YERUSALEM DALAM DAHAGA PERDAMAIAN (2)
Benturan politik antara Israel dengan Palestina nyaris terjadi sepanjang perjalanan kedua negara ini. Untuk dewasa ini, saya kira benturan politik yang sangat lama hanya terjadi di dataran kelahiran agama Semitic, Yahudi, Nasrani dan Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa Jerusalem adalah tempat suci tiga agama besar dunia, yaitu: Yahudi, Nasrani dan Islam. Di Jerusalem, tempat kelahiran Nabi Isa, atau di dalam Agama Nasrani disebut sebagai Yesus Kristus, lalu Nabi Musa sebagai cikal bakal Agama Yahudi, dan juga keberadaan Masjid al Aqsha sebagai tempat suci Agama Islam. Masjid ini bahkan pernah dijadikan kiblat untuk melakukan shalat oleh Nabi Muhammad saw.
Melihat kenyataan historis ini, maka pantaslah jika Yerusalem menjadi arena “perebutan” antar agama besar di dalam tradisi Semitis. Orang Nasrani beranggapan bahwa Yerusalem adalah kota sucinya, sebab Yesus Kristus dilahirkan di sini. Orang Yahudi menganggap bahwa disinilah kaum Yahudi memiliki tradisi keyahudiannya dan umat Islam memiliki sejarah terkait dengan Masjid al Aqsha yang disucikan. Dengan demikian Yerusalem merupakan kota dengan tiga tradisi agama yang berbeda dan masing-masing memiliki klaim kebenaran yang secara ideologis akan terus dipertahankan.
Di dunia ini ada banyak perang yang disebabkan oleh berbagai masalah terkait dengan negara lain atau juga internal negara yang bersangkutan. Misalnya kasus India dan Pakistan, kasus Afghanistan yang melibatkan Rusia dan negara Barat lainnya, kasus ISIS di Syria dan Iraq, Kasus Houthi dan beberapa kasus di Eropa Timur, seperti Serbia, Chechnya dan juga kasus di beberapa negara di Afrika. Namun demikian, kasus yang memiliki rentang panjang dalam penyelesaiannya ialah masalah Jalur Gaza yang melibatkan Palestina dan Israel.
Masalah jalur Gaza ini rasanya menjadi pekerjaan rumah negara-negara di dunia yang selama ini dikenal sebagai juru runding dan juru penyelesai masalah ini. Amerika Serikat yang selalu memiliki standart ganda atau double speak selalu berada di belakang Israel. Pembangunan pemukiman di Jalur Gaza yang dilakukan oleh Israel dan selalu mendapatkam kecaman dari negara lain, akan tetapi juga terus dilakukan oleh Israel. Pembangunan perumahan oleh Israel seakan menandai akan penguasaan jalur Gaza tersebut bagi dirinya.
Sementara itu Palestina nyaris tidak pernah mendapatkan dukungan dari negara-negara Barat di dalam memperjuangkan kemerdekaannya dan memperoleh keadilan di dalam mengusung kemerdekaannya. Politik double speak yang dilakukan oleh Amerika dan Sekutunya menegaskan bahwa mereka memberikan support kepada Israel untuk meneruskan penguasaannya atas Jalur Gaza, yang sesungguhnya ada juga hak dari pemerintah Palestina.
Konflik di Jalur Gaza tentu tidak secepatnya selesai, sebab negara-negara di Teluk juga berada di dalam konflik mereka masing-masing. Yang diharapkan oleh Palestina tentu adalah dukungan mutlak dari negara Liga Arab. Akan tetapi dengan konflik antar negara di Timur Tengah tentu merupakan masalah yang tidak memudahkan dukungan tersebut diperoleh secara memadai. Pasca konflik di Iraq dan Syria yang disebabkan oleh ISIS, maka konflik di Timur Tengah juga meluas. Arab Saudi yang selama ini tidak melakukan tindakan konflik dengan negara-negara tetangganya, maka sekarang juga terlibat konflik dengan Yaman. Lalu juga konfliknya dengan Kelompok Houthi yang pro Iran. Meskipun tidak terlibat konflik terbuka dengan Iran, akan tetapi kontestasi dengan Iran juga terus berlangsung.
Suasana konfliktual ini dibaca oleh Trump untuk berani melakukan tindakan dengan menentukan Yerusalem sebagai Ibukota Israel. Dengan memberikan pengakuan ini, maka perdagangan senjata di Timur Tengah akan kembali menghangat dan keuntungannya tentu adalah untuk Amerika Serikat. Jadi Trump memiliki insting bisnis yang kuat di dalam hal ini, dan proyek bisnis senjatanya akan kembali untung besar.
Bayangkan dengan konflik ini, maka Israel, Mesir, Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya akan membutuhkan senjata cukup banyak dan tentu akan menggantungkan harapannya pada pemasok senjata, ialah Amerika. Dengan demikian ada tiga keuntungan yang diperoleh Trump di dalam hal ini. Pertama, Trump memenuhi janji kampanyenya akan menjadikan Yerusalem sebagai Ibukota Israel dan hal itu akan dipenuhinya sekarang dan sekaranglah saatnya. Kedua, Trump dapat memainkan jual beli senjata untuk kepentingan melestarikan konflik di Timur Tengah. Konflik di negara-negara Timur Tengah tentu akan sangat menguntungkan Amerika dalam penjualan senjata. Ketiga, dengan kebijakannya ini, maka Amerika akan tetap menjadi “pengendali” bagi konflik di dalam suatu kawasan atau bahkan antar kawasan. Jadi, konflik di Timur Tengah bukan tidak mungkian disebabkan oleh global game yang didesign oleh Amerika Serikat.
Dan yang paling menderita tentu adalah Palestina sebab negara ini hanya memperoleh dukungan pernyataan dan tidak memperoleh dukungan untuk mempertahankan negerinya dari serangan demi serangan Israel dengan senjata modernnya. Di sinilah gerakan intifadah itu memiliki maknanya. Serangan dengan ketapel relawan Palestina melawan tentara dengan senjata-senjata otomatis dari Israel.
Jadi, konflik Palestina dan Isarel di Jalur Gaza, Yerusalem dan penguasaan Isarel atas tanah-tanah Palestina lainnya juga tidak akan segera berakhir. Jadi unjuk rasa atau pernyataan-pernyataan yang diserukan oleh dunia termasuk umat Islam, rasanya hanya akan berlalu seiring angin yang juga terus berlalu.
Wallahu a’lam bi al shawab.
YERUSALEM DALAM DAHAGA PERDAMAIAN (1)
Mungkin saya terlambat di dalam merespon terhadap masalah Yerusalem yang terjadi akhir-akhir ini. Tidak ada alasan yang patut saya jelaskan melalui tulisan ini, sebab memang benar-benar terlambat saya merespon akan hingar bingar keputusan Presiden Donald Trump atau disebut Trump saja atas upaya untuk memindahkan ibukota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Trump mengklaim bahwa keputusannya yang kontroversial ini hanyalah kelanjutan dari apa yang sudah diputuskan oleh para pendahulunya, Presiden Bill Clinton dan Barack Obama. Keduanya oleh Trump dianggap sudah mengungkapkan akan melakukan poerubahan ini, tetapi terhenti sampai pada retorika saja, dan dialah yang berani melakukannya. Trump tentu beranggapan bahwa dirinyalah yang berani melakukan tindakan ini.
Seluruh dunia sontak melawan Trump. Bahkan sekutunya Inggris, Perancis dan beberapa negara lainnya juga menolak tindakan Trump ini dan beranggapan bahwa Trump telah melakukan pengingkaran perjanjian damai yang mengharuskan bertemunya dua pihak: Palestina dan Israel. Tindakan Trump ini dianggap sebagai tindakan yang anti terhadap perdamaian di Jalur Gaza yang memang terus memanas.
Seluruh dunia melakukan pengecaman terhadap “tindakan nekad” Trump dengan pengakuan dan keinginan pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke Yerusalem. Lalu, Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga kemudian bersidang di Turki untuk menyamakan sikap dan tindakan dalam menghadapi keputusan Trump. Di dalam sidang yang dihadiri oleh seluruh komponen anggota OKI ini, maka diambil sikap tegas bahwa OKI menolak rencana Trump.
Bahkan Presiden Joko Widodo juga menegaskan bahwa tindakan Trump tersebut menyalahi terhadap perjanjian damai antara Palestina dan Israel. Beliau menyatakan bahwa rakyat Indonesia akan selalu bersama Palestina untuk mendapatkan haknya atas negara Palestina, secara adil dan damai. Menteri Luar Negeri, Retno L. Marsudi juga menyatakan hal yang sama, bahwa negara Indonesia akan selalu membantu pemerintah Palestina untuk mendapatkan haknya atas Yerusalem.
Di Indonesia, gerakan anti Trump dan Amerika Serikat juga terus berkobar. Di banyak kota kemudian terjadi unjuk rasa. Di kota-kota Kabupaten, seperti Jombang dan Situbondo, masyarakat juga sangat antusias untuk melakukan unjuk rasa. Para santri dan masyarakat menyuarakan aspirasinya untuk menolak rencana Trump dan menganggap Amerika Serikat sebagai negara yang pongah dan berlaku sewenang-wenang. Dianggapnya bahwa Trump secara sengaja merusak jalan damai yang sudah diupayakan oleh banyak pihak. Amerika Serikat sebagai “penghubung” perdamaian justru merusak jalan damai.
Kegeraman terhadap tindakan Trump tentu luar biasa. Di Jakarta atas prakarsa MUI juga melakukan tindakan unjuk rasa. Di Silang Monumen Nasional (Monas) berkumpul jutaan orang untuk memprotes terhadap tindakan kesewenangan Amerika Serikat dengan rencana Trump itu. Berbagai orasi yang disampaikan oleh para ulama juga menyuarakan hal yang sama. Tolak rencana Trump untuk menjadikan Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Berbagai orasi yang diangkat oleh para ulama ini menggambarkan atas sikap kaum muslimin Indonesia atas perilaku Trump yang berlebihan dan menjadikan wilayah di Timur Tengah semakin tidak kondusif untuk membangun perdamaian. Kyai dan ulama yang selama ini tidak melakukan unjuk rasa, maka semua menjadi tergerak untuk membela Palestina.
Dari berbagai unjuk rasa ini, maka ada beberapa motif untuk melakukan unjuk rasa. Pertama, anggapan bahwa menciderai rakyat Palestina sama dengan menciderai umat Islam. Pandangan ini yang saya kira menempati posisi paling banyak dalam perilaku unjuk rasa di berbagai tempat. Masyarakat Islam beranggapan bahwa membela Palestina itu identic dengan membela Islam. Meskipun mereka ada yang mengetahui bahwa Palestina itu terdiri dari tiga kelompok: Muslim, Nasrani dan bahkan Yahudi, akan tetapi tetap saja mereka beranggapan bahwa pembelaan terhadap Palestina adalah pembelaan agama. Membela Allah dan Islam. Masjid al Aqsha adalah symbol Islam yang harus dibela.
Kedua, anggapan bahwa membela Palestina adalah membela kemanusiaan. Kelompok ini yang secara sistematik menyebarkan gagasan bahwa membela Palestina bukan membela agama tertentu, akan tetapi merupakan pembelaan terhadap kemanusiaan. Mereka sadar betul bahwa dengan menyatakan membela Palestina sama dengan membela agama tertentu, maka bisa menyebabkan terjadinya benturan antar agama di Indonesia.
Ketiga, kelompok ikutan yang tidak memiliki pandangan apapun. Yang penting bela Palestina. Kelompok ini hanya memiliki pandangan bahwa lawan mereka adalah Israel yang memang pantas untuk dimusuhi dan dihancurkan. Melawan Israel adalah kepastian yang tidak bisa diingkari. Pokoknya benci Israel atau benci Yahudi.
Sebagai orang yang sedikit memahami “peta” benturan politik antara Israel dan Palestina, maka kita tentu akan memilih pandangan kedua, dengan catatan bahwa pandangan ini memang lebih relevan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Wallahu a’lam bi al shawab.
MEMBANGUN KEPERCAYAAN PUBLIK LEWAT PRESTASI (1)
Secara perlahan tetapi pasti bahwa Kementeraian Agama telah menapaki satu dunia baru dalam persepsi public. Di antara munculnya trust itu ialah terkait dengan prestasi yang bisa diraih oleh Kemenag akhir-akhir ini. Kita semua merasakan betapa perubahan itu terus berlangsung di era yang sulit seperti sekarang.
Kita merasakan denyut perubahan tersebut tentu terkait dengan beberapa masalah yang pernah dihadapi oleh Kemenag. Di antara yang melilit Kemenag tersebut ialah dengan rendahnya kepercayaan public terkait dengan penyelenggaraan haji dan berikut pemanfaatan anggarannya. Ada semacam stigma bahwa pelaksanaan haji selalu bermasalah dan berakibat merugikan jamaah haji. Kita merasakan betapa beratnya melampaui tahun 2015 dan 2016. Dan kemudian secara pasti lalu bola bergerak ke arah perubahan yang mengarah kepada perbaikan dan menghasilkan trust yang lebih baik di kalangan masyarakat.
Tahun 2016 sungguh telah dijalani dengan sangat baik oleh segenap jajaran Kemenag yang disebabkan oleh prestasi demi prestasi yang kita peroleh. Puncaknya ialah raihan prestasi opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan peringkat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sebuah prestasi yang sangat membanggakan bagi semua insan ASN Kemenag. Raihan ini seakan memberikan kesan kepada masyarakat bahwa Kemenag bisa juga meraih prestasi tertinggi dalam penilaian atas Laporan Keuangan (LK).
Seringkali diungkapkan bahwa Opini WTP adalah marwah Kemenag. Meskipun masih ada bolong-bolong di sana-sini, akan tetapi dengan capaian ini memberikan gambaran kepada dunia public bahwa “Kemenag Bisa”. Setelah beberapa tahun kita menyandang predikat WTP-DPP (tahun 2012-2014) dan pada tahun 2015 Kemenag memperoleh Opini WDP (disebabkan oleh pemberlakukan Sistem Akuntansi Instansi Berbasis Akrual), maka kemudian pada tahun 2016 justru kita memperoleh Opini WTP dari BPK. Sebuah prestasi yang layak untuk dikenang.
Keberhasilan itu juga dilanjutkan dengan capaian prestasi terhadap Indeks Reformasi Birokrasi Kemenag dengan posisi B gemuk atau dengan score 69,14. Jika tahun sebelumnya dengan nilai 62,28, maka terjadi kenaikan yang signifikan. Kita telah mentargetkan tahun 2017, Indeks Reformasi Birokrasi kita bisa meraih peringkat BB atau nilai di atas 70. Jika score Indeks Reformasi Birokrasi Kemenag bisa berada di posisi 70 lebih, maka besar peluang bagi ASN untuk memperoleh Tunjangan Kinerja (tukin) sebesar 70 persen. Kenaikan prestasi kinerja diikuti atau selaras dengan kenaikan tunjangan kinerja. Peningkatan kinerja berbanding lurus dengan kenaikan kesejahteraan.
Pada tahun 2017 juga terdapat prestasi menaikkan kualitas layanan jamaah haji. Ada banyak hal yang sudah dilakukan, misalnya penambahan kuota, perbaikan perumahan, perbaikan transportasi, pelayanan catering dan sebagainya. Dan melalui perbaikan kualitas pelayanan haji ini, maka terjadi kenaikan score layanan haji yang pada tahun 2016 sebesar 83,83 menjadi 84,85 pada tahun 2017. Jadi, perbaikan layanan Kemenag berimplikasi pada kepuasan pelanggannya.
Dan dengan perbaikan kualitas pelayanan Kemenag pada umat beragama ini maka akan meneguhkan semakin membaiknya persepsi umat tentang Kemenag. Apalagi pada akhir tahun 2017 juga Kemenag memperoleh penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan penghargaan sebagai Kementerian yang memiliki pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) terbaik dan juga Kepatuhan Pelaporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) dengan predikat terbaik. Bahkan di dalam pagelaran Peringatan Hari Anti Korupsi se Dunia Booth atau Stand Kementerian Agama memperoleh penghargaan sebagai yang terpopuler. Rasanya lengkap sudah prestasi yang dimiliki oleh Kemenag.
Di dalam salah satu wawancara dengan Harian Republika (12/12/2017), saya sampaikan bahwa dengan penghargaan yang diberikan oleh KPK kepada Kemenag dalam dua kategori tersebut tentu menjadi pertanda bahwa Kemenag sudah berubah kepada perbaikan yang sangat signifikan. Dan sekaligus juga menjadi bukti bahwa di tengah masih semaraknya KKN di negeri ini, ternyata Kemenag membuktikan bahwa kita bisa mengelola dengan baik tentang Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara dan juga memiliki kepatuhan dalam Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara.
Saya tetap menganggap bahwa capaian dalam penghargaan KPK mengenai kepatuhan dan pengelolaan LHKPN tersebut adalah prestasi karena hal itu tentu sesuatu yang diupayakan untuk dicapai. Saya yakin bahwa pemberian penghargaan tersebut bukanlah penghargaan semata tetapi merupakan pencapaian maksimal yang diupayakan seluruh Menteri Agama dan unit eselon I dan II Kemenag.
Penghargaan tersebut diterimakan oleh KPK (12/12/2017) kepada Kemenag melalui saya selaku Sekretaris Jenderal Kemenag untuk mewakili Pak Menteri Agama, Bapak Lukman Hakim Saifuddin. Sungguh penghargaan ini ibarat sebuah kado istimewa di akhir tahun untuk sekali lagi menandai atas keberhasilan Kemenag dalam melakukan perubahan demi perubahan yang terus bergulir.
Wallahu a’lam bi al shawab.
KUNCI SUKSES ADALAH KEBERSAMAAN (2)
Saya sungguh merasakan bahwa tidak ada keberhasilan yang dicapai oleh individu-individu. Kesuksesan selalu merupakan buah dari kebersamaan dan kerja keras. Bolehlah seseorang mengklaim memiliki kesuksesan, akan tetapi hakikat kesuksesan itu hanya tercapai berkat kerja orang lain. Itulah sebabnya, saya selalu menyatakan bahwa kesuksesan merupakan buah dari kerja keras dan kebersamaan yang dilakukan oleh banyak orang. Succeeding together.
Kebersamaan hanya akan tumbuh jika terdapat di dalamnya rasa kepercayaan atau trust. Tidak akan mungkin akan terjadi kebersamaan jika di dalam diri kita tidak ada rasa kepercayaan antara satu dengan lainnya. Makanya, kunci kebersamaan itu ialah bagaimana kita mengelola saling kepercayaan tersebut. Saya sungguh merasakan bahwa dengan adanya saling kepercayaan, maka akan memunculkan perasaan dan sikap untuk menjadi satu kesatuan.
Akhir-akhir ini, yang hilang di antara kita ialah saling kepercayaan itu. Kita dengan mudah untuk saling mencurigai dan merasa tidak sejalan. Jika kita tidak sejalan, lalu bisa kita lakukan tindakan yang justru akan menghancurkan kebersamaan itu. Kita tidak mau untuk saling duduk bersama membicarakan apa sesungguhnya kekurangan dan kelemahan kita. Bahkan kita tidak bisa untuk saling menshare tentang apa yang menjadi kelemahan dan kekurangan kita dan orang lain juga dengan mudahnya menuduh dan menghakimi terhadap apa yang tidak diketahuinya dengan seksama. Kita sering “menghakimi” yang kelihatan di luar dan kita tidak tahu apa yang sebenarnya.
Mentalitas “kecurigaan” seakan menjadi bagian tidak terpisahkan di dalam ruang birokrasi, ruang public dan ruang kebersamaan. Itulah sebabnya terjadi proses pendegradasian terhadap kebersamaan tersebut. Kita tidak bisa karena ketiadaan kebersamaan. Kita tidak bisa berhasil karena kita tidak mengupayakan kebersamaan untuk mencapai keberhasilan. Inilah penyakit sosial yang sesungguhnya kita derita di era sekarang ini.
Dengan mudahnya orang melakukan “pengaduan masyarakat”. Bahkan terkadang tidak berdasarkan atas kajian dan pembahasan yang mendalam, lalu dengan mudahnya kita lempar persoalan itu di public. Media sosial dapat menjadi media untuk menyebarkan banyak hal termasuk keadaan internal kita. Dewasa ini ada kenyataan kita kehilangan “kekitaan” kita. Muncul suatu era di mana dengan mudah “kekitaan” itu diganti dengan “keakuan” yang berlebihan.
Bullying dan penghakiman dilakukan di mana-mana. Pembunuhan karakter dilakukan di sembarang tempat. Ujaran kebencian menjadi cita-cita dan sebagainya. Semua dilakukan dengan kesadaran bahwa yang dilakukannya itu adalah kebenaran. Jadi tidak ada lagi ruang terbuka bagi kita untuk mendiskusikan dan membahas “masalah” yang dianggapnya sebagai “kekeliruan” tersebut. Ruang diskusi itu telah diganti dengan ruang dumas yang dianggapnya sebagai senjata untuk mencari kebenaran.
Saya sesungguhnya berharap agar setiap ada sesuatu yang dianggap sebagai “kekeliruan” maka sebaiknya dibicarakan internal terlebih dahulu. Kita tuntaskan secara internal. Kita harus bisa menyelesaikannya secara internal. Saya tetap berkeyakinan bahwa dengan membicarakannya secara internal, maka “masalah” atau “kekeliruan” itu akan bisa diingatkan atau dibenahi. Kita harus memiliki basis asumsi yang kuat bahwa hanya dengan duduk bersama, maka benang ruwet itu akan bisa diuraikan pemecahannya.
Jangan pernah ada di antara kita yang menjadikan “kekeliruan” yang tidak disengaja itu meniadi senjata kita untuk “membully” atau “menghabisi” kawan kita sendiri. Jangan pernah ada pemikiran bahwa kekeliruan itu bisa dijadikan senjata untuk merusak reputasi kawan kita sendiri. Bayangkan bahwa jika kita melakukan hal yang seperti itu, bisa jadi suatu ketika kita akan merasakan hal yang sama. Meskipun kita berkeyakinan bahwa balasan abadi itu ada di kehidupan kelak, akan tetapi kita juga meyakini bahwa di dunia ini juga akan bisa terjadi balasan atas hal yang kita lakukan. Di dalam konsepsi Jawa dikenal istilah”ngunduh wohing pakarti” atau “menuai balasan atas perilaku kita”. Siapa yang menebar kebaikan, maka akan mendapatkan kebaikan, dan siapa yang menebar kejelekan juga akan menuai kejelekan. Siapa yang menabur angin akan menuai badai.
Di dalam dunia birokrasi, maka selalu ada pengelolaan program dan kegiatan, memenej uang dan anggaran. Maka dipastikan bahwa akan selalu ada “dugaan” yang terkait dengan anggaran dan program tersebut. Maka untuk menjaga agar anggaran dan program itu sesuai dengan aturan dan regulasi, maka selayaknya setiap pengelola anggaran dan program agar membangun trust terhadap lainnya.
Di dalam konteks ini, maka transparansi dan akuntabilitas anggaran dan program menjadi ukurannya. Ajaklah bicara semua stake holder kita. Ajaklah mereka membicarakannya, ajaklah mereka untuk merasa sebagai program bersama dan ajaklah mereka semua untuk selalu di dalam kebersamaan. Prasangka hanya akan muncul karena mereka tidak merasa dilibatkan di dalam program atau kegiatan yang seharusnya mereka terlibat di dalamnya.
Jika kebersamaan sudah dilakukan, saya yakin bahwa semua akan merasakan bahwa semua capaian dan keberhasilan adalah milik kita bersama. Dan saya tetap berkeyakinan bahwa dengan kebersamaan hal-hal yang paling sulit dilakukan pun akan bisa dilakukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
KUNCI SUKSES ADALAH KEBERSAMAAN (1)
Akhir-akhir ini saya banyak memberikan masukan kepada jajaran ASN Kementerian Agama dalam tema-tema yang mengusung kebersamaan dalam mencapai tujuan. Tema ini saya anggap penting sebab saya kira hanya dengan kebersamaan saja, maka tujuan mulia untuk mengembangkan peran organisasi birokrasi (Kementerian/Lembaga) akan bisa tercapai.
Di dalam memberikan pembekalan terhadap ASN di UIN Sumatera Utara, di Kanwil Kemenag Sulawesi Selatan, di Kanwil Kemenag Jawa Timur dan juga di berbagai acara di Sekretariat Jenderal Kemenag selalu saja saya selipkan kata-kata yang memiliki kekuatan dahsyat untuk mengubah sesuatu ialah kebersamaan. Secara sengaja memang saya ungkapkan hal ini sebagai modalitas mental bagi ASN untuk berubah di era reformasi birokrasi.
Saya sampaikan fakta mengapa banyak masalah yang dihadapi oleh ASN di Kemenag yang dapat dikaitkan dengan penyebab ketiadaan kebersamaan. Ada banyak masalah yang terkait dengan hukum, sosial dan bahkan religious juga disebabkan oleh ketiadaan kebersamaan itu. Masalah-masalah internal dengan mudah dibawa ke luar. Ada banyak pengaduan dari seluruh wilayah di Indonesia, yang salah satunya disebabkan oleh ketiadaan kebersamaan.
Jika dilihat dari sisi kewilayahan, maka terdapat tiga wilayah Kemenag, yaitu: Kantor pusat, lalu kantor wilayah dan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN). Masing-masing memiliki kekhasannya sendiri, baik terkait dengan anggaran maupun tupoksinya dan juga varian masalah yang dihadapinya.
Saya akan membahas tentang perguruan tinggi sebagai ajang bagi kontestasi untuk memperebutkan kekuasan birokrasi. Perguruan tinggi tentu menjadi tempat yang ideal untuk membangun kepemimpinan di masa depan. Saya kira tak ada yang menyangkal bahwa melalui pendidikan tinggilah para kader bangsa ini akan menjadi tumpuan bangsa dan negara Indonesia. HampIr seluruh pemimpin negara di Indonesia dan bahkan di dunia dilahirkan dari dunia pendidikan tinggi. Semua tentu akan mengamini bahwa tempat terbaik sebagai “kawah condrodimuko” untuk menggodok calon pemimpin bangsa ialah lembaga pendidikan tinggi.
Jika dirunut secara historis, maka pemimpin bangsa seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Room, Mohammad Yamin, A.G, Pringgodigdo, Roeslan Abdul Ghani dan banyak lagi lainnya tentu berangkat sebagai aktivis di kala menjadi mahasiswa. Melalui interaksi dengan dunia pendidikan tinggi tersebut, maka mereka memiliki kemampuan analisis yang baik, dan kemudian mampu untuk menggerakkan aksi pada zamannya. Ir. Soekarno menggerakkan kemerdekaan Indonesia melalui gerakan-gerakan menyadarkan bangsanya agar merdeka. Dan jika dirunut lebih awal, maka pergerakan-pergerakan kesadaran berbangsa dan bernegara juga dibangun melalui pondasi pendidikan tinggi. Gerakan Boedi Oetomo, Gerakan Syarikat Islam, Soempah Pemoeda dan sebagainya juga diinspirasikan melalui aktivisme pemuda yang belajar di perguruan tinggi.
Bahkan di era akhir-akhir ini juga dengan sangat gamblang bahwa peran institusi pendidikan tingi sedemikian dominan untuk mengantarkan para alumninya untuk memasuki gerbang kehidupan masyarakat dengan aneka profesi dan keahliannya melalui serangkaian keterlibatannya di dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan dan sosial kemasyarakatan. Makanya boleh saya nyatakan bahwa organisasi sosial kemahasiswaan dan organisasi sosial lainnya merupakan sekolah bagi calon pemimpin bangsa dalam level dan kapasitasnya.
Sedemikian idealkah institusi pendidikan tinggi. Ternyata juga tidak. Sebagai institusi yang didiami dan dihidupkan oleh manusia, maka institusi pendidikan tinggi juga memanggul kepentingan dari para pengelolanya. Di sini juga terdapat tarikan-tarikan politik yang tidak sedikit. Semuanya menggambarkan bahwa manusia tetap saja berada di dalam bingkai kepentingannya. Oleh karenanya, tarikan kepentingan baik bagi dirinya sendiri maupun kelompoknya tetaplah merupakan variabel kunci di dalam memaknai kehidupannya.
Saya ingin menggambarkan bagaimana tarikan kepentingan itu begitu dominan di dalam mengelola pendidikan tinggi, yang mestinya bisa menjadi institusi yang paling bergengsi di dalam mengelola kepentingan. Salah satu keunikan institusi pendidikan tinggi ialah pemilihan pimpinan perguruan tinggi. Di dalam kepemimpinan, maka perguruan tinggi berada di dalam konteks, organisasi sosial yang pemimpinnya dipilih bersama melalui cara-cara yang dianggap sebagai demokratis dan dunia birokrasi yang ketat dan terkontrol dengan kuat. Dalam hal ini sama halnya dengan menjadi bupati, gubernur dan juga presiden. Rector atau dekan adalah jabatan dalam tugas tambahan. Bukan sebagai pejabat structural.
Di dalam konteks pilihan pimpinan, maka terdapat kontestasi yang lebih terbuka. Di dalam konteks ini, maka selalu ada pemikiran kalah dan menang. Siapa mengalahkan siapa dan siapa memenangkan siapa. Meskipun pada tahap akhir yang menentukan adalah otoritas tertinggi di dalam Kementerian, tetapi tetap saja nuansa kontestasi itu tidak selesai. Bercak-bercak hitam inilah yang seringkali menjadi batu sandungan yang menyesakkan. Seringkali para pemenang akan menghadapi masalah yang tidak mengenakkan. Orang bisa saja dikuliti dari masa lalunya. Dari rekam jejaknya dan dari kehidupannya. Di sinilah awal mula terjadinya kontestasi tiada henti. Di sinilah letak permasalahan yang selama ini mendera institusi pendidikan tinggi.
Banyak masalah masa lalu yang diungkap dan kemudian menjadi problem eksternal yang bertujuan untuk merusaknya. Saya kira banyaknya masalah di lembaga pendidikan tinggi sekarang ialah masih bercokolnya kontestasi yang terus hidup di sini. Oleh karena itu, selama kontestasi tersebut tidak berhenti di kala pemimpin baru muncul, maka ketika itu pula sebenarnya jurang kerja sama nyaris tertutup.
Jika institusi pendidikan tinggi ingin membangun kemajuan, maka tidak ada lain kecuali membangun kesadaran bahwa kontestasi harus berakhir di kala pemimpin baru hadir dan kemudian seharusnya memperoleh dukungan banyak pihak.
Wallahu a’lam bi al shawab.