• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AKHIRNYA KE ARAB SAUDI (1)

AKHIRNYA KE ARAB SAUDI (1)

Beberapa kali saya diagendakan untuk berangkat ke Tanah Suci Makkah al Mukarramah, tetapi selalu gagal. Diacarakan untuk menggelar pertemuan dengan Islamic Development Bank (IDB) dalam kerangka percepatan program pembangunan IAIN Sunan Ampel, akan tetapi gagal karena urusan kantor di Jakarta tidak bisa ditinggalkan.

Lalu musim haji tahun lalu juga ada peluang untuk berangkat mendampingi Tim Amirul Haj, akan  tetapi saya tidak berangkat. Tentu ada pertimbangan lain terkait dengan ketidakberangkatan saya ke Arab Saudi itu. Saya berpikir, kala Pak Menteri di luar negeri, maka sebaiknya saya ada di dalam negeri. Semata-mata pertimbangan yang tidak mendasar tetapi bagi saya penting.

Kemudian juga diacarakan untuk berangkat mendampingi Dirjen PHU (kala itu Pak Anggito Abimanyu) dalam sessi penandatangan MoU dengan IDB mengenai perluasan kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan IDB,  akan tetapi saya juga tidak bisa hadir.

Pada tahun 2015 ini saya memantapkan diri untuk hadir di Arab Saudi dalam kapasitas Tim Pengendali Ibadah Haji Kementerian Agama. Sama seperti pandangan saya di awal, bahwa saya akan berangkat terakhir kala Pak Menteri sudah hadir kembali di Jakarta. Makanya, saya berangkat di saat kloter akhir jamaah haji Indonesia kembali ke Indonesia dari Madinah.

Saya tentu sangat bersyukur atas izin yang diberikan oleh Menteri Agama, Bapak Lukman Hakim Saifuddin, tentang kepergian saya ke Tanah Arab. Setelah menghitung hari dengan cermat, dan juga mempertimbangkan berapa lama harus meninggalkan kantor, maka pada Sabtu, 24 Oktober  2015, saya berangkat ke Tanah Suci, didampingi oleh Pak Syafrizal (Kepala Biro Umum Sekretariat Jenderal Kementerian Agama) dan Farid Wajdi (Kasubag Tata Usaha Sekretariat Jenderal Kementerian Agama di Jakarta).

Saya tidak tahu bahwa akhir-akhir ini sangat enggan pergi jauh ke luar negeri. Tahun 2014 bahkan tidak pergi keluar negeri sama sekali. Baru tahun 2015 ini saya menyempatkan diri hadir di beberapa pertemuan Senior of Meeting (SOM) MABIMS  di Malaysia dan Brunei Darussalam. Tahun lalu juga diminta oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk monitoring ke Timur Tengah,  akan tetapi saya juga tidak bisa berangkat. Beberapa pertemuan di Brussel dan Belanda juga lewat begitu saja.

Oleh karena itu, keberangkatan saya ke Arab Saudi ini terasa sangat istimewa. Sudah sangat lama saya tidak lagi menjejakkan kaki ke Baitullah, Rumah Allah yang Agung. Tahun 2000 saya pergi haji bersama isteri saya, Hj. Mukminatus Sukindah, dan tahun 2003 saya sempat menjadi Tim Pemandu Ibadah Haji Indonesia (TPIHI) setelah melalui seleksi di Kantor Wilayah Departemen  Agama Jawa Timur.

Saya percaya bahwa ini adalah takdir Allah swt yang mengizinkan saya untuk bisa pergi ke Tanah Suci. Pada waktu ada Rapat Kerja (Raker) Menteri Agama dengan Komisi VIII DPR RI, saya sempat bertemu dengan Direktur Jenderal Pelayanan Haji dan Umrah, Prof. Dr. Abdul Jamil, lalu secara spontan saya bertanya kepada Beliau kapan akan Arab Saudi, beliau menyatakan agar saya saja yang ke sana untuk menjemput kloter akhir jamaah haji Indonesia, dan beliau akan jaga gawang di kantor.

Itulah sebabnya, saya meminta kepada Pak Farid Wajdi agar menguruskan seluruh administrasi perjalanan dinas ke Arab Saudi dan Alhamdulillah semua berjalan mulus. Pengurusan paspor dan  visa dapat diselesaikan tepat waktu. Makanya, hari Kamis, 23 Oktober 2015 saya pamit dan izin Pak Menteri secara lesan tentang keberangkatan saya ke Arab Saudi. Saya ingat betul pernyataan Beliau “silahkan berangkat pak Sekjen”.

Sebelum saya berangkat ke Arab Saudi,  saya harus ke Surabaya dulu, sebab cucu saya Nisrina Arfa al Abashi, akan ulang tahun pertama, hari Sabtu kala saya berangkat ke Saudi Arabia. Selain itu cucu saya Yuvica Farnaz Adzkiya juga pulang ke Surabaya. Tentu sangat menyenangkan kala bertemu mereka semua di rumah Surabaya. Jadinya, saya berangkat ke Arab Saudi setelah sebelumnya ke Surabaya terlebih dulu.

Jam 08.25 WIB saya berangkat dengan pesawat Garuda Indonesia Airways ke Jakarta, lalu bersiap ke Arab Saudi untuk kunjungan dan tugas menjemput jamaah Haji Indonesia di Madinah.

Jam 13.30 saya berangkat dengan pesawat Saudia, SV 819. Alhamdulillah saya bisa istirahat di dalam perjalanan ini. Kala saya menulis ini, maka perjalanan sudah empat jam lebih. Kira-kira di wilayah Jagalur India. Waktu tempuh ke Arab Saudi memang masih lama. Ya Allah berikan kekuatan fisik dan spiritual untuk perjalanan tugas negara ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

HARI SANTRI DAN PENEGUHAN PERAN ISLAM (3)

HARI SANTRI DAN PENEGUHAN PERAN ISLAM (3)

Keputusan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, untuk menerbitkan Keppres tentang Hari Santri Nasional, sungguh sangat tepat. Bukan dalam makna politis akan tetapi merupakan pengahargaan atas peran para Santri yang memiliki kontribusi sangat positif bagi Indonesia.

Penghargaan itu sangat bermakna mengingat bahwa kaum Pesantren, dengan Santri dan Kyainya adalah kelompok masyarakat yang sangat sadar tentang arti kemerdekaan bagi bangsanya. Tidak hanya kala terjadi perebutan kemerdekaan,  pra dan pasca kemerdekaan, akan tetapi juga peran mereka dalam pembangunan bangsa hingga sekarang.

Jika kita merujuk pada banyaknya pejuang kemerdekaan, maka dapat dipastikan bahwa peran mereka sangat besar. Secara kuantitatif, bahwa jumlah mereka (pejuang santri)  tidak bisa dihitung dengan jari. Seluruh moment untuk merebut kemerdekaan, baik pada masa pra kemerdekaan, saat kemerdekaan dan pasca kemerdekaan tentu melibatkan mereka yang disebut sebagai Santri.

Jika kita menggunakan referensi perjuangan pra kemerdekaan, maka pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, Kyai Nawawi Al Bantani, Kyai Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Ahmad Soorkati, Kyai Hassan Bandung, Cut Nyak Dien, Tengku Umar, Sultan Agung, Pangeran Senopati, Pangeran Hadiwijaya, Adipati Unus,  Sultan Tenggono, Raden Fatah, dan sejumlah tokoh pimpinan organisasi maupun pimpinan negara adalah para Santri. Bahkan para pujangga, seperti  Yosodipuro, Ronggowarsito,  dan Raden Saleh adalah para Santri. Tokoh perempuan, Kartini dan Dewi Sartika juga seorang santri. Kartini adalah murid Kyai Saleh Darat, Semarang.

Jika kita menggunakan referensi masa kemerdekaan, maka Soekarno, Mohammad Hatta,  Wahid Hasyim, Wahab Hasbullah, Kyai Bisri Syamsuri, Kyai Romli Tamim, Kyai Usman Al Ishaqi, Kyai Agus Salim, KH. Mas Mansur, Bagus Hadikusumo, Bung Tomo, Soedirman, dan sejumlah nama lain tentu juga merupakan Santri dalam konteks yang lebih luas. Mereka merupakan kelompok paling sadar tentang pentingnya kemerdekaan bangsa. Saya bahkan berkeyakinan, bahwa pendiri bangsa ini, Soekarno,  pastilah orang yang memiliki guru spiritual yang sangat hebat yang mampu memberikan suntikan spiritual untuk memerdekakan bangsa Indonesia.

Zaman pun boleh berganti. Kemerdekaan pun  sudah berada di tangan kita sebagai wujud dari upaya dan karya  para founding fathers negeri ini. Para santri juga memiliki peran yang tidak sedikit di dalam proses meneruskan perjuangan bangsa. Di dalam konteks ini, maka peran jihad yang dimainkan oleh para kyai dan santri tentu berbeda dengan jihad di era perang kemerdekaan. Jika Hadratusy Syekh KH. Hasyim Asy’ari telah menorehkan tinta emas Resolusi Jihad, tanggal 22 Oktober, yang kemudian dijadikan sebagai tonggak untuk “Hari Santri”, maka jihad para kyai dan santri dewasa ini adalah di bidang pendidikan.

Pesantren yang merupakan karya agung para kyai adalah bukti bagaimana para santri berperan sangat signifikan di dalam pembangunan bangsa khususnya pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang produktif. Sumbangan terbesar para kyai dan santri bagi pembangunan bangsa ini adalah melalui pendidikan yang komprehensif dimaksud. Sungguh tidak terbayangkan bahwa tanpa pesantren, Indonesia akan seperti sekarang. Banyaknya orang yang melek huruf, tentu salah satu sumbangan realistis dari dunia pesantren.

Bangsa Indonesia harus bangga dengan keberadaan pesantren yang merupakan garda depan untuk kemerdekaan Indonesia dan juga garda depan pembangunan bangsa Indonesia. Salah satu contoh riil, kala terjadi pemberontakan G.30 S/PKI, maka para kyai dan santri yang berada di garis depan bersama TNI dan masyarakat untuk berjuang mempertahankan Indonesia dari kekuasan komunis yang atheis.

Kala pemerintah menggalakkan program Keluarga Berencana (KB), maka para kyai, khususnya KH. Idham Cholid, yang menjadi juru bicara agar program KB ini sukses.

Kala Negara berada di dalam konteks otoriter, maka Gus Dur yang tampil di permukaan untuk mengembalikan posisi negara dalam jalur yang benar. Bersama dengan komponen bangsa yang lain, Beliau meneriakkan mengenai demokratisasi dan keterbukaan.

Para Kyai juga terus berjuang untuk menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kyai Ahmad Siddiq, KH. Syamsul Arifin, Kyai Masykur dan Kyai Ma’shum  adalah mereka yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bangsa. Bahkan mereka menyatakan “jika penetapan Pancasila sebagai asas negara ini salah, maka mereka  rela masuk neraka terlebuh dahulu”. Luar biasa.  Jadi mereka adalah Kyai yang memiliki wawasan kebangsan yang sangat tinggi. KH. Sahal Mahfudl, KH. Muchit Muzadi juga menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sudah final bagi bangsa Indonesia.

Melalui peran-peran positif yang dimainkan oleh para santri, maka layaklah jika Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menganugerahkan  “Hari Santri Nasional” yang diresmikannya pada tanggal 22 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta.

Sungguh peresmian Hari Santri Nasional, bagi bangsa Indonesia sangat bermakna di dalam kerangka untuk memperteguh peran kaum Santri di negeri tercinta ini.  Khususnya  di dalam membangun SDM yang andal dan bermanfaat serta tetap menjadikan Indonesia dengan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan, sebagai consensus yang akan terus dijaganya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

HARI SANTRI DAN PENEGUHAN PERAN ISLAM (2)

HARI SANTRI DAN PENEGUHAN PERAN ISLAM (2)

Sesungguhnya Islam Indonesia, atau mau disebut Islam Nusantara, merupakan karya para Santri yang memang memiliki peran penting di dalam penyebaran Islam di ranah yang lebih luas.

Perkembangan Islam di Nusantara merupakan bagian tidak terpisahkan dari bagaimana kaum Santri yang merupakan kelompok paling sadar untuk menyebarkan Islam tersebut beraktivitas agar Islam menyebar luas di seluruh dunia. Jika kemudian Islam menjadi bagian mayoritas dari wilayah Nusantara, maka hal itu tentu merupakan karya agung para Santri yang telah mewakafkan dirinya untuk menyebarkan Islam.

Islam menyebar dan berkembang di seluruh daratan Nusantara tentu juga karena kegiatan dakwah para Santri, yang mereka itu bisa saja dari kaum Sufi, para pedagang Islam atau bahkan para pelancong yang memang memiliki kesadaran untuk menyebarkan Islam dimaksud.

Beberapa teori yang dihasilkan dari kajian yang mendalam menggambarkan bahwa Islam yang ada di Nusantara itu berasal dari Gujarat, Hadramaut dan bahkan dari belahan Timur Tengah lainnya, sehingga membentuk corak Islam yang khas. Itulah sebabnya di Nusantara ini corak Islam itu sangat variatif dalam ritual ghairu mahdahnya. Ada upacara Tabut yang khas Persia, ada tasawuf yang khas Hadramaut dan Gujarat dan ada juga upacara keagamaan yang khas Timur Tengah lainnya.

Para penyebar Islam dengan berbagai latar kulturalnya tersebut datang ke Nusantara kala Islam di Timur Tengah dalam gejolak. Yaitu kehancuran pusat kebudayaan Islam di Baghdad akibat serangan kaum Mongol yang datang ke Dunia Islam kala kerajaan Islam tersebut melemah.

Islam datang ke Nusantara pada saat kerajaan-kerajaan Hindu/Budha juga melemah. Para pendakwah yang mampu menyebarkan Islam di wilayah Nusantara tersebut kemudian dapat mengambil alih pusat kekuasaan di beberapa kerajaan di Nusantara, misalnya kerajaan Perlak, lalu kerajaan Demak Bintoro dan berlanjut ke Sulawesi dan hingga Maluku dan Papua.

Peran kaum Santri dalam konteks yang lebih luas inilah kemudian akhirnya dapat memantapkan peran Islam dalam kazanah Islamisasi Nusantara yang sangat sistematis. Jejak-jejak para Wali penyebar Islam di Nusantara, misalnya di Ternate, maka jejak Sunan Giri masih bisa dilihat hingga sekarang. Jejak Sunan Bonang masih terasa di Nusa Tenggara Barat, jejak Sunan Kalijaga masih terlihat di Jogyakarta dan Solo dan sebagainya.

Para Wali penyebar Islam itulah yang dengan kekuatan fisik dan spiritualnya dapat melakukan penyebaran Islam secara luar biasa. Para Wali Songo adalah para Santri sebab kebanyakan di antara mereka adalah orang yang pernah belajar di pesantren-pesantren baik di Timur tengah, Malaka, maupun di Jawa. Mereka memang benar-benar Santri dalam pengertain yang sebenarnya, sebab mereka adalah alumni-alumni pesantren yang mempelajari Islam secara utuh.

Islamisasi terus berlanjut sampai kemudian terbentuk kerajaan Islam yang memiliki pengaruh yang kuat di dalam proses Islamisasi damai. Kontribusi kaum Santri juga terus berlanjut di tengah perubahan-perubahan yang terus terjadi. Sampai kemudian datanglah kaum penjajah yang merayah kekuasan-kekuasan umat Islam dengan cara yang tidak beradab.

Kedatangan orang Barat untuk berdagang berujung pada penguasaan tanah Nusantara dalam genggamannya. Semula niatnya adalah untuk berdagang. Namun karena di dalam berdagang harus didukung oleh sumber kekuasaan dan penguasaan, maka wilayah Nusantara lalu dijarah dengan kekuasan militer yang kuat. Satu persatu kerajaan Islam di Nusantara dapat ditaklukkan, sehingga para pedagang Belanda, Portugis dan Inggris lalu menjadi penguasa.

Kerajaan Islam yang melemah kemudian dijarah dan dikuasai. Pusat-pusat perdagangan menjadi wilayahnya. Sebagai akibatnya, penduduk Islam Nusantara menjadi penduduk jajahan dan diperlakukan sebagai kaum jajahan itu sendiri. Ada tanam paksa, ada pengerahan tenaga kerja secara paksa dan penarikan pajak yang tidak tertanggungkan.

Yang lebih menyedihkan lalu dianggaplah para penduduk Muslim tersebut  sebagai bangsa Kuli. Para pemilik tumpah darah Nusantara dianggapnya sebagai bangsa yang hanya berperan sebagai budak dan pekerja kasar. Para penjajah itu menyebut dirinya sebagai Toean, dan bangsa kita sebagai Kuli.

Maka bangkitlah anak-anak negeri ini untuk melawannya. Perang Jawa yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro, Basah Sentot dan Kyai Mojo adalah kaum Santri yang sadar akan keharusan untuk berjuang memerdekakan tanah tumpah darahnya untuk menyejahterakan masyarakatnya.

Mereka adalah para Santri. Pangeran Diponegoro adalah santri dari pesantren di Ponorogo, Pesantren Tegalsari, Kyai Mojo juga seorang kyai yang memiliki pesantren. Perang Jawa adalah perang yang menguras pundi-pundi keuangan Pemerintahan Belanda. Perang lima tahun ini menandai bagaimana kaum Santri bergerak melawan penjajah yang kejam.

Perang Banten, yang disebut sebagai Pemberontakan Kaum Petani, juga diinisiasi oleh para Santri dan bahkan oleh penganut tarekat. Mereka adalah para santri yang memiliki kesadaran utuh untuk memerdekakan masyarakatnya agar terbebas dari cengkeraman kaum penjajah. Belanda yang memiliki senjata modern dan dengan kekuatan modal yang besar akhirnya memang bisa mengalahkan kaum petani sufi yang mengandalkan jimat dan senjata apa adanya.

Namun demikian, peran mereka yang heroic di dalam melawan penjajah tentu menjadikan nama-nama para pahlawan kusuma bangsa itu untuk menjadi teladan akan semangat jihad di dalam melawan kaum penjajah. Jadi peran mereka sesungguhnya meneguhkan bagaimana Islam dalam konteks kesantrian dapat memberikan inspirasi untuk melawan penjajahan yang gigantic dan powerfull.

Tentu masih ada banyak contoh perlawanan terhadap kaum penjajah yang diinspirasikan oleh para Santri, misalnya Perang Paderi, Perang Aceh, Perang Gowa dan sebagainya yang sesungguhnya dipimpin oleh para santri. Jadi, sebenarnya Santri memiliki peran yang sangat dominan di dalam percaturan kemerdekaan Nusantara semenjak dahulu kala.

Makanya, kala Presiden memberikan hadiah Hari Santri Nasional, maka sesunggunya hal tersebut bukanlah sesuatu yang tidak memiliki akar empirisnya. Selamat Hari Santri Nasional.

Wallahu a’lam bi asshawab.

 

 

HARI SANTRI DAN PENEGASAN PERAN ISLAM (1)

HARI SANTRI DAN PENEGASAN PERAN ISLAM (1)

Sesungguhnya saya menulis tentang santri sebelum peresmian Hari Santri Nasional (HSN) oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Akan tetapi karena kesibukan dalam acara SOM MABIMS ke 40 di Brunei Darussalam  sehari sebelumnya, maka sama sekali saya tidak bisa menulis tentang Hari Santri dimaksud.

Secara etimologis, santri adalah orang yang belajar di pesantren. Jadi yang disebut santri adalah orang yang belajar atau pernah belajar di pesantren. Namun demikian, pengertian santri sekarang lebih meluas, yaitu orang yang memiliki paham keagamaan dan menjalankan agamanya secara konsisten relevan dengan pengamalan Islam kaum Santri.

Jika menggunakan pengertian yang luas ini, maka makna santri tentu lebih luas dan mencakup pada siapa saja yang memiliki paham keislaman dan menjalankan ajaran keislamannya. Selama yang bersangkutan beragama Islam, dan menjalankan agamanya secara benar, maka mereka dimasukkan dalam konsep Santri.

Secara sosiologis, bahwa Santri adalah mereka yang memenuhi lima aspek keberagamaan, yaitu memiliki dimensi teologis, dimensi ritual, dimensi konsekuensial, dimensi pengalaman dan dimensi pengetahuan beragama. Jika seseorang sudah memiliki lima dimensi keberagamaan ini, maka yang bersangkutan dapat dinyatakan sebagai santri.

Dalam dimensi teologis, maka seseorang yang memiliki paham keagamaan yang terkait dengan keyakinan akan adanya Allah, yang ditandai dengan persaksian yang bersangkutan kepada Allah swt., dan kemudian dilanjutkan dengan mengamalkan keyakinan teologisnya dalam ritual yang sesuai dengan ajaran agamanya, kemudian juga konsekuen untuk menyiarkan atau menyebarkan agamanya yang benar dalam konteks dakwah atau penyiaran Islam, maka secara otomatis yang bersangkutan adalah umat Islam yang Santri.

Di sisi lain, dimensi teologis, ritual dan konsekuensi beragama tersebut berbasis  di dalam pemahaman dan pengalaman beragama yang bersesuaian dangan pengetahuan dan pemahaman kaum santri. Semua dimensi tersebut lalu  menghasilkan pengalaman atau the experience of the holy. Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama berbasis referensi kesantrian  menjadi tolok ukur utama bagi penyebutan kaum Santri.

Menjadi Santri dengan demikian tidaklah harus memiliki pengalaman belajar di pondok pesantren sebagai definisi Santri yang telah dibakukan selama ini. Melalui perluasan definisi Santri, tentu lebih banyak orang yang bisa disebut sebagai Santri dan tentu juga terjadi perluasan peran Santri di dalam konteks negara bangsa. Jika semua umat Islam yang konsisten memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang relevan dengan dunia Santri disebut sebagai kaum Santri tentulah jumlah Santri secara kuantitatif akan semakin banyak.

Secara kualitatif tentu saja bahwa banyak orang yang memiliki pemahaman agama yang baik, seperti yang dilihat dari mereka yang belajar ilmu keislaman, namun jika yang bersangkutan tidak menjadikan lima dimensi keberagamaan tersebut sebagai pilar kehidupannya, maka yang bersangkutan tidak bisa disebut sebagai Santri.

Menyimak terhadap perluasan makna ini, maka akan terjadi juga misalnya orang yang semula kaum Abangan namun karena yang bersangkutan telah melaksanakan ajaran agamanya sebagaimana tindakan beragama kaum Santri, maka mereka pun disebut juga sebagai bagian dari kaum Santri. Jadi dikotomi Abangan Santri dalam konteks asal usul keberagamaannya tidak lagi relevan untuk menyebutnya sebagai kaum Abangan atau kaum Santri.

Berdasarkan penelitian yang saya lakukan terhadap Islam Pesisiran, bahwa banyak Kaum Abangan yang menjadi Santri. Di dalam tindakan beragamanya mereka melakukan berbagai upacara keagamaan, baik yang mahdhah maupun yang ghairu mahdhah. Seluruh ajaran ritual rukun Islam, seperti shalat dan zakat mereka lakukan dengan baik. Demikian pula ibadah ghairu mahdhah seperti mengikuti ritual yasinan, tahlilan dan juga acara-acara pengajian. Mereka merasa nyaman menjadi Santri dalam konteks Islam-NU. Mereka bisa menjadi Islam-NU karena memiliki medan budaya atau cultural sphere yang sama. Yaitu makam, sumur dan kemudian masjid.

Di ruang budaya sumur mereka bertemu Abangan dan Santri melalui upacara nyadran yang diislamisasikan, kemudian bertemu di makam (kuburan) melalui tradisi manganan  yang diislamisasikan dengan tradisi khaul. Sebagai akibatnya, maka mereka secara pasti, yang Abangan menjadi Santri. Pertemuan di ruang budaya inilah yang di dalam banyak hal lalu menjadikan kaum Abangan menjadi Santri. Dan sebagai konsekuensinya, maka istilah Santri juga mengalami perluasan makna.

Dengan demikian, pandangan yang menyatakan bahwa melalui penetapan Hari Santri Nasional akan membawa polarisasi Abangan dan Santri justru tidak akan terjadi. Dewasa ini, dikhotomi yang pernah dikenalkan oleh Geertz tahun 50-an sudah tidak lagi relevan untuk menggambarkan profile umat Islam di Indonesia.

Jadi, kita mesti bergembira dengan penetapan Hari Santri Nasional dalam konteks bahwa pemerintah memberikan penghargaan terhadap kaum Santri dalam kontribusinya terhadap negara dan bangsa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MESYUARAT PEGAWAI-PEGAWAI KANAN (SOM) MABIMS KE 40 (5)

MESYUARAT PEGAWAI-PEGAWAI KANAN (SOM) MABIMS KE 40 (5)

Anggota delegasi Indonesia di dalam SOM MABIMS adalah Prof. Dr. Nur Syam, MSI Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Prof. Dr. Ahmad Gunaryo,  M.Soc.Sc, Kepala Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri, Dr. Muchtar Ali, M.Hum, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Dr. Muharram Marzuki, Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan, Sigit Setiono Eko, SS, Kasubag Tata Usaha Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri, Tovan Akbar Cahyo Nugroho, Analisis Kerjasama Luar Negeri, dan Endang Perwita Sari, Pengelola Administrasi KLN.

Kita tentu bersyukur bisa terlibat di dalam Mesyuarat Pegawai-Pegawai Kanan (SOM) MABIMS ke 40 ini. Tahun kemarin kita terlibat di dalam SOM ke 39 di Denpasar Bali pada akhir Desember 2014. Pada tahun kemarin, di antara kesimpulan pentingnya adalah mengenai “Pentingnya Gerakan Anti Terorisme di Negara Anggota MABIMS”. Tahun kemarin, SOM dan informal Meeting MABIMS dilaksanakan secara bersamaan. Tahun depan akan dilaksanakan SOM dan Informal Meeting MABIMS secara bersama-sama di Kualalumpur, sebagaimana kesepakatan yang sudah diambil pada tahun lalu.

Agenda yang sangat penting selain yang sudah saya kemukakan dalam tulisan saya terdahulu adalah mengenai laporan pelaksanaan kegiatan Bidang Strategik pada masing-masing negara anggota MABIMS sesuai dengan bidang program yang menjadi tanggungjawabnya. Yang dilaporkan tersebut adalah: 1) Pembangunan Kehidupan Beragama yang Progresif Melalui Penguatan Syiar Islam dan Dakwah yang  oleh Negara Brunei Darussalam. 2) Pembangunan Potensi Belia Sebagai Generasi Penerus oleh Negara Republik Singapura. 3) Pembasmian Kemiskinan Melalui Pengupayaan Golongan Fakir Miskin oleh Malaysia. 4) Peningkatan Sumber Daya Manusia Melalui Sistem Pendidikan Islam Bersepadu dan Relevan oleh Negara Indonesia. 5) Peningkatan Harmonisasi Sosial Masyarakat Melalui Pemahaman Silang Budaya dan Agama oleh Negara Indonesia. 6) Pembangunan Umat Islam di Luar MABIMS Melalui Program Sosial dan Kemanusiaa oleh Negara Malaysia. 7) Penonjolan Kefahaman dan Amalan Islam di Rantau MABIMS dan Peranan MABIMS ke Dunia Luar oleh Negara Malaysia.

Selain ini juga terdapat bidang Khas, yaitu: 1) Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam MABIMS oleh Indonesia. 2) Pembangunan Halal MABIMS oleh Malaysia. 3) Pelaksanaan E-Hajj dalam Pengurusan Haji oleh Tabung Haji Malaysia. Kemudian juga dilaporkan hasil perumusan Pelan Strategik MABIMS untuk 2016-2020 sebagaimana pertemuan di Malaysia beberapa waktu yang lalu.

Dari laporan mengenai Bidang Strategik dan Bidang Khas, ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan. Dalam pandangan saya, bahwa ada banyak kegiatan yang dilakukan oleh anggota MABIMS namun belum menyertakan negara anggota MABIMS lain di dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, ke depan saya kira harus ada penekanan bahwa sebagai program bersama negara anggota MABIMS, maka kepersertaan negara anggota MABIMS sangat penting untuk dilakukan.

Program yang dilakukan belumlah menghasilkan out come yang nyata bagi penguatan atau pemerkasaan masyarakat negara anggota MABIMS. Disebabkan oleh program yang dilakukan secara lebih parsial, masing-masing negara—maka rasanya outcome yang dihasilkan tentu saja terbatas pada negara pelaksana dan belum menjadi bagian manfaat dari negara anggota MABIMS lainnya.

Yang juga perlu dikritisi adalah mengenai penganggaran bagi kepentingan pembangunan MABIMS adalah tentang ketidaksamaan dalam pendanaan MABIMS. Dalam contoh program yang sangat baik, namun keterlibatan negara-negara anggota MABIMS belumlah maksimal. Di dalam pemberdayaan masyarakat Islam minoritas, maka program pemberian hibah kepada lembaga pendidikan di negara dimaksud adalah program yang sangat baik, akan tetapi Indonesia tidak bisa melakukannya karena hibah tidak bisa dilakukan oleh Kementerian Agama. Hibah hanya bisa diberikan oleh Kementerian Keuangan. Jadi, akhirnya Indonesia memilih memberikan beasiswa kepada students dari Cambodia.

Yang juga tidak kalah penting adalah laporan mengenai E-Hajj. Sebagaimana Indonesia, Malaysia juga mengalami kesulitan di dalam memperoleh visa dari Kedubes Arab Saudi di Malaysia. Kesulitan ini dipicu oleh ketidaksesuaian antara data yang terdapat di dalam  sistem teknologi Informasi di Tabung Haji Malaysia dengan system E-Hajj. Misalnya jika tidak ada tanggal lahir di Sistem IT Tabung Haji, maka E-Hajj akan mereject terhadap permohonan visa dimaksud. Maka,  penyelesaiannya adalah dengan sistem manual. Demikian pula pengalaman yang dirasakan oleh Singapura dan Brunei Darussalam. Meskipun jamaah haji dari Singapura hanya 620-an dan Jamaah Haji Brunei Darussalam hanya 400 orang, akan tetapi ternyata penggunaan E-Hajj juga mengalami kendala.

Oleh karena itu, salah satu rekomendasi dari SOM MABIMS ke 40 adalah agar para Menteri Negara anggota MABIMS, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan mengajukan permohonan agar E-Hajj dilakukan secara lebih sederhana dengan melakukan matching data antara sistem yang dimiliki oleh negara anggota MABIMS dengan system E-Hajj ini.

Saya merasakan bahwa pertemuan ini terasa sangat produktif. Ada banyak rumusan rekomendasi yang penting untuk dilakukan bersama-sama terutama di dalam kerangka membangun umat Islam di negara anggota MABIMS dan bahkan juga masyarakat Islam di negara lain.

Dengan demikian, pertemuan informal para Sekretaris Jenderal atau Setiausaha Tetap negara-negara anggota MABIMS sangat produktif untuk membangun kebersamaan untuk Islam dan masyarakat Islam yang jaya.

Wallahu a’lam bi al shawab.