• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

HARI SANTRI DAN PENEGASAN PERAN ISLAM (1)

HARI SANTRI DAN PENEGASAN PERAN ISLAM (1)

Sesungguhnya saya menulis tentang santri sebelum peresmian Hari Santri Nasional (HSN) oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Akan tetapi karena kesibukan dalam acara SOM MABIMS ke 40 di Brunei Darussalam  sehari sebelumnya, maka sama sekali saya tidak bisa menulis tentang Hari Santri dimaksud.

Secara etimologis, santri adalah orang yang belajar di pesantren. Jadi yang disebut santri adalah orang yang belajar atau pernah belajar di pesantren. Namun demikian, pengertian santri sekarang lebih meluas, yaitu orang yang memiliki paham keagamaan dan menjalankan agamanya secara konsisten relevan dengan pengamalan Islam kaum Santri.

Jika menggunakan pengertian yang luas ini, maka makna santri tentu lebih luas dan mencakup pada siapa saja yang memiliki paham keislaman dan menjalankan ajaran keislamannya. Selama yang bersangkutan beragama Islam, dan menjalankan agamanya secara benar, maka mereka dimasukkan dalam konsep Santri.

Secara sosiologis, bahwa Santri adalah mereka yang memenuhi lima aspek keberagamaan, yaitu memiliki dimensi teologis, dimensi ritual, dimensi konsekuensial, dimensi pengalaman dan dimensi pengetahuan beragama. Jika seseorang sudah memiliki lima dimensi keberagamaan ini, maka yang bersangkutan dapat dinyatakan sebagai santri.

Dalam dimensi teologis, maka seseorang yang memiliki paham keagamaan yang terkait dengan keyakinan akan adanya Allah, yang ditandai dengan persaksian yang bersangkutan kepada Allah swt., dan kemudian dilanjutkan dengan mengamalkan keyakinan teologisnya dalam ritual yang sesuai dengan ajaran agamanya, kemudian juga konsekuen untuk menyiarkan atau menyebarkan agamanya yang benar dalam konteks dakwah atau penyiaran Islam, maka secara otomatis yang bersangkutan adalah umat Islam yang Santri.

Di sisi lain, dimensi teologis, ritual dan konsekuensi beragama tersebut berbasis  di dalam pemahaman dan pengalaman beragama yang bersesuaian dangan pengetahuan dan pemahaman kaum santri. Semua dimensi tersebut lalu  menghasilkan pengalaman atau the experience of the holy. Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama berbasis referensi kesantrian  menjadi tolok ukur utama bagi penyebutan kaum Santri.

Menjadi Santri dengan demikian tidaklah harus memiliki pengalaman belajar di pondok pesantren sebagai definisi Santri yang telah dibakukan selama ini. Melalui perluasan definisi Santri, tentu lebih banyak orang yang bisa disebut sebagai Santri dan tentu juga terjadi perluasan peran Santri di dalam konteks negara bangsa. Jika semua umat Islam yang konsisten memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang relevan dengan dunia Santri disebut sebagai kaum Santri tentulah jumlah Santri secara kuantitatif akan semakin banyak.

Secara kualitatif tentu saja bahwa banyak orang yang memiliki pemahaman agama yang baik, seperti yang dilihat dari mereka yang belajar ilmu keislaman, namun jika yang bersangkutan tidak menjadikan lima dimensi keberagamaan tersebut sebagai pilar kehidupannya, maka yang bersangkutan tidak bisa disebut sebagai Santri.

Menyimak terhadap perluasan makna ini, maka akan terjadi juga misalnya orang yang semula kaum Abangan namun karena yang bersangkutan telah melaksanakan ajaran agamanya sebagaimana tindakan beragama kaum Santri, maka mereka pun disebut juga sebagai bagian dari kaum Santri. Jadi dikotomi Abangan Santri dalam konteks asal usul keberagamaannya tidak lagi relevan untuk menyebutnya sebagai kaum Abangan atau kaum Santri.

Berdasarkan penelitian yang saya lakukan terhadap Islam Pesisiran, bahwa banyak Kaum Abangan yang menjadi Santri. Di dalam tindakan beragamanya mereka melakukan berbagai upacara keagamaan, baik yang mahdhah maupun yang ghairu mahdhah. Seluruh ajaran ritual rukun Islam, seperti shalat dan zakat mereka lakukan dengan baik. Demikian pula ibadah ghairu mahdhah seperti mengikuti ritual yasinan, tahlilan dan juga acara-acara pengajian. Mereka merasa nyaman menjadi Santri dalam konteks Islam-NU. Mereka bisa menjadi Islam-NU karena memiliki medan budaya atau cultural sphere yang sama. Yaitu makam, sumur dan kemudian masjid.

Di ruang budaya sumur mereka bertemu Abangan dan Santri melalui upacara nyadran yang diislamisasikan, kemudian bertemu di makam (kuburan) melalui tradisi manganan  yang diislamisasikan dengan tradisi khaul. Sebagai akibatnya, maka mereka secara pasti, yang Abangan menjadi Santri. Pertemuan di ruang budaya inilah yang di dalam banyak hal lalu menjadikan kaum Abangan menjadi Santri. Dan sebagai konsekuensinya, maka istilah Santri juga mengalami perluasan makna.

Dengan demikian, pandangan yang menyatakan bahwa melalui penetapan Hari Santri Nasional akan membawa polarisasi Abangan dan Santri justru tidak akan terjadi. Dewasa ini, dikhotomi yang pernah dikenalkan oleh Geertz tahun 50-an sudah tidak lagi relevan untuk menggambarkan profile umat Islam di Indonesia.

Jadi, kita mesti bergembira dengan penetapan Hari Santri Nasional dalam konteks bahwa pemerintah memberikan penghargaan terhadap kaum Santri dalam kontribusinya terhadap negara dan bangsa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini