• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

INSTITUSI KEAGAMAAN SEBAGAI MITRA PEMERINTAH

INSTITUSI KEAGAMAAN SEBAGAI MITRA PEMERINTAH
Saya memperoleh kesempatan untuk memberikan pengarahan pada acara yang diselenggarakan oleh Ditjen Bimas Budha di Hotel Santika, Jakarta (14/08/2016) dengan tema “Sosialisasi Regulasi Tanda Daftar Organisasi Keagamaan pada Ditjen Bimas Budha”.
Hadir pada acara ini adalah Sesdirjen Bimas Budha, dan seluruh pengurus organisasi yang berafiliasi pada Ditjen Bimas Budha. Seluruh pengurus organisasi keagamaan Budha hadir pada acara ini. Di dalam acara pengarahan ini saya menyampaikan dua hal penting terkait dengan bagaimana menguatkan institusi keagamaan khususnya di agama Budha.
Pertama, mengapa kita membutuhkan organisasi. Organisasi tentu sangat penting di dalam kehidupan kita. Organisasi merupakan bagian tidak terpisahkan di dalam kehidupan sosial kita. Organisasi merupakan tempat untuk melakukan sosialisasi diri dan masyarakat. Dengan organisasi maka kita akan memiliki identitas diri.
Meskipun organisasi itu sangat penting di dalam kehidupan kita, namun organisasi itu ibaratnya baju. Warna warni rupanya: ada yang merah, putih, hijau, lurik, dan sebagainya. Itulah sebabnya, baju bisa dilepas jika sudah tidak lagi fungsional dan bisa juga ganti baju baru atau tetap baju lama tetapi dengan jahitan baru dan sebagainya.
Baju itu harus fungsional untuk menutup tubuh kita dan bahkan spiritualitas kita. Oleh karena itu sebaiknya kita tidak bertentangan atau konflik karena organisasi. Sebab isi baju itu pasti sama. Tubuh dan seluruh yang terdapat di dalamnya sama. Ada daging, kulit, otot dan sebagainya. Jika organisasi itu sama dengan baju, maka apakah pentingnya kita berselisih karena organisasi. Bukankah yang lebih penting adalah agama atau spiritualitas di dalam organisasi itu yang harus menjadi pedoman kita untuk merajut kebersamaan. Marilah kita menggunakan filsafat baju tersebut untuk memaknai institusi keagamaan kita.
Kedua, mengapa kita perlu memperkuat organisasi keagamaan. Organisasi keagamaan adalah mitra pemerintah, sehingga kehadirannya merupakan kepanjangan tangan pemerintah untuk menjalankan sebagian fungsi pemerintah yang tidak mampu dijangkaunya. Makanya, peran organisasi keagamaan itu sangat penting.
Menurut saya, ada beberapa variabel untuk memperkuat institusi keagamaan, yaitu: 1) Faktor Kepemimpinan. Organisasi menjadi baik atau tidak tergantung pada pemimpinnya. Untuk itu, maka dibutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan human relation yang baik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro, bahwa seorang pemimpin itu harus ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri andayani. Seorang pemimpin itu harus menjadi teladan yang baik. Dia harus memberikan contoh kerja yang baik. Lalu jika di tengah umatnya dia harus membangun semangat kerja yang unggul. Harus mengajak dan memompa semangat kerja yang tanpa pamrih. Bekerja yang ulet dan optimal. Jika berada di belakang maka pemimpin harus mendorong agar umatnya menjadi terbaik dan mengarahkan umatnya untuk sukses.
2) Factor organisasi dan manajemen. Meskipun organisasi keagamaan, akan tetapi harus dimanaj dengan benar sesuai dengan prinsip manajemen modern. Perhatikan perubahan manajemen sebagaimana disarankan oleh David Burkus dalam bukunya “Under New Management”. Organisasi harus bekerja dengan “plan, do, check and action”. Harus ada perencanaan yang bisa dikerjakan sesuai dengan sasarannya, harus selalu dikontrol di dalam pelaksanaan programnya, dan juga harus ada tindakan perbaikan jika dirasakan ada constrain dan enablingnya.
3) harus jelas regulasi atau anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya. Organisasi yang baik mestilah harus berbasis pada regulasi yang baik. Dengan demikian, jika kita menginginkan kebaikan di dalam institusi kita maka mestinya kita merumuskan regulasi yang baik. Regulasi sebagai pattern for behavior pelaku organisasi, tentunya harus dijadikan sebagai pedoman bersama.
4) penganut organisasi yang responsive terhadap kebutuhan bersama. Di dalam konteks ini, maka kebaikan organisasi juga tergantung kepada sikap dan mental anggotanya. Jika mereka selalu mendukung terhadap kebijakan untuk kebaikan bersama, maka tentu akan dihasilkan kebaikan bersama pula. Harus diingat bahwa tujuan didirikannya organisasi adalah untuk kepentingan kesejahteraan bersama.
Di dalam konteks pemikiran inilah semua pimpinan organisasi diharapkan dapat membawa organisasi mencapai visi dan misi organisasi itu. Jangan kembangkan charisma individu pemimpinnya, akan tetapi kembangkan charisma system organisasinya. Jika yang berkembang adalah charisma pimpinannya, maka kala pemimpin itu pergi, maka hancurlah organisasi itu. Namun jika yang berkembang adalah charisma system organisasinya, maka siapapun pemimpinnya akan tetap membawa kemajuan bagi organisasi dimaksud.
Wallahu a’lam bi al shawab.

DIALOG SEBAGAI PILAR KERUKUNAN BERAGAMA

DIALOG SEBAGAI PILAR KERUKUNAN BERAGAMA
Saya tentu merasa bersyukur bisa bertemu dengan sejumlah tokoh agama Budha dalam acara dialog intern umat Budha yang diselenggarakan di Kantor Kementerian Agama di Jl. Thamrin (10/08/2016). Acara ini dihadiri oleh berbagai elemen di internal agama Budha. Hadir di antaranya adalah Ibu Hartati Murdaya, Pak Arif Harsono, Pak David, Pak Piandi, Bante Jaya Medo, Pak Sugianto, dan sejumlah tokoh agama Budha yang saya tidak bisa menyebutkan satu persatu.
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam agama Budha terdapat Majelis agama, yaitu Walubi dan Ikasi. Dua majelis agama ini merupakan faksi yang telah diakui oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Budha. Jika Walubi merupakan kumpulan sekte-sekte di dalam agama Budha, seperti Hinayana, Budhayana, Niciren, Tantrayana, Trdharma dan sebagainya. Demikian pula Ikasi juga merupakan kumpulan para bhiksu, bhiksuni, bante dan sebagainya dari berbagai sekte di dalam agama Budha.
Jika selama ini dikesankan bahwa di antara dua Majelis Agama ini terdapat rivalitas, akan tetapi di dalam pertemuan itu saya melihat bahwa di antara mereka sebenarnya merupakan partner yang bisa saling mendukung untuk kepentingan pengembangan agama Budha. Di dalam kesempatan ini, saya memaparkan beberapa hal yang saya anggap penting sebagai modal dialog internal umat beragama.
Pertama, pentingnya membangun kerukunan interen umat beragama. Selama ini dikesankan bahwa terjadi rivalitas dan konflik. Akan tetapi sebenarnya mereka berada di dalam konteks kesamaan ajaran. Sesungguhnya yang lebih rumit adalah menyelesaikan problem internal intern umat beragama. Oleh karena itu dialog internal umat beragama juga sangat diperlukan di dalam kerangka mmbangun kebersamaan.
Memang harus disadari bahwa kerukunan merupakan rahmat dan berkah Tuhan yang sangat besar. Kita harus bersyukur bahwa di tengah pluralitas etnik dan agama, di tengah multikulturalitas yang luar biasa ternyata kita masih bisa membangun kebersamaan yang sangat kuat. Jika diibaratkan maka dapat dinyatakan bahwa kita ini justru menjadi kuat karena perbedaan-perbedaan itu. Bayangkan kita ini memiliki etnis yang sangat variatif, memiliki agama yang banyak dan juga kebudayaan yang berbeda-beda, akan tetapi kita tetap bisa bersatu sampai hari ini.
Ibaratnya, saya ini dengan Pak Arif hanya berbeda musim saja ketika lahir. Saya lahir pada saat kemarau sehingga kulit saya lebih gelap, sementara pak Arif lahir pada saat musim penghujan jadi kulitnya lebih cerah. Namun demikian, jika dilihat lebih dalam, tentang daging, darah, saraf, dan infrastruktur tubuh lainnya, pastilah ada kesamaan-kesamaan. Di dalam hal kesamaan inilah yang sesungguhnya harus dikembangkan dan bukan pada perbedaannya.
Selalu saya ungkapkan pernyataan KH. Hasyim Muzadi, bahwa yang sama jangan dibedakan dan yang beda jangan disamakan. Nah kenyataannya, intern umat beragama juga ada kesamaannya dan ada perbedaannya. Yang sama tentu adalah tentang dimensi teologis dan ritualnya – meskipun di dalam ritual juga ada variasinya—namun setidak-tidaknya terdapat kesamaan yang bisa disandingkan antara satu dengan lainnya.
Selain itu juga ada yang memang sama, maka yang sama jangan dibedakan. Ajaran tentang kasih sayang, kejujuran, integritas, tanggungjawab, charity, dan sebagainya tentu semua agama memilikinya. Oleh karena itu yang seperti ini tentu harus dilestarikan bersama-sama. Jadi baik internal maupun eksternal umat beragama harus mengembangkan ajaran yang sama ini untuk kepentingan kesejahteraan bersama.
Kedua, tugas saya selaku Plt. Dirjen Bimas Budha tentu saja adalah untuk memastikan bahwa urusan administrasi Ditjen Bimas Budha dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tidak boleh ada kelambatan dan gangguan di dalam pelaksanaan anggaran di sini. Makanya, sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), saya harus memastikan bahwa tidak ada kemandegan terkait dengan pelaksanaan program dan serapan anggaran. Semua harus berjalan sebagaimana mestinya. Kemudian juga memastikan bahwa pelayanan kepada umat beragama tidak terhenti. Semua program fasilitasi keagamaan harus sesuai dengan regulasi dan kebutuhan. Dengan demikian dinamika pengembangan program akan selalu relevan dengan sasaran yang sudah ditentukan. Saya akan menjalankan tugas yang dibebankan oleh Menterri Agama dengan sepenuh tanggung jawab dan keikhlasan.
Ibu Hartati juga mengharapkan bahwa Ditjen Budha harus dapat mengembang amanat untuk mengembangkan kehidupan umat Budha. Secara nyata bahwa umat Budha itu terbesar di dunia, akan tetapi di dalam kenyataannya masih berada di dalam posisi yang terpinggirkan. Umat Budha belum dapat memainkan peran yang maksimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, ke depan harus dipilih Direktur Jenderal Bimas Budha yang benar-benar dapat memperjuangkan kehidupan umat Budha.
Bante Jayamedho juga menyatakan bahwa antara pemerintah dan majelis agama adalah mitra strategis. Keduanya bisa memerankan peran penting untuk membangun customer satisfaction. Penganut agama harus merasa puas dilayani oleh pemerintah dan juga majelis agama-agama. Pemerintah membutuhkan majelis agama dan majelis agama membutuhkan pemerintah.
Yang menarik tentu adalah usulan Pak Sugiyanto, yang menyatakan jika ada Islam Nusantara, tentu juga ada Budha Nusantara. Masyarakat Budha harus menghargai budaya-budaya lokalnya. Jangan hanya mengandalkan budaya di luar Indonesia. Seandainya, patung-patung agama Budha itu dalam bentuk yang sesuai dengan tradisi local, maka pasti masyarakat akan menerimanya. Jadi jangan hanya membanggakan Budha dari Cina, Thailand, India dan seterusnya, akan tetapi harus membangun Budha yang sesuai dengan lokalitas keindonesiaan.
Pemikiran Pak Suhadi juga sangat baik. Menurutnya, bahwa di Budha tidak ada majelis fatwa sebagaimana di Agama Islam. Oleh karena itu ke depan kiranya perlu dipikirkan tentang bagaimana menjadikan Mejelis Agama itu memiliki kewenangan untuk memberikan fatwa tentang sebuah ajaran agama, apakah dia benar atau menyimpang. Selain itu juga dilihatnya bahwa yang paling rumit diselesaikan adalah jika terjadi pertentangan internal dalam agama-agama. Oleh karena itu, jika ada pertentangan internal agama agar dapat diselesaikan lebih cepat dan lebih baik.
Saya melihat bahwa ke depan hubungan internal di dalam agama-agama juga akan semakin baik. Dengan catatan bahwa tidak ada sejumlah orang atau lembaga yang selalu melakukan penetrasi ideologis untuk melakukan “benturan” atau lainnya. Jadi selalu ada peluang untuk duduk bersama menyelesaikan masalah bersama.
Wallahu a’lam bi al shawab

DOA DALAM RITUAL ULAMBANA

DOA DALAM RITUAL ULAMBANA
Setiap agama memiliki ritual khusus yang terkait dengan agamanya itu. Di setiap agama tentu ada doa-doa khusus yang memang dirancang untuk memperoleh keberkahan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Di dalam agama Budha dikenal upacara Ulambana.
Di dalam Islam dikenal upacara istighosah yang biasanya dilakukan secara berjamaah dalam jumlah ribuan orang. Biasanya istighosah dilakukan untuk tujuan khusus yang dirasakan oleh banyak orang. Demikian pula upacara Ulambana juga digunakan untuk memperoleh keberkahan banyak orang.
Upacara Ulambana dilakukan di Hotel Grand Mercure, Jakarta, 13/08/2016. Upacara ini diikuti tidak kurang 1000 orang kaum Budha. Hadir di dalam acara ini adalah Master Kuan-Ru dari Taiwan. Selain itu juga hadir Sekretaris Jenderal Bimbingan Masyarakat Budha, Pak Caliadi, Mantan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Budha, Budi Setiawan, para Bikshu dan Bikshuni dan umat Budha. Saya hadir dalam kapasitas sebagai Plt. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Budha.
Master Kuan-Ru adalah Pimpinan Tertinggi atau Presiden Dewan Pemuda Sangha Budha Sedunia atau World Buddhist Sangha Youth, Pimpinan Gondesan, yang kantor pusatnya berada di Taiwan. Tepatnya di 9F, No. 339, Sec 2, Wanshow Rd., Guishan Dist. Taoyuan City 333, Taiwan. Sedangkan secretariat Indonesia berada di Jl. Pluit Karang G6 Barat No. 14A, Jakarta Utara.
Master Kuan-Ru merupakan Bhiksu yang memiliki pengalaman spiritual yang sangat tinggi. Dia sangat dihormati dalam kapasitas sebagai pimpinan tertinggi Budha Sangha, dan beliau juga sangat sering dating ke Indonesia untuk memenuhi undangan pemberian pemberkatan kepada umat Budha. Bahkan berdasarkan foto-foto yang bisa dilihat di dalam pameran untuk upacara Ulambana, Beliau pernah bertemu dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X dan juga beberapa kali menghadiri acara di Candi Borobudur.
Di dalam pandangan orang Budha, bahwa master Kuan-Ru tentu memiliki charisma yang sangat tinggi. Pengetahuan agama yang hebat dan juga pengalaman spiritual yang sangat luar biasa. Sebagai pemimpin tertinggi, maka Beliau juga menyebarkan agama Budha ke seluruh dunia untuk menaburkan kesejahteraan, keselamatan dan kedamaian. Yang sering diungkapkan oleh Master Kuan-Ru adalah “Yang harus kita lakukan adalah membantu semua makhluk aar menumbuhkan tekad Bodhicitta”.
Upacara Ulambana merupakan upacara untuk menghormati arwah leluhur. Upacara ini dilakukan untuk mengenang semua kebaikan para leluhur. Upacara ini dilakukan untuk mencari berkah berupa pemercikan Air Suci Ta Pei Cou atau Air Suci Maitri Karuna.
Upacara ini diawali dengan prosesi Master Kuan-Ru memasuki ruangan upacara. Beliau diikuti oleh segenap siswanya dan juga para petinggi Agama Budha dengan membaca doa-doa khusus dalam lantunan Bahasa Budhis. Semua peserta tampak hafal dengan mantram suci ini. Semua mengikuti ucapan yang dilantunkan oleh pemuka suara. Dengan langkah tegap dan terukur, master Kuan-Ru memasuki altar yang disediakan.
Lantunan bacaan mantram suci terus berkumandang, dan kemudian Master Kuan-Ru melakukan persujudan di atas bantal warna kuning dan merah tepat di depan podium utama upacara ini. Master Kuan-Ru berdiri, jongkok dan kemudian sujud, lalu bangkit lagi, jongkok, sujud dan terus seperti itu. Gerakannya seperti orang melakukan shalat, rukuk dan sujud. Gerakan dan bacaan itu terus dilantunkan sambil diikuti oleh Jemaah ritual. Gerakan ini kira-kira sebanyak tujuh kali. Lalu Master Kuan-Ru memercikkan air suci Maitri karuna secara memutar. Mula-mula dari depan terus ke belakang sampai semuanya tuntas. Sambil memercikan air suci, maka lantunan bacaan mantram suci terus dilantunkan.
Bacaan mantram suci dipimpin langsung oleh Master Kuan-Ru. Suaranya yang merdu dan keras menandakan bahwa Beliau menguasai totalitas jamaahnya. Andaikan saya memahami bacaan mantram suci ini tentu akan sangat indah bahasa dan maknanya. Mendengarkan bacaan berjamaah tentang mantram suci ini, saya tentu teringat akan ritual istighasah yang biasa dilantunkan oleh jamaah muslim. Ada nuansa kesyahduan dalam alunan nada-nada bacaannya.
Bagi para pengikut Budha tentu saja kehadiran Master Kuan-Ro adalah sebuah berkah. Makanya, yang hadir di dalam acara ini juga sangat banyak. Saya juga sungguh mengapresiasi bahwa di tengah gelegak materialisme, ternyata spiritualisme juga semakin memiliki tempat tersendiri. Upacara Ulambana tentu menjadi semacam gambaran bahwa masyarakat modern yang di dalam banyak hal dituduh terlepas dari dunia spiritualitas ternyata salah. Melalui upacara Ulambana yang digelar oleh Kaum Budha ini memberikan gambaran bahwa dunia spiritual tetap bergelegak di tengah modernisasi yang terus menancapkan kukunya.
Upacara Ulambana memberikan gambaran riil bahwa spiritualiras menjadi khasanah tradisi agama-agama Timur yang memang menyediakan ruang untuk berhubungan dengan Tuhan melalui ritual-ritualnya.
Dengan demikian, kehadiran Tuhan dalam diri manusia dan masyarakat beragama sungguh merupakan hal yang tidak terpisahkan dari upaya umat beragama di dalam merepresentasikan agamanya di tengah kehidupan mereka.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGENANG JASA GURU-GURUKU (2)

MENGENANG JASA GURU-GURUKU (2)
Saya ingin bercerita tentang guru-guruku yang telah mengajarkan padaku tentang ilmu pengetahuan. Apapun yang pernah dilakukan pada saya, tentu akan saya pandang sebagai cara beliau mengajar saya. Tidak ada sedikitpun pandangan saya bahwa yang dilakukan adalah untuk menghajar saya atau menyakiti saya.
Saya ingin memulai dengan guru saya, Pak Slamet, Kepala Sekolah saya di SDN Sembungrejo, Merakurak, Tuban. Beliau yang mengajarkan saya tentang pentingnya ilmu pengetahuan. Bahkan beliau pula yang memasukkan saya ke SMEPN Tuban kala saya lulus Sekolah Dasar. Di SMEPN ini memang ada banyak siswa dari Merakurak. Maklum kala itu jumlah siswa yang melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah sangatlah sedikit. Bisa dihitung dengan jari.
Guru saya yang juga tidak akan saya lupakan adalah Pak Karsadi. Beliau mengajar saya di kelas V dan VI. Beliau guru yang benar-benar mendidik dengan baik. Saya masih teringat saat saya disuruh menulis di papan tulis menggantikan beliau. Saya yang selalu disuruh untuk mewarnai gambar-gambar prakarya dan juga peta Indonesia yang harus saya haluskan. Mungkin karena waktu itu tulisan saya yang baik, maka sayalah yang disuruh untuk menulis di papan tentang pelajaran kelas. Saya hafal nama-nama ibukota seluruh negara hingga saat ini adalah karena pelajaran ilmu bumi yang beliau ajarkan saat saya kelas lima. Waktu ujian akhir yang ditempatkan di SDN Mandirejo, Merakurak, maka saya dan kawan-kawan diminta mampir ke rumah beliau dan yang saya ingat sampai sekarang adalah kala diajak makan siang dengan sayur lodeh sukun yang saya sukai.
Pak Suparno juga guru saya yang lain. Beliau adalah guru yang mengajar saya di kelas IV. Selain mengajar, maka salah satu hobinya adalah beternak kambing dan sapi. Makanya yang saya ingat adalah jika mengajar di sekolah, maka pulangnya mestilah mengambil makanan untuk ternaknya. Sebagai seorang guru, maka saya tentu selalu teringat jika beliau bercerita tentang biologi dan ilmu hitung.
Yang tidak kalah penting adalah guru saya Pak Abdurrahman. Beliau adalah guru yang mengajarkan ilmu agama. Dari beliaulah sebenarnya ilmu agama itu saya peroleh untuk pertama kalinya. Beliau ajarkan tentang bagaimana berwudlu sampai melakukan shalat yang benar. Saya termasuk sering bertemu beliau. Dan bahkan beberapa saat sebelum beliau dipanggil Allah, maka saya sempatkan mampir ke rumah beliau. Kala saya sudah menjadi Direktur Jenderal Pendidikan Islam, maka masih saya sempatkan mampir ke rumahnya. Beliau lalu menceritakan kembali kala mengajar saya di SD.
Guru-guru saya di SMP juga sangat saya kenal. Pak Widodo merupakan sosok pendidik yang keras dan tegas. Kawan-kawan saya menyebutnya dengan Mbah Wid. Sebutan ini menggambarkan betapa menunjukkan karakternya yang keras dan tegas. Sebutan ini bukan dilakukan terang-terangan, akan tetapi semua mengenal sebutan Mbah Wid ini. Wakilnya Pak Subakir adalah sosok yang berwibawa. Demikian pula istri Pak Subakir, Bu Prit juga guru yang telaten. Guru yang saya kagumi adalah Pak Jatmiko, mengajar hukum Dagang dan Ilmu Menjual. Beliau guru yang cerdas, hafal seluruh bahan yang diajarkan. Saya kagumi cara mengajarnya yang menarik.
Pak Gatot juga tipe guru yang telaten. Beliau mengajar Aljabar. Guru yang juga saya kagumi adalah Pak Tjipto guru Al Jabar yang menurut saya juga sangat baik di dalam mengajar. Pak Marduni juga guru yang berwibawa. Beliau mengajar Bahasa Inggris. Selain itu juga ada Pak Kasmijan yang mengajar tata buku, dan Pak Senoaji yang mengajar sejarah Indonesia. Tentu saja masih ada nama-nama lain, seperti Bu Asiyah yang mengajar Agama, Bu Ningsih, yang mengajar Bahasa Inggris, dan sebagainya.
Dia antara guru yang saya kagumi pada waktu di PGA adalah Pak Asnawi. Seorang guru yang memberikan peluang bagi saya untuk mendalami ilmu agama dan juga ilmu keguruan. Lalu Kyai Saya, Kyai Cholilurohman, yang hingga sekarang masih saya datangi rumahnya untuk silaturrahmi, Pak Mashad, Bu Basyirah, Pak Zawawi yang mengajar bahasa Arab, Pak Imam Hanafi yang mengajarkan pedagogi. Istilah pedagog dan demogog pertama sekali saya kenal dari Pak Imam. Guru olahraga, Pak Nurfakih, Pak Dayari guru SKI, Pak Saifullah, Bu Lilik Maslichah, Bu Nur Asiyah, Bu Wiwik, Pak Mughni dan Pak Uzair. Semua guru saya ini adalah orang-orang yang mengajarkan kepada saya tentang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, beliau adalah orang yang sangat berjasa di dalam kehidupan saya.
Sulit bagi saya untuk memberikan balasan atas semua usahanya di dalam mendidik saya. Yang bisa saya lakukan untuk hal ini adalah mendoakan semoga Allah memberkahi dan mengampuninya, sehingga kelak akan mendapatkan balasan yang setimpal atas semua upaya mendidik saya dan kawan-kawan.
Saya yakin bahwa ketulusan Beliau yang luar biasa itulah yang menyebabkan anak didiknya, termasuk saya berhasil di dalam mengarungi kehidupan sekarang ini. Mereka bekerja tanpa tunjangan profesi, tanpa tunjangan jabatan dan juga tanpa remunerasi yang sering diributkan para guru sekarang.
Oleh karena itu, marilah kita renungkan kembali jasa-jasa mereka ini, sehingga jika mereka melakukan proses pendidikan dengan disiplin yang keras dan tegas, maka semua itu tentu dilakukan atas nama pendidikan dan bukan atas nama yang lain-lain.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGENANG JASA GURU-GURUKU (1)

MENGENANG JASA GURU-GURUKU (1)
Mendadak nama Samhudi menjadi terkenal. Guru yang sehari-hari mengajar di SMP Raden Rahmat Sidoarjo ini dikenai hukuman selama 3 bulan dan denda sebesar Rp250.000,00. Guru SMP yang sudah mengajar selama puluhan tahun tersebut harus menerima kenyataan menerima putusan hukuman dari Hakim, sebab dianggap melakukan kekerasan terhadap anak didiknya.
Ihwal terjadinya peristiwa tersebut bermula dari tindakan Samhudi untuk menghukum siswanya, yang ketepatan anak tentara. Samhudi mencubit dan dan memukul siswa tersebut di punggungnya. Hukuman itu diberikan karena yang bersangkutan mangkir kala diminta untuk shalat dhuha. Ada beberapa siswa yang mangkir dan dikenai hukuman. Akan tetapi tiba giliran menghukum siswa yang ketepatan anak tentara, maka kemudian Samhudi dilaporkan ke kepolisian karena dianggap melakukan tindakan kekerasan.
Setelah melalui proses yang panjang, maka jaksa menentukan bahwa Samhudi diancam pidana selama 6 bulan dengan denda sebesar Rp250.000,00. Hakim menetapkan putusan 3 bulan penjara dan denda Rp250.000,00 dengan catatan bahwa Samhudi tidak usah masuk ke penjara, tetapi apabila dalam masa percobaan enam bulan, Samhudi melakukan kesalahan, maka dia harus masuk penjara.
Saya tentu tidak akan membicartakan apakah keputusan pengadilan tersebut adil atau tidak, sebab para hakimlah yang mengetahui bagaimana fakta hukum yang terjadi dan bagaimana keputusan hakim itu harus dibuat. Biar mereka yang mempertangungjawabkan secara hukum, baik di dunia maupun di akherat. Saya tidak memiliki kapasitas untuk menilainya.
Namun demikian, yang ingin saya ceritakan adalah pengalaman saya dan mungkin juga bisa saja menjadi pengalaman yang lain dalam relasinya dengan guru kala di sekolah. Di zaman dahulu, seorang murid ditempeleng oleh guru itu bukan hal yang luar biasa. Bahkan ditendang pun juga bukan hal yang luar biasa. Tempelengan atau tendangan tersebut tentu tidak untuk mencelakakan apalagi diniatkan untuk mencelakakan muridnya. Hal yang demikian itu dilakukan karena sebagai siswa terkadang kita memang melakukan kesalahan.
Saya masih teringat ketika ditempeleng oleh guru saya sewaktu saya masih duduk di Sekolah Menengah Pertama. Saya keluar kelas kala guru kelas pada waktu itu tidak hadir. Saya tentu masih ingat bagaimana Kepala Sekolah saya itu melakukannya. Saya tidak bercerita kepada keluarga saya tentang apa yang dilakukan oleh Pak Kasek tersebut. Saya memastikan kalau saya jujur bercerita kepada Bapak saya atau ibu saya, pasti saya yang akan dimarahi sebab saya melakukan pelanggaran keluar kelas tersebut. Bapak saya adalah orang tua yang disiplin mendidik saya dan saya masih merasakan didikan kerasnya itu. Kala saya menulis ini, saya merasakan betapa saya belum bisa membalas budi baiknya kepada saya. Maklum beliau dipanggil Tuhan kala saya masih duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Saya masih teringat perkataannya menjelang Beliau kembali kepangkuan Tuhan pada tanggal 1 Ramadlan pada tahun masehi 1972, bahwa Beliau ingin saya berpendidikan tinggi. Beliau menyatakan: “kepingin menyekolahkan kamu saja kok berat rasanya”.
Ditempeleng guru seperti itu tentu bukan sekali saja. Saya juga memperoleh cubitan atau bahkan jeweran kuping, akan tetapi hal itu bukan halangan bagi saya untuk tidak menghargai guru-guru saya. Bahkan saya selalu datangi Kepala Sekolah saya itu setiap lebaran, ketika saya sudah berhasil mengarungi kehidupan sebagai dosen di IAIN Sunan Ampel Surabaya (kini UIN Sunan Ampel Surabaya).
Saya merasa bahwa perlakuan guru-guru saya itu merupakan bagian tidak terpisahkan tentang cara beliau mengajar saya dan mendisiplinkan saya. Saya sungguh berhutang budi kepada Beliau atas ilmu yang diajarkannya kepada saya. Nama-nama guru saya itu satu persatu dan bahkan mata pelajaran yang diajarkannya masih saya hafal. Memang tidak semua saya ketahui rumahnya, akan tetapi saya masih mengenal bayangan wajahnya dengan sebaik-baiknya. Kyai saya yang mengajarkan kitab-kitab keislaman juga masih selalu dalam ingatan saya. Mereka mengajari saya tentang Ilmu Al Qur’an, Ilmu tafsir, ilmu hadits, bahasa Arab dan sebagainya. Guru SD maupun SMEP, PGA bahkan para dosen saya kala di IAIN Sunan Ampel maupun di Universitas Airlangga masih saya ketahui dengan baik.
Untuk menghargai guru ini, saya selalu teringat dengan ucapan Sayyidina Ali RA, bahwa Beliau akan mengabdikan hidupnya untuk guru yang mengajarnya meskipun hanya satu huruf. Padahal kita diajar oleh guru-guru kita itu lebih dari satu huruf. Terpujilah para guru yang telah mengajarkan kepada kita ilmu pengetahuan. Melalui bimbingan beliaulah kita semua bisa menjadi seperti sekarang. Jadi tidak ada alasan untuk tidak menghargainya.
Wallahu a’lam bi al shawab.