TANTANGAN IMPLEMENTASI UU JAMINAN PRODUK HALAL (2)
TANTANGAN IMPLEMENTASI UU JAMINAN PRODUK HALAL (2)
Saya merasa bahwa di dalam diskusi ini, seluruh narasumber dan peserta diskusi lebih banyak mempertanyakan mengenai bagaimana UU ini bisa diimplementasikan terkait dengan banyaknya problem yang bisa menjerat para pelaku usaha. Tampaknya, para pengusaha merasakan bahwa UU ini akan bisa menjadi kendala di dalam upaya untuk mengembangkan usaha-usaha atau bisnis di dalam banyak hal.
Pak Nadra, kawan saya dari PP Muhammadiyah dan juga Badan Wakaf Indonesia (BWI) beliau dengan sangat tajam menganalisis tentang beberapa kelemahan di dalam UU JPH ini. Misalnya tentang banyaknya pejabat yang akan mengelola BPJPH. Apakah tidak sebaiknya dibikin ramping saja. Jika perlu cukup ditangani oleh mereka yang benar-benar memiliki konsern di bidang ini. Lalu, bagaimana pengelolaannya. Sebaiknya menggunakan prinsip pengelolaan BLU. Dibayangkan jika tidak, maka akan terjadi kesulitan, sebab APBN selalu baru hadir pada bulan April tahun berjalan. Lalu bagaimana melakukan sertifikasi terhadap jutaan pengusaha makanan dan minuman dan bagaimana pembiayaannya. Dan tidak kalah menarik juga tentang bagaimana menerapkan mandatory untuk semua jenis produk setelah tahun 2019.
Pertanyaan “garang” lainnya dari Pak Dorodjatun, aktivis dan pelaku usaha Farmasi, yang mempertanyakan bahwa dengan menerapkan sertifikasi untuk seluruh produk, seperti makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika, barang kimia, barang gunaan dan sebagainya kita tidak bisa membayangkan bagaimana hal itu bisa terjadi. Khusus untuk obat-obatan dan kosmetika, kiranya UU ini akan menjerat terhadap para pengusaha kosmetika dan farmasi. Sebab dengan mencantumkan kehalalan produk, maka akan bisa dipastikan bahwa kebanyakan obat tidak lulus sertifikasi halal. Lalu mau diapakan obat-obat itu, apakah orang sakit tidak lagi bisa diobati dan tentu akan terjadi kelangkaan obat karena praktek sertifikasi ini. Di Malaysia dan beberapa negara lain tidak menggunakan kata “mandatory” akan tetapi “voluntary”, sehingga produk-produk yang harus diproduksi karena urgen dan menjadi kebutuhan masyarakat tetap bisa diproduksi sesuai dengan kepentingannya, misalnya obat-obatan.
Pak Rahmat, pengusaha dan pimpinan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman, juga tidak kalah kerasnya di dalam mengkritisi terhadap UU JPH. Menurutnya, UU JPH ini tidak realistis. Bisa dibayangkan bahwa dengan menerapakn prinsip “mandatory” maka semua produk harus disertifikasi halal setelah tahun 2019. Mana mungkin hal itu bisa dilakukan. Masyarakat kita belum siap untuk melakukan mandatory ini. Sementara itu, Cina, Jepang, Korea Selatan sudah berancang-ancang untuk melakukan program ini, terutama kaitannya dengan keinginan untuk menyerbu pasar produk di Indonesia. Jika kita tidak hati-hati, maka kita akan kebanjiran produk dari Negara lain yang mencantumkan halal dan pengusaha Indonesia akan menjadi penonton di negeri sendiri.
Oleh karena itu, harus ada kesiapan masyarakat Indonesia untuk mengimplementasikan Jaminan produk halal ini, agar produk pengusaha Indonesia tidak akan gulung tikar di negerinya sendiri. Apakah BPJPH akan bisa menjamin bahwa produk-produk Negara lain bisa terjamin kehalalannya. Meskipun UU JPH mewajibkan bahwa semua produk yang diperdagangkan di Indonesia harus bersertifikat halal, akan tetapi bisa juga terjadi sebaliknya. Makanya, masyarakat harus diedukasi agar membuat produk halal dulu dan jika sudah siap baru dilakukan sertifikasi.
Para penanya juga mempertanyakan mengenai bagaimana peran sosialisasi UU JPH, agar UU ini bisa menjadi wahana untuk memberikan jaminan akan kehalalalan produk, meskipun di dalamnya banyak norma yang masih dipertanyakan. Selain itu juga ada keinginan untuk menjadikan perguruan tinggi sebagai partner untuk memberikan sosialisasi dalam implementasi UU JPH.
Dalam jawabanya saya kepada para panelis maupun tanggapan para audience, saya sampaikan prinsip-prinsip yang sudah disepakati di dalam implementasi UU JPH. Prinsip pertama, semua sependapat bahwa UU JPH dirumuskan dalam kerangka untuk memberikan perlindungan bagi umat Islam dalam menggunakan produk makanan, minuman dan sebagainya. Melalui UU JPH, maka di manapun umat Islam berada akan merasa terlindungi dengan produk yang akan dikonsumsi atau dipakainya.
Prinsip kedua, memang harus diakui bahwa di dalam UU JPH memang masih terdapat beberapa masalah jika diimplementasikan. Misalnya tentang obat-obatan dan juga kosmetika yang memang belum seluruhnya menggunakan bahan-bahan halal. Masih sangat banyak produk obat dan kosmetika yang harus menggunakan bahan-bahan non halal, karena memang belum didapati sumber bahan halalnya. Terhadap kenyataan seperti ini, maka tentunya harus terdapat upaya untuk menyelamatkan produk yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, sementara ketentuan regulasinya menyatakan lain.
Prinsip ketiga, bahwa mandatory bertahap itu artinya, bahwa harus ada alternative yang bisa digunakan untuk menjawab problem barang atau produk yang memang dibutuhkan masyarakat sementara belum terdapat sumber bahan halalnya. Harus ada eksepsi yang bisa dilakukan sampai bahan tersebut bisa diganti dengan bahan halal. Saya juga tidak membayangkan pasca tahun 2019, jika seluruh produk harus halal termasuk obat-obatan yang sangat dibutuhkan tetapi masih dengan terpaksa menggunakan sumber non halal. Apakah semua produk akan ditarik dari peredaran, sementara masyarakat membutuhkannya.
Inilah makna penting merumuskan RPP yang memberikan peluang untuk melakukan yang terbaik bagi masyarakat. Di tengah tekanan untuk segera menyelesaikan RPP Implementasi JPH, kami sependapat bahwa harus benar-benar hati-hati untuk mengeluarkan PP ini. Jangan sampai kemudian PP ini justru mematikan terhadap unit-unit usaha masyarakat dan bahkan juga tidak bisa diimplementasikan misalnya di dalam menghadapi problem produk obat dan sebagainya. Saya hingga hari ini masih memaknai bahwa mandatory bertahap itu artinya bahwa sesudah tahun 2019 pun juga harus berprinsip bahwa untuk program sertifikasi memang wajib dilakukan dengan cara bertahap dan tidak sekaligus. Bisa dibayangkan bagaimana tingkat problematiknya jika sertifikasi dilakukan serentak terhadap semua produk barang dan jasa.
Di dalam konteks ini, Pak Arief, moderator, menyatakan di akhir diskusi bahwa memang diperlukan sosialisasi yang sangat kuat untuk menyadarkan masyarakat, bahwa mereka semua harus berperilaku halal dalam berproduksi dan kemudian baru gerakan jaminan halal bisa dilakukan. Jadi, sesungguhnya para pelaku usaha juga harus memahami bahwa mereka wajib menjaga konsumen yang kebanyakan memang beragama Islam di dalam menggunakan produk-produk usaha.
Wallahu a’lam bi al shawab.
