PERKUAT PELAYANAN BERBASIS SOCIAL INTELLIGENT (1)
PERKUAT PELAYANAN BERBASIS SOCIAL INTELLIGENT (1)
Di dalam perjalanan ke Solo dari Jakarta, saya sempatkan untuk membaca buku yang saya kira sangat menarik, yaitu “Social Intelligent” karya Dale Golemann. Seorang penulis yang produktif di dalam bidang inteligensi dan motivator yang sangat baik di dalam memberikan penjelasan-penjelasan tentang kemampuan untuk bekerja keras berbasis pada emotional intelligent dan social intelligent.
Baginya, bahwa setiap manusia memiliki bakat sosial atau social intelligent, sebab sebagaimana diketahui bahwa manusia memang dirancang oleh Tuhan dengan kecenderungan untuk melakukan tindakan-tindakan sosial ini. Manusia dengan otak dan saraf-sarafnya memang dirancang untuk berkecenderungan berhubungan dengan manusia lainnya. Dia menjelaskan bahwa kecerdasan sosial adalah “kemampuan memahami dan mengelola orang lain.”
Sebuah definisi yang sangat pendek, tidak bertele-tele dan tidak membingungkan, akan tetapi memiliki makna yang sangat mendalam. Saya berusaha untuk memahami definisi ini melalui kemampuan saya untuk menalarnya. Ada dua kata penting di dalam definisi ini, yaitu memahami dan mengelola. Dua kata yang saya kira memiliki kedalaman makna dibalik itu. Memahami bagi saya merupakan kata yang paling sering diungkapkan di dalam berbagai event, apapun kejadiannya. Memahami orang lain bukanlah perkara mudah. Memahami merupakan suatu kondisi yang dibutuhkan oleh orang perorang di dalam hubungannya dengan orang lain. Jadi di kala kita berhubungan dengan orang lain, maka yang sangat dibutuhkan ialah kemampuan kita untuk memikirkan, merasakan dan memahami apa yang sesungguhnya diinginkan, diperlukan dan dirasakan bahkan apa yang akan dilakukan oleh orang lain itu.
Dengan demikian, memahami memiliki makna yang sangat kompleks. Tidak berhenti pada memikirkan dan merasakan akan tetapi juga apa yang sebaiknya dilakukan untuk orang lain itu. Kompleksitas makna inilah yang terkadang membuat kita gagal memahami orang lain. Di dalam konteks ini lalu dikenal istilah “gagal paham”. Bukannya tidak paham tetapi gagal memahami apa yang sesungguhnya harus dilakukan di dalam koteks komunikasi atau hubungan dengan orang lain itu.
Di antara yang mendasar agar kita memahami “sang liyan” adalah dengan menggunakan empathy. Yaitu kita merasa berada di dalam situasi “sang liyan” itu. Kita berada di dalam situasi yang “seakan-akan” dirasakan dan dialami oleh orang lain. Dengan pemahaman seperti ini, maka ada peluang yang lebih besar untuk bisa memahami orang lain. Manusia diciptakan untuk bisa merasakan apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain. Manusia diberikan kemampuan oleh Tuhan, Allah swt, untuk bisa merasakan penderitaan, kesenangan dan juga kebahagiaan orang lain. Meskipun tentu tidak sama persis dengan apa yang dirasakan atau dialami oleh orang lain itu.
Melalui kemampuan empathy tersebut, maka manusia menjadi lebih arif karena merasakan apa yang dirasakan orang lain itu. Saya diingatkan oleh Pak Menteri Agama, tentang bagaimana harus menjaga perasaan orang di dalam pelantikan jabatan, sebab ada hal-hal yang dirasakan kurang tepat di dalam pelaksanaannya. Saya masih ingat pernyataannya tentang pembatalan pelantikan yang sangat mendesak: “bagaimana kalau pembatalan itu kita yang merasakan atau keluarga kita yang merasakan”. Saya tentu sangat memahami apa yang dinyatakan oleh Pak Menteri ini dalam kaitannya dengan pembatalan pelantikan yang sangat mendadak, sebab tentu mereka yang akan dilantik di dalam jabatan itu sudah melakukan persiapan yang sangat mendasar. Tidak hanya persiapan fisik tetapi juga batinnya.
Memang di dalam situasi tertentu kita harus mengambil keputusan. Dan sebagaimana lazimnya bahwa pengambilan keputusan tentu harus dilakukan berdasar atas berbagai masukan yang selalu menjadi bahan pertimbangan. Namun demikian, pertimbangan yang seharusnya digunakan adalah dengan menggunakan dimensi pikir, rasa dan hati di dalam konteks empati ini. Jika ditinggalkan salah satunya, maka akan kehilangan daya rekatnya bagi kehidupan sosial kita.
Memimpin dan memanaj dengan hati merupakan bagian tidak terpisahkan dari kecerdasan sosial ini. Memahami dan memanej orang lain bukanlah perkara mudah. Seseorang membutuhkan keahlian khusus dan semua berbasis pada pikiran, perasaan dan hati. Jika hanya menggunakan pikiran, maka hanya akan menghasilkan jawaban ya atau tidak. Dengan rasa juga hanya akan menghasilkan perasaan senang atau kurang dan tidak senang, akan tetapi tentu diperlukan hati yang berposisi mengayuh di antara dua sisi logika dan perasaan, maka akan dihasilkan kearifan. Hati akan menjadi penyeimbang yang penting akan setiap pertimbangan rasio juga menempatkan perasaan sebagai basis perasaan kemanusiaan kita.
Yang diharapkan dengan penerapan social intelligent adalah kemenyatuan antara pikiran, rasa dan hati. Jika ketiganya bisa dioptimalkan untuk kepentingan kinerja, maka dipastikan bahwa akan diperoleh proses bisnis dan juga produk yang optimum untuk pelayanan pelanggan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
