sains dan teknologi atau lainnya. Gambaran tentang integrasi ilmu tersebut lalu kelihatan di sisi ini.
Itulah sebabnya, penelitian dengan tema-tema integrasi ilmu lalu perlu mendapatkan porsi yang memadai dari PTAIN. Di tengah semakin berkembangnya aggaran PTAIN, misalnya lewat BOPTAIN atau anggaran lain seperti PNBP, maka peluang untuk mengembangkan riset unggulan akan bisa dilakukan. Yang tidak kalah penting adalah mengarrange agar supaya jaringan kerja sama riset dapat dilakukan lebih banyak dan variatif.
Kedua, pertanyaan tentang kedisiplinan para dosen, yang diajukan oleh Prof. Ramli, Dekan Fakultas Syariah. Memang salah satu tantangan reformasi birokrasi adalah bagaimana membangun budaya kerja berbasis pada kedisiplinan semua unsur di dalam Kementerian Agama. Salah satu inti reformasi adalah bagaimana membangun perilaku aparat sipil negara baik para pejabat struktural maupun fungsional. Dosen sebagai pejabat fungsional tentu juga terkena kewajiban membangun budaya kerja yang high level.
Memang masih ada yang diperdebatkan terkait dengan kedisiplinan para dosen. Yaitu apakah mengikuti jam kerja ANS yang lima hari kerja atau sesuai dengan ekivalensi jam mengajarnya. Namun yang jelas di tengah reformasi birokrasi tentunya dosen sebagai ASN juga terkena kewajiban untuk meningkatkan kualitas kinerjanya dan budaya kerjanya. Oleh karena itu, maka yang sangat mendasar adalah bagaimana para dosen terus berupaya untuk menyajikan pendidikan yang terbaik bagi generasi masa depan.
Memang, sebagai ASN, para dosen berkewajiban untuk menyesuaikan diri dengan semanta birokrasi dan bahkan bisa menjadi contoh di dalam membangun kinerja. Andaikan para dosen sebagai ASN harus bekerja selama lima hari kerja, maka seharusnya para dosen tidak hanya mendapatkan tunjangan profesinya, akan tetapi juga akan mendapatkan renumerasi sebagaimana para pejabat lainnya.
Wallahu a’lam bi al shawab