PUASA DAN RASA KEMANUSIAAN (15)
Orang yang melakukan puasa adalah orang yang bisa menahan hawa nafsu. Semua umat Islam memahami hal ini. Apakah dia kaum awam Muslim sampai kyai atau ulama pastilah memahami tentang hal ini. Penjelasan tentang puasa melalui berbagai sumber informasi sudah menggambarkan tentang hal ini.
Persoalannya adalah apakah benar kita sudah melakukannya di dalam kehidupan kita. Atau apakah menahan nafsu biologis makan dan minum sudah menjadi kebudayaan kita atau menjadi kenyataan di dalam kehidupan kita. Ini merupakan pertanyaan umum yang saya kira bisa ditanyakan kepada diri kita di tengah suasana pelatihan menahan nafsu biologis ini.
Secara umum, semua orang yang berpuasa pastilah bisa menahan makan dan minum dan juga nafsu syahwat. Tiga larangan ini sudah menjadi pengetahuan semua orang yang berpuasa. Soal lainnya, misalnya menahan menggunjingkan orang, berkata kasar yang menyakiti orang, tingkah laku yang tidak menyenangkan, bahkan terbersit niat untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam mungkin masih tanda tanya. Namun secara umum yang terkait dengan hal-hal yang fisikal tentu masih bisa dilakukan.
Sebagai salah satu ajaran yang mendedahkan tentang pentingnya berempati terhadap mereka yang kurang dan tidak beruntung, maka sesungguhnya ada pertanyaan penting yang bisa diajukan, yaitu apakah kita sudah juga mengembangkan sikap tidak berlebihan di dalam mengonsumsi makanan pada malam hari atau kita juga berhemat untuk kepentingan konsumtif lainnya serta hasil penghematan itu lalu diberikan kepada yang sangat membutuhkan. Puasa saya kira tentu sangat menghargai kala kita bisa berhemat dan kemudian hasilnya didayagunakan untuk kepentingan kaum miskin, misalnya.
Sungguh suatu pemandangan yang juga kurang berkaitan dengan perintah untuk hidup sederhana dalam banyak hal, misalnya dalam hal makan, yaitu dengan ramainya rumah-rumah makan berkelas dengan tarif berkelas juga. Kalau kita jalan di berbagai Mall dan hotel yang di situ ada rumah makannya, maka kita akan bisa melihat bagaimana ramainya pengunjung dengan indikasi mereka berbuka puasa, misalnya dari cara berpakaian, dan saat menunggu waktu berbuka.
Semua ini memberikan gambaran bahwa justru bulan puasa menjadi bulan yang memperkuat “kesadaran” berkuliner di rumah-rumah makan berkelas. Mungkin ada yang berpikir hal ini dilakukan setahun sekali, sehingga dianggapnya hal yang lumrah atau biasa. Jika yang berpikir hal lumrah sedikit, mungkin masih bisa ditolelir, namun jika yang berpikir seperti itu banyak berarti bahwa akan terjadi peluberan orang yang memanfaatkan rumah makan berkelas di bulan puasa.
Saya yakin bahwa ada di antara kita yang berpandangan bahwa puasa itu setahun sekali, dan menahan nafsu makan selama 12 jam itu juga perjuangan yang berat, maka ketika datang malam hari, maka semuanya seakan mau dimakan atau diminum. Makanya, konsumsi gula, buah-buahan, daging dan makanan kaleng lainnya juga meningkat di bulan puasa.
Pemerintah juga mengantisipasi lonjakan kebutuhan sembilan bahan pokok di bulan puasa. Permintaan terhadap produk-produk makanan menjadi sangat meningkat di bulan puasa. Hal ini menandakan bahwa terjadi lonjakan komsumsi terhadap kebutuhan bahan makanan. Bagi yang melakukannya tentu bukanlah hal yang salah. Sebab untuk mau makan atau minum di manapun tentu merupakan hak bagi setiap individu. Mau makan di rumah saja juga tidak ada masalah. Hal ini juga menyangkut selera dan kemauan yang bersangkutan.
Namun demikian, menghadapi bulan puasa yang oleh orang Jawa dianggap sebagai “bulan tirakat” maka semestinya kita juga membatasi agar pemenuhan nafsu biologis ini tidak diumbar sedemikian rupa. Harus ada etika untuk menghormati bulan puasa sebagai bulan yang penuh makna dengan benar-benar memanej pemenuhan nafsu biologis secara ketat dan terkendali.
Kata kuncinya adalah pengendalian diri ini. Melalui ajaran puasa sebenarnya kita tidak hanya diajari untuk tidak makan dan minum di siang hari serta berhubungan seks di siang hari. Bukan hanya ini, akan tetapi yang juga penting adalah bagaimana kita memanej kebutuhan biologis (makan dan minum) di malam hari dengan cara mengatur sesuai dengan pemenuhan kebutuhan secara proporsional.
Jadi puasa juga mengatur agar kita bisa berhemat dalam pemenuhan kebutuhan biologis (makan dan minum) dan hasilnya bisa didayagunakan untuk memberikan “kesenangan” kepada orang lain yang belum beruntung di dalam kehidupannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
PUASA DAN RASA KEMANUSIAAN (14)
Rasa kemanusiaan sesungguhnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Rasa kemanusiaan menjadi bagian yang seharusnya mendasari setiap kehidupan manusia. Orang yang memiliki rasa kemanusiaan tentulah orang yang sudah “menjadi” manusia.
Di dalam tradisi Jawa disebutkan seseorang sudah menjadi bagian dari kebudayaan Jawa, jika yang bersangkutan sudah menjadi Jawa atau “wis njawani” atau “wis dadi wong Jowo”. Konsep “menjadi” artinya bukan sesuatu yang given akan tetapi melalui proses pembudayaan di tengah-tengah kehidupan yang sebenarnya.
Makanya, seseorang juga akan memiliki “rasa” kemanusiaan jika yang bersangkutan telah memiliki segala sifat yang terkait dengan kemanusiaan. Di antara sifat yang bercorak kemanusiaan adalah jika yang bersangkutan memiliki konsistensi dalam membangun kerukunan dan keselamatan. Konsep ini bukan sesuatu yang diberi, akan tetapi melalui proses usaha atau pembudayaan.
Ada dimensi yang sangat luas terkait dengan konsep kerukunan ini. Kerukunan bukanlah hasil saja, akan tetapi juga mengandung proses yang jelas. Di dalam konteks ini, maka kerukunan memiliki cakupan antara lain adalah adanya kesepahaman, keselarasan dan harmoni yang dibangun di atas prinsip tidak saling melukai dan memaksakan.
Kesepahaman bukanlah hal yang mudah dicapai, sebab di dalamnya mengandung prinsip yang utama adalah bertemunya mindset dan tindakan untuk saling bersama. Seseorang dengan lainnya bisa bertemu, akan tetapi bisa tidak dalam kebersamaan. Orang bisa berada di dalam satu forum yang sama, akan tetapi belum tentu ada kebersamaan. Oleh karena itu, kebersamaan hanya akan bisa didapatkan kala yang bersangkutan bertemu mindsetnya.
Di sisi lain, kebersamaan bisa juga didasarkan pada kesamaan hati dan perasaan. Bertemunya hati dan perasaan akan membangun kekokohan kebersamaan dimaksud. Dengan demikian, jika seseorang dengan lainnya sudah memiliki kesamaan mindset dan hati serta perasaan, maka mereka akan menjadi bukan sekedar kawan akan tetapi sahabat.
Di dalam konteks ajaran Islam, didapatkan ungkapan bahwa “kita akan mengikuti pada apa yang kita cintai” atau “anta ma’a man ahbabta”. Mencintai tentu merupakan bertemunya mindset, hati dan perasaan dimaksud. Itulah sebabnya Islam mengajarkan agar kita berkumpul dengan orang shaleh tentunya adalah disebabkan dengan berada di lingkungan orang saleh, maka kita akan bisa meneladani kesalehan yang mereka tampilkan.
Puasa mengajarkan agar kita memiliki seperangkat mindset dan hati yang bisa merasakan derita orang lain. Puasa dapat menjadi sarana untuk membangun empati kita dengan orang lain. Puasa bisa menjadi instrumen untuk mengembangkan sikap memahami derita orang lain. Puasa hakikatnya adalah sarana untuk menggembleng rasa kemanusiaan kita.
Adakah kita selalu berempati terhadap orang yang terpinggirkan secara ekonomi, terpinggirkan secara geografis, terpinggirkan secara kekuasaan dan sebagainya. Atau yang lebih riil apakah kita selalu berempati terhadap orang yang kekurangan makan karena kemiskinannya. Inilah ukuran sederhana tentang bagaimana puasa itu akan menyadarkan kita tentang penggemblengan kepekaan social kita.
Adakah selalu kita sisihkan penghasilan kita untuk kepentingan membantu individu atau organisasi yang membutuhkan bantuan untuk perluasan kegiatan atau program yang bersearah dengan pengentasan kemiskinan atau menguatkan SDM berpendidikan dari mereka yang terpinggirkan secara ekonomi.
Jika jawabannya bahwa kita telah melakukannya meskipun dalam kapasitas yang terbatas, maka berarti kita telah memiliki basis kepekaan social yang lumayan baik. Jika kita sudah menyisihkan penghasilan kita sebagian kecil untuk membantu yang kekurangan, maka berarti bahwa kita sudah memiliki dedikasi bagi kebaikan umat.
Oleh karena itu, sesungguhnya puasa dapat menjadi instrument untuk menguatkan kesadaran kita agar bisa menjadi yang terbaik melalui peningkatan kesadaran untuk menolong dan memberikan jalan keluar bagi kesulitan orang lain. Puasa merupakan cara Allah untuk mengajari kita akan arti lapar, dahaga dan menahan nafsu lainnya di waktu siang hari. Makanya, orang yang puasa akan terlatih untuk berempati terhadap kesulitan orang lain.
Dengan demikian, orang yang berpuasa selama sebulan penuh dan hal itu dilakukannya dengan keikhlasan dan kesungguhan, maka akan berdampak pada peningkatan kadar empati terhadap orang lain yang sedang menerima nasib kurang atau tidak baik.
Allah mengajarkan bahwa: “hendaklah kita saling tolong menolong di dalam kebaikan”. Orang yang berpuasa akan mewujudkan di dalam dirinya kesadaran untuk menolong mereka yang sedang dirundung derita.
Wallahu a’lam bi al shawab.
PUASA DAN KEMANUSIAAN KITA (13)
Yang diharapkan di dalam ibadah puasa sesungguhnya adalah menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah swt. Siapapun orangnya, apakah berkulit hitam, putih, cokelat atau kuning, maka yang diharapkan dengan melakukan puasa adalah untuk menjadi orang yang bertaqwa itu.
Saya tidak akan menguraikan pengertian taqwa sebab sudah banyak khatib dan penulis yang menjelaskan mengenai pesan taqwa itu. Intinya adalah keyakinan, kepatuhan dan kepasrahan hanya kepada Allah semata. Tidak ada yang lain. Jadi taqwa adalah bentuk kepatuhan, kepasrahan berbasis pada keyakinan hanya ada Allah dzat yang Maha Esa dan tidak ada yang lain.
La ilaha illa Allah. Tidak ada Illah kecuali Allah swt. Makanya di dalam persaksian kita bahwa “saya bersaksi bahwa tidak ada illah kecuali Allah”. Hal ini mengandung makna bahwa sesungguhnya banyak Illah yang dikonstruksi manusia atas apa yang diyakininya, akan tetapi di dalam konteks Islam yang “Ada” hanyalah Allah swt.
Jadi sebenarnya makna hidup adalah pada bagaimana kita meyakini hanya ada Allah “maliki yaum al din”, yang hanya Allahlah yang berkuasa atas segala sesuatu di seluruh jagad raya dan alam lain sesudahnya, lalu kita membangun kepatuhan untuk menjalankan semua pedoman hidup yang diberikannya. Dan yang sangat penting percaya bahwa hanya Allah yang menentukan segalanya di dalam hidup ini.
Pasrah merupakan sikap dan tindakan untuk menyerahkan semua yang dilakukan dan dialami hanya untuk Allah semata. Dengan pikirannya dan juga hatinya. Seluruhnya diserahkan kepada Allah tanpa ada keraguan sedikitpun. Hati dan pikirannya begitu yakin bahwa semua yang terjadi adalah semata-mata karena dan ditentukan Allah. Tidak ada sesuatu yang tercecer dari ketentuan Allah. Daun jatuh dari batang pohon juga karena takdir Allah.
Semua perbuatan manusia hakikatnya juga takdir Allah. Tidak ada sedikitpun yang dilakukan oleh manusia tanpa diketahuinya. Baik dan buruk perilaku manusia semuanya di dalam control Allah. Bagaimana orang akan pasrah kepada Allah jika orang itu tidak meyakini bahwa semuanya adalah takdir Allah.
Memang kita dimintanya untuk mensyiarkan agamanya dalam konteks “amar ma’ruf nahi mungkar” atau menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat kejelekan. Namun demikian, koridornya tetap saja pada dimensi keyakinan, kepatuhan dan kepasrahan kepada Allah semata. Makanya, di dalam menyebarkan ajaran Islam selalu mengandung konteks “bil hikmah” atau dengan kebijakan dan kebajikan.
Tujuan hidup adalah untuk memakmurkan kehidupan masyarakat, baik yang bersifat fisikal maupun spiritual. Jika kita runut dengan ajaran untuk menyebarkan ajaran agama, lalu ketaqwaan yang kita miliki, serta tujuan hidup manusia, maka relasinya terletak pada keinginan untuk membangun kehidupan yang penuh dengan kerahmatan.
Di dalam konteks kerahmatan tersebut, maka terdapat di dalamnya rasa dan kenyataan tentang keselamatan dan kebahagiaan. Oleh karena itu Allah mengajarkan bahwa orang yang bisa mengamalkan ajaran agamanya dengan kerahmatan, maka sesungguhnya yang bersangkutan telah menyebarkan keselamatan dan kebahagiaan bagi orang lain.
Puasa mengajarkan kepada kita tentang bagaimana membangun keimanan, kepatuhan dan kepasrahan tersebut. Melalui konsepsi larangan melakukan perbuatan yang tidak relevan dengan tujuan puasa, maka manusia sungguh diajarkan agar menjaga keimanan, kepatuhan dan kepasrahannya hanya kepada Allah semata.
Apa artinya menahan makan, minum dam relasi seksual di siang hari, jika hal itu tidak dimaksudkan untuk melatih manusia agar di dalam dirinya terdapat control yang kuat atas hawa nafsunya. Makanya orang yang bisa menahan nafsunya selama bulan Ramadlan tentu diharapkan akan dapat berpengaruh signifikan pada bulan, tahun dan masa-masa sesudahnya.
Semua umat Islam tentu mengharapkan bahwa puasanya merupakan jalan untuk menempuh kehidupan yang lebih baik yang ditandai dengan makin beriman, makin patuh dan makin pasrah kepada Allah.
Jika hal ini bisa dicapai maka berbagai penyakit diri dan sosial yang difasilitasi oleh hawa nafsu kebinatangan, akan dapat dieliminasi secara memadai. Manusia akan berada di dalam level mengayuh di antara kal malaikat dan kal insan dan bukan kal hayawan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
PUASA DAN PERASAAN KEMANUSIAAN (12)
Sungguh terkadang menjadi pertanyaan kita, apakah yang kita inginkan di dalam kehidupan kita ini? Apakah kita akan memaksa setiap orang agar menuruti kemauan kita? Ataukah kita akan mentoleransi terhadap yang lain sebebas-bebasnya atau memberikan pedoman bersama atau norma yang mengikat di antara kita untuk saling menghargai.
Sejumput pertanyaan ini sebenarnya bisa mengusik kemanusiaan kita dan sekaligus juga mengusik keberagamaan kita. Melalui pertanyaan ini sekurang-kurangnya akan menjadi bahan renungan kita tentang kehidupan kita dan juga keberagamaan kita, sehingga kita akan menjadi lebih arif di dalam relasi kita dengan sesama manusia lainnya dalam variasi kesukuan, keagamaan dan keetnisan kita.
Itulah sebabnya di tulisan terdahulu saya kutip ayat al Qur’an dalam terjemahan bebasnya, bahwa Tuhan tidak pernah memaksa kita ini untuk beragama apa, dalam bentuk statemen “la Ikraha fi aldin” atau artinya “tidak ada paksaan dalam beragama”. Alangkah indahnya firman Tuhan ini yang memberikan gambaran bahwa beragama itu menjadi domain manusia untuk memilihnya setelah semua petunjuk diberikan kepadanya.
Bahkan beragama saja tidak boleh dipaksakan. Allah memberikan peluang kepada umatnya untuk memasuki agama yang sudah ada. Bisa menjadi Yahudi, Nasrani dan Islam. Semua adalah pilihan yang bisa dilakukan oleh manusia atas berbagai alternative agama-agama tersebut. Jika Allah ingin menjadikan semua beragama Islam, pasti Allah mampu melakukannya. Allah adalah dzat yang Maha Kuasa dan hanya dengan kalamnya “kun fayakun”, maka semua pasti terjadi.
Tetapi Allah tidak menginginkannya. Itu artinya Allah memberikan peluang bagi manusia untuk memiliki agama apa saja setelah semua petunjuknya diberikan. Allah sudah mengutus Nabinya, dan terakhir adalah Nabi Muhammad saw. Maka konsekuensinya adalah pasca kenabian Muhammad saw, maka agama yang diikuti seharusnya adalah Islam. Jika tidak seperti itu, maka tentu terjadi “kesalahan”.
Di sinilah keadilan Allah. Oleh karena itu lalu Allah menciptakan surga dan neraka tentu terkait dengan pilihan-pilihan jalan itu. Ibarat ada lima jalan bercabang dari satu jalan besar, maka orang harus memilih satu jalan saja agar sampai kepada tujuannya. Peta jalan sudah diberikan sehingga kala ada orang yang memilih berbeda dengan peta jalan dimaksud, maka dia akan tersesat dan tidak sampai kepada tujuannya, yaitu Allah swt.
Kitab suci itu ibarat jalan. Ada jalan lama yang harus direnovasi. Maka jalan lama itu tentu sudah tidak ada lagi. Secara fisikal sudah digantikan oleh yang baru. Nama jalan pun diubah dan bahkan dibuat rambu-rambu baru. Itulah sebabnya, agama Ibrahim atau Millah Ibrahim itu memiliki kesamaan meskipun ada yang berbeda. Al Qur’an juga memberikan adaptasi terhadap beberapa aspek di dalam ajaran agama-agama sebelumnya sebagaimana tertuang di dalam “Millata Ibrahima hanifa.”
Sesungguhnya Allah mengajarkan agar manusia memilih mana yang benar dan mana yang salah. Doa kita adalah “tunjukanlah kami jalan yang benar dan beri kami kekuatan untuk megikutinya dan tunjukkan kami jalan yang salah dan berikan kami kekuatan untuk menjauhinya”. Alangkah indahnya doa ini. Kita selalu meminta kepada Allah agar ajaran agama yang sudah dipeluknya terus akan memberikan bimbingan kepadanya dan agar Allah memberikan petunjuknya.
Inilah keutamaan ajaran Islam, memberi peluang (sebab memiliki akal untuk memilih), memberikan peluang untuk terus mendekat kepada Allah (sebab memiliki hati untuk merasakan kehadirannya) dan terus berdoa dan berharap (karena memiliki kesamaan spiritual yang bersumber dari Allah). Melalui kekuatan ini, maka Allah sungguh menjadikan manusia sebagai makhluk yang sempurna yang melebihi semua ciptaan Allah.
Ajaran puasa juga menggambarkan bahwa tradisi puasa itu ada di dalam agama-agama sebelumnya, yaitu Yahudi dan Nasrani. Hanya pola dan modelnya yang berbeda. Baik di dalam agama Yahudi maupun Nasrani, maka puasa itu juga mencegah dari beberapa makanan dan minuman dan sebagainya sebagaimana tertuang di dalam ajaran agama tersebut.
Mungkin bukan kesepadanan yang cocok, akan tetapi saya kira bahwa di dalam hal berpuasa, maka Allah tentu tidak menghendaki agar semua kegiatan kemanusiaan terhenti karena harus berpuasa. Dengan demikian, tetap ada varian-varian lain yang berbeda dan itu sebenarnya juga merupakan pilihan-pilihan yang diberikan oleh Allah.
Seorang pengusaha makanan, bisa memilih mana yang terbaik bagi dirinya. Jika berdasarkan pandangan pikirannya (yang selalu berpikir untung rugi) berdagang makanan di siang hari itu menguntungkan tentu Allah memberikan peluang untuk melakukannya.
Akan tetapi ada pilihan lain yang tentu terbaik (bersumber dari spiritualitas) yaitu jika yang bersangkutan melakukannya dalam kadar yang memenuhi standar etika dan terbaik di dalam pandangan agama. Ia tidak berdagang di siang hari sampai jam memungkinkan untuk melakukannya dan rizki itu Allah yang mengaturnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
PUASA DAN PERASAAN KEMANUSIAAN (11)
Bagaimana seharusnya kita berperilaku terhadap orang lain dengan berbagai variannya di bulan puasa? Inilah pertanyaan penting yang perlu rasanya kita jawab bersama terkait dengan amaliyah ramadlan yang akan selalu kita lakukan setiap tahun.
Sebagaimana diketahui bahwa ibadah puasa memang memiliki dimensi personal dalam kaitannya dengan relasinya dengan Tuhan, Allah swt. Berbeda dengan shalat yang dilakukan secara berjamaah, maka puasa sungguh-sungguh merupakan ibadah personal yang dilakukan oleh seseorang, sehingga yang seharusnya tahu akan ibadahnya adalah dia dan Allah.
Saya ingin menegaskan bahwa orang bisa saja berpura-pura puasa dan bisa juga sebaliknya. Meskipun sulit dideteksi. Tetapi yang jelas bahwa ibadah puasa memiliki kekhasannya sendiri di tengah ibadah-ibadah lainnya yang memang kasat mata bagi orang lain. Shalat, zakat dan haji adalah contoh ibadah yang bisa dilihat oleh orang lain.
Bulan puasa merupakan bulan yang disucikan oleh Allah sebagai bulan untuk beribadah yang khas ini. Itulah sebabnya ibadah puasa juga dianggap sebagai ibadah untuk menandai kepatuhan dan kepasrahan kita kepada Allah. Hanya orang yang patuh dan pasrah saja yang mau beribadah dengan cara berlapar-lapar, berdahaga-dahaga dan harus mengekang segala nafsu yang membatalkan puasa.
Berbasis pada bulan yang disucikan dan menjadi ajang untuk pegabdian total kepada Allah melalui puasa ini, maka kemudian muncul suatu tradisi agar bulan ini dan orang yang berpuasa di bulan ini dihormati, sebagai bentuk penghormatan kepada kesucian bulan Romadlon. Makanya, semenjak dahulu setiap bulan puasa lalu muncul berbagai spanduk di masjid, di mushalla, di ruang terbuka, di kantor dan juga di jalan-jalan permohonan agar masyarakat menghormati bulan puasa.
Tradisi ini telah berjalan dalam kurun waktu yang panjang dan dipahami oleh segenap masyarakat Indonesia. Kegiatan seperti ini rutin dilakukan setiap tahun, sehingga rasanya di masa lalu tidak ada benturan apapun yang terkait dengan pelaksanaan bulan puasa. Masyarakat begitu memahami akan arti pesan ini. Yaitu “orang yang tidak berpuasa menghormati yang berpuasa”.
Problema kemudian muncul kala lalu ada pertanyaan, “bagaimana orang yang berpuasa juga menghormati kepada yang tidak berpuasa”. Pertanyaan inilah yang kemudian menjadi polemic yang memicu banyak persoalan terkait dengan penghormatan demi penghormatan terhadap bulan puasa ini.
Polemic ini yang memicu berbagai perspektif mulai dari sisi humanism, bahkan syar’i. Di antara mereka yang syar’iyah minded, maka menghormati orang berpuasa menjadi wajib dilakukan. Sementara mereka yang cenderung dengan pikiran humanism lalu menganggap bahwa yang tidak berpuasa juga perlu dihormati. Jadi lalu membentuk dua kutub yang seakan saling berhadapan.
Padahal sebenarnya urusan saling menghormati itu sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat kita. Secara sosiologis, masyarakat Indonesia sangat dikenal dengan sikapnya yang saling menghormati, memberikan toleransi dan saling menjaga kerukunan. Oleh karena itu, sebenarnya secara normative bahwa saling menghormati sudahlah menjadi pattern for behavior masyarakat kita.
Di masa lalu, baik yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa selalu saling menghoramti. Antara satu dengan yang lain tidak saling menyalahkan dan mempermasalahkan. Ada semacam kesadaran bersama untuk menjaga agar yang berpuasa merasa nyaman dengan puasanya karena yang tidak berpuasa menghormatinya dan yang tidak berpuasa juga merasa nyaman karena yang berpuasa memberikan peluang untuk melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh orang yang tidak berpuasa.
Bukankah dulu warung makan atau restoran bisa dibuka tetapi dengan memberikan tirai sehingga tempat itu menjadi tertutup dan aktivitas orang di dalamnya tidak transparan kelihatan dari luar. Tidak ada juga ada batasan jam berapa harus buka atau tutup tentang warung atau restoran tersebut. Selama di situ terdapat tirai yang memberikan kepantasan, maka saat itu pula tidak ada halangan untuk membuka rumah makan.
Bukankah dengan cara seperti ini, maka seluruh problem tentang carut marut persoalan hormat menghormati bisa diselesaikan dengan kesepahaman. Kita tidak bisa memaksa agar orang menghentikan kegiatan ekonominya. Kita tidak bisa memaksa orang untuk sama dengan kita, atau kita tidak bisa memaksa orang agar semua berpuasa. Makanya, harus ditemukan kesepahaman agar semua merasa saling dihormati.
Jadi kita akan mendapatkan penghormatan jika kita menghormati orang lain. Jika kita memaksa orang lain untuk menghormati kita, maka kita tidak akan memperoleh kehormatan itu. Penghormatan hanya akan didapatkan dari ketulusikhlasan satu dengan lainnya.
Penghormatan yang dipaksakan hanya akan menghasilkan kehormatan semu, maka agar kita memperoleh kehormatan yang hakiki, maka yang mendasar adalah dengan kita saling memberikan kehormatan tersebut kepada lainnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.