• February 2025
    M T W T F S S
    « Jan    
     12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    2425262728  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENJAGA IMAN ITU PENTING

MENJAGA IMAN ITU PENTING

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sesungguhnya ada banyak doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT agar iman kita selalu terjaga. Di antara doa tersebut diungkapkan dalam pernyataan: “tsabbit imanana, imanan shadiqan, dan imanan kamilan dan lain-lain. Prinsipnya bahwa kita memerlukan keteguhan iman agar sebagai penganut agama maka kita bisa  selamat fid dini, waddunya wal akhirah. Doa di dalam Islam sangatlah penting. Saya menyatakan ada trilogy kehidupan yang sangat mendasar yaitu “usaha, doa dan tawakkal”.

Iman merupakan konsep yang abstrak karena menyangkut kegaiban di dalam agama. Tidak ada peluang orang membuktikan tentang keimanan sebagaimana ilmu pengetahuan, yang empiris logis, dan empiris rasional. Tidak ada peluang sama sekali, karena Tuhan itu bukan suatu dzat yang bersifat bendawi. Allah merupakan kegaiban di dalam agama yang harus diyakini keberadaannya. Orang hanya percaya atau tidak. Jika percaya maka akan berlaku hukum dalam kaitannya dengan kepercayaannya itu. Misalnya harus menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya, kapan dan di mana saja. Selama yang bersangkutan sudah mukallaf  atau dapat dikenai hukum Islam, maka yang bersangkutan harus menjalankan agamanya berbasis pada keyakinannya tersebut.

Memang berdasarkan atas temuan-temuan tentang tata surya  yang sedemikian rumit tetapi teratur, dan juga penciptaan manusia yang rumit tetapi teratur dan berbagai berita di dalam Alqur’an yang akhirnya dapat dibuktikan secara empiris, misalnya penemuan garam di dalam mulut Fir’aun yang menandai kebenaran ayat Alqur’an atau bulan terbelah di dalam mu’jizat Nabi Muhammad SAW dan bukti bahwa Bulan memang memiliki tanda pernah terbelah, maka keyakinan akan keberadaan Tuhan itu semakin nyata. Benarlah ungkapan Allah SWT bahwa manusia dimintanya untuk memikirkan dengan ilmu tentang ayat-ayat keberadaan Allah dan bukan berpikir tentang dzat Allah. Tafakkaru fi khalqillah wa la tafakkaru fi dzatillah. Berpikirlah akan ciptaan Allah dan jangan berpikir tentang dzat Allah.

Dzat Allah merupakan kegaiban kubra yang akal manusia tidak akan mampu untuk menjangkaunya. Wa ma utitum minal ilmi illa qalila. Yang artinya kurang lebih: “dan tidak diberi ilmu kepadamu kecuali sedikit.”  Tetapi manusia sudah sampai untuk membuktikan tentang big bang, lobang hitam, batas langit yang tak bertepi dan sebagainya dengan menggunakan teropong Hubble. Dan melalui penglihatan jarak yang sangat jauh tersebut, maka manusia sampai pada kesimpulan bahwa tata surya dan segenap kerumitan dan keteraturannya hanya diciptakan oleh Akal Sempurna atau Akal Agung yang Maha Agung. Dan itulah yang kemudian diyakini sebagai Allah SWT dengan segala atribut yang melekat pada kekuasaan yang Maha Besar atau Omnipotence dan yang Maha Tahu atau Omniscience.

Iman akan dapat berkurang  bahkan hilang jika tidak dirawat dengan baik. Untuk merawat iman, maka ada tiga hal yang harus dilakukan oleh yang mempercayainya. Pertama, berusaha untuk merawatnya dengan melakukan perbuatan baik yang diwajibkan oleh Islam. Agama Islam itu momot dengan amalan-amalan yang berbasis pada value Islam. Islam mengajarkan agar manusia melakukan relasi dengan Tuhan melalui ritual-ritual yang diwajibkan atau disunnahkan. Yang wajib seperti syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji bagi yang mampu. Semua ibadah adalah puncak relasi dengan Allah melalui skema ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan dalam beberapa hal, ibadah itu akan mendapatkan pengesahan jika melalui washilah kepada Nabi Muhammad SAW. Umat Islam Indonesia di dalam kebanyakan melakukannya melalui washilah kepada Nabi Muhammad SAW atau para ulama yang memiliki kedekatan kepada Allah SWT. Manusia juga harus membangun relasi yang baik dengan sesama manusia. Allah mengabarkan bahwa ibadah yang sebenarnya dapat dilakukan sendiri, akan tetapi jika dilakukan dengan berjamaah, maka pahalanya akan berlipat ganda. Allah menyatakan bahwa manusia yang kaffah adalah manusia yang dapat menjalankan agamanya secara utuh sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi karena kita tidak semasa dengan Nabi Muhammad SAW maka kita beribadah sesuai dengan tafsir para ulama yang tidak diragukan kapasitasnya sebagai ahli tafsir dalam bidang Alqur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW, yang menghasilkan ilmu fiqih yang menjadi basis bagi pelaksanaan ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah.

Kedua, berusaha untuk berada di dalam lingkungan yang baik. Baik lingkungan keluarga maupun lingkungan social harus kondusif untuk menjaga iman kepada Allah SWT. Lingkungan memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia. Di dalam syair lagu Jawa sebagaimana dinyanyikan oleh Cak Nun, maka terdapat ungkapan: “wong kang shaleh kumpulono”. Orang yang berperilaku shaleh harus menjadi sahabat kita dan kita bisa  berada di dalam lingkungan orang saleh tersebut. Nabi Muhammad SAW juga menyatakan: anta ma’a man ahbabta”. Yang artinya: “kamu bersama orang yang kamu cintai”. Berbahagialah seseorang yang berada di dalam lingkungan Islami, sehingga kita dapat  menjaga iman kita kepada Allah SWT. Seorang anak yang dididik dalam lingkungan yang penuh kasih sayang, maka anak akan tumbuh dengan kasih sayang. Anak yang didik dalam cacian, maka juga akan belajar untuk melakukan caci maki. Anak yang berada di dalam lingkungan kekerasan juga akan cenderung melakukan kekerasan.

Ketiga, hendaknya terus berdoa agar Allah menjaga iman kita. Kita perlu bersandar kepada Allah agar iman kita itu dijaganya. Jika Allah melepas iman dan menghilangkan iman itu dari dalam diri kita, maka akan hilanglah iman kita. Ada banyak orang yang semula beriman tetapi kemudian menjadi murtad atau ada banyak orang yang sebelumnya bukan beragama Islam tetapi kemudian menjadi muallaf. Kita bersyukur kepada Allah SWT karena iman yang diberikan Allah kepada kita. Dan yang lebih penting adalah Allah tetap menjaganya. Kita terus berdoa kepada Allah agar iman kita selalu terjaga di mana dan kapan saja.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

BERAGAMA SECARA ISTIQAMAH

BERAGAMA SECARA ISTIQAMAH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Dalam khazanah Bahasa Indonesia, istiqamah adalah konsisten. Yaitu perilaku yang dilakukan secara terus menerus dengan kesadaran sepenuhnya. Bukan perilaku yang dilakukan sekali dua kali tetapi secara terus menerus dengan melibatkan pikiran, hati atau kesadaran yang tinggi untuk melakukannya. Konsistensi akan terjadi jika pelaku telah memiliki sejumlah referensi akan berartinya tindakan tersebut bagi dirinya.

Seseorang yang merasakan arti atau makna kesehatan, maka akan melakukan olah raga rutin. Bagi orang tua yang setiap hari melakukan kegiatan jalan kaki terutama pagi hari, karena merasakan betapa manfaat gerak jalan ini. Sama halnya dengan orang yang melakukan olah raga badminton, tennis meja, bola voli atau sepakbola maka yang bersangkutan dipastikan akan melakukannya tanpa diminta atau disuruh. Dia telah memiliki kesadaran untuk melakukannya secara rutin.

Baragama merupakan dimensi kehidupan yang bercorak keyakinan atau dimensi keyakinan atas adanya Tuhan Allah dan berimplikasi atas berbagai tindakan ritual yang dilakukannya. Orang yang mempercayai keberadaan Allah dengan keyakinan yang kuat dan dipandu oleh seperangkat pengetahuan yang sangat tinggi tentu akan melakukan kegiatan atau aktivitas yang sesuai dengan keyakinannya tersebut.

Kita melakukan shalat secara rutin. Shalat rawatib yang kita lakukan lima kali sehari sungguh merupakan tindakan berkesadaran yang dilakukan oleh orang yang sangat meyakini bahwa Allah adalah suatu wujud adi kodrati yang menciptakan dan menguasai atas seluruh jagad raya dengan berbagai planet atau  tata surya yang berjalan secara rapi dan teratur. Konsekuensi atas keyakinannya tersebut maka ajaran agama dilakukannya dengan konsisten tiada henti. Terus menerus dilakukannya sebagai perwujudan atas keyakinannya dimaksud.

Berbagai penelitian para ahli di bidang sains, maka keyakinan akan adanya “Pikiran Agung” yang menciptakan alam semesta menjadi semakin kuat. Tidak ada kemungkinan bahwa alam dengan tata suryanya yang teratur, rapi dan berjalan sesuai dengan jalurnya itu berasal dari tiada dan tiada yang menciptakannya. Hipotesis tentang keberadaan Tuhan semakin meyakinkan. Kebenaran eksistensi Tuhan semakin meyakinkan bagi manusia yang menyadarinya.

Jika keberadaan Tuhan semakin diyakini, maka konsekuensinya adalah dengan melakukan apa yang dikehendaki oleh Tuhan sebagaimana tercantum di dalam firmannya. Kalam Tuhan tersebut di dalam Islam berada di dalam Kitab Suci Alqur’an sebagaimana yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Dari keyakinan kemudian menumbuhkan peribadahan dengan berbagai ekspresinya. Sebagaimana pemikiran Durkheim, bahwa agama itu mencakup tiga hal yaitu believe, ritual and expression.

Kala kita melakukan ritual beragama, maka sesungguhnya kita itu memenuhi kebutuhan akan ketuhanan. Banyak ahli psikhologi yang menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan akan ketuhanan. Hampir semua manusia memiliki kebutuhan ini, hanya saja ada yang dinyatakannya dan ada yang diingkarinya. Orang atheis atau gnostic tentu mengingkari akan kebutuhan ini, sebab sedemikian dominannya ratio yang tidak mempercayainya. Tetapi kebanyakan orang justru meyakini keberadaan Tuhan, sehingga kemudian menjalankan ajaran agama sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama salafus salih yang melakukannya.

Jika dipikir untuk apa orang melakukan puasa dengan tidak makan di siang hari dan hanya boleh makan pada malam hari. Ternyata dunia kesehatan membenarkannya, bahwa puasa menjadi instrument untuk menjadi semakin sehat. Sisa-sisa makanan, misalnya lemak dan lain-lain di dalam tubuh akan di manfaatkan di kala tubuh tidak menyerap makanan yang biasa dimakan. Makanya puasa dapat menjadi instrument untuk menjadikan diri semakin sehat. Shumu tasihhu. Berpuasalah agar sehat. Begitulah sabda Nabi Muhammad SAW.

Sebagai manusia tentu saja akan selalu menimbang akan manfaat. Tentu saja termasuk kala menjalankan ibadah juga akan dilakukan atas manfaat yang dirasakannya. Sebuah studi yang dilakukan oleh Prof. Dr. Moh. Sholeh dan Dr. Siti Nur Asiyah telah membuktikan bahwa shalat malam ternyata bermanfaat untuk kekebalan tubuh. Pada suatu ketika, Prof. Dr. Dede Rosyada menyatakan pada saya bahwa ada kawannya dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang akan operasi kanker otak. Lalu oleh Prof. Dede disarankan untuk shalat tahajjud dengan sujud dalam waktu yang sangat lama. Hal itu sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh peneliti dari UI Jakarta yang diujinya, dan ternyata dalam waktu tertentu dosen UIN Jakarta tersebut sembuh dan tidak meneruskan operasi. Inilah yang saya nyatakan bahwa di dalam beribadah, maka manusia juga tidak lepas dari fungsi ibadah bagi dirinya.

Oleh karena itu, apa yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW: “qul amantu billahu tsummastaqim”, yang artinya kurang lebih adalah: “katakan aku beriman kepada Allah dan akan beristiqamah”. Jika kita tarik relasi antara fungsi agama, ekspresi agama dan istiqamah, maka akan didapatkan suatu pemahaman bahwa: “setiap ekspresi keagamaan yang berbasis pada fungsi agama bagi dirinya, maka akan menjadi dasar akan tindakan yang konsisten di dalam mengamalkan ajaran agama”.

Kita bangun jam 02.30 atau jam 03.00 Wib lalu mengambil wudlu lalu melakukan shalat sunnah dalam rakaat tertentu, lalu kita melakukan dzikir atau wirid sebagaimana yang diajarkan oleh guru-guru kita dan hal tersebut menjadikan hati semakin tenang, merasa diri lebih tenteram dan membuat kehidupan lebih nyaman, maka hal tersebut akan menjadi basis bagi keistiqamahan  di dalam ibadah malam.

Jika demikian halnya, maka beragama bukan menjadi kewajiban akan tetapi menjadi kebutuhan. Jika kewajiban itu memberatkan kehidupan tetapi jika menjadi kebutuhan akan menjadi solusi untuk kehidupan. Tindakan istiqamah dalam beragama akan terjadi jika agama sudah memasuki alam kebutuhan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

BERAGAMA DENGAN HAPPY

BERAGAMA DENGAN HAPPY

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebagaimana penugasan yang diberikan oleh Ta’mir Masjid Al Ihsan dalam bulan Ramadlan 1445 H., maka saya pada Hari Senin, 18 Maret 2024, saya memberikan ceramah agama pada jamaah shalat tarawih yang rutin hadir di masjid ini. Memang setiap malam dilakukan ceramah agama yang disebut Kultum, meskipun di dalam pelaksanaannya bisa mencapai 15 menit bahkan 20 menit. Kata kultum hanya untuk menegaskan bahwa ada kegiatan penambahan wawasan keislaman pada jamaah shalat tarawih.

Saya mengantarkan materi yang saya kira relevan untuk menjadi bahan perbincangan, yaitu” “beragama secara happy”, beragama yang tidak memberatkan karena sudah memahami bahwa beragama itu bukan paksaan tetapi kebutuhan. Untuk pertama kali agar kita bisa istiqamah memang harus dipaksa, sebab tanpa paksaan tentu kita tidak bisa bergerak untuk melakukannya. Melalui paksaan pada tahap awal maka kemudian akan terjadi pembiasaan. Saya menyampaikan tiga hal, yaitu:

Pertama, marilah kita bersyukur kepada Allah karena nikmat kesehatan yang diberikan sehingga kita dapat melaksanakan salah satu rukun Islam, puasa, dan juga melakukan kesunahan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, misalnya shalat tarawih, shalat witir dan sebagainya. Bulan puasa ini bulan yang sangat istimewa, oleh karena itu kita juga memperlakukannya dengan istimewa. Banyak berdoa kepada Allah agar doa dapat  diijabi oleh Allah. Saya suka  doa yang biasanya saya baca setelah salam. Doa pendek yang menurut saya luar biasa. “Allahumma inna nasalukal jannata wal afwa ‘indal hisab”. Artinya kurang lebih “Ya Allah  kami memohon kepada-Mu surga dan ampunan kala datangnya hisab”. Jadi kita memohon kepada Allah agar menjadi ahli surga dan yang penting mendapat afwun atau ampunan yang sangat tinggi. Sebab afwun itu ampunan yang sekaligus menghapus catatan dosanya. Diampuni dosanya dan dibuang catatannya. Jika maghfirah itu diampuni dosanya tetapi catatannya masih ada. Tetapi yang jelas bahwa mendapatkan maghfiroh Allah saja sudah sangat luar biasa. Puasa yang kita lakukan ini akan menjadi instrument untuk mendapatkan maghfirah. “Awwaluhu rahmah, wa ausatuha maghfirah wa akhiruhu itqun minan nar”. Awalnya kasih sayang, tengahnya ampunan dan akhirnya dijauhkan dari api neraka”.

Kedua, mari kita beragama dengan hepi, dengan senang, dengan gembira. Ada lagunya Jamal Mirdad yang berjudul “Yang Penting Heppi”. Ya kita mesti beragama dengan hepi. Janganlah beragama dengan ketakutan berlebihan, sebab jika ini yang terjadi kita akan terkena dampak psikhologis atas ketakutan tersebut. Juga jangan beragama dengan kekerasan, sebab hal tersebut akan menakutkan orang lain. Orang yang semestinya akan menjadi Islam takut karena agama kita  penuh kekerasan. Jadikan beragama itu membahagiakan diri kita dan orang lain. Kita dan orang lain merasa nyaman dalam beragama. Kita dan orang lain merasa diayomi oleh agama kita. Pokoknya beragama membuat kemanusiaan kita semakin baik, kehidupan kita semakin baik dan hubungan dengan Allah dan sesama manusia juga semakin baik.

Ketiga,  Untuk menggapai beragama yang hepi tersebut maka ada empat hal  yang harus diperhatikan, yaitu: 1) kita selalu berhusnudz dzan kepada Allah. Jangan ada sedikitpun perasaan suudz dzan kepada Allah. Berbaik sangka kepada Allah itu awal dari beragama secara hepi. Tidak ada yang melebihi kebaikan Allah, tidak ada yang melebihi kasih sayang Allah, tidak ada yang melebihi kekuasaan dan kekuatan Allah. Bagi saya puncak sifat Allah itu adalah Rahman dan Rahim. Allah maha Rahman dan Maha Rahim.  Itu  yang harus terus dipompakan di dalam diri kita, sehingga akan terbentuk rasa berbaik sangka kepada Allah. Allah pasti akan mengampuni kita, Allah pasti akan memafkan kita dan Allah pasti akan memberikan rahmatnya untuk kita sebagai umat Muhammad SAW.

Lalu 2),  berdoa kepada Allah SWT. Jangan lelah berdoa. Kita diperintahkan untuk berdoa kepada-Nya. Ud’uni astajib lakum, berdoalah kepadaku yang pasti akan mengabulkan doa kalian. Kita harus banyak meminta bukan meminta yang banyak. Banyak meminta artinya banyak berdoa, sedangkan meminta yang banyak itu dalam jumlah yang diminta. Jangan bersuudz dzan bahwa doa  tidak dikabulkan oleh Allah. Ada yang langsung dikabulkan. Ini doanya para Nabi dan para waliyullah sebagai orang yang sangat dekat dengan Allah. Nabi Muhammad SAW kala diminta membelah bulan oleh orang Quraisy, maka Beliau berdoa kepada  Allah dan terbelahlah Bulan. Itupun masih dinyatakan sebagai sihir oleh orang Quraisy. Tetapi ada doa yang dikabulkan Allah pada waktu lain bahkan ada doa  yang dikabulkan Allah pada saat kita sudah wafat atau bahkan kala sudah memasuki alam akherat. Maka jangan berputus asa dan jangan suudz dzan kepada Allah SWT.

Kemudian 3), berusaha yang sungguh-sungguh. Kita mengenal ada dua takdir, yaitu takdir mubram atau takdir yang pasti dan tidak bisa berubah. Sementara itu ada takdir muallaq atau takdir tergantung. Seperti cerita Mas Alief kemarin sore, bahwa ada ulama yang sudah tahu takdirnya itu saqiyyun atau sengsara dan bukan sa’idun atau untung. Kala santrinya tahu hal ini maka kemudian dijelaskan oleh gurunya bahwa takdirnya memang sengsara akan tetapi ulama tersebut terus berdoa dan berusaha, dalam waktu 40 tahun maka takdir muallaq tersebut berubah dari saqiyyun ke saidun bahkan ada tulisan di dahinya tiga kali kata sa’idun.

Yang 4), adalah pasrah kepada Allah atau tawakkal kepada Allah, sebab Allah yang menentukan atas apa yang ada di dalam diri kita. Terus berusaha dan terus berusaha jangan pernah lelah dan terus berdoa dan berdoa. Sekali lagi  jangan pernah lelah, dan akhirnya serahkan hasilnya kepada Allah SWT. Biar Allahlah yang akan menentukan yang terbaik untuk kita. Kita baru tahu kala sesuatu sudah terjadi dan lalu kita menyatakan: “ternyata ada hikmahnya”.

Semua ini akan terjadi jika kita selalu  berhusnudz dzan kepada Allah. Melalui husnudz dzan tersebut maka apa yang kita lakukan akan membawa kepada kebahagiaan, membawa kepada rasa hepi. Jadi sudah saatnya kita beragama dengan hepi.

Wallahu a’lam bi al shawab.

BERIBADAH LAYAKNYA KAUM PEDAGANG

BERIBADAH LAYAKNYA KAUM PEDAGANG

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kaum pedagang dalam dunia kehidupan duniawi merupakan orang yang selalu berpikir ke depan, terutama untuk meningkatkan kehidupan ekonominya. Tidak ada yang dipikirkan lebih banyak dibandingkan dengan bagaimana mempertahankan reputasi ekonominya dan kemudian meningkatkannya. Jadi jika ditanyakan,  siapakah yang secara ekonomis akan lebih maju maka jawabannya adalah kaum pedagang atau kaum pengusaha.

Bahkan Kyai Wahid Hasyim adalah seorang pengusaha yang pernah memberikan dawuh atau pernyataan bahwa 80 persen kehidupan ekonomi itu didapatkan oleh dunia perdagangan. Makanya kebanyakan orang yang sukses secara ekonomi adalah orang yang bisa mengembangkan perdagangan atau usaha ekonomi. Mereka orang yang bisa memanfaatkan hambatan dan tantangan menjadi peluang. Di kalangan ini terdapat semboyan every problem there is a solution. Ada juga yang menyatakan bahwa uang itu mencari kawannya. Jika di dalam kehidupannya sudah banyak uang, maka uang lainnya akan menyusulnya masuk  di dalam rengkuhannya. Begitulah dunia ekonomi.

Manusia yang paling rasional adalah pedagang, sebab di dalam dirinya terdapat suatu dalil tentang untung dan rugi. Hanya ada dua konsep ini. Mereka akan mencari dan terus mencari untuk menemukan upaya agar keuntungan berpihak kepadanya. Di dalam dunia kapitalisme disebut sebagai akumulasi modal. Dari modal menjadi modal lainnya. Dengan pengeluaran sedikit-dikitnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Tetapi pertanyaannya, apakah kita beribadah juga berbasis pada pemikiran kaum pedagang? Jawabannya bisa ya dan juga bisa tidak. Ada orang yang berpikir bahwa setiap ibadah yang dilakukannya itu akan mendapatkan pahala dan pahala demi pahala itu akan berakumulasi sebanyak-banyaknya sehingga akan mengantarkannya untuk memasuki surga. Jadi surga dihitung dari seberapa besar ibadah yang dilakukannya. Proposisinya adalah semakin banyak ibadah semakin berhak mendapatkan surga. Pemikiran ini tentu benar dan bukan salah.

Mayoritas umat beragama dipastikan akan berpikir seperti ini. Bahkan saya sering menyatakan: “masak sih kita yang sudah beribadah seperti ini, akan sama dengan mereka yang tidak pernah beribadah” atau pernyataan: “kita sudah meyakini seluruh rukun iman dan sudah menjalankan rukun Islam masak Tuhan tega memasukkan kita di dalam neraka”. Dipastikan akan terdapat perbedaan di antaranya. Pemikiran ini dapat dinyatakan sebagai pemikiran siapa yang untung dan siapa yang buntung. Yang untung adalah orang yang telah mempercayai rukun Iman dan menjalankan rukun Islam, dan yang buntung adalah mereka yang tidak meyakini rukun iman dan tidak menjalankan rukun Islam. Jawaban seperti ini pasti benar dan Alqur’an sendiri juga banyak yang menyatakan seperti itu.

Seperti pernyataan di dalam Alqur’an: “ innal ladzina amanu wa ‘amilush shalihati ulaikahum Khairul bariyyah”. “Sesungguhnya orang yang beriman dan beramal shalih maka mereka adalah sebaik-baik manusia”.  Saya berpikir kebanyakan manusia akan menghayati ungkapan Alqur’an ini bahwa yang beruntung adalah orang yang beriman kepada rukun iman dan melakukan rukun Islam dengan kesungguhan dan mereka adalah orang yang beruntung. Sebagaimana dipahami bahwa Alqur’an adalah kitab yang memberikan kabar kegembiraan atau tabsyir dan memberikan peringatan atau tandzir. Maka dipastikan ada ayat yang memberikan kabar kegembiraan bagi orang yang disebut sebagai Khairul bariyyah dan memberikan peringatan bagi orang yang disebut sebagai syarrul bariyyah.

Kebanyakan umat Islam adalah orang yang berpikir bahwa surga itu  bisa didapatkan melalui ibadah. Hal ini saya yakin benar. Tetapi jika kita hanya bertumpu pada ungkapan ini, maka kita mereduksi terhadap ibadah dalam konteks yang sempit. Dianggapnya bahwa ibadah itu hanya melakukan shalat atau membayar zakat, atau melakukan puasa atau yang sering dianggap ibadah maghdhah. Ini merupakan kewajiban inti, akan tetapi jangan lupa bahwa ada ibadah ghairu maghdhah yang juga penting yang bisa menjadi instrument untuk memasuki surganya Allah. Yaitu ibadah yang dikaitkan dengan relasi antar manusia yang juga sangat penting di dalam Islam. Menolong orang, membantu orang bahkan mengambil paku di jalan yang dilakukannya dengan ikhlas akan bisa mengantarkannya di dalam surga. Sama dengan kala Imam Ghazali yang masuk surga karena membiarkan lalat meminum tinta yang dipakai menulis kitabnya atau bahkan seorang pelacur yang memberikan minuman kepada seekor anjing yang  menjadi instrument baginya untuk masuk surga.

Kita harus mengakui bahwa cara kita beragama masih berada di dalam konteks beribadah yang didasari oleh untung dan rugi. Kita masih merasa sebagai orang Islam yang awam dan beribadah sebagai orang awam. Orang yang masih berkeyakinan bahwa ibadah kita adalah akan menghasilkan pahala yang secara fisik akan menguntungkan kita. Kita berhitung dengan Allah tentang ibadah yang kita lakukan. Kebanyakan orang awam dalam beragama itu berpikirnya materialistic dan bukan substansialistik. Jadi beribadah itu dihitung seperti dunia perdagangan.

Sementara itu ada orang yang sudah memasuki dunia khawash atau bahkan khawash lil khawash. Orang yang sudah memasuki ibadah untuk menemukan ridhanya Allah. Kalau shalat maka yang diinginkan adalah ridhanya Allah, jika melakukan puasa yang dilakukan adalah mencari ridhanya Allah dan semua amal ibadah itu bertujuan ke sana. Di dalam pemikirannya hanya ada Allah semata. Mereka tidak memperhitungkan balasan Allah surga atau neraka. Fokusnya pada ridla Allah yang di dalam dunia tasawuf disebut sebagai tasawuf ridla, atau kehidupan yang  terfokus pada cinta Allah atau di dalam dunia tasawuf disebut tasawuf cinta. Orang yang sudah seperti itu sudah melampaui ibadah fisikal karena sudah memasuki alam tajalli atau alam Ketuhanan. Dia sudah melampuai alam tahalli atau mengerjakan semua perintah Allah dan  takhalli atau menghindari larangan Allah dan memasuki alam tajalli suatu alam yang tiada lagi hijab antara diri dan Tuhan atau Allah.

Sungguh indahnya andaikan kita dapat  memasuki hal seperti itu, akan tetapi rasanya hingga saat ini kita masih berada di dalam alam ibadah yang saya sebutkan sebagai aliran minimalis dalam beragama. Semoga puasa ini dapat menjadi instrument bagi kita untuk memasuki peringkat yang lebih baik dalam beribadah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

UNTUK BERBUAT BAIK HARUS DIPAKSA DULU

UNTUK BERBUAT BAIK HARUS DIPAKSA DULU

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sesungguhnya yang terbaik adalah melakukan tindakan berbasis kesadaran. Namun demikian untuk memulai perbuatan yang baik ternyata membutuhkan pemaksaan. Lalu melalui pemaksaan akhirnya menjadi kebiasaan. Yang dimaksud dengan perbuatan baik atau amalan shalihan itu teruntuk Allah SWT dalam bentuk beribadah dan teruntuk manusia juga dalam kerangka beribadah.

Ungkapan ini disampaikan oleh Ustadz M. Thoha Mahsun dalam ceramah bagi jamaah Shalat Tarawih di Masjid Al Ihsan Ketintang Surabaya, pada 14 Maret 2024. Acara pengajian ini dilakukan setelah shalat Isya’ berjamaah dan kemudian dilanjutkan dengan shalat tarawih berjamaah dan shalat witir berjamaah. Ustadz Thoha mengutip pernyataan Kyai Shaleh dari Pondok Pesantren Ngalah Pasuruan.

Kyai Sholeh adalah adalah guru saya. Beliau  yang mendirikan Pondok Pesantren Ngalah dan kemudian juga  Universitas Yudharta Pasuruan. Saya ikut terlibat di masa awal pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Yudharta pada tahun 2010-an. Saya ingat betul pada waktu mendirikan program Studi Ekonomi Islam, yang waktu itu saya menjadi Sekretaris Kopertais Wilayah IV. Benar-benar usaha yang maksimal untuk mewujudkannya. Bahkan Kasubdit Perguruan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, sempat hadir untuk terlibat di dalam pendirian prodi ekonomi Islam dimaksud.

Kyai Shaleh adalah mursyid tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang berafiliasi ke Pesantren Kedinding Surabaya, Kyai Usman Al Ishaqi. Beliau adalah tokoh multikulturalisme  yang luar biasa. Jika Kyai Shaleh mengadakan acara di Pesantren atau perguruan tingginya, maka turut hadir kawan-kawan lintas agama. Suatu hal yang nyaris tidak pernah dilakukan adalah memberikan ceramah di perkantoran. Suatu ketika Kyai Sholeh berpesan: “Saya yang menyiarkan Islam wasathiyah di masyarakat dan Pak Nur yang melakukannya di birokrasi atau pemerintahan”. Ungkapan ini masih membekas di pemikiran saya hingga saat ini.

Kala Beliau ditanya oleh Ustadz Thoha tentang bagaimana mendawamkan ibadah, maka Kyai Sholeh menyatakan dengan satu kata: “dipaksa”. Beribadah kepada Allah tentunya menghadirkan kesadaran, akan tetapi untuk melanggengkan ibadah kepada Allah ternyata memang harus dipaksa. Tidak bisa mentradisi dengan sendirinya. Diperlukan upaya untuk memaksanya dan kemudian mentradisikannya. Di dalam ungkapan Bahasa Jawa didapatkan ungkapan “witing tresno jalaran soko kulino”. Artinya: “cinta itu karena kebiasaan”.  Untuk membiasakan beribadah, maka diperlukan pemaksaan terlebih dahulu dan lama kelamaan akan memunculkan rasa cinta untuk beribadah.

Untuk beribadah itu tentu dalam rangka memenuhi keinginan roh yang dipancarkan oleh Allah kepada diri manusia. Ibadah itu tujuannya terkait dengan  yang gaib atau batiniah atau spiritual. Berbeda dengan keinginan untuk memenuhi kebutuhan fisik yang instingtif. Maka tanpa dibiasakan juga akan terjadi karena kebutuham fisik tersebut bersifat fisikal atau jasmani. Jika kita lapar, maka ada tuntutan badaniyah untuk memenuhinya. Hal ini sungguh berbeda dengan beribadah yang tuntutannya bersifat abstrak, rohaniyah atau spiritualitas. Oleh karena itu, agar menjadi kebiasaan maka diperlukan pemaksaaan terlebih dahulu.

Suatu contoh betapa susahnya membiasakan bangun jam 03.00 pagi. Jam seperti itu tentu secara badaniyah sedang enak-enaknya tidur. Apalagi jika tidurnya agak kemalaman, misalnya jam 24.00 WIB. Dipastikan akan kesulitan bangun jam 03.00 WIB atau jam 03.30 WIB. Penting diingat bahwa tidur yang terbaik itu pukul 23.00-02.00 WIB. Inilah yang disebut sebagai the golden time of sleeping. Waktu ini sangat baik untuk merecovery tubuh.

Oleh karena itu orang yang ingin menggapai kesehatan yang prima,  maka menjaga waktu tidur itu sangat penting. Tetapi bagi yang terbiasa bangun malam untuk ibadah, misalnya pukul 02.30 atau 03.00 atau pukul 03.30 WIB, maka dipastikan pada jam tersebut akan terbangun. Ada strategi melakukannya agar bisa bangun dengan memohon kepada Allah agar dibangunkan pada pukul yang kita kehendaki. Untuk dapat melakukannya tentu dipaksa terlebih dahulu, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan.

Cobalah kita kalkulasi, jika dibandingkan waktu kita untuk bermunajat kepada Allah dengan tindakan lainnya tentu sungguh tidak berimbang. Misalnya, waktu kita lebih banyak  digunakan untuk menonton Youtube, Tiktok, IG atau bermain game di Gadget. Sungguh sangat minim waktu yang kita gunakan untuk bercengkerama dengan Allah melalui bacaan wirid atau dzikir kepada-Nya. Makanya yang terbaik adalah dengan memohon kepada Allah agar diberikan kenikmatan yang berupa rahmatnya Allah SWT. Yang menentukan kita akan masuk surga adalah rahmat Allah kepada hambanya.

Puasa inilah yang dapat menjadi cara umat Islam untuk mendapatkan rahmat Allah. Bukankah sudah berkali-kali disampaikan kepada kita semua, bahwa puasa itu pada sepertiga awalnya adalah rahmat, separohnya adalah ampunan dan sepertiga akhirnya adalah dijauhkan dari api neraka. Jika kita mendengarkan pernyataan ini, maka kita dapat bergembira sebab tahun ini kita masih ditemui oleh Bulan Ramadlan. Pak Thoha menyatakan bahwa: “ada kawannya, yang tiga hari menjelang puasa dipanggil Allah. Gantian memijat dengan istrinya, kala suaminya itu memijat tiba-tiba terjatuh  dan ternyata meninggal dunia”.

Oleh karena itu, kita harus bersyukur karena masih bisa menemui bulan Ramadlan tahun ini, 1445 H atau tahun 2024 M. Dan doa yang kita panjatkan adalah semoga kita masih bisa dipertemukan dengan Ramadlan tahun depan.

Wallahu a’lam bi al shawab.