KEKUASAAN (3)
KEKUASAAN (3)
Kekuasaan merupakan kelezatan dunia. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dibantah. Ada banyak fasilitas yang diberikan karena kekuasaan. Orang bisa mendapatkan prestise karena kekuasaan. Orang bisa mendapatkan fasilitas material dan fisikal karena kekuasaan. Orang juga bisa mendapatkan kepuasaan sosial dan politik karena kekuasaan.
Makanya banyak orang yang “tergila-gila” kekuasaan. Orang bisa melakukan apa saja untuk merebut dan bahkan mempertahankan kekuasaan. Bahkan dengan cara yang tidak manusiawi untuk kepentingan atas nama kekuasaan. Orang yang selesai berkuasa terkadang juga terkena post-power syndrome atau sindrom pasca kekuasaan. Orang yang sudah tidak memiliki kekuasaan tetap terus merasa berkuasa. Masih ingin mengatur dan menguasai sumber daya kehidupan. Tidak hanya politisi, birokrat dan sebagainya, akan tetapi juga kaum intelektual organic. Semua bisa terkena syndrome pasca kuasa ini.
Apakah hanya hal-hal yang negative terkait dengan kekuasaan. Ternyata tidak. Ada juga sisi positif tentang kekuasaan. Kekuasaan bisa bisa menjadi “wakaf politik” yang menguntungkan dan bisa menyejahterakan masyarakat. Atau dengan kata lain, bahwa seseorang akan bisa membangun masyarakat dengan kekuasaannya itu. Walhasil bahwa kekuasaan dapat dijadikan sebagai medan perjuangan untuk membangun umat, bangsa dan negara.
Selain cerita peperangan yang diakibatkan oleh kekuasaan juga ada cerita tentang kemakmuran yang diakibatkan oleh kekuasaan. Di sini juga terdapat hukum berpasangan terkait dengan kekuasaan. Ada kejelekan dan ada kebaikan. Bahkan juga keduanya sekaligus berada di dalam kekuasaan. Memang selalu ada positif dan negative di dalam kehidupan umat manusia.
Di dalam kehidupan ini ada pahlawan dan ada pecundang. Keduanya memang menjadi bagian dari kehidupan manusia di dalam berbagai seginya. Kekuasaan bisa menghasilkan kepahlawanan dan bisa juga menghasilkan kepencundangan. Kedunya merupakan hasil konstruksi manusia terkait dengan apa yang dilakukan oleh seorang individu di dalam kehidupannya. Kepahlawanan dihasilkan oleh kaum pemenang dan kepecundangan dihasilkan oleh kekalahan. Bukankah sejarah adalah cerita kaum “pemenang”. The history is made by the winner.
Kekuasaan bisa diindikasikan sebagai “wakaf politik” positif jika memenuhi beberapa aspek yang mendasar. Pertama, kekuasaan diperoleh bukan karena kelicikan, baik dari aspek pembunuhan karakter maupun politik uang. Kekuasaan dihasilkan oleh adanya kesadaran dari para pengikutnya yang memahami bahwa orang yang dipilih memang benar-benar bertujuan untuk kebaikan. Kepemimpinan seperti ini bukan hanya mutlak milik organisasi keagamaan, tetapi juga bisa ada di mana-mana.
Kedua, kekuasaan dijadikan sebagai medan perjuangan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Kekuasaan bukan sebagai medan untuk kenikmatan diri dan keluarganya, akan tetapi benar-benar dibagi-bagi untuk membangun negeri dan rakyatnya. Tentu penguasa harus memiliki kemampuan ekonomi yang cukup, memiliki kesehatan yang baik, memiliki kewibawaan yang dibangun di atas “kebenaran dan kejujuran”, dan juga harus memiliki otoritas yang penuh untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat. Jadi penguasa tidak justru memanfaatkan kekuasaan untuk tujuan memperkaya diri sendiri, dan tidak menjadikan kekuasan sebagai medan untuk KKN. Apakah masih ada penguasa yang seperti ini, maka saya kira masih ada. Bukan hanya di dalam sejarah masa lalu tetapi juga sekarang. Dia adalah penguasa yang adil dan bener tur pener (dalam bahasanya orang Jogyakarta, yang berarti benar dan tepat).
Ketiga, penguasa harus memiliki kecerdasan intelektual sehingga mampu menghasilkan inovasi-inovasi untuk kepentingan rakyat. Inovasi yang didasari oleh keinginannya untuk menghasilkan yang terbaik bagi bangsanya. Dengan kecerdasan intelektualnya maka dia memiliki visi dan misi yang baik untuk membangun bangsanya. Dia terus mengembangkan tradisi baik yang bermanfaat bagi masyarakatnya, akan tetapi juga terus berupaya untuk mengembangkan tradisi baru yang lebih bermanfaat bagi bangsanya. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran akan menjadikan kemakmuran rakyat sebagai wakaf politiknya.
Keempat, penguasa yang memiliki kecerdasan emosional, yaitu kemampuan adaptasi, kolaborasi dan empati. Dia tidak merasa bahwa kekuasaan itu adalah miliknya, sehingga orang lain hanya yang membantunya saja, akan tetapi orang lain di sekitarnya adalah orang yang penting bagi dirinya. Bukan hanya sekedar membantu tetapi yang mendukung terhadap kesuksesannya. Melalui tiga aspek itu maka dia akan menenpatkan dirinya di dalam pusaran yang terus bergerak untuk menempatkan pusaran tersebut di dalam keseimbangan. Penguasa juga harus memiliki kecerdasan sosial agar di dalam memimpin dapat menyelenggarakan kekuasaan berbasis pada pemahamannya tentang orang lain. Melalui kecerdasan sosial, maka dia akan menempatkan dirinya dalam posisi sentral tetapi berada di dalam dinamika sosial di sekelilingnya, maka dia akan melakukan yang terbaik bagi dunia sosialnya. Bahkan juga memiliki kecerdasan spiritual yaitu kesadaran bahwa amalan yang dilakukan tidak hanya berdimensi duniawi tetapi juga ukhrawi. Melalui kecerdasan spiritual maka seorang penguasa akan dapat melakukan keseimbangan antara kehidupan yang profan dan sacral. Yang sacral dijadikan sebagai panduan di dalam mengemban tugas untuk menyejahterakan rakyat. Dia melakukan ibadah kepada Tuhan sebagai manifestasi relasi dengan Tuhannya, akan tetapi juga tidak melupakan kehidupan di dunia sehingga tentu membutuhkan sarana-prasarana kehidupan duniawi melalui relasinya dengan sesame manusia.
Kelima, penguasa harus menggunakan orang-orang professional pada tempatnya. The right man on the right place. Dia yang menentukan kebijakan dalam kolaborasinya dengan pihak lain dan menjadikannya sebagai policy untuk mewujudkan kesejahtaraan dan kemakmuran anak negeri, dari mana datangnya. Dia akan merekrut orang sesuai dengan job fitnya. Melalui penempatan orang-orang yang professional dalam bidangnya, maka akan didapatkan kinerja yang baik sebagai prasyarat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tidak mungkin kinerja jelek akan menghasilkan kepuasan masyarakat.
Jika para penguasa dapat menempatkan diri di dalam pusaran kekuasaan dengan menggunakan tolok ukur minimal seperti itu, maka kekuasaan akan bisa menjadi wakaf diri untuk kebaikan umat. Jadi sesungguhnya tetap ada dan mesti ada kebaikan yang terdapat di dalam kekuasaan. Semuanya tergantung pada manusia dibalik kekuasaan itu. Raja Namruz, Raja Fir’aun, Raja-raja yang dzalim di mana saja tentu ada, tetapi Khalafaur Rasyidin, Umar Ibn Abdul Aziz, dan Raja-raja atau penguasa yang baik juga terdapat di dalam dinamika kehidupan.
Jadi, sesungguhnya kekuasaan akan bisa menjadi kebaikan yang bisa dipertanggungjawabkan kepada manusia, masyarakat dan Tuhan di kala jabatan tersebut bisa digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Wallahu a’lam bi al shawab.
