TANTANGAN UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK HALAL (1)
TANTANGAN UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK HALAL (1)
Saya beruntung bisa mewakili Pak Menteri Agama, Bapak Lukman Hakim Saifuddin, di dalam acara diskusi public terkait dengan Jaminan Produk Halal di Kantor Pusat Pimpinan Muhammadiyah di Jakarta. Acara ini dihadiri oleh pimpinan Muhammadiyah dan sejumlah pimpinan Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Acara ini diselenggarakan pada tanggal 01 Nopember 2016. Tema diskusi ini adalah “Kesiapan Pemerintah dan Dunia Usaha dalam Implementasi UU Jaminan Produk Halal”.
Hadir sebagai narasumber adalah saya (Prof. Dr. Nur Syam, MSi, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama), Nadratuz Zaman, MSc, PhD. (pimpinan Pusat Muhammadiyah), Drs. Dorodjatun Sanusi, MBA, Apt. (Pengurus Pusat Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia), Rachmat Hidayat (Waketum Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antar Lembaga pada Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia), dari Badan POM, dengan moderator Dr. Ir. Arief Safari, MBA (Pimpinan Pusat Muhammadiyah).
Saya memperoleh kesempatan pertama untuk membahas mengenai Peran Pemerintah di dalam implementasi UU Jaminan Produk Halal. Saya kemukakan tiga hal mendasar terkait dengan kesiapan pemerintah (baca Kementerian Agama) dalam penyelenggaraan UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pertama, saya sampaikan bahwa seharusnya yang menghadiri acara ini adalah Pak Menteri Agama, akan tetapi karena Beliau harus ke Lampung untuk membuka acara Annual International Conferrence of Islamic Studies (AICIS) di IAIN Raden Intan Lampung, maka Beliau dengan sangat terpaksa harus mewakilkan kepada saya untuk menjadi pembicara pada seminar ini. Semoga tidak ada rotan, akar pun jadi.
Saya sungguh mengapresiasi terhadap penyelenggaraan seminar ini, sebab tentu ada hal positif yang dapat dijadikan referensi terkait dengan penyelenggaraan jaminan produk halal. Sekarang kita sedang berada di dalam konteks perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Jaminan Produk Halal, sehingga diskusi semacam ini tentu akan membawa kepada kepekaan di dalam merumuskan RPP dimaksud. Kita memang sedang membutuhkan banyak masukan terkait dengan problema di dalam implementasi UU JPH ini.
Kedua, kewajiban pemerintah sesuai dengan amanat UU JPH adalah mengisi struktur Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Di dalam Pasal 5 ayat (3) UU JPH disebutkan bahwa “untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH, dibentuk BP JPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Agama”. Kemudian di dalam Pasal 64 UU JPH disebutkan bahwa “BP JPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak UU JPH diundangkan.”
Sebagaimana diketahui bahwa Kementerian Agama sudah memiliki struktur baru sesuai dengan Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama. Kemudian Kemenag juga sudah memiliki Organisasi dan Tata Kelola (Ortaker) BPJPH ini sesuai dengan PMA No. 42 Tahun 2016. Yang dibutuhkan untuk pengisian Ortaker ini adalah sebanyak satu orang pejabat eselon I (Kepala Badan), dan sebanyak empat pejabat eselon II, yaitu: Sekretaris Badan JPH, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan, dan Kepala Pusat Kerjasama dan Standardisasi Halal. Lalu juga terdapat sebanyak 13 pejabat eselon III dan 27 pejabat eselon IV.
Saya berharap bahwa selambat-lambatnya bulan Januari 2017 sudah dapat dilakukan lelang jabatan untuk para pejabat dimaksud, sehingga diperkirakan pada bulan April sejauh-jauhnya Kemenag sudah memiliki pejabat sesuai dengan struktur BPJPH dimaksud.
Ketiga, Kementerian Agama sebagai leading sector untuk penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), yang sesuai dengan UU JPH harus diselesaikan dalam waktu dua tahun semenjak UU ini disahkan, artinya seharusnya tanggal 17 Oktober 2016 harus sudah selesai. Pada kenyataannya, bahwa terdapat sejumlah kesulitan untuk menyelesaikan dengan segera tentang RPP JPH ini. Ada enam problem yang harus memperoleh kesepahaman tentang RPP JPH, yaitu: 1) penetapan jenis sertifikasi produk yang harus dilakukan sebelum tahun 2019. 2) apa yang harus dilakukan oleh pemerintah pasca tahun 2019, di mana seluruh produk harus bersertifikat halal. 3) bagaimana sikap pemerintah jika setelah tahun 2019 ternyata masih banyak produk yang diperdagangkan di Indonesia dan belum bersertifikat halal. 4) bagaimana dengan seluruh produk seperti makanan, minuman, obat-obat-an, kosmetik, dan barang gunaan misalnya piring, sendok, sepatu, ikat pinggang dan lain-lain yang juga harus terkena kewajiban jaminan produk halal. 5) bagaimana dengan status obat dan kosmetik yang pasca tahun 2019 ternyata belum bisa menyediakan sumber bahan yang halal. 6) bagaimana dengan perilaku Usaha Mikro Kecil, dan Menengah yang juga harus berkewajiban jaminan produk halal.
Diskusi ini menarik sebab yang menjadi narasumber tidak hanya pimpinan organisasi dan birokrat, akan tetapi juga pelaku usaha. Makanya, di dalam diskusi ini terdapat banyak problem yang dihadirkan terkait dengan implementasi UU JPH. Bahkan di antara mereka menganggap bahwa UU JPH ternyata memiliki sejumlah persoalan yang tidak sederhana. Oleh karena itu, perlu hati-hati di dalam mengimplementasikan UU JPH ini agar tidak menjadi regulasi yang menjerat kaki kita sendiri.
Wallahu a’lam bi al shawab.
