KEKUASAAN (2)
KEKUASAAN (2)
Saya telah membahas sisi negative nafsu kekuasaan yang secara empiris memang berdaya rusak luar biasa terutama yang mengaksentuasikan kekuasaan untuk memenuhi hasrat berkuasa dan menguasai sumber daya kehidupan. Dari sinilah sesungguhnya banyak masalah yang dihadapi oleh manusia terkait dengan pemenuhan hasrat berkuasanya itu.
Kehidupan manusia memang sarat dengan keinginan dan kepentingan. Bahkan ada sebuah ungkapan yang rasanya memang benar, bahwa yang abadi itu adalah kepentingan. Jika seseorang memiliki kepentingan yang sama maka dipastikan mereka akan memiliki kesamaan tujuan untuk mencapainya. Bahkan yang lebih dari itu, mereka akan berkolaborasi untuk mencapai tujuannya.
Saya juga sampai pada kesimpulan, bahwa orang yang jahat jika bertemu dengan orang yang jahat, maka yang dibahasnya pastilah tentang kejahatan. Tetapi jika orang baik bertemu dengan orang baik, maka yang dibahas juga tentang kebaikan. Potensi kebaikan dan kejahatan itulah yang sebenarnya membedakan perbincangan tentang dunia ini di antara kita semua. Di dalam konteks ini, maka Islam menganjurkan agar kita memilih orang yang baik sebagai kawan atau sahabat agar kita selalu berada di dalam kebaikan. Kita ini mengikuti siapa yang kita cintai. Cinta dalam konteks kebaikan.
Di antara medium efektif untuk mencapai tujuan berkuasa ialah politik, makna politik di sini tidak selalu dikonsepsikan sebagai partai politik, tetapi politik dalam konteks strategi dan cara yang efektif untuk mencapai tujuan atau kepentingan. Atau dalam kalimat yang lebih ringkas, politik dalam konteks artikulasi kepentingan. Yang penting politik itu dipakai untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh individu atau sekelompok individu.
Semua yang terkait dengan pencapaian keinginan kekuasaan, di mana saja, apa saja dan kapan saja selalu dipastikan bahwa di dalamnya terdapat strategi atau cara yang efektif untuk mencapainya. Inilah yang saya sebutkan bahwa strategi atau cara efektif itulah yang dimaksud dengan politik. Jadi semua hal yang terkait dengan pemenangan untuk mencapai tujuan kekuasaan tentu dimaknai sebagai politik itu.
Pemilihan Ketua RT, RW, Kepala Desa, Ketua organisasi local maupun nasional hingga internasional, pilihan Wali kota/Wawali kota, Bupati/Wakil Bupati, Gubernur/Wakil Gubernur, Presiden/Wakil Presiden, Pimpinan BPK, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Pimpinan KPU/KPUD, KPI/KPID, pimpinan organisasi keagamaan (NU, Muhammadiyah, MUI, KWI, PGI, Walubi dan sebagainya), pimpinan BAZNAS, Badan Wakaf Indonesia (BWI), Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) merupakan bagian dari politik dalam makna tersebut.
Pilihan Dekan, Wakil Dekan, Rektor, Wakil Rektor, direktur Pascasarjana, dan semua hal yang terkait dengan konsepsi “pilihan” maka di dalamnya terdapat sebuah strategi atau cara efektif untuk memenuhi tujuan. Di dalam kehidupan ini, di mana di dalamnya terdapat sebuah peluang untuk memilih dari sekelompok orang atau individu untuk menentukan siapa orang yang akan menduduki jabatan atau tempat kedudukan tertentu, maka di situ terdapat strategi atau cara efektif untuk melakukan kegiatan politik. Makanya, di mana terdapat istilah “seleksi” atau “pilihan”, maka di situ dipastikan akan terdapat yang disebut sebagai “politisasi”. Makanya, kita juga tidak akan bisa memberikan justifikasi sebuah lembaga akan steril dari politisasi, karena memang sistem dan dinamikanya menghendaki terjadinya politisasi tersebut.
Ada beberapa cara efektif untuk memenangkan pertarungan di dalam meraih kekuasaan. Yaitu; Pertama, dengan pembunuhan karakter. Di mana terdapat pilihan jabatan public, maka di situ akan terdapat suatu upaya untuk menjatuhkan lawannya dengan melakukan serangkaian gerakan untuk “membunuh” karakter lawan politiknya. Dosa sosial, baik yang disengaja atau tidak disengaja, bahkan jika perlu dibuatkan dosa sosialnya itu, agar bisa dijadikan sebagai medium untuk menghancurkan lawan politiknya. Pemetaan terhadap “kesalahan” masa lalu akan sangat efektif untuk dijadikan sebagai alat untuk menjatuhkan lawan politiknya. Bahkan juga kesalahan yang sudah diselesaikan secara hukum sekalipun. Seseorang yang menjatuhkan jarum di malam gelap pun akan bisa diketahui berdasarkan atas pemetaan yang sangat jeli. Character assassination selama ini memang sangat efektif dijadikan sebagai strategi untuk melumpuhkan lawan politik yang dianggap membahayakan.
Kedua, strategi yang juga efektif untuk memenangkan pertarungan politik ialah melalui politik uang. Cara ini tentu membutuhkan kemampuan ekonomi yang hebat. Jika seseorang tidak memilikinya, maka bisa juga dihadirkan para sponsor untuk membiayainya. Dibalik gerakan sponsor ini tentu adalah potensi kehadiran kebijakan yang akan menguntungkan para sponsornya. Makanya banyak proyek yang kemudian hadir dengan berbagai permasalahan tentu diakibatkan oleh adanya tindakan yang seperti ini.
Strategi ini diperlukan terkait dengan sikap permissiveness yang dimiliki oleh sebagian masyarakat kita dan juga pimpinan institusi yang memang membutuhkan cara-cara ini untuk menggoalkan tujuan dan kepentingannya. Cara ini sangat lazim digunakan di dalam berbagai pilihan politik, misalnya pilkada. Dan sebagaimana diketahui bahwa banyak masalah yang muncul sebagai akibat dari praksis politik yang meniscayakan peluang ini terjadi.
Ketiga, staregi kombinasi, character assassination dan money politics sekaligus. Cara ini digunakan menurut level lawan politik. Ada yang harus menggunakan pembunuhan karakter dan ada yang harus menggunakan politik uang. Jadi ada yang coraknya dagang sapi dan ada yang coraknya pembunuhan karakter. Semua dilakukan dengan kesadaran bahwa kemenangan merupakan tujuan untuk mencapai sesuatu, yaitu pengusaan sumber daya kehidupan dalam segala aspeknya.
Kita ini sering “mengecam” terhadap praktik politik dengan slogan “tujuan menghalalkan segala cara”. Pemikiran ini dikaitkan dengan filosof politikus, Machiavelli. Jadi jika ada seseorang yang melakukan keduanya, maka akan dicap sebagai politik Machiavelli. Jadi, seharusnya kita tidak akan pernah melakukannya untuk kepentingan kekuasaan. Jika kita melakukannya, maka sesungguhnya kita adalah anak cucu Machiavelli yang berpikir dan melakukan tindakan politik permissiveness untuk mencapai tujuan kita.
Dengan demikian, mesti diperlukan introspeksi diri untuk kita semua, apakah kita berbeda atau sama dengan apa yang dilakukan oleh para pendahulu itu. Mestinya, kita akan tetap menggunakan etika politik untuk mencapai tujuan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
