PUASA DAN PERASAAN KEMANUSIAAN (12)
PUASA DAN PERASAAN KEMANUSIAAN (12)
Sungguh terkadang menjadi pertanyaan kita, apakah yang kita inginkan di dalam kehidupan kita ini? Apakah kita akan memaksa setiap orang agar menuruti kemauan kita? Ataukah kita akan mentoleransi terhadap yang lain sebebas-bebasnya atau memberikan pedoman bersama atau norma yang mengikat di antara kita untuk saling menghargai.
Sejumput pertanyaan ini sebenarnya bisa mengusik kemanusiaan kita dan sekaligus juga mengusik keberagamaan kita. Melalui pertanyaan ini sekurang-kurangnya akan menjadi bahan renungan kita tentang kehidupan kita dan juga keberagamaan kita, sehingga kita akan menjadi lebih arif di dalam relasi kita dengan sesama manusia lainnya dalam variasi kesukuan, keagamaan dan keetnisan kita.
Itulah sebabnya di tulisan terdahulu saya kutip ayat al Qur’an dalam terjemahan bebasnya, bahwa Tuhan tidak pernah memaksa kita ini untuk beragama apa, dalam bentuk statemen “la Ikraha fi aldin” atau artinya “tidak ada paksaan dalam beragama”. Alangkah indahnya firman Tuhan ini yang memberikan gambaran bahwa beragama itu menjadi domain manusia untuk memilihnya setelah semua petunjuk diberikan kepadanya.
Bahkan beragama saja tidak boleh dipaksakan. Allah memberikan peluang kepada umatnya untuk memasuki agama yang sudah ada. Bisa menjadi Yahudi, Nasrani dan Islam. Semua adalah pilihan yang bisa dilakukan oleh manusia atas berbagai alternative agama-agama tersebut. Jika Allah ingin menjadikan semua beragama Islam, pasti Allah mampu melakukannya. Allah adalah dzat yang Maha Kuasa dan hanya dengan kalamnya “kun fayakun”, maka semua pasti terjadi.
Tetapi Allah tidak menginginkannya. Itu artinya Allah memberikan peluang bagi manusia untuk memiliki agama apa saja setelah semua petunjuknya diberikan. Allah sudah mengutus Nabinya, dan terakhir adalah Nabi Muhammad saw. Maka konsekuensinya adalah pasca kenabian Muhammad saw, maka agama yang diikuti seharusnya adalah Islam. Jika tidak seperti itu, maka tentu terjadi “kesalahan”.
Di sinilah keadilan Allah. Oleh karena itu lalu Allah menciptakan surga dan neraka tentu terkait dengan pilihan-pilihan jalan itu. Ibarat ada lima jalan bercabang dari satu jalan besar, maka orang harus memilih satu jalan saja agar sampai kepada tujuannya. Peta jalan sudah diberikan sehingga kala ada orang yang memilih berbeda dengan peta jalan dimaksud, maka dia akan tersesat dan tidak sampai kepada tujuannya, yaitu Allah swt.
Kitab suci itu ibarat jalan. Ada jalan lama yang harus direnovasi. Maka jalan lama itu tentu sudah tidak ada lagi. Secara fisikal sudah digantikan oleh yang baru. Nama jalan pun diubah dan bahkan dibuat rambu-rambu baru. Itulah sebabnya, agama Ibrahim atau Millah Ibrahim itu memiliki kesamaan meskipun ada yang berbeda. Al Qur’an juga memberikan adaptasi terhadap beberapa aspek di dalam ajaran agama-agama sebelumnya sebagaimana tertuang di dalam “Millata Ibrahima hanifa.”
Sesungguhnya Allah mengajarkan agar manusia memilih mana yang benar dan mana yang salah. Doa kita adalah “tunjukanlah kami jalan yang benar dan beri kami kekuatan untuk megikutinya dan tunjukkan kami jalan yang salah dan berikan kami kekuatan untuk menjauhinya”. Alangkah indahnya doa ini. Kita selalu meminta kepada Allah agar ajaran agama yang sudah dipeluknya terus akan memberikan bimbingan kepadanya dan agar Allah memberikan petunjuknya.
Inilah keutamaan ajaran Islam, memberi peluang (sebab memiliki akal untuk memilih), memberikan peluang untuk terus mendekat kepada Allah (sebab memiliki hati untuk merasakan kehadirannya) dan terus berdoa dan berharap (karena memiliki kesamaan spiritual yang bersumber dari Allah). Melalui kekuatan ini, maka Allah sungguh menjadikan manusia sebagai makhluk yang sempurna yang melebihi semua ciptaan Allah.
Ajaran puasa juga menggambarkan bahwa tradisi puasa itu ada di dalam agama-agama sebelumnya, yaitu Yahudi dan Nasrani. Hanya pola dan modelnya yang berbeda. Baik di dalam agama Yahudi maupun Nasrani, maka puasa itu juga mencegah dari beberapa makanan dan minuman dan sebagainya sebagaimana tertuang di dalam ajaran agama tersebut.
Mungkin bukan kesepadanan yang cocok, akan tetapi saya kira bahwa di dalam hal berpuasa, maka Allah tentu tidak menghendaki agar semua kegiatan kemanusiaan terhenti karena harus berpuasa. Dengan demikian, tetap ada varian-varian lain yang berbeda dan itu sebenarnya juga merupakan pilihan-pilihan yang diberikan oleh Allah.
Seorang pengusaha makanan, bisa memilih mana yang terbaik bagi dirinya. Jika berdasarkan pandangan pikirannya (yang selalu berpikir untung rugi) berdagang makanan di siang hari itu menguntungkan tentu Allah memberikan peluang untuk melakukannya.
Akan tetapi ada pilihan lain yang tentu terbaik (bersumber dari spiritualitas) yaitu jika yang bersangkutan melakukannya dalam kadar yang memenuhi standar etika dan terbaik di dalam pandangan agama. Ia tidak berdagang di siang hari sampai jam memungkinkan untuk melakukannya dan rizki itu Allah yang mengaturnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.