DIALOG SEBAGAI PILAR KERUKUNAN BERAGAMA
DIALOG SEBAGAI PILAR KERUKUNAN BERAGAMA
Saya tentu merasa bersyukur bisa bertemu dengan sejumlah tokoh agama Budha dalam acara dialog intern umat Budha yang diselenggarakan di Kantor Kementerian Agama di Jl. Thamrin (10/08/2016). Acara ini dihadiri oleh berbagai elemen di internal agama Budha. Hadir di antaranya adalah Ibu Hartati Murdaya, Pak Arif Harsono, Pak David, Pak Piandi, Bante Jaya Medo, Pak Sugianto, dan sejumlah tokoh agama Budha yang saya tidak bisa menyebutkan satu persatu.
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam agama Budha terdapat Majelis agama, yaitu Walubi dan Ikasi. Dua majelis agama ini merupakan faksi yang telah diakui oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Budha. Jika Walubi merupakan kumpulan sekte-sekte di dalam agama Budha, seperti Hinayana, Budhayana, Niciren, Tantrayana, Trdharma dan sebagainya. Demikian pula Ikasi juga merupakan kumpulan para bhiksu, bhiksuni, bante dan sebagainya dari berbagai sekte di dalam agama Budha.
Jika selama ini dikesankan bahwa di antara dua Majelis Agama ini terdapat rivalitas, akan tetapi di dalam pertemuan itu saya melihat bahwa di antara mereka sebenarnya merupakan partner yang bisa saling mendukung untuk kepentingan pengembangan agama Budha. Di dalam kesempatan ini, saya memaparkan beberapa hal yang saya anggap penting sebagai modal dialog internal umat beragama.
Pertama, pentingnya membangun kerukunan interen umat beragama. Selama ini dikesankan bahwa terjadi rivalitas dan konflik. Akan tetapi sebenarnya mereka berada di dalam konteks kesamaan ajaran. Sesungguhnya yang lebih rumit adalah menyelesaikan problem internal intern umat beragama. Oleh karena itu dialog internal umat beragama juga sangat diperlukan di dalam kerangka mmbangun kebersamaan.
Memang harus disadari bahwa kerukunan merupakan rahmat dan berkah Tuhan yang sangat besar. Kita harus bersyukur bahwa di tengah pluralitas etnik dan agama, di tengah multikulturalitas yang luar biasa ternyata kita masih bisa membangun kebersamaan yang sangat kuat. Jika diibaratkan maka dapat dinyatakan bahwa kita ini justru menjadi kuat karena perbedaan-perbedaan itu. Bayangkan kita ini memiliki etnis yang sangat variatif, memiliki agama yang banyak dan juga kebudayaan yang berbeda-beda, akan tetapi kita tetap bisa bersatu sampai hari ini.
Ibaratnya, saya ini dengan Pak Arif hanya berbeda musim saja ketika lahir. Saya lahir pada saat kemarau sehingga kulit saya lebih gelap, sementara pak Arif lahir pada saat musim penghujan jadi kulitnya lebih cerah. Namun demikian, jika dilihat lebih dalam, tentang daging, darah, saraf, dan infrastruktur tubuh lainnya, pastilah ada kesamaan-kesamaan. Di dalam hal kesamaan inilah yang sesungguhnya harus dikembangkan dan bukan pada perbedaannya.
Selalu saya ungkapkan pernyataan KH. Hasyim Muzadi, bahwa yang sama jangan dibedakan dan yang beda jangan disamakan. Nah kenyataannya, intern umat beragama juga ada kesamaannya dan ada perbedaannya. Yang sama tentu adalah tentang dimensi teologis dan ritualnya – meskipun di dalam ritual juga ada variasinya—namun setidak-tidaknya terdapat kesamaan yang bisa disandingkan antara satu dengan lainnya.
Selain itu juga ada yang memang sama, maka yang sama jangan dibedakan. Ajaran tentang kasih sayang, kejujuran, integritas, tanggungjawab, charity, dan sebagainya tentu semua agama memilikinya. Oleh karena itu yang seperti ini tentu harus dilestarikan bersama-sama. Jadi baik internal maupun eksternal umat beragama harus mengembangkan ajaran yang sama ini untuk kepentingan kesejahteraan bersama.
Kedua, tugas saya selaku Plt. Dirjen Bimas Budha tentu saja adalah untuk memastikan bahwa urusan administrasi Ditjen Bimas Budha dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tidak boleh ada kelambatan dan gangguan di dalam pelaksanaan anggaran di sini. Makanya, sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), saya harus memastikan bahwa tidak ada kemandegan terkait dengan pelaksanaan program dan serapan anggaran. Semua harus berjalan sebagaimana mestinya. Kemudian juga memastikan bahwa pelayanan kepada umat beragama tidak terhenti. Semua program fasilitasi keagamaan harus sesuai dengan regulasi dan kebutuhan. Dengan demikian dinamika pengembangan program akan selalu relevan dengan sasaran yang sudah ditentukan. Saya akan menjalankan tugas yang dibebankan oleh Menterri Agama dengan sepenuh tanggung jawab dan keikhlasan.
Ibu Hartati juga mengharapkan bahwa Ditjen Budha harus dapat mengembang amanat untuk mengembangkan kehidupan umat Budha. Secara nyata bahwa umat Budha itu terbesar di dunia, akan tetapi di dalam kenyataannya masih berada di dalam posisi yang terpinggirkan. Umat Budha belum dapat memainkan peran yang maksimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, ke depan harus dipilih Direktur Jenderal Bimas Budha yang benar-benar dapat memperjuangkan kehidupan umat Budha.
Bante Jayamedho juga menyatakan bahwa antara pemerintah dan majelis agama adalah mitra strategis. Keduanya bisa memerankan peran penting untuk membangun customer satisfaction. Penganut agama harus merasa puas dilayani oleh pemerintah dan juga majelis agama-agama. Pemerintah membutuhkan majelis agama dan majelis agama membutuhkan pemerintah.
Yang menarik tentu adalah usulan Pak Sugiyanto, yang menyatakan jika ada Islam Nusantara, tentu juga ada Budha Nusantara. Masyarakat Budha harus menghargai budaya-budaya lokalnya. Jangan hanya mengandalkan budaya di luar Indonesia. Seandainya, patung-patung agama Budha itu dalam bentuk yang sesuai dengan tradisi local, maka pasti masyarakat akan menerimanya. Jadi jangan hanya membanggakan Budha dari Cina, Thailand, India dan seterusnya, akan tetapi harus membangun Budha yang sesuai dengan lokalitas keindonesiaan.
Pemikiran Pak Suhadi juga sangat baik. Menurutnya, bahwa di Budha tidak ada majelis fatwa sebagaimana di Agama Islam. Oleh karena itu ke depan kiranya perlu dipikirkan tentang bagaimana menjadikan Mejelis Agama itu memiliki kewenangan untuk memberikan fatwa tentang sebuah ajaran agama, apakah dia benar atau menyimpang. Selain itu juga dilihatnya bahwa yang paling rumit diselesaikan adalah jika terjadi pertentangan internal dalam agama-agama. Oleh karena itu, jika ada pertentangan internal agama agar dapat diselesaikan lebih cepat dan lebih baik.
Saya melihat bahwa ke depan hubungan internal di dalam agama-agama juga akan semakin baik. Dengan catatan bahwa tidak ada sejumlah orang atau lembaga yang selalu melakukan penetrasi ideologis untuk melakukan “benturan” atau lainnya. Jadi selalu ada peluang untuk duduk bersama menyelesaikan masalah bersama.
Wallahu a’lam bi al shawab
