BERIBADAH LAYAKNYA KAUM PEDAGANG
BERIBADAH LAYAKNYA KAUM PEDAGANG
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Kaum pedagang dalam dunia kehidupan duniawi merupakan orang yang selalu berpikir ke depan, terutama untuk meningkatkan kehidupan ekonominya. Tidak ada yang dipikirkan lebih banyak dibandingkan dengan bagaimana mempertahankan reputasi ekonominya dan kemudian meningkatkannya. Jadi jika ditanyakan, siapakah yang secara ekonomis akan lebih maju maka jawabannya adalah kaum pedagang atau kaum pengusaha.
Bahkan Kyai Wahid Hasyim adalah seorang pengusaha yang pernah memberikan dawuh atau pernyataan bahwa 80 persen kehidupan ekonomi itu didapatkan oleh dunia perdagangan. Makanya kebanyakan orang yang sukses secara ekonomi adalah orang yang bisa mengembangkan perdagangan atau usaha ekonomi. Mereka orang yang bisa memanfaatkan hambatan dan tantangan menjadi peluang. Di kalangan ini terdapat semboyan every problem there is a solution. Ada juga yang menyatakan bahwa uang itu mencari kawannya. Jika di dalam kehidupannya sudah banyak uang, maka uang lainnya akan menyusulnya masuk di dalam rengkuhannya. Begitulah dunia ekonomi.
Manusia yang paling rasional adalah pedagang, sebab di dalam dirinya terdapat suatu dalil tentang untung dan rugi. Hanya ada dua konsep ini. Mereka akan mencari dan terus mencari untuk menemukan upaya agar keuntungan berpihak kepadanya. Di dalam dunia kapitalisme disebut sebagai akumulasi modal. Dari modal menjadi modal lainnya. Dengan pengeluaran sedikit-dikitnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Tetapi pertanyaannya, apakah kita beribadah juga berbasis pada pemikiran kaum pedagang? Jawabannya bisa ya dan juga bisa tidak. Ada orang yang berpikir bahwa setiap ibadah yang dilakukannya itu akan mendapatkan pahala dan pahala demi pahala itu akan berakumulasi sebanyak-banyaknya sehingga akan mengantarkannya untuk memasuki surga. Jadi surga dihitung dari seberapa besar ibadah yang dilakukannya. Proposisinya adalah semakin banyak ibadah semakin berhak mendapatkan surga. Pemikiran ini tentu benar dan bukan salah.
Mayoritas umat beragama dipastikan akan berpikir seperti ini. Bahkan saya sering menyatakan: “masak sih kita yang sudah beribadah seperti ini, akan sama dengan mereka yang tidak pernah beribadah” atau pernyataan: “kita sudah meyakini seluruh rukun iman dan sudah menjalankan rukun Islam masak Tuhan tega memasukkan kita di dalam neraka”. Dipastikan akan terdapat perbedaan di antaranya. Pemikiran ini dapat dinyatakan sebagai pemikiran siapa yang untung dan siapa yang buntung. Yang untung adalah orang yang telah mempercayai rukun Iman dan menjalankan rukun Islam, dan yang buntung adalah mereka yang tidak meyakini rukun iman dan tidak menjalankan rukun Islam. Jawaban seperti ini pasti benar dan Alqur’an sendiri juga banyak yang menyatakan seperti itu.
Seperti pernyataan di dalam Alqur’an: “ innal ladzina amanu wa ‘amilush shalihati ulaikahum Khairul bariyyah”. “Sesungguhnya orang yang beriman dan beramal shalih maka mereka adalah sebaik-baik manusia”. Saya berpikir kebanyakan manusia akan menghayati ungkapan Alqur’an ini bahwa yang beruntung adalah orang yang beriman kepada rukun iman dan melakukan rukun Islam dengan kesungguhan dan mereka adalah orang yang beruntung. Sebagaimana dipahami bahwa Alqur’an adalah kitab yang memberikan kabar kegembiraan atau tabsyir dan memberikan peringatan atau tandzir. Maka dipastikan ada ayat yang memberikan kabar kegembiraan bagi orang yang disebut sebagai Khairul bariyyah dan memberikan peringatan bagi orang yang disebut sebagai syarrul bariyyah.
Kebanyakan umat Islam adalah orang yang berpikir bahwa surga itu bisa didapatkan melalui ibadah. Hal ini saya yakin benar. Tetapi jika kita hanya bertumpu pada ungkapan ini, maka kita mereduksi terhadap ibadah dalam konteks yang sempit. Dianggapnya bahwa ibadah itu hanya melakukan shalat atau membayar zakat, atau melakukan puasa atau yang sering dianggap ibadah maghdhah. Ini merupakan kewajiban inti, akan tetapi jangan lupa bahwa ada ibadah ghairu maghdhah yang juga penting yang bisa menjadi instrument untuk memasuki surganya Allah. Yaitu ibadah yang dikaitkan dengan relasi antar manusia yang juga sangat penting di dalam Islam. Menolong orang, membantu orang bahkan mengambil paku di jalan yang dilakukannya dengan ikhlas akan bisa mengantarkannya di dalam surga. Sama dengan kala Imam Ghazali yang masuk surga karena membiarkan lalat meminum tinta yang dipakai menulis kitabnya atau bahkan seorang pelacur yang memberikan minuman kepada seekor anjing yang menjadi instrument baginya untuk masuk surga.
Kita harus mengakui bahwa cara kita beragama masih berada di dalam konteks beribadah yang didasari oleh untung dan rugi. Kita masih merasa sebagai orang Islam yang awam dan beribadah sebagai orang awam. Orang yang masih berkeyakinan bahwa ibadah kita adalah akan menghasilkan pahala yang secara fisik akan menguntungkan kita. Kita berhitung dengan Allah tentang ibadah yang kita lakukan. Kebanyakan orang awam dalam beragama itu berpikirnya materialistic dan bukan substansialistik. Jadi beribadah itu dihitung seperti dunia perdagangan.
Sementara itu ada orang yang sudah memasuki dunia khawash atau bahkan khawash lil khawash. Orang yang sudah memasuki ibadah untuk menemukan ridhanya Allah. Kalau shalat maka yang diinginkan adalah ridhanya Allah, jika melakukan puasa yang dilakukan adalah mencari ridhanya Allah dan semua amal ibadah itu bertujuan ke sana. Di dalam pemikirannya hanya ada Allah semata. Mereka tidak memperhitungkan balasan Allah surga atau neraka. Fokusnya pada ridla Allah yang di dalam dunia tasawuf disebut sebagai tasawuf ridla, atau kehidupan yang terfokus pada cinta Allah atau di dalam dunia tasawuf disebut tasawuf cinta. Orang yang sudah seperti itu sudah melampaui ibadah fisikal karena sudah memasuki alam tajalli atau alam Ketuhanan. Dia sudah melampuai alam tahalli atau mengerjakan semua perintah Allah dan takhalli atau menghindari larangan Allah dan memasuki alam tajalli suatu alam yang tiada lagi hijab antara diri dan Tuhan atau Allah.
Sungguh indahnya andaikan kita dapat memasuki hal seperti itu, akan tetapi rasanya hingga saat ini kita masih berada di dalam alam ibadah yang saya sebutkan sebagai aliran minimalis dalam beragama. Semoga puasa ini dapat menjadi instrument bagi kita untuk memasuki peringkat yang lebih baik dalam beribadah.
Wallahu a’lam bi al shawab.