• March 2025
    M T W T F S S
    « Feb    
     12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    24252627282930
    31  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA DAN PERASAAN KEMANUSIAAN (11)

PUASA DAN PERASAAN KEMANUSIAAN (11)
Bagaimana seharusnya kita berperilaku terhadap orang lain dengan berbagai variannya di bulan puasa? Inilah pertanyaan penting yang perlu rasanya kita jawab bersama terkait dengan amaliyah ramadlan yang akan selalu kita lakukan setiap tahun.
Sebagaimana diketahui bahwa ibadah puasa memang memiliki dimensi personal dalam kaitannya dengan relasinya dengan Tuhan, Allah swt. Berbeda dengan shalat yang dilakukan secara berjamaah, maka puasa sungguh-sungguh merupakan ibadah personal yang dilakukan oleh seseorang, sehingga yang seharusnya tahu akan ibadahnya adalah dia dan Allah.
Saya ingin menegaskan bahwa orang bisa saja berpura-pura puasa dan bisa juga sebaliknya. Meskipun sulit dideteksi. Tetapi yang jelas bahwa ibadah puasa memiliki kekhasannya sendiri di tengah ibadah-ibadah lainnya yang memang kasat mata bagi orang lain. Shalat, zakat dan haji adalah contoh ibadah yang bisa dilihat oleh orang lain.
Bulan puasa merupakan bulan yang disucikan oleh Allah sebagai bulan untuk beribadah yang khas ini. Itulah sebabnya ibadah puasa juga dianggap sebagai ibadah untuk menandai kepatuhan dan kepasrahan kita kepada Allah. Hanya orang yang patuh dan pasrah saja yang mau beribadah dengan cara berlapar-lapar, berdahaga-dahaga dan harus mengekang segala nafsu yang membatalkan puasa.
Berbasis pada bulan yang disucikan dan menjadi ajang untuk pegabdian total kepada Allah melalui puasa ini, maka kemudian muncul suatu tradisi agar bulan ini dan orang yang berpuasa di bulan ini dihormati, sebagai bentuk penghormatan kepada kesucian bulan Romadlon. Makanya, semenjak dahulu setiap bulan puasa lalu muncul berbagai spanduk di masjid, di mushalla, di ruang terbuka, di kantor dan juga di jalan-jalan permohonan agar masyarakat menghormati bulan puasa.
Tradisi ini telah berjalan dalam kurun waktu yang panjang dan dipahami oleh segenap masyarakat Indonesia. Kegiatan seperti ini rutin dilakukan setiap tahun, sehingga rasanya di masa lalu tidak ada benturan apapun yang terkait dengan pelaksanaan bulan puasa. Masyarakat begitu memahami akan arti pesan ini. Yaitu “orang yang tidak berpuasa menghormati yang berpuasa”.
Problema kemudian muncul kala lalu ada pertanyaan, “bagaimana orang yang berpuasa juga menghormati kepada yang tidak berpuasa”. Pertanyaan inilah yang kemudian menjadi polemic yang memicu banyak persoalan terkait dengan penghormatan demi penghormatan terhadap bulan puasa ini.
Polemic ini yang memicu berbagai perspektif mulai dari sisi humanism, bahkan syar’i. Di antara mereka yang syar’iyah minded, maka menghormati orang berpuasa menjadi wajib dilakukan. Sementara mereka yang cenderung dengan pikiran humanism lalu menganggap bahwa yang tidak berpuasa juga perlu dihormati. Jadi lalu membentuk dua kutub yang seakan saling berhadapan.
Padahal sebenarnya urusan saling menghormati itu sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat kita. Secara sosiologis, masyarakat Indonesia sangat dikenal dengan sikapnya yang saling menghormati, memberikan toleransi dan saling menjaga kerukunan. Oleh karena itu, sebenarnya secara normative bahwa saling menghormati sudahlah menjadi pattern for behavior masyarakat kita.
Di masa lalu, baik yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa selalu saling menghoramti. Antara satu dengan yang lain tidak saling menyalahkan dan mempermasalahkan. Ada semacam kesadaran bersama untuk menjaga agar yang berpuasa merasa nyaman dengan puasanya karena yang tidak berpuasa menghormatinya dan yang tidak berpuasa juga merasa nyaman karena yang berpuasa memberikan peluang untuk melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh orang yang tidak berpuasa.
Bukankah dulu warung makan atau restoran bisa dibuka tetapi dengan memberikan tirai sehingga tempat itu menjadi tertutup dan aktivitas orang di dalamnya tidak transparan kelihatan dari luar. Tidak ada juga ada batasan jam berapa harus buka atau tutup tentang warung atau restoran tersebut. Selama di situ terdapat tirai yang memberikan kepantasan, maka saat itu pula tidak ada halangan untuk membuka rumah makan.
Bukankah dengan cara seperti ini, maka seluruh problem tentang carut marut persoalan hormat menghormati bisa diselesaikan dengan kesepahaman. Kita tidak bisa memaksa agar orang menghentikan kegiatan ekonominya. Kita tidak bisa memaksa orang untuk sama dengan kita, atau kita tidak bisa memaksa orang agar semua berpuasa. Makanya, harus ditemukan kesepahaman agar semua merasa saling dihormati.
Jadi kita akan mendapatkan penghormatan jika kita menghormati orang lain. Jika kita memaksa orang lain untuk menghormati kita, maka kita tidak akan memperoleh kehormatan itu. Penghormatan hanya akan didapatkan dari ketulusikhlasan satu dengan lainnya.
Penghormatan yang dipaksakan hanya akan menghasilkan kehormatan semu, maka agar kita memperoleh kehormatan yang hakiki, maka yang mendasar adalah dengan kita saling memberikan kehormatan tersebut kepada lainnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..