UNTUK BERBUAT BAIK HARUS DIPAKSA DULU
UNTUK BERBUAT BAIK HARUS DIPAKSA DULU
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Sesungguhnya yang terbaik adalah melakukan tindakan berbasis kesadaran. Namun demikian untuk memulai perbuatan yang baik ternyata membutuhkan pemaksaan. Lalu melalui pemaksaan akhirnya menjadi kebiasaan. Yang dimaksud dengan perbuatan baik atau amalan shalihan itu teruntuk Allah SWT dalam bentuk beribadah dan teruntuk manusia juga dalam kerangka beribadah.
Ungkapan ini disampaikan oleh Ustadz M. Thoha Mahsun dalam ceramah bagi jamaah Shalat Tarawih di Masjid Al Ihsan Ketintang Surabaya, pada 14 Maret 2024. Acara pengajian ini dilakukan setelah shalat Isya’ berjamaah dan kemudian dilanjutkan dengan shalat tarawih berjamaah dan shalat witir berjamaah. Ustadz Thoha mengutip pernyataan Kyai Shaleh dari Pondok Pesantren Ngalah Pasuruan.
Kyai Sholeh adalah adalah guru saya. Beliau yang mendirikan Pondok Pesantren Ngalah dan kemudian juga Universitas Yudharta Pasuruan. Saya ikut terlibat di masa awal pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Yudharta pada tahun 2010-an. Saya ingat betul pada waktu mendirikan program Studi Ekonomi Islam, yang waktu itu saya menjadi Sekretaris Kopertais Wilayah IV. Benar-benar usaha yang maksimal untuk mewujudkannya. Bahkan Kasubdit Perguruan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, sempat hadir untuk terlibat di dalam pendirian prodi ekonomi Islam dimaksud.
Kyai Shaleh adalah mursyid tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang berafiliasi ke Pesantren Kedinding Surabaya, Kyai Usman Al Ishaqi. Beliau adalah tokoh multikulturalisme yang luar biasa. Jika Kyai Shaleh mengadakan acara di Pesantren atau perguruan tingginya, maka turut hadir kawan-kawan lintas agama. Suatu hal yang nyaris tidak pernah dilakukan adalah memberikan ceramah di perkantoran. Suatu ketika Kyai Sholeh berpesan: “Saya yang menyiarkan Islam wasathiyah di masyarakat dan Pak Nur yang melakukannya di birokrasi atau pemerintahan”. Ungkapan ini masih membekas di pemikiran saya hingga saat ini.
Kala Beliau ditanya oleh Ustadz Thoha tentang bagaimana mendawamkan ibadah, maka Kyai Sholeh menyatakan dengan satu kata: “dipaksa”. Beribadah kepada Allah tentunya menghadirkan kesadaran, akan tetapi untuk melanggengkan ibadah kepada Allah ternyata memang harus dipaksa. Tidak bisa mentradisi dengan sendirinya. Diperlukan upaya untuk memaksanya dan kemudian mentradisikannya. Di dalam ungkapan Bahasa Jawa didapatkan ungkapan “witing tresno jalaran soko kulino”. Artinya: “cinta itu karena kebiasaan”. Untuk membiasakan beribadah, maka diperlukan pemaksaan terlebih dahulu dan lama kelamaan akan memunculkan rasa cinta untuk beribadah.
Untuk beribadah itu tentu dalam rangka memenuhi keinginan roh yang dipancarkan oleh Allah kepada diri manusia. Ibadah itu tujuannya terkait dengan yang gaib atau batiniah atau spiritual. Berbeda dengan keinginan untuk memenuhi kebutuhan fisik yang instingtif. Maka tanpa dibiasakan juga akan terjadi karena kebutuham fisik tersebut bersifat fisikal atau jasmani. Jika kita lapar, maka ada tuntutan badaniyah untuk memenuhinya. Hal ini sungguh berbeda dengan beribadah yang tuntutannya bersifat abstrak, rohaniyah atau spiritualitas. Oleh karena itu, agar menjadi kebiasaan maka diperlukan pemaksaaan terlebih dahulu.
Suatu contoh betapa susahnya membiasakan bangun jam 03.00 pagi. Jam seperti itu tentu secara badaniyah sedang enak-enaknya tidur. Apalagi jika tidurnya agak kemalaman, misalnya jam 24.00 WIB. Dipastikan akan kesulitan bangun jam 03.00 WIB atau jam 03.30 WIB. Penting diingat bahwa tidur yang terbaik itu pukul 23.00-02.00 WIB. Inilah yang disebut sebagai the golden time of sleeping. Waktu ini sangat baik untuk merecovery tubuh.
Oleh karena itu orang yang ingin menggapai kesehatan yang prima, maka menjaga waktu tidur itu sangat penting. Tetapi bagi yang terbiasa bangun malam untuk ibadah, misalnya pukul 02.30 atau 03.00 atau pukul 03.30 WIB, maka dipastikan pada jam tersebut akan terbangun. Ada strategi melakukannya agar bisa bangun dengan memohon kepada Allah agar dibangunkan pada pukul yang kita kehendaki. Untuk dapat melakukannya tentu dipaksa terlebih dahulu, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan.
Cobalah kita kalkulasi, jika dibandingkan waktu kita untuk bermunajat kepada Allah dengan tindakan lainnya tentu sungguh tidak berimbang. Misalnya, waktu kita lebih banyak digunakan untuk menonton Youtube, Tiktok, IG atau bermain game di Gadget. Sungguh sangat minim waktu yang kita gunakan untuk bercengkerama dengan Allah melalui bacaan wirid atau dzikir kepada-Nya. Makanya yang terbaik adalah dengan memohon kepada Allah agar diberikan kenikmatan yang berupa rahmatnya Allah SWT. Yang menentukan kita akan masuk surga adalah rahmat Allah kepada hambanya.
Puasa inilah yang dapat menjadi cara umat Islam untuk mendapatkan rahmat Allah. Bukankah sudah berkali-kali disampaikan kepada kita semua, bahwa puasa itu pada sepertiga awalnya adalah rahmat, separohnya adalah ampunan dan sepertiga akhirnya adalah dijauhkan dari api neraka. Jika kita mendengarkan pernyataan ini, maka kita dapat bergembira sebab tahun ini kita masih ditemui oleh Bulan Ramadlan. Pak Thoha menyatakan bahwa: “ada kawannya, yang tiga hari menjelang puasa dipanggil Allah. Gantian memijat dengan istrinya, kala suaminya itu memijat tiba-tiba terjatuh dan ternyata meninggal dunia”.
Oleh karena itu, kita harus bersyukur karena masih bisa menemui bulan Ramadlan tahun ini, 1445 H atau tahun 2024 M. Dan doa yang kita panjatkan adalah semoga kita masih bisa dipertemukan dengan Ramadlan tahun depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.