PERKUAT KINERJA DENGAN SOCIAL INTELLIGENT (2)
PERKUAT KINERJA DENGAN SOCIAL INTELLIGENT (2)
Manusia di dalam kehidupannya memiliki tiga kebutuhan mendasar yaitu kebutuhan biologis, kebutuhan social dan kebutuhan integrative. Sebagai makhluk social, manusia memang tidak bisa hidup sendiri akan tetapi selalu memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap manusia lain dan dunia lingkungannya. Tidak terkecuali juga di dalam kehidupannya di dunia pekerjaan, misalnya perusahaan, birokrasi, pemerintahan dan sebagainya.
Bahkan untuk memenuhi kebutuhan asasinya, misalnya pemenuhan kebutuhan biologis, manusia juga membutuhkan manusia lainnya. Untuk makan saja manusia harus tergantung kepada dunia sekelilingnya. Tidak mungkin manusia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya untuk makan dengan mencukupkan dirinya sendiri. Pada masyarakat primitive mungkin hal itu bisa dilakukan, misalnya dia berburu sendiri lalu dimakan sendiri. Akan tetapi di era kompleksitas kehidupan ini, maka dapat dipastikan bahwa untuk memenuhi kebutuhannya manusia pastilah memerlukan bantuan atau pertolongan dari lainnya. Jika membutuhkan makanan apapun jenisnya, maka membutuhkan sederet manusia lainnya.
Manusia akan selalu hidup di dalam dunia sosialnya itu. Sampai kapanpun. Dengan demikian, manusia membutuhkan komunikasi dengan manusia lainnya. Manusia memerlkukan kemampuan berkomunikasi, apakah lewat bahasa atau lewat gerak tubuh agar bisa melakukan komunikasi dengan manusia lainnya. Di dalam komunikasi tersebut, maka factor penting yang harus dimiliki adalah bagaimana yang bersangkutan bisa mengartikulasikan kepentingannya itu untuk bisa dipahami oleh orang lain. Dan yang lain memahami kepentingan tersebut.
Dalam sebuah riwayat, Nabi Musa termasuk orang yang kurang mampu berkomunikasi secara lesan dengan baik. Maka Allah menurunkan Nabi Harun yang dalam konteks sekarang bisa dipahami sebagai interpreter. Nabi Harun bisa menjadi komunikator yang baik untuk memfasilitasi kewahyuan Musa dan tentu saja kewahyuannya sendiri untuk disampaikan kepada masyarakat. Dua orang Nabi yang bisa saling melengkapi di dalam kehidupan sosialnya di waktu itu. Allah tentu memberikan kepada keduanya kelengkapan kecerdasan: kecerdasan akali, kecerdasan social dan emotional dan kecerdasan spiritual. Keempatnya merupakan kecerdasan sempurna yang hanya dimiliki oleh orang yang dipercaya oleh Allah untuk menjadi penyambung lidah keumatan.
Di dalam berkomunikasi itu, maka dimensi penting yang harus dimiliki oleh manusia sebagai makhluk social ialah empathy. Yaitu kemampuan manusia untuk mengandaikan dirinya berada di dalam posisi lawan bicaranya. Sebuah kemampuan yang hanya dimiliki manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Makhluk lainnya hanya bisa menyatakan dalam bahasanya: ya atau tidak, maka manusia dengan kemampuan social intelligent dan emotional intelligent, maka akan bisa memberikan posisi dirinya di dalam konteks yang tidak ekstrim ya atau tidak. Kemampuan ini yang disebut sebagai kemampuan empati dimaksud.
Hanya saja, manusia juga dikaruniai sifat-sifat yang bisa merongrong terhadap kemampuan empati dimaksud. Manusia memiliki ambisi yang terkadang justru lebih dahsyat daya rusaknya terhadap kehidupan social. Manusia bisa menjadi monster yang lebih dahsyat dibanding dengan makhluk lainnya. Peperangan yang terjadi dewasa ini bahkan semenjak dahulu kala ialah nafsu dahsyat untuk menghancurkan lainnya demi kekuasaan yang diinginkannya. Berapa banyak korban dari peperangan yang terjadi di seluruh dunia dari masa ke masa. Bahkan jika dikalkulasi waktu perang di dunia ini dengan waktu damai, maka jumlahnya akan lebih banyak waktu perangnya. Jika di masa lalu perang itu satu lawan satu, maka sekarang dengan ditemukannya teknologi perang, maka kehancuran tidak terkira.
Ambisi untuk “menguasai” itulah yang menyebabkan dunia menjadi tempat yang tidak nyaman. Ada banyak pertikaian, perlawanan, pertarungan dan rivalitas dan konflik berkepanjangan yang terjadi. Makanya, ambisi kekuasaan itulah yang merusak kemampuan empathy yang diberikan Tuhan kepada manusia. Demi kekuasaan orang bisa melakukan segalanya, membunuh fisik dan juga kepribadian. Munculnya istilah character assassination adalah contoh bahwa manusia bisa melupakan social and emotional intelligent.
Di dalam konteks ini, maka yang sungguh diperlukan oleh dunia birokrasi ialah bagaimana menyatukan yang terserak, mengendalikan ambisi berkuasa dan menyeimbangkan keteraturan dengan keinginan untuk melakukan rivalitas. Semua ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi semua pimpinan di dalam birokrasi. Suatu hal yang sangat penting ialah bagaimana menjaga keharmonisan di dalam dinamika kepentingan yang bervariasi. Makanya menjadi pemimpin itu mudah, tetapi mengemban tugas sebagai pemimpin bukan hal yang sederhana.
Yang sangat perlu untuk dilestarikan tetapi juga dikembangkan adalah bagaimana kita menjadi pemimpin dan juga yang dipimpin untuk saling bisa memberikan kesepahaman dalam konteks empathy ini. Misalnya, seorang pemimpin jangan pernah marah kepada seseorang di dalam forum yang dihadiri oleh orang banyak. Marah seperti ini akan menghasilkan kemarahan lainnya. Jika terpaksa harus “marah” maka lakukan secara face to face dalam suatu situasi yang memungkinkan hal itu terjadi. Jadi, kamarahan itu hanya diketahui oleh orang yang dikenai tindakan tersebut.
Jangan sampai kemarahan menghasilkan kemarahan baru lainnya. Tetapi yang lebih baik saya kira bukan kemarahan yang diluapkan akan tetapi justru nasehat yang diberikan. Tentu ada strategi mengubah marah menjadi nasehat. Dan setiap orang memiliki kapasitasnya sendiri-sendiri. Konon katanya: “say with flower is better than marah-marah”.
Wallahu a’lam bi al shawab.
