• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BULAN RAJAB SEBAGAI BULAN MENANAM KEBAIKAN

BULAN RAJAB SEBAGAI BULAN MENANAM KEBAIKAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Salah satu kebahagiaan yang dinantikan oleh para anggota Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) pada Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya adalah jika datang hari Selasa pada waktu ada acara mengaji Selasanan. Ngaji rutin dengan tema-tema yang actual, dipandu oleh Ustadz Dr. Cholil Umam, Ustadz Sahid Sumitro dan saya. Pak Cholil biasanya yang mengaji dengan tema-tema keagamaan “murni”, sedangkan Pak Sahid sering memberikan pengajian dengan tema-tema motivasi keagamaan, sedangkan  saya memberikan materi kekinian, mencoba untuk menemukan relasi antara ajaran agama dan kehidupan social sehari-hari.

Pada Selasa, 07/01/2025, datanglah lengkap jamaah ngaji Bahagia ba’da shubuh. Dan yang saya meminta untuk memberikan ceramah adalah Ustadz Sahid. Dan sebagaimana biasanya, setelah Ustadz Sahid memberikan ceramah, maka saya memberikan tambahan sekedarnya. Pak Sahid, begitulah saya biasa memanggilnya, memberikan ceramah terkait dengan keutamaan Bulan Rajab. Di dalam Islam terdapat empat bulan yang sungguh dimuliakan oleh Allah, yaitu Bulan Rajab, Sya’ban, Ramadlan dan Dzulhijjah.

Bulan-bulan ini disebut sebagai asyhurul hurum atau bulan-bulan haram, yaitu bulan yang manusia dilarang untuk melakukan Tindakan kesalahan dan dosa dan dilarang perang. Pada bulan Rajab itu terdapat peristiwa yang sangat penting yaitu peristiwa Isra’ dan Mi’raj, yang diyakini terjadi pada tanggal 27 Rajab. Meskipun ada beberapa pendapat, akan tetapi yang banyak diikuti adalah terjadinya Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW pada tanggal tersebut.

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan peristiwa yang menjadi mu’jizat Nabi Muhammad SAW karena tentu tidak masuk akal, bahwa Nabi Muhammad SAW melintasi perjalanan dari Masjidil Haram ke masjidil Aqsha dalam waktu semalam dan dilanjutkan dalam perjalanan ke Sidratul Muntaha, Mustawa dan kemudian bermuwajahah dengan Allah SWT. Perjalanan ke Sidratul Muntaha dibersamai oleh Malaikat Jibril, namun Jibril terhenti di situ karena tidak kuasa untuk meneruskan perjalanan bertemu Allah tersebut. Hanya Nabi Muhammad SAW seorang insan kamil mutlak yang diberi kekuatan dan kekuasaan oleh Allah untuk menjumpainya dan menerima perintah shalat sebanyak lima kali sehari. Di antara umat Nabi Muhammad SAW yang langsung percaya atas peristiwa ini adalah Abu Bakar Ash shiddiq.

Doa kita pada saat bulan Rajab adalah “Allahumma bariklana fi Rajab wa Sya’ban wa ballighna Ramadlan”, yang artinya: “Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan pertemukan kami dengan Bulan Ramadlan”. Bulan Rajab adalah bulan menanam kebaikan dan dilanjutkan dengan Bulan Sya’ban dan kemudian akan dipanen pada Bulan Ramadlan. Rasanya tidak ada orang yang akan panen, jika tidak menanam dulu. Maka marilah kita menanam kebaikan, agar kita bisa panen kebaikan pada bulan Ramadlan. Jika kita melakukan kebaikan, maka kita akan dilipatgandakan pahalanya, maka jika kita melakukan kejelekan juga akan dilipat gandakan kejelekannya.

Bulan Rajab adalah bulan berdoa, bulan permohonan ampunan dan bulan larangan melakukan perbuatan kejelekan dan berperang. Makanya disebut sebagai bulan haram atau bulan larangan.  Jika kita ingin dikabulkan do akita oleh Allah, maka pada bulan inilah Allah akan mengabulkannya doa tersebut. Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba untuk berdoa kepada Allah SWT, semoga doa kita dikabulkan oleh Allah. Pasti Allah mendengarkan doa tersebut. Tidak ada sesuatu yang terlepas dari Allah. Hanya pengabulan doa tersebut yang terkadang bisa tertunda. Semoga doa kita pada bulan ini terkabul. Allahumma amin.

Pada kesempatan ini saya memberikan sedikit tambahan atas pernyataan Pak Sahid. Saya nyatakan bahwa yang terpenting pada bulan-bulan yang disebut sebagai asyhurul hurum atau bulan-bulan yang disucikan Allah dan dilarang untuk melakukan perbuatan dosa dan peperangan, maka kita perlu meningkatkan rasa cinta. Bulan-bulan suci dan bulan larangan melakukan Tindakan tercela termasuk peperangan, maka yang diagungkan adalah meningkatkan rasa cinta kepada Allah SWT, cinta kepada Nabi Muhammad SAW dan juga mencintai istri atau suami dan keluarga. Ini yang disebut sebagai trilogy cinta. Pak Mulyanta menimpali: “bukan cinta segitiga ya Prof”.

Mengapa kita harus mencintai Allah dan Rasulnya, yang artinya mencintai ajaran-ajarannya, sebab Islam itu agama yang turun terakhir dan yang paling sempurna. Pada saat haji wada’ Rasulullah menyatakan: “Inni akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum nikmati wa radhitu lakumul  isalama dina” , yang artinya kurang lebih: “sesungguhnya aku telah menyempurnakan agama untukmu dan telah mencukupkan nikmatku kepadamu dan meridhai Islam sebagai agamamu” (Surat Al Maidah, ayat 3).

Ayat ini memantik perbedaan pandangan. Pertama, Ada yang menyatakan bahwa agama Islam itu telah sempurna dan tidak perlu dan tidak boleh ditambah-tambah, baik dalam ritual-ritualnya maupun aturan-aturannya. Sudah komplit, sehingga yang menambah ritual atau aturannya dianggap sebagai orang yang melakukan bidh’ah. Yang termasuk di sini adalah kaum tekstualis atau kelompok yang hanya menterjemahkan teksnya tanpa mempertimbangkan aspek-aspek perubahan-perubahan social yang terjadi.

Kedua, Kemudian ada kelompok yang menterjemahkan teks dengan menyesuaikan dengan konteks zaman atau waktu dan makan atau tempat. Islam itu selalu relevan dengan zaman, sehingga diperlukan reaktualisasi ajarannya dalam ruang dan waktu. Di zaman Nabi Muhammad SAW, pada saat jumlah jamaah haji sedikit, maka Mina itu sudah ditentukan batas-batasnya, tetapi di kala jumlah jamaah haji mencapai jutaan orang, maka Mina yang ditentukan oleh Nabi itu sudah tidak mampu memuat, maka dikalangan ulama lalu dibuatlah fatwa tentang Mina jadid atau Mina baru yang diperluas. Atau di zaman Nabi tidak terdapat pekerja perempuan yang bekerja di luar negeri, maka di saat banyak perempuan yang bekerja di luar negeri, maka diperlukan reaktualisasi ajaran Islam melalui fiqih perempuan dan sebagainya. Kelompok ini disebut sebagai kelompok kontekstualis.

Ketiga, Lalu juga terdapat orang-orang yang tidak termasuk kaum tekstualis dan kontekstualis, mereka adalah kelompok penganut atau kaum ittibais atau orang yang mengikuti mana yang dianggap paling baik dan sesuai dengan keyakinannya. Kita ini bisa masuk di sini, sebab kita tidak memiliki sejumlah pengetahuan yang memadai untuk menjadi penafsir ajaran Islam. Makanya apa yang kita yakini benar dan sesuai dengan amalan-amalan ulama yang alim, maka itulah yang menjadi dasar pemahaman dan pengamalan di dalam beribadah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

DAKWAH RASULULLAH YANG INDAH

DAKWAH RASULULLAH YANG INDAH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Banyak ahli orientalis yang menyatakan bahwa Islam itu disebarkan dengan pedang. Islam itu berkembang dengan melalui peperangan. Seakademis-akademisnya seseorang ternyata memang tidak bisa menempatkan dirinya dalam konteks obyektivitas secara ilmiah. Selalu ada muatan subyektivitas di dalam menganalisis atau menjelaskan dan menggambarkan fenomena atau fakta yang dikajinya.

Hal ini juga berlaku bagi para orientalis, yang selalu menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai sosok orang yang dianggap haus kekuasaan, haus darah, pathologis dan bahkan maniak seks dan berbagai sebutan yang mendegradasi  posisinya sebagai Rasulullah yang agung akhlaknya yang tidak memiliki cela di dalam kehidupannya. Mereka tetap saja menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang dianggapnya tidak sempurna. Tujuannya adalah melakukan down grade atas kehebatan, kebaikan dan akhlak mulia Rasulullah Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai seorang Nabi yang sangat penyabar. Di kala berdakwah di Thaif dan dilempari dengan kotoran hewan bahkan dilempari dengan batu hingga berdarah, maka Beliau tetap sabar. Tidak ada kemarahan sedikitpun. Bahkan di kala ditawari oleh Malaikat Jibril untuk menghancurkan penduduk Thaif dengan menjepitnya dengan dua gunung di sana, maka Nabi Muhammad SAW menolaknya dan menyatakan bahwa Beliau diutus untuk menyadarkan mereka agar mau menjadi muslim dan bukan menghancurkannya. Jika mereka melakukan tindakan kekerasan semata-mata karena mereka belum memahami Islam.

Di kala mengharuskannya untuk berperang terhadap para musuh Islam, maka pesannya kepada pasukannya agar jangan merusak tanaman, jangan merusak kebun kurma, jangan menyakiti orang tua, perempuan dan anak-anak. Jangan menyiksa orang yang lemah dan jangan merusak tempat ibadah. Sungguh suatu fenomena yang sangat luar biasa. Adakah orang yang seperti ini di zaman sekarang. Saya nyatakan tidak ada. Perang adalah pemusnahan. Lihatlah perang di Wilayah Gaza, perang di wilayah Ukraina dan lainnya. Mereka menggunakan senjata pemusnah masal. Merusak tempat ibadah, rumah sakit, lembaga pendidikan, dan merusak perumahan sipil. Sungguh luar biasa daya rusaknya.

Nabi Muhammad melakukan perjanjian dengan suku, pemeluk agama dan pemimpin kabilah-kabilah di dalam dan sekitar Madinah. Inti dari perjanjian itu adalah perjanjian damai. Mereka semua setuju atas perjanjian damai dimaksud. Tak ada satupun yang menolak.

Namun ada di antara mereka yang menyalahi perjanjian tersebut. Mereka mencederai atas perjanjian damai. Ada yang melakukan tindakan untuk memusuhi dan merancang kekuatan untuk melawan terhadap umat Islam. Pada saat seperti itu maka Nabi Muhammad SAW melakukan tabayyun untuk mengetahui apakah memang benar mereka akan melakukan pencideraan  kesepakatan dan jika memang benar-benar seperti itu, maka Nabi Muhammad SAW barulah memutuskan untuk melakukan tindakan peperangan. Jika masih memungkinkan ada celah untuk melakukan negosiasi agar tidak berperang maka hal tersebut yang akan dilakukan. Jika benar-benar sudah tidak ada jalan lain, barulah Nabi Muhammad SAW meresponnya dengan kekuatan pasukan yang cukup.

Saya membuat dua tipologi dakwah Rasulullah, yaitu: pertama,  dakwah soft power, yaitu dakwah yang mengedepankan kerahmatan bagi alam semesta. Nabi Muhammad SAW menggunakan cara dakwah yang lemah lembut dengan mengedepankan hikmah atau kebijaksanaan. Tercakup di sini adalah dakwah dengan nasehat atau mauidzah hasanah dan mujadalah atau perdebatan yang terbaik. Perdebatan yang tidak melukai perasaan akan tetapi dengan menggunakan kekuatan ratio untuk mencari dan menemukan kebenaran. Agama itu persoalan akal, sehingga adakalanya harus menggunakan akal untuk menemukan kebenaran. Selain menggunakan mauidzah hasanah juga menggunakan wajadilhum billati hiya ahsan. Cara berdakwah dengan menggunakan hati dan rasio adalah cara dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan diteruskan oleh para ulama yang saleh.

Kedua,  dakwah menggunakan hard power atau kekuatan senjata dan pasukan yang memadai. Dakwah dengan cara ini merupakan jalan terakhir, bukan jalan pertama. Jika melacak kesejarahan dakwah Islam terutama di Madinah, maka peperangan yang dilakukan atas lawan-lawannya adalah dengan prinsip tidak memulai memerangi tetapi merupakan respon atas ancaman yang dilakukan oleh umat non-muslim. Dengan demikian, dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW bukanlah menggunakan cara kekerasan semata. Tetapi yang lebih utama adalah dakwah dengan perdamaian atau peacefull jihad.

Cara dakwah seperti ini juga dijumpai di dalam Islamisasi di Nusantara. Islam berkembang bukan melalui pedang tetapi melalui dakwah dengan cara-cara yang damai. Yang dilakukan bukanlah melakukan penyerangan atas umat beragama lain, tetapi menggunakan cara tasawuf, melalui jalan penyadaran atas pemahaman beragama dan kemudian baru mengubah prilakunya. Dakwah yang dilakukan oleh para Walisanga menggunakan cara-cara yang sangat beradab dan penuh dengan kasih sayang, toleransi dan penghargaan atas tradisi yang sudah berurat-akar pada masyarakat Nusantara. Mereka menerapkan prinsip hangajawi atau menjadi Orang Jawa dan bukan hangarabi atau menjadi Orang Arab.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

DZIKIR SAMBIL GELENG KEPALA, APAAN ITU?

DZIKIR SAMBIL GELENG KEPALA, APAAN ITU?

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Mungkin ada di antara kita yang bertanya sambil heran, mengapa ada orang yang dzikir sambil kepalanya digeleng-gelengkan. Aneh bin Ajaib. Begitulah pikiran orang yang tidak tahu dan tidak memahami tentang apa dibalik tindakan dzikir sambil menggelengkan kepala seakan-akan orang yang sedang fly karena minum ganja. Tetapi nanti dulu. Jangan berburuk sangka, jangan suudzon. Biasa sajalah.

Semenjak kecil di wilayah pedesaan yang saya dilahirkan di sana, maka sudah saya temui orang yang berdzikir atau membaca wirid dengan geleng-geleng kepala. Terutama kakek saya, Mbah Ismail, yang didapuk sebagai modin atau Bahasa Arab Imamuddin atau pemuka agama. Lidah orang Jawa suka untuk menyingkat ucapan menjadi lebih mudah. Imamuddin menjadi modin, atau sayyidati menjadi Siti atau maulud menjadi mulud dan barakah menjadi berkah atau bahkan berkat. Biasalah suatu wilayah telah memiliki cara untuk mengungkapkan kebahasaannya sesuai dengan lidah dan ucapannya.

Ada tiga penjelasan saya tentang wirid atau dzikir geleng-geleng tersebut. Pertama, ada  wilayah yang penting di dalam ritual dzikir, yaitu kening atau kepala bagian depan, yang identic dengan pemikiran atau ide atau gagasan. Jika orang mengajak berpikir maka yang ditunjuk adalah keningnya, bukan kepala bagian belakang. Bukan dada atau bukan kaki. Artinya bahwa berpikir itu ada kaitannya dengan kepala terutama bagian depan. Kening.

Orang yang berdzikir, lailaha illallah, terutama ba’da shalat jamaah, maka ada yang berdzikir dengan cara geleng kepala. Maka, yang disentuh dengan kalimat la adalah kepala atau pikiran. Mengapa pikiran? Pikiran adalah bagian dari tubuh yang sering bertanya, termasuk mempertanyakan tentang Tuhan, Allah SWT. La ilaha artinya menafikan dan illallah  adalah menetapkan. Dzikir la ilaha illah disebut sebagai nafi isbat. Maknanya pemikiran yang menafikan dan dada sebelah kanan dan kiri adalah yang menetapkan.

Yang disentuh dengan kata Ia adalah pikiran, sebab pemikiran itu yang akan mengantarkan seseorang akan menjadi mukmin dan muslim. Dengan pikiran orang akan menetapkan apakah Allah itu wajibul wujud atau bukan. Orang yang atheis atau tanpa mempercayai Tuhan karena pikirannya yang menyebabkannya. Sebaliknya orang yang meyakini Tuhan karena pikirannya yang mempercayainya. Ada kepercayaan atas hal-hal gaib yang menjadi kata kunci untuk dipercayainya.

Jadi orang yang membaca tahlil dengan melakukan gerakan kepala itu artinya berada di dalam kerangka menetapkan tidak ada ilah selain Allah. Kala membaca la berada tepat diubun-ubun lalu ilaha ditarik ke arah dada bagian kanan, dan illallah ditarik ke bagian dada kiri. Kala menyebut lailaha orang mengisi otaknya dengan kata tidak dan kala menarik ada Tuhan ke dada kanan artinya ada gerakan menarik kala la di otak ke ilaha di dada kanan, dan kala membaca illallah maka ditarik ke dada kiri. Kata ilaha ditaruh di dada kanan atau daerah hati Nurani dan kemudian ditarik ke dada kiri atau daerah hati sanubari dengan kata illallah. Putaran la di ubun-ubun atau kening dan ilaha ke hati Nurani atau daerah dada kanan dan ilallah di dada kiri atau daerah hati sanubari akan membentuk segitiga, system otak, system hati Nurani dan system hati sanubari. Coba perhatikan orang yang beragama Nasrani juga melakukan seperti itu. Jika akan memulai sesuatu atau mengakhiri sesuatu maka ada tiga segitiga yang disentuhnya. Dahi, Pundak kanan dan Pundak kiri. Tentu bukan suatu kebetulan, akan tetapi sebagai sesama agama Abrahamic tentu bisa saja terdapat kesamaan dalam konteks perilaku keberagamaannya.

Kedua, ekspresi beragama memang bermacam-macam. Bisa jadi berdzikir dengan geleng-geleng kepala tidak dijumpai nash qath’inya. Tetapi fenomena seperti ini adalah salah satu cara dari kaum muslimin untuk mengekspresikan ajaran agamanya. Ada cara orang berdzikir dalam hening seperti bertapa, ada juga yang mengekspresikannya dengan tarian dan ada yang mengekspresikannya dengan dzikir dengan geleng kepala. Yang seperti ini tentu tidak layak dianggap sebagai penyimpangan. Orang melakukan ibadah dengan konteks dirinya. Orang beribadah sesuai dengan nuansa hatinya dan orang beribadah dengan cara melakukan gerakan tubuh yang ternyata bisa saja menjadi medium untuk konsentrasi bahkan mengalami pengalaman religious yang khas. Makanya, biarkanlah mereka yang melakukan seperti itu. Yang terpenting mereka tetap berada di dalam koridor menyatakan ketiadaan Tuhan selain Allah.

Ketiga, dunia beragama adalah dunia tafsir selain Kitab Suci Alqur’an dan hadits-hadits shahih yang qat’iyud dalalah  atau dalil yang tegas artinya. Makanya setiap amalan beragama tentu didasari oleh keyakinan dan pengalaman. Yakin terhadap apa yang diucapkan dan dilakukannya dan kemudian menghasilkan pengalaman beragama yang khas dan tidak bisa ditiru oleh yang lain. Masing-masing merasakan aura ketuhanan di dalam keadaan dzikirnya. Bisa jadi, mereka melakukan dzikir dengan caranya yang khas sebab mereka memiliki pengalaman yang mengantarkannya untuk mengulanginya.

Dan mereka menemukan Tuhannya dengan cara-cara yang mereka rasakan. Janganlah dianggap kesalahan apalagi penyimpangan. Biarkanlah mereka beribadah dengan kekhasannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MELANJUTKAN TRADISI ULAMA MELALUI RITUAL DZIKIR

MELANJUTKAN TRADISI ULAMA MELALUI RITUAL DZIKIR

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebagai konsekuensi atas kehadiran saya di desa tempat kelahiran saya, maka satu hal yang tidak boleh saya lupakan adalah sekadar memberikan ceramah agama pada jamaah Mushalla Raudhatul Jannah di Dusun Semampir, Desa Sembungrejo, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban. Sebuah desa yang merangkak menapaki kemajuan perkembangan fisik, di mana rumah-rumah sudah mulai menjadi rumah permanen dengan design yang beraneka ragam.

Pada tahun 1990-an hanya rumah saya yang sudah berbentuk permanen dengan bangunan yang modern, akan tetapi sekarang rumah saya sudah ketinggalan zaman sebab banyak rumah-rumah baru yang lebih modis. Desain rumah-rumah perkotaan sudah menjadi tradisi di desa saya tersebut. Rupanya hukum perubahan tidak bisa ditolak dan terjadilah perubahan meskipun lambat tetapi nyata terjadi.

Kamis, 26/12/2024, ba’da Shalat Magrib saya memberikan ceramah agama terkait dengan perkembangan pemahaman beragama yang sedang simpang siur di masyarakat Indonesia. Dewasa ini sedang terjadi perkembangan baru dalam pemahaman dan praktik keagamaan. Ada yang lama dan ada yang baru. Yang lama adalah paham beragama yang mengedepankan tradisi seperti membaca tahlil, membaca wirid, membaca surah Yasin yang dibaca bersama-sama dalam satu kegiatan di rumah-rumah atau di masjid-masjid serta di mushalla-mushalla.

Ada tiga hal yang saya sampaikan kepada jamaah shalat maghrib di Mushalla Raudhatul Jannah, yaitu: pertama, bersyukur atas kenikmatan Allah yang berupa kesehatan, sehingga kita dapat  melaksanakan shalat jamaah maghrib. Tanpa kesehatan yang baik, maka kita tidak akan sempurna untuk menjalankan syariat Islam, misalnya shalat berjamaah. Kita sehat sesuai dengan kapasitas kesehatan yang kita dapatkan dari Allah SWT. Kalau yang berusia seperti saya, maka pastilah ada linu-linu sedikit tetapi secara umum masih memenuhi kriteria sehat. Alhamdulillah.

Kedua, sampai hari ini kita masih termasuk orang yang rajin menjalankan sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Kita shalat berjamaah yang dipastikan pahalanya berlipat-lipat. 27 derajad dibandingkan dengan shalat sendirian. Kita bisa shalat sunnah rawatib. Kita termasuk orang yang patuh atas ajaran Islam atas dasar pemahaman para alim ulama di Indonesia. Mereka para ulama yang menjadi leluhur kita dan terus kita laksanakan apa yang menjadi ajarannya. Yang dilakukan oleh para ulama adalah penerjemahan atas ajaran Islam sebagaimana dilakukan oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan diteruskan oleh para ulama sesudahnya hingga sampai kepada kita.

Kita tidak akan pernah ragu atas kebenaran ajaran Islam sebagaimana dipahami dan dipraktekkan oleh para ulama. Mereka para ulama Islam ahli sunnah wal jamaah merupakan ulama yang sudah teruji akan paham dan praktek keagamaannya. Siapa yang meragukan atas keulamaan Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Maliki dan Imam Hanafi. Mereka adalah ahli ilmu Islam, terutama ilmu fiqih yang kemudian menjadi madzhab atau aliran fiqih di dalam Islam yang memuat tentang cara melakukan ajaran Islam sesuai dengan keyakinannya.

Di antara ajaran agama yang tetap kita yakini adalah tentang membaca tahlil, membaca Surah Yasin, membaca Surat Al Waqi’ah, Barzanjenan, Maulid Nabi, Peringatan Isra’ dan Mi’raj, shadaqah ahli kubur dan sebagainya. Kita hingga hari ini masih melakukannya dengan sepenuh keyakinan  bahwa hal tersebut merupakan ajaran Islam yang baik. Kita tidak pernah meragukan bahwa amalan bacaan tahlil dan bacaan surat Yasin yang kita tujukan kepada ahli kubur pasti ditolak dan tidak sampai kepada yang bersangkutan.  Kita tetap meyakini bahwa dengan Rahman dan Rahim Tuhan Allah SWT maka setiap amalan yang kita lakukan akan diterimanya. Kita akan tetap husnudz dzan kepada Allah. Bukankah Allah sendiri yang menyatakan bahwa “Ana ‘inda dzanni abdi bi”. Yang artinya kurang lebih “Aku (Allah) sesuai dengan persangkaan hambaku”. Jadi kita harus husnudz dzan bahwa Allah akan menerima amalan kita yang baik-baik, dan yang kita inginkan akan dikabulkan oleh Allah untuk apa yang dituju. Prinsip melakukan amalan Islam seperti ini yang tetap menjadi rujukan kita di dalam beribadah kepada Allah SWT.

Ketiga, sekarang kita sedang menghadapi gelombang paham baru keagamaan, yang serba menyalahkan atas prilaku beragama sebagaimana yang kita lakukan. Semua salah dan tidak ada kebenaran sedikitpun. Mereka ini ingin mengganti paham dan prilaku beragama sebagaimana yang kita lakukan dan menggantinya seperti yang dipahami dan dilakukannya. Membaca tahlil, membaca surat Yasin, wirid ba’da shalat dan bersedekah untuk ahli kubur semuanya salah. Dan yang salah pasti masuk neraka. Dianggapnya semua bidh’ah dan setiap yang bidh’ah itu dhalalah. Dianggapnya bahwa membaca tahlil dalam acara tahililan, membaca wirid bersama-sama ba’da shalat sebagai dhalalah dan semuanya salah.

Kelompok ini dilabel sebagai kaum Salafi Wahabi. Kelompok yang hanya membenarkan paham keagamaannya dan yang lain semua salah. Yang dilakukan oleh orang NU dan lain-lain semuanya salah atau dhalalah. Jadi yang dapat masuk surga hanya kelompoknya sedangkan yang lainnya dipastikan masuk neraka. Seakan-akan surga dan neraka itu kewenangannya sendiri. Mereka lupa bahwa yang memiliki kewenangan memasukkan orang ke dalam surga dan neraka adalah Allah SWT. Mereka lupa bahwa ada rahmat Allah yang akan menolong seseorang masuk surga.

Mereka ini menjadikan media social sebagai tempat untuk menyiarkan ajaran agamanya tersebut. Makanya banyak orang yang kemudian menjadi pengikutnya. Banyak generasi muda yang terpikat dengan ajarannya yang didengarnya di media social. Oleh karena itu kita harus membentengi anak-anak dan cucu-cucu dan kerabat kita agar tidak menjadi bagian dari paham keagamaannya. Jangan sampai mereka menjadi orang yang selalu menyalahkan saudaranya, bahkan orang tuanya sebagai kaum pemuja bidh’ah.

Saya merasa bergembira bahwa masjid-masjid di Tuban masih mengikuti dan mempertahankan bahkan mengembangkan paham dan prilaku Islam ala ahli sunnah wal Jamaah. Mari kita yakini ajaran agama sebagaimana paham keagamaan para pendahulu itu agar kehidupan harmonis bagi kita semua akan terus terjaga.  Marilah kita selalu mengamalkan ajaran agama yang sesuai dengan paham keagamaan para leluhur kita yang ahlu sunnah wal jamaah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENJAGA KESEIMBANGAN RASIO DAN SPIRITUALITAS: KASUS ANDI IBRAHIM

MENJAGA KESEIMBANGAN RASIO DAN SPIRITUALITAS: KASUS ANDI IBRAHIM

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Selasa yang lalu, 24/12/2024, sebagaimana biasa, saya memberikan pengajian pada jamaah Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Surabaya. Hadir jamaah Masjid Al Ihsan Lotus Regency dan Masjid Raudhah Sakura Regency pada acara tersebut. Sudah dua kali berturut-turut acara Ngaji Bahagia ini diisi oleh Ustadz Dr. Cholil, karena ketetapan, saya  ada pekerjaan di luar Surabaya. Pertama ke Pontianak dan berikutnya ke Tuban.

Makanya ada rasa kangen dengan guyonan atau joke yang selalu menghiasai acara ngaji bareng. Bayangkan di dalam acara ngaji itu setidak-tidaknya 17 kali tertawa. Dan jika kita dapat  melakukan dengan tulus maka tertawa itu akan membawa kepada kesehatan. Adrenalin kebahagiaan akan muncul bersamaan dengan tertawa lepas tanpa rekayasa. Sungguh bagi Komunitas Ngaji Bahagia (KNB), ngaji bahagia  adalah acara yang dinantikan.

Saya memberikan ceramah yang agak bernuansa kasuistis, yaitu kasus yang mendera Dr. Andi Ibrahim, akademisi dan birokrat dari UIN Alauddin Ujungpandang. Sebuah kasus yang menyita perhatian banyak orang sebab dilakukan oleh ASN dari Perguruan Tinggi Islam yang untuk wilayah Timur tentu merupakan barometer kemajuan PTKIN. Makanya, sontak peristiwa ini memantik riuh rendah pembahasan di media social yang sekarang ini menjadi trend untuk informasi apa saja.

Kita sungguh bisa bertanya, bagaimana seseorang dengan realitas well educated bisa melakukan kesalahan yang sangat fatal. Bahkan tidak masuk akal. Andi Ibrahim adalah seorang doctor dalam Islamic Studies dengan latar belakang Pendidikan yang sangat baik. Pernah menjadi pejabat, Wakil Dekan, dan sekarang menjadi Kepala Perpustakaan. Tetapi inilah dunia manusia yang tidak bisa diprediksi dengan nalar manusia. Selalu ada misteri di dalam kehidupan manusia yang sulit dinalar dengan pendekatan rasio belaka.

Sebagai akademisi tentu secara nalar bisa mengukur akibat dan resiko yang akan didapatkan jika tertangkap. Menggandakan uang akan memiliki resiko yang sangat berat bagi keuangan negara. Makanya setiap kejahatan penggandaan uang dipastikan akan dihukum yang sangat berat. Tidak juga Andi Ibrahim. Memang sedang dalam proses penyelidikan tetapi dengan barang bukti yang sudah ditemukan, maka Andi Ibrahim sudah dijadikan tersangka. Mungkin secara nalarnya Andi Ibrahim sungguh sudah sempurna pencetakan uang palsu tersebut, misalnya sudah memakai kecanggihan alat dan prosesnya, akan tetapi tidak ada kejahatan yang sempurna.

Atas kasus ini, maka saya coba untuk melakukan analisis sederhana dengan menggunakan pendekatan sosio-religious. Pertama, dari sisi kesenjangan pemahaman teologis, maka ada beberapa pandangan. Ada yang serba Tuhan atau Theocentrisme, bahwa apa yang dilakukan oleh yang bersangkutan adalah kepastian Tuhan dan dia dipastikan akan menjalaninya. Di sisi lain ada yang serba manusia atau antroposentrisme artinya bahwa yang dilakukan itu semata-mata kesalahannya. Tidak ada campur tangan Tuhan. Tetapi di sisi lain, juga kepastian sudah ditentukan tetapi manusia masih memiliki kemampuan untuk memilih yang terbaik berkat kemampuannya di dalam menterjemahkan pedoman yang berdasar atas ajaran agama. Aliran Asy’ariyah ini yang banyak pengikutnya di Indonesia. Ajaran agama, akal dan hatinya dapat mengubah takdir yang jelek menjadi baik.

Kedua,  dari sisi kesenjangan pengetahuan agama dan pilihan perilaku. Semestinya, pengetahuan beragama berkorelasi dengan pilihan perilaku. Apa yang diketahui semestinya menjadi pilihan perilakunya. Apa yang tersaji di dalam tindakan Andi Ibrahim dalam kasus penggandaan uang merupakan sebuah kesenjangan yang sangat nyata antara pengetahuan beragama dengan pilihan perilakunya. Memang ini sebuah kasus yang di luar nalar. Artinya bahwa pengetahuan agama yang tinggi tidak menjamin perilaku pilihannya dalam menghadapi kehidupan yang nyata. Saya kira banyak orang yang seperti itu. Kita tentu bersyukur, meskipun tidak memiliki pengetahuan agama yang tinggi tetapi kita insyaallah bisa memilih tindakan sesuai dengan ajaran agama yang penting. Kita sudah memilih perilaku yang benar sesuai dengan tafsir agama yang kita yakini kebenarannya. Yang penting jangan ragu, bahwa yang kita lakukan dalam beragama ternyata memiliki dasar sebagaimana tafsir para ulama masa lalu sesuai dengan teks atau ajaran agama yang dipahaminya.

Ketiga,  kesenjangan antara pengetahuan agama dan spiritualitas. Memang tidak mudah untuk menyerasikan antara pengetahuan agama dengan spiritualitas yang berbasis rasa. Jika selama ini kita lebih terfokus pada rasio atau akal, maka pada saatnya kita harus menyerasikan dengan rasa atau hati. Rasa itu sulit dibohongi sebab di dalamnya ada panggilan batin yang akan mengarahkan pada pilihan yang benar. Rasio itu lebih banyak terkait dengan untung rugi. Dan yang menjadi pertimbangan lebih banyak untung tersebut. Jika misalnya terdapat peluang kerugian, maka harus dicarikan kekuatan untuk memperoleh keuntungan. Itulah sebabnya dalam banyak kasus penyalahgunaan wewenang, tindakan melawan hukum dan tindakan menyimpang lainnya dipastikan disebabkan oleh pencarian untuk membenarkan tindakan rasional dimaksud.

Berdasarkan hati nurani tentu tidak mungkin bahwa orang dengan pengetahuan beragama yang sangat tinggi bisa melakukan tindakan menggandakan uang. Dengan alasan apapun tentu tidak masuk dalam dunia batin atau rasa. Tetapi jangan lupa bahwa di dalam hidup ini, ada hal-hal yang tidak masuk dalam pertimbangan hati nurani  tetapi menjadi kenyataan.

Oleh karena itu berbahagialah bagi orang yang bisa menyeimbangkan antara pengetahuan dengan perilakunya, dan berbahagialah orang yang bisa menyerasikan antara pengetahuannya dengan spiritualitas berbasis hati nurani yang selalu menganjurkan akan kebaikan. Mungkin pengetahuan beragama kita termasuk golongan kaum minimalis, akan tetapi semoga perilaku kita termasuk yang maksimalis terbatas. Artinya di dalam shalat subuh, misalnya kita sudah maksimal, tetapi dalam yang lain, misalnya sedekah,  kita termasuk yang minimalis.

Akan tetapi di atas itu semua kita tetap harus bersyukur sebab kita telah menjadi bagian dari dua milyar umat Islam di dunia yang telah menjalankan ajaran agama yang benar sesuai dengan keyakinan.

Wallahu a’lam bi al shawab.