• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KEKUASAAN (3)

KEKUASAAN (3)
Kekuasaan merupakan kelezatan dunia. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dibantah. Ada banyak fasilitas yang diberikan karena kekuasaan. Orang bisa mendapatkan prestise karena kekuasaan. Orang bisa mendapatkan fasilitas material dan fisikal karena kekuasaan. Orang juga bisa mendapatkan kepuasaan sosial dan politik karena kekuasaan.
Makanya banyak orang yang “tergila-gila” kekuasaan. Orang bisa melakukan apa saja untuk merebut dan bahkan mempertahankan kekuasaan. Bahkan dengan cara yang tidak manusiawi untuk kepentingan atas nama kekuasaan. Orang yang selesai berkuasa terkadang juga terkena post-power syndrome atau sindrom pasca kekuasaan. Orang yang sudah tidak memiliki kekuasaan tetap terus merasa berkuasa. Masih ingin mengatur dan menguasai sumber daya kehidupan. Tidak hanya politisi, birokrat dan sebagainya, akan tetapi juga kaum intelektual organic. Semua bisa terkena syndrome pasca kuasa ini.
Apakah hanya hal-hal yang negative terkait dengan kekuasaan. Ternyata tidak. Ada juga sisi positif tentang kekuasaan. Kekuasaan bisa bisa menjadi “wakaf politik” yang menguntungkan dan bisa menyejahterakan masyarakat. Atau dengan kata lain, bahwa seseorang akan bisa membangun masyarakat dengan kekuasaannya itu. Walhasil bahwa kekuasaan dapat dijadikan sebagai medan perjuangan untuk membangun umat, bangsa dan negara.
Selain cerita peperangan yang diakibatkan oleh kekuasaan juga ada cerita tentang kemakmuran yang diakibatkan oleh kekuasaan. Di sini juga terdapat hukum berpasangan terkait dengan kekuasaan. Ada kejelekan dan ada kebaikan. Bahkan juga keduanya sekaligus berada di dalam kekuasaan. Memang selalu ada positif dan negative di dalam kehidupan umat manusia.
Di dalam kehidupan ini ada pahlawan dan ada pecundang. Keduanya memang menjadi bagian dari kehidupan manusia di dalam berbagai seginya. Kekuasaan bisa menghasilkan kepahlawanan dan bisa juga menghasilkan kepencundangan. Kedunya merupakan hasil konstruksi manusia terkait dengan apa yang dilakukan oleh seorang individu di dalam kehidupannya. Kepahlawanan dihasilkan oleh kaum pemenang dan kepecundangan dihasilkan oleh kekalahan. Bukankah sejarah adalah cerita kaum “pemenang”. The history is made by the winner.
Kekuasaan bisa diindikasikan sebagai “wakaf politik” positif jika memenuhi beberapa aspek yang mendasar. Pertama, kekuasaan diperoleh bukan karena kelicikan, baik dari aspek pembunuhan karakter maupun politik uang. Kekuasaan dihasilkan oleh adanya kesadaran dari para pengikutnya yang memahami bahwa orang yang dipilih memang benar-benar bertujuan untuk kebaikan. Kepemimpinan seperti ini bukan hanya mutlak milik organisasi keagamaan, tetapi juga bisa ada di mana-mana.
Kedua, kekuasaan dijadikan sebagai medan perjuangan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Kekuasaan bukan sebagai medan untuk kenikmatan diri dan keluarganya, akan tetapi benar-benar dibagi-bagi untuk membangun negeri dan rakyatnya. Tentu penguasa harus memiliki kemampuan ekonomi yang cukup, memiliki kesehatan yang baik, memiliki kewibawaan yang dibangun di atas “kebenaran dan kejujuran”, dan juga harus memiliki otoritas yang penuh untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat. Jadi penguasa tidak justru memanfaatkan kekuasaan untuk tujuan memperkaya diri sendiri, dan tidak menjadikan kekuasan sebagai medan untuk KKN. Apakah masih ada penguasa yang seperti ini, maka saya kira masih ada. Bukan hanya di dalam sejarah masa lalu tetapi juga sekarang. Dia adalah penguasa yang adil dan bener tur pener (dalam bahasanya orang Jogyakarta, yang berarti benar dan tepat).
Ketiga, penguasa harus memiliki kecerdasan intelektual sehingga mampu menghasilkan inovasi-inovasi untuk kepentingan rakyat. Inovasi yang didasari oleh keinginannya untuk menghasilkan yang terbaik bagi bangsanya. Dengan kecerdasan intelektualnya maka dia memiliki visi dan misi yang baik untuk membangun bangsanya. Dia terus mengembangkan tradisi baik yang bermanfaat bagi masyarakatnya, akan tetapi juga terus berupaya untuk mengembangkan tradisi baru yang lebih bermanfaat bagi bangsanya. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran akan menjadikan kemakmuran rakyat sebagai wakaf politiknya.
Keempat, penguasa yang memiliki kecerdasan emosional, yaitu kemampuan adaptasi, kolaborasi dan empati. Dia tidak merasa bahwa kekuasaan itu adalah miliknya, sehingga orang lain hanya yang membantunya saja, akan tetapi orang lain di sekitarnya adalah orang yang penting bagi dirinya. Bukan hanya sekedar membantu tetapi yang mendukung terhadap kesuksesannya. Melalui tiga aspek itu maka dia akan menenpatkan dirinya di dalam pusaran yang terus bergerak untuk menempatkan pusaran tersebut di dalam keseimbangan. Penguasa juga harus memiliki kecerdasan sosial agar di dalam memimpin dapat menyelenggarakan kekuasaan berbasis pada pemahamannya tentang orang lain. Melalui kecerdasan sosial, maka dia akan menempatkan dirinya dalam posisi sentral tetapi berada di dalam dinamika sosial di sekelilingnya, maka dia akan melakukan yang terbaik bagi dunia sosialnya. Bahkan juga memiliki kecerdasan spiritual yaitu kesadaran bahwa amalan yang dilakukan tidak hanya berdimensi duniawi tetapi juga ukhrawi. Melalui kecerdasan spiritual maka seorang penguasa akan dapat melakukan keseimbangan antara kehidupan yang profan dan sacral. Yang sacral dijadikan sebagai panduan di dalam mengemban tugas untuk menyejahterakan rakyat. Dia melakukan ibadah kepada Tuhan sebagai manifestasi relasi dengan Tuhannya, akan tetapi juga tidak melupakan kehidupan di dunia sehingga tentu membutuhkan sarana-prasarana kehidupan duniawi melalui relasinya dengan sesame manusia.
Kelima, penguasa harus menggunakan orang-orang professional pada tempatnya. The right man on the right place. Dia yang menentukan kebijakan dalam kolaborasinya dengan pihak lain dan menjadikannya sebagai policy untuk mewujudkan kesejahtaraan dan kemakmuran anak negeri, dari mana datangnya. Dia akan merekrut orang sesuai dengan job fitnya. Melalui penempatan orang-orang yang professional dalam bidangnya, maka akan didapatkan kinerja yang baik sebagai prasyarat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tidak mungkin kinerja jelek akan menghasilkan kepuasan masyarakat.
Jika para penguasa dapat menempatkan diri di dalam pusaran kekuasaan dengan menggunakan tolok ukur minimal seperti itu, maka kekuasaan akan bisa menjadi wakaf diri untuk kebaikan umat. Jadi sesungguhnya tetap ada dan mesti ada kebaikan yang terdapat di dalam kekuasaan. Semuanya tergantung pada manusia dibalik kekuasaan itu. Raja Namruz, Raja Fir’aun, Raja-raja yang dzalim di mana saja tentu ada, tetapi Khalafaur Rasyidin, Umar Ibn Abdul Aziz, dan Raja-raja atau penguasa yang baik juga terdapat di dalam dinamika kehidupan.
Jadi, sesungguhnya kekuasaan akan bisa menjadi kebaikan yang bisa dipertanggungjawabkan kepada manusia, masyarakat dan Tuhan di kala jabatan tersebut bisa digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KEKUASAAN (2)

KEKUASAAN (2)
Saya telah membahas sisi negative nafsu kekuasaan yang secara empiris memang berdaya rusak luar biasa terutama yang mengaksentuasikan kekuasaan untuk memenuhi hasrat berkuasa dan menguasai sumber daya kehidupan. Dari sinilah sesungguhnya banyak masalah yang dihadapi oleh manusia terkait dengan pemenuhan hasrat berkuasanya itu.
Kehidupan manusia memang sarat dengan keinginan dan kepentingan. Bahkan ada sebuah ungkapan yang rasanya memang benar, bahwa yang abadi itu adalah kepentingan. Jika seseorang memiliki kepentingan yang sama maka dipastikan mereka akan memiliki kesamaan tujuan untuk mencapainya. Bahkan yang lebih dari itu, mereka akan berkolaborasi untuk mencapai tujuannya.
Saya juga sampai pada kesimpulan, bahwa orang yang jahat jika bertemu dengan orang yang jahat, maka yang dibahasnya pastilah tentang kejahatan. Tetapi jika orang baik bertemu dengan orang baik, maka yang dibahas juga tentang kebaikan. Potensi kebaikan dan kejahatan itulah yang sebenarnya membedakan perbincangan tentang dunia ini di antara kita semua. Di dalam konteks ini, maka Islam menganjurkan agar kita memilih orang yang baik sebagai kawan atau sahabat agar kita selalu berada di dalam kebaikan. Kita ini mengikuti siapa yang kita cintai. Cinta dalam konteks kebaikan.
Di antara medium efektif untuk mencapai tujuan berkuasa ialah politik, makna politik di sini tidak selalu dikonsepsikan sebagai partai politik, tetapi politik dalam konteks strategi dan cara yang efektif untuk mencapai tujuan atau kepentingan. Atau dalam kalimat yang lebih ringkas, politik dalam konteks artikulasi kepentingan. Yang penting politik itu dipakai untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh individu atau sekelompok individu.
Semua yang terkait dengan pencapaian keinginan kekuasaan, di mana saja, apa saja dan kapan saja selalu dipastikan bahwa di dalamnya terdapat strategi atau cara yang efektif untuk mencapainya. Inilah yang saya sebutkan bahwa strategi atau cara efektif itulah yang dimaksud dengan politik. Jadi semua hal yang terkait dengan pemenangan untuk mencapai tujuan kekuasaan tentu dimaknai sebagai politik itu.
Pemilihan Ketua RT, RW, Kepala Desa, Ketua organisasi local maupun nasional hingga internasional, pilihan Wali kota/Wawali kota, Bupati/Wakil Bupati, Gubernur/Wakil Gubernur, Presiden/Wakil Presiden, Pimpinan BPK, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Pimpinan KPU/KPUD, KPI/KPID, pimpinan organisasi keagamaan (NU, Muhammadiyah, MUI, KWI, PGI, Walubi dan sebagainya), pimpinan BAZNAS, Badan Wakaf Indonesia (BWI), Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) merupakan bagian dari politik dalam makna tersebut.
Pilihan Dekan, Wakil Dekan, Rektor, Wakil Rektor, direktur Pascasarjana, dan semua hal yang terkait dengan konsepsi “pilihan” maka di dalamnya terdapat sebuah strategi atau cara efektif untuk memenuhi tujuan. Di dalam kehidupan ini, di mana di dalamnya terdapat sebuah peluang untuk memilih dari sekelompok orang atau individu untuk menentukan siapa orang yang akan menduduki jabatan atau tempat kedudukan tertentu, maka di situ terdapat strategi atau cara efektif untuk melakukan kegiatan politik. Makanya, di mana terdapat istilah “seleksi” atau “pilihan”, maka di situ dipastikan akan terdapat yang disebut sebagai “politisasi”. Makanya, kita juga tidak akan bisa memberikan justifikasi sebuah lembaga akan steril dari politisasi, karena memang sistem dan dinamikanya menghendaki terjadinya politisasi tersebut.
Ada beberapa cara efektif untuk memenangkan pertarungan di dalam meraih kekuasaan. Yaitu; Pertama, dengan pembunuhan karakter. Di mana terdapat pilihan jabatan public, maka di situ akan terdapat suatu upaya untuk menjatuhkan lawannya dengan melakukan serangkaian gerakan untuk “membunuh” karakter lawan politiknya. Dosa sosial, baik yang disengaja atau tidak disengaja, bahkan jika perlu dibuatkan dosa sosialnya itu, agar bisa dijadikan sebagai medium untuk menghancurkan lawan politiknya. Pemetaan terhadap “kesalahan” masa lalu akan sangat efektif untuk dijadikan sebagai alat untuk menjatuhkan lawan politiknya. Bahkan juga kesalahan yang sudah diselesaikan secara hukum sekalipun. Seseorang yang menjatuhkan jarum di malam gelap pun akan bisa diketahui berdasarkan atas pemetaan yang sangat jeli. Character assassination selama ini memang sangat efektif dijadikan sebagai strategi untuk melumpuhkan lawan politik yang dianggap membahayakan.
Kedua, strategi yang juga efektif untuk memenangkan pertarungan politik ialah melalui politik uang. Cara ini tentu membutuhkan kemampuan ekonomi yang hebat. Jika seseorang tidak memilikinya, maka bisa juga dihadirkan para sponsor untuk membiayainya. Dibalik gerakan sponsor ini tentu adalah potensi kehadiran kebijakan yang akan menguntungkan para sponsornya. Makanya banyak proyek yang kemudian hadir dengan berbagai permasalahan tentu diakibatkan oleh adanya tindakan yang seperti ini.
Strategi ini diperlukan terkait dengan sikap permissiveness yang dimiliki oleh sebagian masyarakat kita dan juga pimpinan institusi yang memang membutuhkan cara-cara ini untuk menggoalkan tujuan dan kepentingannya. Cara ini sangat lazim digunakan di dalam berbagai pilihan politik, misalnya pilkada. Dan sebagaimana diketahui bahwa banyak masalah yang muncul sebagai akibat dari praksis politik yang meniscayakan peluang ini terjadi.
Ketiga, staregi kombinasi, character assassination dan money politics sekaligus. Cara ini digunakan menurut level lawan politik. Ada yang harus menggunakan pembunuhan karakter dan ada yang harus menggunakan politik uang. Jadi ada yang coraknya dagang sapi dan ada yang coraknya pembunuhan karakter. Semua dilakukan dengan kesadaran bahwa kemenangan merupakan tujuan untuk mencapai sesuatu, yaitu pengusaan sumber daya kehidupan dalam segala aspeknya.
Kita ini sering “mengecam” terhadap praktik politik dengan slogan “tujuan menghalalkan segala cara”. Pemikiran ini dikaitkan dengan filosof politikus, Machiavelli. Jadi jika ada seseorang yang melakukan keduanya, maka akan dicap sebagai politik Machiavelli. Jadi, seharusnya kita tidak akan pernah melakukannya untuk kepentingan kekuasaan. Jika kita melakukannya, maka sesungguhnya kita adalah anak cucu Machiavelli yang berpikir dan melakukan tindakan politik permissiveness untuk mencapai tujuan kita.
Dengan demikian, mesti diperlukan introspeksi diri untuk kita semua, apakah kita berbeda atau sama dengan apa yang dilakukan oleh para pendahulu itu. Mestinya, kita akan tetap menggunakan etika politik untuk mencapai tujuan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KEKUASAAN (1)

KEKUASAAN (1)
Salah satu di antara penyebab terbesar di dalam konflik berkepanjangan di dalam sejarah kehidupan manusia ialah yang dikonstruksikan sebagai kekuasaan. Di dalam perjalanan panjang sejarah kemanusiaan yang selebihnya diisi dengan peperangan, maka yang menjadi penyebabnya kebanyakan ialah kekuasaan.
Memangnya apa yang disebut sebagai kekuasaan itu? Apakah sedemikian besar kegunaannya bagi seseorang atau sekelompok orang untuk merebut kekuasaan? Apakah kekuasaan sedemikian vitalnya di dalam kehidupan ini sehingga seseorang atau sekelompok orang harus mengorbankan orang lain atau sekelompok orang lain? Dan sederet pertanyaan lain yang selalu tidak tuntas untuk dibahas.
Saya ingin menjawab pertanyaan pertama terkait dengan apa kekuasaan itu. Definisi ini merupakan renungan saya tanpa dipengaruhi oleh sesiapapun yang membuat definisi kekuasaan. Saya ingin mencurahkan pandangan dan kekuatan nalar saya untuk menjelaskan kekuasaan itu. Bagi saya kekuasaan adalah instrument untuk menguasai sumber daya. Di dalam konteks ini adalah untuk menguasai sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya ekonomi, sumber daya kebudayaan dan sumber daya lainnya yang bermanfaat untuk penguasa.
Jadi, kekuasaan sebenarnya hanyalah instrument. Kekuasaan berasal dari ratio instrumental yang dimiliki oleh manusia untuk mencapai tujuan tertentu dengan sarana tertentu. Namun demikian, yang menjadi tujuan utamanya ialah untuk menguasai semua sumber daya kehidupan yang diperlukan manusia. Bisa dibayangkan bahwa dengan kekuasaan tersebut maka seseorang atau sekelompok orang akan menguasai seluruh sarana dan prasarana kehidupan. Itulah sebabnya kekuasaan begitu mempesona manusia untuk memperolehnya. Kapan dan di mana saja.
Mari kita amati bagaimana kekuasaan mampu membelenggu rasio instrumental manusia untuk melakukan apa saja. Separoh lebih dunia ini dijalani oleh manusia dengan peperangan. Dan peperangan itu digambarkan dengan baik oleh kitab Suci, buku-buku sejarah, bahkan karya sastra dan sastra lesan. Semua kitab Suci menggambarkan mengenai peperangan ini. Kekalahan dan kemenangan kerajaan-kerajaan di masa lalu juga digambarkan dengan sangat heroic di dalam kitab Suci, karya akademis, karya sastra dan lainnya.
Sejarah yang sacral, seperti sejarah Nabi-Nabi juga diwarnai oleh peperangan. Makanya, sejarah manusia tidak selalu berisi perdamaian dan ketentraman tetapi juga dengan konflik dan peperangan. Bahkan semenjak manusia lahir ke dunia, seperti zaman Nabi Adam As, maka konflik yang menjurus kepada nihilisme manusia lainnya dan itulah kenyataan sejarah pertama pertumpahan darah manusia di muka bumi. Peperangan dan perdamaian pun silih berganti tiada henti.
Dalam sejarah kuno lalu kita bisa baca mengenai petualangan peperangan yang dilakukan oleh Iskandar Zulqarnain, petualangan peperangan yang dilakukan oleh raja-raja Yunani Kuno, Romawi, Persia, dan lainnya yang tercatat di dalam sejarah maupun Kitab Suci. Semuanya menggambarkan bagaimana di dalam peperangan tentu prinsipnya adalah “dibunuh atau membunuh”, “kalah atau menang”. Jadi hukum berpasangannya hanya diinisiatifkan oleh satu kata “ menihilkan”.
Di era yang lebih terkemudian, misalnya peperangan yang dilakukan oleh pasukan Jengis Khan, dan sampai perang modern, bukan satu melawan satu, tetapi melalui senjata rudal, senjata kimia yang memiliki daya hancur luar biasa. Lalu di era sekarang tentu perang di Timur Tengah, di Afrika dan juga di Eropa Timur. Semua tentu didesain untuk menguasai semua sumber daya yang dimiliki oleh manusia di dunia. Masih diingat seperti Perang Malvinas yang melibatkan Pasukan Inggris dan Argentina, yang menghasilkan sebutan bagi Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher, sebagai ‘The Iron Woman”.
Semua ini dilakukan oleh manusia untuk memenuhi hasrat kekuasaan. Sebuah keinginan manusia yang sungguh-sungguh mengerikan, sebab dengan imajinasi kekuasaan maka manusia bisa melakukan apa saja yang menurut akal jernih manusia tidak terbayang mampu dilakukan. Sungguh manusia yang diberi kekuatan akal dan pikiran yang melebihi kekuatan makhluk Tuhan lainnya, ternyata bisa didayagunakan untuk melakukan “penihilan” secara massif terhadap manusia lainnya.
Manusia memang memiliki potensi nafsu berkuasa. Manusia dibekali dengan nafsu memimpin. Melalui bekal nafsu itulah maka manusia mengekspresikannya dalam bentuk peperangan yang bisa menjadi sangat dahsyat. Hanya saja di dalam realitas empirisnya bahwa untuk mencapai kekuasaan itu manusia harus mengorbankan manusia lainnya. Tidak perduli kawan atau memang lawan.
Jika sudah berurusan dengan kekuasaan maka prinsipnya adalah dikorbankan. Inilah sisi jelek kekuasaan yang di dalam banyak konteks hanya dimaknai sebagai instrument untuk penguasaan sumber daya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENCARI TOKOH PENGELOLA KEUANGAN HAJI

MENCARI TOKOH PENGELOLA KEUANGAN HAJI
Saya telah menjadi panitia seleksi (pansel) beberapa kali. Dahulu sewaktu saya masih menjadi rektor di IAIN Sunan Ampel (kini UIN Sunan Ampel) Surabaya, maka saya menjadi pansel Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jawa Timur untuk menentukan siapa yang patut dan layak menjadi anggota KPUD. Selain itu juga menjadi pansel KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) Jawa Timur.
Saya yang terkesan tentu menjadi pansel KPU karena hal ini terkait dengan persoalan politik di Jawa Timur yang tentu saja banyak kepentingan di dalamnya. Maklumlah KPUD memiliki fungsi untuk menentukan siapa pemenang di dalam pilkada maupun pileg Daerah Jawa Timur. Dan yang tidak kalah pentingnya tentu kepentingan parpol yang memang bersentuhan langsung dengan KPUD dimaksud. Bersama saya menjadi pansel KPUD adalah Prof. Hotman Siahaan, Prof. Muhajir Effendi, Dr. Suko Widodo, dan dua orang lainnya. Sering rapat diselenggarakan sampai dini hari. Tetapi tentu tidak berturut-turut.
Lalu saya juga menjadi pansel Jabatan Tinggi pratama, namun saya kira tidak sebagaimana di dalam pansel KPUD dan KPID yang tentu berhadapan langsung dengan kepentingan eksternal yang tekanannya kencang. Maklumlah bahwa di dunia birokrasi tentu sudah terdapat aturan yang jelas dan memungkinkan ketidakhadiran factor eksternal di dalam prosesnya. Makanya, penentuan siapa yang lolos dan tidak, sangat tergantung kepada sisi profesionalitas dan integritasnya.
Yang menjadi sangat berbeda adalah di saat menjadi pansel BPKH. Selain tugasnya yang sangat penting terkait dengan pengelolaan uang sebesar Sembilan puluh trilyun lebih, maka juga harus ditemukan sosok pengelola keuangan BPKH yang benar-benar amanah dan bertanggung jawab selain professional dan bisa memberikan manfaat bagi pengelolaan keuangan haji. Dan juga pansel ini didasarkan atas perintah presiden melalui Keputusan Presiden RI.
Pansel BPKH terdiri dari sejumlah orang dengan reputasi yang sangat memadai. Misalnya ketuanya Dr. Mulya E. Siregar, pejabat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), wakil ketua, Dr. Yunus Hussein, mantan kepala PPATK, Sekretaris Prof. Dr. Nur Syam, MSI (Sekjen Kemenag), dengan anggota Prof. M. Dien Syamsudin, mantan Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Nasaruddin Umar, mantan Wakil Menteri Agama dan sekarang Imam Besar Masjid Istiqlal, Dr. Halim Alamsyah, Wakil Ketua Gubernur Bank Indonesia (BI), Dr. Hadiyanto (Sekjen Kementerian Keuangan) dan Dr. Aidir Amir Daud (Inspektur Jenderal Kementerian Hukum dan HAM).
Ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh peserta atau calon anggota Badan Pelaksana dan Dewan Pengawas BPKH. Tentu semuanya penting, sebab setiap tahapan menentukan kelulusan yang bersangkutan. Jadi setiap tahap akan terdapat calon yang gugur. Misalnya ketika persyaratan administrasinya tidak lengkap maka dipastikan akan gugur, demikian pula pada saat membuat makalah, tes psikhologi dan wawancara. Jadi para calon Badan Pengelola dan Dewan Pengawas dituntut untuk sangat serius di dalam menjalani proses-proses dimaksud.
Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 76 Tanggal 1 Agustus 2016 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengusulan, Dan Penetapan Anggota Badan Pelaksana dan Anggota Dewan Pengawas Serta Calon Anggota Pengganti Antarwaktu Anggota Badan Pelaksana dan Dewan Pengawas BPKH dan Surat Keputusan Presiden No. 124/P Tahun 2016 tanggal 17 November 2016 tentang Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota Badan Pelaksana dan Dewan Pengawas BPKH, maka pansel harus menghasilkan sebanyak 10 orang calon anggota Dewan Pengawas, yang berasal dari unsur masyarakat dan sebanyak 14 orang calon anggota Badan Pelaksana. Khusus untuk calon Dewan Pengawas nanti akan dipilih melalui fit and proper test yang akan dilakukan oleh Komisi VIII DPR RI. Untuk anggota Dewan Pengawas terdiri dari lima orang dari unsur masyarakat dan dua orang yang terdiri dari satu utusan Kemenag dan satu orang utusan kemenkeu. Untuk tujuh orang anggota Badan Pelaksana dipilih oleh presiden berdasarkan usulan dari Pansel.
Pansel bertugas untuk memperoleh sebanyak 14 orang yang akan ditetapkan oleh Presiden untuk menjadi tujuh orang yang akan menghandel Badan Pelaksana
Menjadi pansel BPKH juga sangat berat dilihat dari tanggungjawab karena kegiatan ini berdasar atas perintah presiden dan juga tanggungjawab untuk menghasilkan orang-orang yang tepat dan benar sebagai anggota Badan Pengelola dan Dewan Pengawas BPKH. Bayangkan bahwa orang-orang ini akan mengelola uang amanah jamaah haji yang berjumlah sembilan puluh trilyun lebih. Sebuah angka yang sangat besar.
Ditilik dari para calon Badan Pengelola dan Dewan Pengawas, maka kebanyakan mereka berasal dari dunia perbankan. Lalu juga dosen dan agamawan. Dilihat dari pengalamannya, saya yakin bahwa yakin banyak di antara mereka yang sangat professional di dalam pengelolaan keuangan. Tentu pansel harus memilih mereka yang sangat baik. Saya merasakan bahwa aura kompetisi untuk memperoleh yang terbaik itu sangat rumit, sebab pengalamannya memang sangat memadai.
Dari seluruh calon anggota dewas, maka akan dipilih utuk menggawangi fungsi pengawasan syariah, pengawasan umum dan pengelolaan organisasi dan pengawasan keuangan dan investasi. Sedangkan dari calon anggota Badan Pengelola, maka harus memenuhi perofesionalitas di bidang usaha-usaha syariah, manajemen resiko, investasi, hukum dan juga pengembangan SDM serta penelitian dan pengembangan.
Aura kompetisi itu sangat terasa terlihat dari durasi waktu wawancara yang untuk seorang calon membutuhkan sampai satu setengah jam. Fit and propertest ini menghabiskan waktu selama empat hari penuh, 27 Pebruari sampai 2 Maret 2017. Dimulai dari jam delapan padi sampai jam 12 malam. Bahkan pada hari kamis malam, pansel rapat dimulai jam 12.00 malam hari. Hanya beristirahat untuk waktu shalat dan makan. Bahkan untuk shalat ashar juga harus dilakukan bergantian.
Saya sungguh merasakan bahwa pemilihan anggota Badan Pelaksana dan Dewan Pengawas ini merupakan yang terberat dari sisi waktu dan kompetensi pesartanya. Yang tentu kita harapkan adalah agar didapatkan anggota Badan Pengelola dan Dewan Pengawas BPKH yang benar-benar amanah, bertanggungjawab, professional dan memiliki inovasi di dalam pengembangan keuangan haji. Tugas ini tentu sangat berat, makanya harus dihasilkan orang-orang yang benar cocok untuk jabatan tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENDIDIK ANAK BANGSA SEBAGAI MISI KEMENTERIAN AGAMA

MENDIDIK ANAK BANGSA SEBAGAI MISI KEMENTERIAN AGAMA
Sebagai instansi pemerintah yang mengemban tugas pokok dan fungsi pendidikan, maka Kementerian Agama tentu menjadi tumpuan masyarakat, negara dan bangsa untuk tetap mempertahankan pendidikan yang berbasis pada Keislaman dan kebangsaan dalam bingkai Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tentu harus terus disadari bahwa mendidik anak bangsa agar terus memiliki pemahaman dan perilaku Pancasilais merupakan tugas lembaga-lembaga pendidikan, apapun lembaga pendidikannya. Lembaga pendidikan yang mengusung misi agama dan keagamaan tentu memiliki tugas lebih berat, sebab tidak hanya untuk mendidik mereka ini pintar secara intelektual, akan tetapi juga cerdas emosional dan spiritual.
Ke depan, tugas itu semakin berat di tengah semakin banyaknya tantangan bangsa ini di tengah globalisasi dan keterbukaan yang terus menjadi tema kehidupan di era akhir-akhir ini. Makanya, tugas lembaga pendidikan di bawah koordinasi Kemenag juga harus terus memperkuat posisi jati diri bangsa di era seperti ini. Berbeda dengan Kementerian/lembaga lain, yang tidak mengusung tugas kependidikan, maka tugas pokok dan fungsi Kemenang tentu sangatlah strategis.
Mempersiapkan generasi emas di masa yang akan datang bukanlah tugas yang mudah. Di tangan mereka yang sekarang memasuki bangku-bangku sekolah dan ruang-ruang belajar di pendidikan tinggi, maka nasib bangsa ini dipertaruhkan. Di sinilah letak strategisnya Kemenag di dalam kaitannya dengan bangsa Indonesia. Selalu saya nyatakan bahwa keberhasilan pendidikan sekarang akan menjadi barometer keberhasilan bangsa ini di masa yang akan datang.
Saya tentu berterima kasih atas partisipasi kontributif kepada semua guru, pengawas, pimpinan madrasah dan juga para pejabat yang selama ini memiliki atensi dan keterlibatan secara langsung dengan peningkatan kualitas pendidikan. Melalui keterlibatan kontributif tersebut, maka kita bisa melihat betapa perkembangan pendidikan madrasah kita menjadi semakin baik. Melalui kerja keras semua elemen pendidikan tersebut, maka perkembangan positif kita peroleh. Saya tahu bahwa dengan keterlibatan yang makin signifikan kontribusinya, maka tentu akan semakin baik hasilnya.
Melalui misi perluasan akses dan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing serta peningkatan tata kelola di institusi pendidikan kita, maka geliat perubahan tersebut nyata terjadi. Kita melihat perkembangan pendidikan madrasah yang sangat signifikan. Kita merasakan betapa slogan “madrasah lebih baik dan lebih baik madrasah” sudah bisa dilihat hasilnya. Semua ini tentu bagian dari keinginan kita untuk terus Berjaya di kelak kemudian hari. Tidak ada bangsa yang jaya tanpa pendidikannya yang sangat baik. Jadilah yang terbaik di dalam pendidikan agar kita ke depan akan semakin Berjaya.
Perluasan akses tentu sudah dilakukan seirama dengan tugas pemerintah untuk mendidik anak bangsa. Tugas yang tidak kalah penting ialah meningkatkan kualitas pendidikan di lembaga pendidikan di bawah Kemenag. Selama ini selalu ada anggapan bahwa kualitas lembaga pendidikan di bawah Kemeng berada di rangking kedua setelah lembaga-lembaga pendidikan di bawah Kemendikbud. Dugaan ini tentu tidak didasari oleh kenyataan bahwa lembaga pendidikan di bawah Kemendibud 90 persen lembaga pendidikan negeri dan hanya 10 persen saja yang merupakan lembaga pendidikan swasta. Hal ini berbanding terbalik dengan lembaga pendidikan di bawah Kemenag yang 90 persen lembaga pendidikan swasta sedangkan hanya 10 persen yang lembaga pendidikan negeri. Jadi pantaslah jika dari sisi anggaran pendidikan di bawah Kemendikbud jauh lebih baik. Jika di lembaga pendidikan di bawah Kemenag harus mencari anggaran sendiri dengan kemampuannya, maka hal itu tidak berlaku di lembaga pendidikan di Kemendikbud.
Saya tentu bersyukur ke hadirat Allah swt, bahwa semangat jihad para pelaku pendidikan di bawah Kemenag itu sangat luar biasa. Melalui semangat mengejar kehidupan akherat yang lebih baik, maka semua pelaku pendidikan Islam mewakafkan kehidupannya untuk pengembangan pendidikan. Karena bekerja di dunia pendidikan tidak hanya untuk semata-mata kepentingan duniawi tetapi juga untuk kepentingan ukhrawi, maka semua dilakukan dengan kerja keras dan kerja ikhlas.
Dan sebagai akibatnya, maka bisa dilihat respon masyarakat terhadap pendidikan Islam di bawah Kemenag semakin baik dan semakin meningkat. Sementara itu, pendidikan Islam yang dikelola oleh masyarakat juga semakin menampakkan semangatnya untuk terus melakukan pembenahan. Jika melihat persentase sekolah negeri dan swasta di Kemenag, maka dapat dipahami bahwa kemajuan pendidikan Islam memang luar biasa. Slogan “Madrasah lebih baik, lebih baik Madrasah” ternyata bukan hanya slogan belaka, tetapi sungguh menjadi kenyataan.
Melalui kerja keras para pelaku pendidikan, maka bisa dinikmati hasilnya oleh pemerintah dan juga masyarakat kita, bahwa pendidikan Islam mengalami kemajuan yang rasanya tidak mungkin diprediksi dalam dua puluh tahun yang lalu.
Dan semua ini memberikan gambaran bahwa kita semua bisa melakukan yang terbaik bagi bangsa ini. Man jadda wa jadda.
Wallahu a’lam bi al shawab.