• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MODERATISME BERAGAMA SEBAGAI MISI KEMENTERIAN AGAMA

MODERATISME BERAGAMA SEBAGAI MISI KEMENTERIAN AGAMA
Satu di antara misi Kementerian Agama ialah meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan beragama. Saya sering menyebut bahwa misi ini merupakan misi utama bagi Kemenag. Saya sebut sebagai kunci sebab dari seluruh apa yang dilakukan oleh Kemenag, maka ujung akhirnya ialah terjadinya peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan beragama.
Dengan kata lain, bahwa baik atau buruknya pemahaman dan pengamalan beragama itu sangat tergantung pada bagaimana kiprah Kemenag di dalam memanej terhadap kualitas paham dan amalan beragama. Bisa juga menjadi benar statemen ini, sebab di dalam banyak hal memang core business kita adalah untuk perbaikan kualitas pemahaman dan pengamalan beragama.
Statemen ini, saya sampaikan di dalam acara yang diselenggarakan oleh Kakanwil Kemenag Provinsi Sumatera Barat (Rabu, 08/03/17), yaitu acara Rapat Kerja Kemenag Provinsi Sumatera Barat yang dihadiri oleh Kakanwil dengan segenap jajarannya, Rektor IAIN Imam Bonjol Padang dan Kepala Biro, Rektor IAIN Batusangkar dan Kepala Biro serta Kabiro IAIN Bukittinggi. Selain itu juga hadir mewakili Gubernur Sumatera Barat, Kabiro Binsos Pemda Sumatera Barat.
Pada acara yang penting ini, saya sampaikan mengapa kita harus meningkatkan pemahaman dan pengamalan agama. Semua Aparat Sipil Negara (ASN) Kemenang harus menyadari akan misi penting ini sebagai inti dari tugas pokok dan fungsi Kemenag. Sebagaimana diketahui bahwa semenjak semula Kemenag didirikan memang untuk membangun pemahaman dan pengamalan beragama sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia.
Dewasa ini kita sedang menghadapi masalah kebangsaan. Munculnya pemahaman dan pengamalan agama yang mengusung radikalisme, fundamentalisme dan bahkan ekstrimisme tentu menjadi pekerjaan rumah yang tidak sederhana. Semakin banyaknya pengikut garakan Islam fundamental yang terjadi akhir-akhir ini tentu bisa menjadi keprihatinan kita semua. Jika di masa lalu gerakan semacam ini bisa menjadi organisasi tanpa bentuk dan gerakan bawah tanah, maka sekarang menjadi terang-terangan.
Bahkan mereka sudah memproklamirkan khilafah Islamiyah sebagai solusi atas negara bangsa yang sekarang eksis. Dianggapnya bahwa Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sudah tidak lagi cocok bagi bangsa ini. Mereka menyatakan bahwa sudah saatnya Indonesia ini menjadi Negara Islam dalam corak khilafah Islamiyah tersebut. Dan sebagaimana yang kita ketahui bahwa pengikut gerakan ini semakin banyak dari waktu ke waktu dan semakin berani mengekspresikan aktivitasnya.
Di tengah globalisasi kehidupan seperti dewasa ini tentu kita tidak bisa hidup sebagaimana di masa lampau, atau hidup di sangkar burung atau di dalam tempurung. Semua orang bisa mengakses informasi dari manapun datangnya. Tidak ada informasi yang tidak menjadi milik public. Makanya, semua ASN harus memahami informasi yang berseliweran di rimba raya public, untuk dipelajari dan dikritisi, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk public.
Saya menjadi teringat pesan KH. Muchit Muzadi (Almarhum) yang pernah mengajari saya agar semua hal seperti radikalisme, fundamentalisme, ekstrimisme, liberalisme, HAM, demokratisasi, transparansi dan lain-lain itu hendaknya dijadikan pupuk bagi bangsa ini. Agar dijadikan sebagai instrument untuk memperkuat akar kebangsaan kita. Jadi takarannya harus sesuai. Jangan berlebihan dalam pemberian pupuk itu agar akar, batang dan daunnya tidak mati. Berbagai ideology dunia tentu tidak bisa dihadang di era ini, akan tetapi yang penting ialah bagaimana ideology dunia tersebut dapat dipelajari, dikaji dan dianalisis untuk kepentingan memperkuat jati diri kebangsaan kita.
Sebagai ASN Kemenag kita harus tahu meskipun sedikit tentang berbagai pertarungan ideology tersebut. Lalu, jadikan kekuatan dan kebaikannya untuk memupuk keberagamaan dan kebangsaan kita dan kita buang jauh yang negative dan tidak bermanfaat. Jadi, kita harus kritis menghadapi pertarungan ideology dunia yang terus mengepakkan sayapnya di Bumi Nusantara ini, sehingga kita akan melakukan kewaspadaan dini menghadapi sepak terjangnya.
Janganlah kita menjadi orang yang mudah diombang-ambingkan oleh berbagai ideology dunia yang semuanya ingin berebut pengaruh. Kewaspadan perlu ditingkatkan dengan cara selalu menjalin kerja sama dengan ulama-ulama moderat yang sangat banyak jumlahnya di Indonesia ini. Makanya, gagasan Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, untuk membangun jaringan ulama moderat perlu kita sambut dengan sungguh-sungguh. Jejaring ini menjadi sangat penting untuk menjadi instrument di dalam membangun kesepahaman akan tetap urgennya mempertahankan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan sebagai pilar kebangsaan yang tidak boleh bergeser dari Bumi Nusantara.
Dengan demikian, sesungguhnya ada pekerjaan berat yang berada di dalam pengabdian kita kepada bangsa ini, ialah menegakkan keberagamaan yang moderat atau yang wasathiyah sebagai arus utama keberagamaan masyarakat Indonesia. Sekali lagi kita berharap bahwa semua ASN Kemenag harus menjadi agen bagi tetap terwujudnya masyarakat Indonesia yang beragama dalam coraknya yang moderat.
Wallahu a’lam bi al shawab.

TAHUN DIGITALISASI PELAYANAN PUBLIK KEMENTERIAN AGAMA

TAHUN DIGITALISASI PELAYANAN PUBLIK KEMENTERIAN AGAMA
Rapat Kerja Kementerian Agama (Raker Kemenag) tahun 2017 baru saja diselenggarakan minggu lalu, tepatnya tanggal 26-27 Pebruari 2017. Acara ini dibuka langsung oleh Menteri Agama RI, Bapak Lukman Hakim Saifuddin, di Hotel Mercure Ancol Jakarta.
Acara ini diikuti oleh seluruh Kakanwil Kemenag Provinsi, Para Pimpinan PTKN, pejabat eselon dua Kemenag Pusat dan juga pejabat eselon satu pusat. Acara tahunan ini memang diselenggarakan di dalam kerangka untuk menjadi ajang bagi penyamaan visi, misi dan persepsi ASN Kemenag menghadapi tahun anggaran 2017 dan sekaligus juga evaluasi pelaksanaan anggaran tahun 2016. Pada waktu pembukaan hadir juga Ketua Komisi delapan DPR RI, pimpinan majelis-majelis agama, dan pimpinan Baznas, BWI serta juga KPHI. Tiga yang terakhir memang menjadi peserta di dalam raker ini.
Di dalam sambutan pembukaan Pak Menag menyatakan bahwa ASN Kemenag harus meningkatkan kinerjanya. Beliau mengapresiasi terhadap capaian serapan anggaran Kemanag yang menjadi nomor dua dari 10 Kementerian/Lembaga dengan anggaran besar. Capaian sebesar 93,55 persen dari anggaran Kemenag perlu diapresiasi. Demikian pula capaian Laporan Kinerja juga tinggi. Berdasarkan Laporan Kinerja eselon satu diketahui bahwa capaian kinerja kita tergolong baik. Selain itu Beliau juga mengapresiasi terhadap diundangnya Ombudsman Republik Indonesia untuk memberikan penjelasan mengenai bagaimana pelayanan public tersebut harus dilakukan, sehingga penilaian public terhadap pelayanan kita menjadi semakin baik. Jika sekarang kita masih berada di zona kuning, maka tahun depan harus berubah menjadi warna hijau. Oleh karena itu, tahun ini pelayanan public Kemenag harus diubah dari yang konvensional menjadi berbasis IT. Kita sudah memiliki Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), dengan enam jenis layanan. Ke depan harus semakin banyak pelayanan Kemenag yang berbasis IT terpadu.
Selain sambutan Menteri Agama, juga dilakukan dialog interaktif yang dipandu oleh presenter JakTV, Fessy Akbar dengan menampilkan narasumber dari Kepolisian Republik Indonesia, Badan Intelligen Negara (BIN) dan sekjen Kemenag yang mewakili suara Kemenag. Sebenarnya yang ingin ditampilkan adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Kepala BIN dan Pak Menag. Tetapi akhirnya yang hadir adalah para Direktur dan saya.
Selain sessi sidang pleno, juga menghadirkan sessi sidang komisi. Ada tiga komisi yang dihadirkan di dalam raker ini, yaitu: Tata Laksana penyelenggaraan pemerintahan di Kemenag, Komisi Pendidikan agama dan keagamaan dan Komisi pelayanan agama. Komisi satu dibawah koordinasi Pak Hadi (staf Khusus Menteri), komisi dua dibawah koordinasi Pak Kamar (Dirjen Pendis) dan Komisi tiga dibawah koordinasi Pak Jamil (Dirjen PHU).
Saya ingin menyoroti sidang Komisi satu, sebab hal ini terkait dengan tatalaksana pemerintahan. Di antara yang menonjol di dalam pembicaraan di Komisi satu tentu terkait dengan keinginan menjadikan pelayanan Kemenag lebih transparan dan akuntabel. Maka pilihannya tidak lain ialah dengan membangun pelayanan terpadu satu pintu, di mana piranti yang digunakannya ialah teknologi informasi. Kemenag harus memasuki wilayah ini. Tidak ada kata selain harus menyelenggarakannya.
Era sekarang ialah era digitalisasi pelayanan public. Siapa yang mampu menterjemahkan pelayanan publiknya dengan menggunakan piranti teknologi informasi maka dialah yang akan leading di era sekarang ini. Melalui aplikasi teknologi informasi, maka dapat dipastikan akan semakin cepat pelayanan tersebut diselesaikan. Dengan relasi berbasis teknologi informasi, maka dapat dipastikan bahwa tidak akan ada pelayanan berbasis bawah meja. Kalau tidak ada “sesuatu” yang diselipkan di bawah meja, maka pelayanan menjadi lama dan tidak ada kabarnya.
Kita telah memiliki layanan berbasis IT. Semua unit eselon satu sudah memiliki sistem manajemen IT, misalnya di Setjen terdapat E-MPA atau Elektronik Monitoring Pelaksanaan Anggaran, di Ditjen Pendis sudah ada EMIS atau Electronic Management of Education System, di Ditjen Bimas Islam sudah terdapat Simkah atau Sistem Manajenemn Pernikahan, Siwak atau Sistem Manajemen Wakaf, Simas atau Sistem Manajemen Masjid dan sebagainya, serta di Ditjen PHU juga sudah terdapat Siskohat atau Sistem informasi komunikasi haji terpadu. Dan di seluruh unit eselon satu juga memiliki Web Kemenag. Demikian pula di Kantor Wilayah Kemenag juga sudah terdapat web Kemenag. Jadi sebenarnya sudah terdapat kesadaran yang sangat tinggi di kalangan pimpinan satker untuk menjadikan sistem informasi sebagai bagian tidak terpisahkan dari kinerja Kemenag. Bahkan setiap tahun kita juga memberikan penghargaan kepada satker Kemenag provinsi yang webnya terbaik.
Jadi sebenarnya sudah terdapat berbagai system informasi, hanya saja masih sangat parsial di dalam aplikasinya. Oleh karena tugas kita adalah menyatukan hal-hal terserak tersebut agar menjadi satu kesatuan. Ke depan harus dihasilkan satu system elektronik yang menjamin pelayanan satu pintu itu.
Makanya, di dalam acara penutupan di mana saya diminta Pak Menteri untuk mewakilinya, maka saya sampaikan kembali pesan Pak Menteri Agama agar kita menyatukan langkah di dalam membangun system pelayanan terpadu. Dan ungkapan yang saya gunakan adalah “Jadikan Tahun 2017 Sebagai Tahun Digitalisasi Pelayanan Public Kementerian Agama”.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PERKUAT KINERJA DENGAN SOCIAL INTELLIGENT (2)

PERKUAT KINERJA DENGAN SOCIAL INTELLIGENT (2)
Manusia di dalam kehidupannya memiliki tiga kebutuhan mendasar yaitu kebutuhan biologis, kebutuhan social dan kebutuhan integrative. Sebagai makhluk social, manusia memang tidak bisa hidup sendiri akan tetapi selalu memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap manusia lain dan dunia lingkungannya. Tidak terkecuali juga di dalam kehidupannya di dunia pekerjaan, misalnya perusahaan, birokrasi, pemerintahan dan sebagainya.
Bahkan untuk memenuhi kebutuhan asasinya, misalnya pemenuhan kebutuhan biologis, manusia juga membutuhkan manusia lainnya. Untuk makan saja manusia harus tergantung kepada dunia sekelilingnya. Tidak mungkin manusia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya untuk makan dengan mencukupkan dirinya sendiri. Pada masyarakat primitive mungkin hal itu bisa dilakukan, misalnya dia berburu sendiri lalu dimakan sendiri. Akan tetapi di era kompleksitas kehidupan ini, maka dapat dipastikan bahwa untuk memenuhi kebutuhannya manusia pastilah memerlukan bantuan atau pertolongan dari lainnya. Jika membutuhkan makanan apapun jenisnya, maka membutuhkan sederet manusia lainnya.
Manusia akan selalu hidup di dalam dunia sosialnya itu. Sampai kapanpun. Dengan demikian, manusia membutuhkan komunikasi dengan manusia lainnya. Manusia memerlkukan kemampuan berkomunikasi, apakah lewat bahasa atau lewat gerak tubuh agar bisa melakukan komunikasi dengan manusia lainnya. Di dalam komunikasi tersebut, maka factor penting yang harus dimiliki adalah bagaimana yang bersangkutan bisa mengartikulasikan kepentingannya itu untuk bisa dipahami oleh orang lain. Dan yang lain memahami kepentingan tersebut.
Dalam sebuah riwayat, Nabi Musa termasuk orang yang kurang mampu berkomunikasi secara lesan dengan baik. Maka Allah menurunkan Nabi Harun yang dalam konteks sekarang bisa dipahami sebagai interpreter. Nabi Harun bisa menjadi komunikator yang baik untuk memfasilitasi kewahyuan Musa dan tentu saja kewahyuannya sendiri untuk disampaikan kepada masyarakat. Dua orang Nabi yang bisa saling melengkapi di dalam kehidupan sosialnya di waktu itu. Allah tentu memberikan kepada keduanya kelengkapan kecerdasan: kecerdasan akali, kecerdasan social dan emotional dan kecerdasan spiritual. Keempatnya merupakan kecerdasan sempurna yang hanya dimiliki oleh orang yang dipercaya oleh Allah untuk menjadi penyambung lidah keumatan.
Di dalam berkomunikasi itu, maka dimensi penting yang harus dimiliki oleh manusia sebagai makhluk social ialah empathy. Yaitu kemampuan manusia untuk mengandaikan dirinya berada di dalam posisi lawan bicaranya. Sebuah kemampuan yang hanya dimiliki manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Makhluk lainnya hanya bisa menyatakan dalam bahasanya: ya atau tidak, maka manusia dengan kemampuan social intelligent dan emotional intelligent, maka akan bisa memberikan posisi dirinya di dalam konteks yang tidak ekstrim ya atau tidak. Kemampuan ini yang disebut sebagai kemampuan empati dimaksud.
Hanya saja, manusia juga dikaruniai sifat-sifat yang bisa merongrong terhadap kemampuan empati dimaksud. Manusia memiliki ambisi yang terkadang justru lebih dahsyat daya rusaknya terhadap kehidupan social. Manusia bisa menjadi monster yang lebih dahsyat dibanding dengan makhluk lainnya. Peperangan yang terjadi dewasa ini bahkan semenjak dahulu kala ialah nafsu dahsyat untuk menghancurkan lainnya demi kekuasaan yang diinginkannya. Berapa banyak korban dari peperangan yang terjadi di seluruh dunia dari masa ke masa. Bahkan jika dikalkulasi waktu perang di dunia ini dengan waktu damai, maka jumlahnya akan lebih banyak waktu perangnya. Jika di masa lalu perang itu satu lawan satu, maka sekarang dengan ditemukannya teknologi perang, maka kehancuran tidak terkira.
Ambisi untuk “menguasai” itulah yang menyebabkan dunia menjadi tempat yang tidak nyaman. Ada banyak pertikaian, perlawanan, pertarungan dan rivalitas dan konflik berkepanjangan yang terjadi. Makanya, ambisi kekuasaan itulah yang merusak kemampuan empathy yang diberikan Tuhan kepada manusia. Demi kekuasaan orang bisa melakukan segalanya, membunuh fisik dan juga kepribadian. Munculnya istilah character assassination adalah contoh bahwa manusia bisa melupakan social and emotional intelligent.
Di dalam konteks ini, maka yang sungguh diperlukan oleh dunia birokrasi ialah bagaimana menyatukan yang terserak, mengendalikan ambisi berkuasa dan menyeimbangkan keteraturan dengan keinginan untuk melakukan rivalitas. Semua ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi semua pimpinan di dalam birokrasi. Suatu hal yang sangat penting ialah bagaimana menjaga keharmonisan di dalam dinamika kepentingan yang bervariasi. Makanya menjadi pemimpin itu mudah, tetapi mengemban tugas sebagai pemimpin bukan hal yang sederhana.
Yang sangat perlu untuk dilestarikan tetapi juga dikembangkan adalah bagaimana kita menjadi pemimpin dan juga yang dipimpin untuk saling bisa memberikan kesepahaman dalam konteks empathy ini. Misalnya, seorang pemimpin jangan pernah marah kepada seseorang di dalam forum yang dihadiri oleh orang banyak. Marah seperti ini akan menghasilkan kemarahan lainnya. Jika terpaksa harus “marah” maka lakukan secara face to face dalam suatu situasi yang memungkinkan hal itu terjadi. Jadi, kamarahan itu hanya diketahui oleh orang yang dikenai tindakan tersebut.
Jangan sampai kemarahan menghasilkan kemarahan baru lainnya. Tetapi yang lebih baik saya kira bukan kemarahan yang diluapkan akan tetapi justru nasehat yang diberikan. Tentu ada strategi mengubah marah menjadi nasehat. Dan setiap orang memiliki kapasitasnya sendiri-sendiri. Konon katanya: “say with flower is better than marah-marah”.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PERKUAT PENDIDIKAN DENGAN DIGITALISASI PELAYANAN

PERKUAT PENDIDIKAN DENGAN DIGITALISASI PELAYANAN
Saya merasakan kegembiraan sewaktu saya bisa menghadiri acara yang diselenggarakan oleh IAIN Ponorogo. Sudah lama sekali, Ibu Rektor, Bu Siti Maryam Yusuf, mengundang saya untuk memberikan pencerahan kepada seluruh pejabat di IAIN Ponorogo. Akan tetapi baru kali ini, Sabtu, 04/03/17, saya bisa hadir. Acara ini bertepatan diselenggarakan di Solo, di Hotel Lor Inn, dan dihadiri oleh seluruh jajaran pejabat baik struktural maupun fungsional IAIN Ponorogo.
Acara raker seperti ini tentu penting sebagai ajang untuk membangun kebersamaan dan kerja sama, terutama untuk melaksanakan kegiatan, baik akademik maupun non akademik di perguruan tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa ada lima aspek yang menjadi pelayanan pendidikan tinggi, yaitu: layanan jasa kurikuler, layanan jasa nonkurikuler, layanan jasa penelian, layanan jasa pengabdian masyarakat dan layanan adminisrasi pendidikan. Semua harus dilakukan untuk tujuan kepuasan pelanggan dan bahkan loyalitas pelanggan.
Di dalam kesempatan ini, saya sampaikan tiga hal penting yaitu: pertama, agar PTKIN berusaha secara optimal untuk memenuhi misi pendidikan tinggi Islam. Sebagaimana diketahui bahwa sesuai dengan Renstra Kemenag, bahwa misi Pendidikan tinggi Islam ialah untuk memperluas akses dan pemerataan pendidikan tinggi, untuk meningkatkan pelayanan pendidikan tinggi, untuk meningkatkan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan tinggi, dan untuk meningkatkan kualitas penelitian. Saya menekankan pada peningkatan kualitas pelayanan pendidikan tinggi dan kualitas penelitian.
Dua hal ini saya anggap sangat urgen sebab kualitas pelayanan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan pendidikan. Pelayanan berbasis pada kepuasan pelanggan tentu menjadi ukuran apakah pendidikan kita itu berhasil atau tidak. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan merupakan instrumen bagi peningkatan kualitas manusia Indonesia. Pada tahun 2035 diharapkan sedikitnya ada sebanyak 100 juta lebih masyarakat Indonesia yang menjadi kelas menengah baru. Diharapkan bahwa dari jumlah tersebut, maka ada banyak alumni PTKIN yang berada di dalamnya. Keberhasilan pendidikan di bawah Kemenag adalah jika semakin banyak orang Indonesia yang bisa menjadi bagian dari klas menengah yang berlatar pendidikan dari PTKIN.
Pelayanan pendidikan tentu menjadi indicator bagi keberhasilan pendidikan untuk mereformasi dirinya. Jangan sampai lembaga pendidikan tinggi sebagai gudang orang pintar, cerdas dan bermoral lalu tidak memberikan kontribusi positif bagi keberhasilan pendidikan untuk mengantarkan alumninya untuk menjadi orang sukses. Makanya, yang sangat diharapkan untuk menyumbangkan peningkatan kompetensi dan kompetisi bangsa ialah lembaga pendidikan tinggi, tidak terkecuali ialah PTKIN yang berada di bawah Kemenag.
Di tengah perubahan demi perubahan di dunia pelayanan public, misalnya dengan berlakunya paradigma baru, customer loyalty, maka sudah sepantasnya jika PTKIN memelopori berkembangnya pelayanan public berbasis pada customer loyalty. Jangan hanya dunia bisnis yang mengembangkan konsep ini, akan tetapi PTKIN juga harus berbuat secara optimal.
Kedua, peningkatan kualitas penelitian. Perguruan tinggi merupakan wahana paling penting sebagai institusi yang bergerak di bidang penelitian. Sebagai perwujudan dari tri dharma pendidikan tinggi, maka penelitian memiliki fungsi strategis di dalam konteks pengembangan pendidikan. Lembaga pendidikan yang bermutu ditentukan oleh banyaknya penelitian para dosennya yang bernilai outstanding. Jadi yang diharapkan bukan penelitian untuk kepentingan kenaikan jabatan, akan tetapi penelitian untuk kepentingan pengembangan ilmu dan juga kebijakan publik.
IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi memanggul tugas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Maju atau mundurnya dunia ilmu pengetahuan sangat tergantung kepada bagaimana penelitian menjadi tradisi lembaga pendidikan tinggi. Perguruan tinggi seperti Harvard University, Oxford University, MIT, Al Azhar University dan sebagainya tentu dikenal oleh dunia internasional karena penelitian para profesornya di bidang ilmu pengetahuan. Keberhasilan para professor untuk menyabet penghargaan Nobel, tentu karena kualitas penelitian yang dilakukan oleh para professornya. Makanya di Inggris yang menjadi daya tarik para mahasiswa strata dua untuk memasuki PT adalah karena peran akademik para professornya.
Tentu saja PTKIN masih jauh dari posisi tersebut, akan tetapi bukan salah jika kemudian PTKIN juga mengarahkan pandangannya untuk mengembangkan penelitian menuju kepada penguatan dan pengembangan riset, baik akademik maupun kebijakan.
Ketiga, lembaga pendidikan harus melakukan inovasi untuk penguatan pelayanan kepada stakeholdernya. Era sekarang ditandai dengan digitalisasi layanan. Salah satu kekuatan pelayanan kepada public ialah pelayanan berbasis teknologi informasi. Saya menyatakan di dalam rakernas Kemenag, bahwa tahun 2017 dijadikan sebagai tahun digitalisasi pelayanan Kementerian Agama. Makanya, PTKIN harus memulai untuk melakukan pelayanan berbasis digital ini. Jangan sampai PTKIN tertinggal dari perubahan cepat berbasis digital.
Oleh karena itu, PTKIN harus memetakan mana pelayanan yang bisa didigitalisakan dan mana yang harus tetap manual. Yang bisa didigitalisasikan maka harus dikerjasamakan dengan ahli aplikasi IT untuk dapat dibuat aplikasi IT-nya, sehingga akan dapat digunakan sebagai basis layanan PTKIN. Salah satu penyebab mengapa Kementerian Ristekdikti dapat menempati warna hijau dalam penilaian Ombudsman Republik Indonesia (ORI) sesuai dengan informasi kepala ORI ialah penerapan teknologi informasi di dalam pelayanannya.
Oleh karena itu, jika perguruan tinggi ingin memberikan kontribusi di dalam peningkatan kualitas layanan kepada public, maka yang diperlukan ialah bagaimana PTKIN mendevelop pelayanan public berbasis pada IT. Dan saya kira PTKIN bisa melakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PERKUAT PELAYANAN BERBASIS SOCIAL INTELLIGENT (1)

PERKUAT PELAYANAN BERBASIS SOCIAL INTELLIGENT (1)
Di dalam perjalanan ke Solo dari Jakarta, saya sempatkan untuk membaca buku yang saya kira sangat menarik, yaitu “Social Intelligent” karya Dale Golemann. Seorang penulis yang produktif di dalam bidang inteligensi dan motivator yang sangat baik di dalam memberikan penjelasan-penjelasan tentang kemampuan untuk bekerja keras berbasis pada emotional intelligent dan social intelligent.
Baginya, bahwa setiap manusia memiliki bakat sosial atau social intelligent, sebab sebagaimana diketahui bahwa manusia memang dirancang oleh Tuhan dengan kecenderungan untuk melakukan tindakan-tindakan sosial ini. Manusia dengan otak dan saraf-sarafnya memang dirancang untuk berkecenderungan berhubungan dengan manusia lainnya. Dia menjelaskan bahwa kecerdasan sosial adalah “kemampuan memahami dan mengelola orang lain.”
Sebuah definisi yang sangat pendek, tidak bertele-tele dan tidak membingungkan, akan tetapi memiliki makna yang sangat mendalam. Saya berusaha untuk memahami definisi ini melalui kemampuan saya untuk menalarnya. Ada dua kata penting di dalam definisi ini, yaitu memahami dan mengelola. Dua kata yang saya kira memiliki kedalaman makna dibalik itu. Memahami bagi saya merupakan kata yang paling sering diungkapkan di dalam berbagai event, apapun kejadiannya. Memahami orang lain bukanlah perkara mudah. Memahami merupakan suatu kondisi yang dibutuhkan oleh orang perorang di dalam hubungannya dengan orang lain. Jadi di kala kita berhubungan dengan orang lain, maka yang sangat dibutuhkan ialah kemampuan kita untuk memikirkan, merasakan dan memahami apa yang sesungguhnya diinginkan, diperlukan dan dirasakan bahkan apa yang akan dilakukan oleh orang lain itu.
Dengan demikian, memahami memiliki makna yang sangat kompleks. Tidak berhenti pada memikirkan dan merasakan akan tetapi juga apa yang sebaiknya dilakukan untuk orang lain itu. Kompleksitas makna inilah yang terkadang membuat kita gagal memahami orang lain. Di dalam konteks ini lalu dikenal istilah “gagal paham”. Bukannya tidak paham tetapi gagal memahami apa yang sesungguhnya harus dilakukan di dalam koteks komunikasi atau hubungan dengan orang lain itu.
Di antara yang mendasar agar kita memahami “sang liyan” adalah dengan menggunakan empathy. Yaitu kita merasa berada di dalam situasi “sang liyan” itu. Kita berada di dalam situasi yang “seakan-akan” dirasakan dan dialami oleh orang lain. Dengan pemahaman seperti ini, maka ada peluang yang lebih besar untuk bisa memahami orang lain. Manusia diciptakan untuk bisa merasakan apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain. Manusia diberikan kemampuan oleh Tuhan, Allah swt, untuk bisa merasakan penderitaan, kesenangan dan juga kebahagiaan orang lain. Meskipun tentu tidak sama persis dengan apa yang dirasakan atau dialami oleh orang lain itu.
Melalui kemampuan empathy tersebut, maka manusia menjadi lebih arif karena merasakan apa yang dirasakan orang lain itu. Saya diingatkan oleh Pak Menteri Agama, tentang bagaimana harus menjaga perasaan orang di dalam pelantikan jabatan, sebab ada hal-hal yang dirasakan kurang tepat di dalam pelaksanaannya. Saya masih ingat pernyataannya tentang pembatalan pelantikan yang sangat mendesak: “bagaimana kalau pembatalan itu kita yang merasakan atau keluarga kita yang merasakan”. Saya tentu sangat memahami apa yang dinyatakan oleh Pak Menteri ini dalam kaitannya dengan pembatalan pelantikan yang sangat mendadak, sebab tentu mereka yang akan dilantik di dalam jabatan itu sudah melakukan persiapan yang sangat mendasar. Tidak hanya persiapan fisik tetapi juga batinnya.
Memang di dalam situasi tertentu kita harus mengambil keputusan. Dan sebagaimana lazimnya bahwa pengambilan keputusan tentu harus dilakukan berdasar atas berbagai masukan yang selalu menjadi bahan pertimbangan. Namun demikian, pertimbangan yang seharusnya digunakan adalah dengan menggunakan dimensi pikir, rasa dan hati di dalam konteks empati ini. Jika ditinggalkan salah satunya, maka akan kehilangan daya rekatnya bagi kehidupan sosial kita.
Memimpin dan memanaj dengan hati merupakan bagian tidak terpisahkan dari kecerdasan sosial ini. Memahami dan memanej orang lain bukanlah perkara mudah. Seseorang membutuhkan keahlian khusus dan semua berbasis pada pikiran, perasaan dan hati. Jika hanya menggunakan pikiran, maka hanya akan menghasilkan jawaban ya atau tidak. Dengan rasa juga hanya akan menghasilkan perasaan senang atau kurang dan tidak senang, akan tetapi tentu diperlukan hati yang berposisi mengayuh di antara dua sisi logika dan perasaan, maka akan dihasilkan kearifan. Hati akan menjadi penyeimbang yang penting akan setiap pertimbangan rasio juga menempatkan perasaan sebagai basis perasaan kemanusiaan kita.
Yang diharapkan dengan penerapan social intelligent adalah kemenyatuan antara pikiran, rasa dan hati. Jika ketiganya bisa dioptimalkan untuk kepentingan kinerja, maka dipastikan bahwa akan diperoleh proses bisnis dan juga produk yang optimum untuk pelayanan pelanggan.
Wallahu a’lam bi al shawab.