• March 2025
    M T W T F S S
    « Feb    
     12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    24252627282930
    31  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA DAN KEMANUSIAAN KITA (13)

PUASA DAN KEMANUSIAAN KITA (13)
Yang diharapkan di dalam ibadah puasa sesungguhnya adalah menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah swt. Siapapun orangnya, apakah berkulit hitam, putih, cokelat atau kuning, maka yang diharapkan dengan melakukan puasa adalah untuk menjadi orang yang bertaqwa itu.
Saya tidak akan menguraikan pengertian taqwa sebab sudah banyak khatib dan penulis yang menjelaskan mengenai pesan taqwa itu. Intinya adalah keyakinan, kepatuhan dan kepasrahan hanya kepada Allah semata. Tidak ada yang lain. Jadi taqwa adalah bentuk kepatuhan, kepasrahan berbasis pada keyakinan hanya ada Allah dzat yang Maha Esa dan tidak ada yang lain.
La ilaha illa Allah. Tidak ada Illah kecuali Allah swt. Makanya di dalam persaksian kita bahwa “saya bersaksi bahwa tidak ada illah kecuali Allah”. Hal ini mengandung makna bahwa sesungguhnya banyak Illah yang dikonstruksi manusia atas apa yang diyakininya, akan tetapi di dalam konteks Islam yang “Ada” hanyalah Allah swt.
Jadi sebenarnya makna hidup adalah pada bagaimana kita meyakini hanya ada Allah “maliki yaum al din”, yang hanya Allahlah yang berkuasa atas segala sesuatu di seluruh jagad raya dan alam lain sesudahnya, lalu kita membangun kepatuhan untuk menjalankan semua pedoman hidup yang diberikannya. Dan yang sangat penting percaya bahwa hanya Allah yang menentukan segalanya di dalam hidup ini.
Pasrah merupakan sikap dan tindakan untuk menyerahkan semua yang dilakukan dan dialami hanya untuk Allah semata. Dengan pikirannya dan juga hatinya. Seluruhnya diserahkan kepada Allah tanpa ada keraguan sedikitpun. Hati dan pikirannya begitu yakin bahwa semua yang terjadi adalah semata-mata karena dan ditentukan Allah. Tidak ada sesuatu yang tercecer dari ketentuan Allah. Daun jatuh dari batang pohon juga karena takdir Allah.
Semua perbuatan manusia hakikatnya juga takdir Allah. Tidak ada sedikitpun yang dilakukan oleh manusia tanpa diketahuinya. Baik dan buruk perilaku manusia semuanya di dalam control Allah. Bagaimana orang akan pasrah kepada Allah jika orang itu tidak meyakini bahwa semuanya adalah takdir Allah.
Memang kita dimintanya untuk mensyiarkan agamanya dalam konteks “amar ma’ruf nahi mungkar” atau menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat kejelekan. Namun demikian, koridornya tetap saja pada dimensi keyakinan, kepatuhan dan kepasrahan kepada Allah semata. Makanya, di dalam menyebarkan ajaran Islam selalu mengandung konteks “bil hikmah” atau dengan kebijakan dan kebajikan.
Tujuan hidup adalah untuk memakmurkan kehidupan masyarakat, baik yang bersifat fisikal maupun spiritual. Jika kita runut dengan ajaran untuk menyebarkan ajaran agama, lalu ketaqwaan yang kita miliki, serta tujuan hidup manusia, maka relasinya terletak pada keinginan untuk membangun kehidupan yang penuh dengan kerahmatan.
Di dalam konteks kerahmatan tersebut, maka terdapat di dalamnya rasa dan kenyataan tentang keselamatan dan kebahagiaan. Oleh karena itu Allah mengajarkan bahwa orang yang bisa mengamalkan ajaran agamanya dengan kerahmatan, maka sesungguhnya yang bersangkutan telah menyebarkan keselamatan dan kebahagiaan bagi orang lain.
Puasa mengajarkan kepada kita tentang bagaimana membangun keimanan, kepatuhan dan kepasrahan tersebut. Melalui konsepsi larangan melakukan perbuatan yang tidak relevan dengan tujuan puasa, maka manusia sungguh diajarkan agar menjaga keimanan, kepatuhan dan kepasrahannya hanya kepada Allah semata.
Apa artinya menahan makan, minum dam relasi seksual di siang hari, jika hal itu tidak dimaksudkan untuk melatih manusia agar di dalam dirinya terdapat control yang kuat atas hawa nafsunya. Makanya orang yang bisa menahan nafsunya selama bulan Ramadlan tentu diharapkan akan dapat berpengaruh signifikan pada bulan, tahun dan masa-masa sesudahnya.
Semua umat Islam tentu mengharapkan bahwa puasanya merupakan jalan untuk menempuh kehidupan yang lebih baik yang ditandai dengan makin beriman, makin patuh dan makin pasrah kepada Allah.
Jika hal ini bisa dicapai maka berbagai penyakit diri dan sosial yang difasilitasi oleh hawa nafsu kebinatangan, akan dapat dieliminasi secara memadai. Manusia akan berada di dalam level mengayuh di antara kal malaikat dan kal insan dan bukan kal hayawan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..