KEKUASAAN (1)
KEKUASAAN (1)
Salah satu di antara penyebab terbesar di dalam konflik berkepanjangan di dalam sejarah kehidupan manusia ialah yang dikonstruksikan sebagai kekuasaan. Di dalam perjalanan panjang sejarah kemanusiaan yang selebihnya diisi dengan peperangan, maka yang menjadi penyebabnya kebanyakan ialah kekuasaan.
Memangnya apa yang disebut sebagai kekuasaan itu? Apakah sedemikian besar kegunaannya bagi seseorang atau sekelompok orang untuk merebut kekuasaan? Apakah kekuasaan sedemikian vitalnya di dalam kehidupan ini sehingga seseorang atau sekelompok orang harus mengorbankan orang lain atau sekelompok orang lain? Dan sederet pertanyaan lain yang selalu tidak tuntas untuk dibahas.
Saya ingin menjawab pertanyaan pertama terkait dengan apa kekuasaan itu. Definisi ini merupakan renungan saya tanpa dipengaruhi oleh sesiapapun yang membuat definisi kekuasaan. Saya ingin mencurahkan pandangan dan kekuatan nalar saya untuk menjelaskan kekuasaan itu. Bagi saya kekuasaan adalah instrument untuk menguasai sumber daya. Di dalam konteks ini adalah untuk menguasai sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya ekonomi, sumber daya kebudayaan dan sumber daya lainnya yang bermanfaat untuk penguasa.
Jadi, kekuasaan sebenarnya hanyalah instrument. Kekuasaan berasal dari ratio instrumental yang dimiliki oleh manusia untuk mencapai tujuan tertentu dengan sarana tertentu. Namun demikian, yang menjadi tujuan utamanya ialah untuk menguasai semua sumber daya kehidupan yang diperlukan manusia. Bisa dibayangkan bahwa dengan kekuasaan tersebut maka seseorang atau sekelompok orang akan menguasai seluruh sarana dan prasarana kehidupan. Itulah sebabnya kekuasaan begitu mempesona manusia untuk memperolehnya. Kapan dan di mana saja.
Mari kita amati bagaimana kekuasaan mampu membelenggu rasio instrumental manusia untuk melakukan apa saja. Separoh lebih dunia ini dijalani oleh manusia dengan peperangan. Dan peperangan itu digambarkan dengan baik oleh kitab Suci, buku-buku sejarah, bahkan karya sastra dan sastra lesan. Semua kitab Suci menggambarkan mengenai peperangan ini. Kekalahan dan kemenangan kerajaan-kerajaan di masa lalu juga digambarkan dengan sangat heroic di dalam kitab Suci, karya akademis, karya sastra dan lainnya.
Sejarah yang sacral, seperti sejarah Nabi-Nabi juga diwarnai oleh peperangan. Makanya, sejarah manusia tidak selalu berisi perdamaian dan ketentraman tetapi juga dengan konflik dan peperangan. Bahkan semenjak manusia lahir ke dunia, seperti zaman Nabi Adam As, maka konflik yang menjurus kepada nihilisme manusia lainnya dan itulah kenyataan sejarah pertama pertumpahan darah manusia di muka bumi. Peperangan dan perdamaian pun silih berganti tiada henti.
Dalam sejarah kuno lalu kita bisa baca mengenai petualangan peperangan yang dilakukan oleh Iskandar Zulqarnain, petualangan peperangan yang dilakukan oleh raja-raja Yunani Kuno, Romawi, Persia, dan lainnya yang tercatat di dalam sejarah maupun Kitab Suci. Semuanya menggambarkan bagaimana di dalam peperangan tentu prinsipnya adalah “dibunuh atau membunuh”, “kalah atau menang”. Jadi hukum berpasangannya hanya diinisiatifkan oleh satu kata “ menihilkan”.
Di era yang lebih terkemudian, misalnya peperangan yang dilakukan oleh pasukan Jengis Khan, dan sampai perang modern, bukan satu melawan satu, tetapi melalui senjata rudal, senjata kimia yang memiliki daya hancur luar biasa. Lalu di era sekarang tentu perang di Timur Tengah, di Afrika dan juga di Eropa Timur. Semua tentu didesain untuk menguasai semua sumber daya yang dimiliki oleh manusia di dunia. Masih diingat seperti Perang Malvinas yang melibatkan Pasukan Inggris dan Argentina, yang menghasilkan sebutan bagi Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher, sebagai ‘The Iron Woman”.
Semua ini dilakukan oleh manusia untuk memenuhi hasrat kekuasaan. Sebuah keinginan manusia yang sungguh-sungguh mengerikan, sebab dengan imajinasi kekuasaan maka manusia bisa melakukan apa saja yang menurut akal jernih manusia tidak terbayang mampu dilakukan. Sungguh manusia yang diberi kekuatan akal dan pikiran yang melebihi kekuatan makhluk Tuhan lainnya, ternyata bisa didayagunakan untuk melakukan “penihilan” secara massif terhadap manusia lainnya.
Manusia memang memiliki potensi nafsu berkuasa. Manusia dibekali dengan nafsu memimpin. Melalui bekal nafsu itulah maka manusia mengekspresikannya dalam bentuk peperangan yang bisa menjadi sangat dahsyat. Hanya saja di dalam realitas empirisnya bahwa untuk mencapai kekuasaan itu manusia harus mengorbankan manusia lainnya. Tidak perduli kawan atau memang lawan.
Jika sudah berurusan dengan kekuasaan maka prinsipnya adalah dikorbankan. Inilah sisi jelek kekuasaan yang di dalam banyak konteks hanya dimaknai sebagai instrument untuk penguasaan sumber daya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
