BERAGAMA SECARA ISTIQAMAH
BERAGAMA SECARA ISTIQAMAH
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Dalam khazanah Bahasa Indonesia, istiqamah adalah konsisten. Yaitu perilaku yang dilakukan secara terus menerus dengan kesadaran sepenuhnya. Bukan perilaku yang dilakukan sekali dua kali tetapi secara terus menerus dengan melibatkan pikiran, hati atau kesadaran yang tinggi untuk melakukannya. Konsistensi akan terjadi jika pelaku telah memiliki sejumlah referensi akan berartinya tindakan tersebut bagi dirinya.
Seseorang yang merasakan arti atau makna kesehatan, maka akan melakukan olah raga rutin. Bagi orang tua yang setiap hari melakukan kegiatan jalan kaki terutama pagi hari, karena merasakan betapa manfaat gerak jalan ini. Sama halnya dengan orang yang melakukan olah raga badminton, tennis meja, bola voli atau sepakbola maka yang bersangkutan dipastikan akan melakukannya tanpa diminta atau disuruh. Dia telah memiliki kesadaran untuk melakukannya secara rutin.
Baragama merupakan dimensi kehidupan yang bercorak keyakinan atau dimensi keyakinan atas adanya Tuhan Allah dan berimplikasi atas berbagai tindakan ritual yang dilakukannya. Orang yang mempercayai keberadaan Allah dengan keyakinan yang kuat dan dipandu oleh seperangkat pengetahuan yang sangat tinggi tentu akan melakukan kegiatan atau aktivitas yang sesuai dengan keyakinannya tersebut.
Kita melakukan shalat secara rutin. Shalat rawatib yang kita lakukan lima kali sehari sungguh merupakan tindakan berkesadaran yang dilakukan oleh orang yang sangat meyakini bahwa Allah adalah suatu wujud adi kodrati yang menciptakan dan menguasai atas seluruh jagad raya dengan berbagai planet atau tata surya yang berjalan secara rapi dan teratur. Konsekuensi atas keyakinannya tersebut maka ajaran agama dilakukannya dengan konsisten tiada henti. Terus menerus dilakukannya sebagai perwujudan atas keyakinannya dimaksud.
Berbagai penelitian para ahli di bidang sains, maka keyakinan akan adanya “Pikiran Agung” yang menciptakan alam semesta menjadi semakin kuat. Tidak ada kemungkinan bahwa alam dengan tata suryanya yang teratur, rapi dan berjalan sesuai dengan jalurnya itu berasal dari tiada dan tiada yang menciptakannya. Hipotesis tentang keberadaan Tuhan semakin meyakinkan. Kebenaran eksistensi Tuhan semakin meyakinkan bagi manusia yang menyadarinya.
Jika keberadaan Tuhan semakin diyakini, maka konsekuensinya adalah dengan melakukan apa yang dikehendaki oleh Tuhan sebagaimana tercantum di dalam firmannya. Kalam Tuhan tersebut di dalam Islam berada di dalam Kitab Suci Alqur’an sebagaimana yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Dari keyakinan kemudian menumbuhkan peribadahan dengan berbagai ekspresinya. Sebagaimana pemikiran Durkheim, bahwa agama itu mencakup tiga hal yaitu believe, ritual and expression.
Kala kita melakukan ritual beragama, maka sesungguhnya kita itu memenuhi kebutuhan akan ketuhanan. Banyak ahli psikhologi yang menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan akan ketuhanan. Hampir semua manusia memiliki kebutuhan ini, hanya saja ada yang dinyatakannya dan ada yang diingkarinya. Orang atheis atau gnostic tentu mengingkari akan kebutuhan ini, sebab sedemikian dominannya ratio yang tidak mempercayainya. Tetapi kebanyakan orang justru meyakini keberadaan Tuhan, sehingga kemudian menjalankan ajaran agama sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama salafus salih yang melakukannya.
Jika dipikir untuk apa orang melakukan puasa dengan tidak makan di siang hari dan hanya boleh makan pada malam hari. Ternyata dunia kesehatan membenarkannya, bahwa puasa menjadi instrument untuk menjadi semakin sehat. Sisa-sisa makanan, misalnya lemak dan lain-lain di dalam tubuh akan di manfaatkan di kala tubuh tidak menyerap makanan yang biasa dimakan. Makanya puasa dapat menjadi instrument untuk menjadikan diri semakin sehat. Shumu tasihhu. Berpuasalah agar sehat. Begitulah sabda Nabi Muhammad SAW.
Sebagai manusia tentu saja akan selalu menimbang akan manfaat. Tentu saja termasuk kala menjalankan ibadah juga akan dilakukan atas manfaat yang dirasakannya. Sebuah studi yang dilakukan oleh Prof. Dr. Moh. Sholeh dan Dr. Siti Nur Asiyah telah membuktikan bahwa shalat malam ternyata bermanfaat untuk kekebalan tubuh. Pada suatu ketika, Prof. Dr. Dede Rosyada menyatakan pada saya bahwa ada kawannya dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang akan operasi kanker otak. Lalu oleh Prof. Dede disarankan untuk shalat tahajjud dengan sujud dalam waktu yang sangat lama. Hal itu sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh peneliti dari UI Jakarta yang diujinya, dan ternyata dalam waktu tertentu dosen UIN Jakarta tersebut sembuh dan tidak meneruskan operasi. Inilah yang saya nyatakan bahwa di dalam beribadah, maka manusia juga tidak lepas dari fungsi ibadah bagi dirinya.
Oleh karena itu, apa yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW: “qul amantu billahu tsummastaqim”, yang artinya kurang lebih adalah: “katakan aku beriman kepada Allah dan akan beristiqamah”. Jika kita tarik relasi antara fungsi agama, ekspresi agama dan istiqamah, maka akan didapatkan suatu pemahaman bahwa: “setiap ekspresi keagamaan yang berbasis pada fungsi agama bagi dirinya, maka akan menjadi dasar akan tindakan yang konsisten di dalam mengamalkan ajaran agama”.
Kita bangun jam 02.30 atau jam 03.00 Wib lalu mengambil wudlu lalu melakukan shalat sunnah dalam rakaat tertentu, lalu kita melakukan dzikir atau wirid sebagaimana yang diajarkan oleh guru-guru kita dan hal tersebut menjadikan hati semakin tenang, merasa diri lebih tenteram dan membuat kehidupan lebih nyaman, maka hal tersebut akan menjadi basis bagi keistiqamahan di dalam ibadah malam.
Jika demikian halnya, maka beragama bukan menjadi kewajiban akan tetapi menjadi kebutuhan. Jika kewajiban itu memberatkan kehidupan tetapi jika menjadi kebutuhan akan menjadi solusi untuk kehidupan. Tindakan istiqamah dalam beragama akan terjadi jika agama sudah memasuki alam kebutuhan.
Wallahu a’lam bi al shawab.